Share

Nafkah

"Amalia, tunggu!" Hardikku keras menghentikan derap.

Menolah. Iya, dia memutar badan, menunjukkan murka yang jelas tergambar di wajah.

"Apa lagi, Mas?! Apa lagi!?" Seru Amalia, melebarkan kelopak netra.

"Haruskah, kau bersikap segila ini?! Dimana bakti yang dulu selalu kau junjung tinggi?!"

"Kenapa ... kamu tersinggung, Mas?! Apakah hatimu terluka dengan sikapku?!" Tantang Amalia, tertawa sengit.

"Aku suamimu!"

"Aku tahu ... aku tahu kau suamiku!" 

"Apakah kamu juga tahu, wajib bagimu bertutur lembut padaku, Amalia! Wajib!" Tandasku gusar.

Menunduk, Amalia nampak dalam melipat rahang. Sebelum akhirnya mendongak dengan mulut gemetar.

"Aku sangat tahu itu! Tapi apakah kau juga tahu, bersikap baik pada seorang Istri itu juga kewajiban, Mas?!"

"Iya! Oleh karena itu, aku selalu mengusahakan yang terbaik untukmu!"

"Iya, kah? Bagian yang mana itu, Mas?!" Tantang Amalia, mendekat, kembali melangkah maju.

"Semuanya ... semua kewajiban sebagai seorang suami telah kulakukan dengan cara terbaik," tandasku bangga.

"Argh ... ya. Termasuk soal nafkah?!"

"Jelas ... itu menjadi fokus utamaku,"

"Merampas sebagian nafkah Istri ... apakah juga termasuk cara terbaik yang kau agungkan itu?!" Tukas Amalia, tajam menatapku garang.

"Merampas?!" Tanyaku, terhenyak, mengeryit tak mengerti.

"Iya, kau merampas uang belanja bulanan yang sudah setahun lamanya kuterima. Tujuh tahun kau melakukannya ... aku diam ... iya, aku memang memilih menutup rapat wicara. Tapi, benarkah kau berpikir bahwa di dalam sini tak ada tanya, kecewa ataupun murka, Mas?!" Ucap Amalia, keras memukul bagian tengah dada. 

"Aku melakukannya demi kebaikan kita!"

"Kebaikan kita?! Kebaikan yang mana, Mas?! Bahkan, harus kulipat perut sendiri demi kata cukup ... apa kamu tahu itu?! Argh! Tapi tidak! Kurasa kamu tak akan mau mengerti! Kamu hanya butuh kalimat pasti ... aku bisa mengatur keuangan dengan baik. Tanpa, mau tahu derita yang kualami,"

"Hanya lima ratus ribu ... kau sebut itu sebagai derita?! Bahkan tak ada seperempat dari jumlah yang kuberi!" Tandasku gusar. 

"Iya, memang hanya lima ratus ribu. Sangat kecil, bukan?! Tapi kau tega mengambilnya ... tanpa bertanya lebih dulu padaku, tanpa memberitahuku. Apalagi meminta persetujuanku!"

"Haruskah kulakukan itu?" Tukasku sangsi.

"Menurutmu?! Apakah itu tak perlu?! Aku yang mengelola ... Setidaknya kau bertanya, Mas. Andai kupangkas sebagian apakah kau bisa mengaturnya?" Seru Amalia terjeda.

"Seharusnya, kau melakukan itu! Tapi tidak! Kau putuskan semuanya sendiri ... seolah takut jika ada sisa dari uang yang kau beri, seakan tak terima bila aku memiliki uang lebih, seakan tidak ridho jika istri dan anakmu makan dengan layak!" Imbuhnya menekan setiap kata.

"Aku tak bermaksud seperti itu. Bahkan, aku rela kehilangan apapun demi kalian berdua,"

"Apapun?! Apa kau yakin, Mas?! Bahkan, sisa parkir tiga ribu rupiah pun, kau tega memintanya. Menengadahkan tangan kekarmu itu! Bila tak segan padaku ... setidaknya kau malu pada tukang parkir yang masih menunggu mobilmu menyala!" Tandas Amalia bengis.

Berat kuhembuskan napas! Sisa parkir?! Mengapa harus dia bawa dalam pertengkaran ini? Pantaskah?!

"Aku hanya ingin mengajarimu bagaimana mengelola keuangan dengan bijak!"

Terbahak, Amalia menanggapi perkataanku dengan tawa keras.

"Itu hanya dalihmu saja, Mas! Faktanya, kau tak ingin dianggap kikir ... meski sifat itu mengalir bersama darah di nadimu!"

Gemetar, kuraih tas hitam yang tergeletak di samping tubuhnya. Aku terluka ... sangat terluka dengan lontaran kalimat pedasnya. Fitnah itu, sungguh sangat keji keberadaannya. Sangat keji ... lebih kejam daripada hilangnya nyawa.

"Ini ... ini adalah uang belanja yang aku potong dari jatah belanjamu. Semuanya aman... sepeserpun tak berkurang ... ambil lah, kau bisa menghitungnya," ucapku tercekat, menyodorkan buku kecil bersampul biru padanya. Berharap, bisa meredakan prahara.

Tak dipungkiri, kecewa merayap memposisikan diri. Wanita yang selama ini kuperjuangkan. Ternyata, adalah sosok yang mampu menjatuhkanku je dasar jurang, menganggap diri ini sangat hina dengan cara paling nista.

"Aku tak butuh itu ... tak butuh, Mas!" Tampik Amalia, menolak menerima. 

Terhenyak. Sungguh, diri ini sangsi tak percaya. Bagaimana dia bisa menolak lembaran yang dicintai banyak umat manusia.

"Coba kau lihat ... hitunglah. Bahkan, telah kutambahi dari jumlah yang kau sebut sebagai harta rampasan tadi," Tekanku, menyodorkan kembali. Mengungkapkan fakta akan kemilau yang sudah pasti disukai oleh banyak Istri.

"Kenapa? Ambillah ... bukankah ini yang kau inginkan?"

"Kata siapa aku menginginkan ini, Mas?! Kata siapa?!"

"Oke ... kamu memang tak pernah mengatakannya. Tapi dengan jumlah yang ada di dalam sini, kau bisa membeli segalanya. Termasuk mesin cuci yang tercanggih sekalipun!"

"Tidak dengan cara seperti ini, Mas! Tidak seperti ini!" Ucap Amalia, menggeleng kuat.

"Bukankah mesin itu yang kau dambakan? Yang membuatmu mencercaku sekeras ini? Lantas, mengapa kini kau menolak?! Ambil lah, beli apapun yang kau inginkan,"

"Tidak! Aku tak mau!" Tolaknya kembali, menolak keras.

"Oke! Aku salah ... telah salah mengambil sebagian uang belanjamu. Tapi ini adalah bukti, betapa semua memang kulakukan demi kebaikan kita," tandasku.

"Sepertinya kau sangat puas telah berhasil mengumpulkan sebagian dari jatah bulanan ya, Mas?! Atau kau cukup bangga karena merasa telah berhasil mendidik Istrimu untuk hidup sederhana!" Seru Amalia kembali, mendongak, menatapku murka.

"Amalia .... " ucapku tertahan. 

"Sekian tahun kau memaksaku mengikuti aturanmu, berlaku semaumu tanpa meminta persetujuanku ... kini kau berharap mampu menutup luka dengan pundi di dalam sini, Mas?!" Ucap Amalia menepis buku kecil yang telah kusodorkan.

Sungguh aku tak mengerti dengan wanita yang telah delapan tahun kunikahi ini ... mengapa masih ada murka meski telah kutunjukkan tabungannya. Bahkan tanpa membuka dia tolak begitu saja.

"Simpan saja, Mas ... aku tak butuh semua ini!" Tolak Amalia, deras berlinang air mata.

"Bahkan kau masih marah setelah kuberikan ini padamu? Lantas apa maumu?! Apa kau akan terus mengutuk suamimu seperti ini?" Tukasku hancur di dasar rasa kecewa.

"Iya ... aku akan terus menguntukmu, Mas! Sampai kapanpun!"

"Mengapa harus seperti ini?!"

"Ini bukan hanya tentang berapa uang yang kau rampas. Bukan pula tentang jumlah yang berhasil kau kumpulkan, Mas! Lebih dari itu... ada harga diri ... harga diri seorang Istri yang selama ini kau abaikan!"

"Harga diri?! Hanya persoalan kecil ... dan kau anggap aku mengacuhkan harga dirimu?!" Tukasku tak terima. 

"Argh! Sepertinya aku memang telah salah memilihmu sebagai seorang suami ... sangat salah, Mas?!"

"Amalia!"

"Kenapa?! Memang seperti itu kenyataannya! Aku telah salah memperjuangkanmu di hadapan kedua orangtuaku! Andai ... iya, andai saja dulu kuikuti apa kata Bapak. Mungkin, saat ini aku akan bersanding dengan Imam yang lebih bijak dan tahu cara memuliakan seorang Istri!"

"Haruskah kau berkata seperti itu, Amalia?! Haruskah, kau ucapkan itu setelah kutunjukkan ini padamu?!" Tukasku sangsi, kembali menggoyang buku kecil le depan wajahnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status