Share

Tak Sengaja Mencintaimu
Tak Sengaja Mencintaimu
Author: Zizara Geoveldy

Part 1

last update Last Updated: 2025-11-03 15:21:52

"Bu Vanka, hasil evaluasi kemoterapi anak Ibu sudah keluar."

Suara dokter Dini terdengar berat di ruang konsultasi yang sepi itu. Ia menatap Vanka dengan lekat sebelum meneruskan.

"Sayangnya respons tubuh Lengkara terhadap obat tidak sebaik yang kita harapkan."

Vanka mengembuskan napas. Ia sudah menduga, tapi tetap saja tidak siap mendengarnya. Sudut-sudut matanya menghangat mendengar informasi itu. Terbayang olehnya tubuh lemah sang putri, wajah pucatnya dan rintihan kesakitan yang keluar dari bibir mungilnya.

Berbulan-bulan putrinya yang bernama Lengkara menjalani pengobatan akibat leukimia atau kanker darah. Rambutnya sudah habis, tubuhnya semakin kurus, hari-harinya lebih banyak dihabiskan di tempat tidur. Setiap kali melihat anaknya kesakitan, Vanka merasa hatinya retak sedikit demi sedikit.

Sering Vanka bertanya di dalam hati, kenapa harus Lengkara yang mengidap penyakit itu? Kenapa bukan dirinya saja? Lengkara masih terlalu kecil untuk menanggung derita sebesar itu.

"Jadi apa langkah selanjutnya, Dok?" tanya Vanka lesu. Ia tahu jawabannya karena dirinya juga seorang dokter, tapi butuh mendengarnya secara langsung.

Dokter Dini, spesialis anak hematologi onkologi, menatapnya penuh iba. "Pilihan terbaik kita sekarang adalah transplantasi sumsum tulang, Bu. Leukemia anak Ibu tipe yang cukup agresif. Kalau tidak segera kita lakukan, peluang sembuhnya akan turun dengan drastis."

Vanka terdiam sepersekian detik, mencoba memahami dengan kepala seorang dokter, bukan sebagai ibu.

"Biasanya siapa yang menjadi donor?" tanyanya kemudian.

"Biasanya kita cari kecocokan HLA dari keluarga sedarah dulu. Idealnya adalah saudara kandung. Tapi karena Lengkara anak tunggal, kita perlu cek orang tuanya. Anda dan ayah biologisnya," tutur dokter Dini menjelaskan.

Vanka terdiam setelah mendengar penuturan dokter Dini.

Orang-orang hanya tahu bahwa Lengkara adalah anak kandungnya dengan Reza. Tidak ada yang tahu ayah biologis Lengkara sebenarnya bukan Reza. Termasuk Reza sendiri.

Bertahun-tahun Vanka menyimpan rahasia besar itu dari suaminya.

Ingatan Vanka terseret mundur pada waktu tujuh tahun yang lalu. Malam itu adalah malam pertamanya sebagai suami istri dengan Shankara. Tapi karena sebuah kesalahpahaman yang menyesakkan dada, mereka pun berpisah setelah melakukan hubungan suami istri. Bukan Shankara yang salah. Tapi Vanka. Semua ini murni kesalahannya.

Dan Shankara tidak tahu sampai detik ini bahwa percintaan satu malam itu membuahkan seorang putri.

Lantas, bagaimana kabar mantan suaminya itu sekarang?

Sudah tujuh tahun Vanka tidak pernah bertemu dengannya. Dulu, setelah menikah dengan Reza dalam keadaan hamil anak Shankara, mereka pindah ke daerah yang jauh dari kota. Di sana Reza membuka cabang usahanya dan Vanka meneruskan pekerjaan idaman sebagai dokter.

Idaman orang tuanya lebih tepatnya.

Vanka menutup semua pintu masa lalu. Ia menenggelamkan diri dalam pekerjaan, mencoba jadi istri dan ibu yang baik, seolah cinta lama itu tidak pernah ada.

Tapi kini, hidup menuntunnya kembali ke arah yang sama.

Ke arah lelaki yang dulu pernah menjadi bagian dari dirinya. Lelaki yang tanpa sadar masih mengalir dalam darah anaknya.

Apa Shankara baik-baik saja?

Apa pernah ingat pada Vanka?

Ah, mana mungkin masih mengingatnya. Shankara pasti sudah menikah lagi. Tidak mungkin tetap menduda. Dan bisa jadi saat ini juga sudah memiliki anak. Entah dua atau tiga.

"Bu Vanka, Anda baik-baik saja?" tanya dokter Dini menyaksikan Vanka diam termangu.

Vanka tersentak dari lamunan mengenai masa lalu. "Iya, Dok, saya dengar."

Dokter Dini menatapnya lekat-lekat, menyadari raut wajah Vanka yang berubah. "Saya tahu ini berat. Tapi saya harus menjelaskan semua kemungkinannya secara terbuka."

"Iya, saya mengerti. Biar saya yang jadi donornya, Dok."

Dokter Dini mengangguk. "Langkah pertama, kita periksa kecocokan Anda dulu melalui tes HLA. Kalau hasilnya tidak cocok, baru kita periksa suami Ibu."

Kata 'suami' membuat perut Vanka terasa mual. Ia lalu menganggukkan kepala. "Baik, Dok."

"Semoga hasilnya cocok ya," ujar dokter Dini lembut sebelum menutup berkas.

"Semoga," jawab Vanka begitu penuh harap. Kesembuhan putrinya adalah harapan terbesarnya saat ini.

Setelah mengucapkan terima kasih, Vanka keluar dari ruangan itu.

*

Tiga hari kemudian.

Vanka kembali duduk di ruang yang sama, di hadapan dokter Dini. Suasananya tidak banyak berubah. Sunyi dan dingin. Hanya ada dirinya dan sang dokter di ruangan tersebut.

"Bu Vanka," panggil dokter Dini pelan. "Hasil tes HLA-nya sudah keluar."

"Bagaimana hasilnya, Dok?" tanya Vanka tidak sabar.

Dokter Dini menghela napas sebelum membuka map hasil laboratorium. "Sayangnya, hasilnya tidak cocok, Bu. Tingkat kecocokan HLA Anda dengan Lengkara terlalu rendah, jadi Anda tidak bisa menjadi pendonor."

HLA atau Human Leukocyte Antigen adalah penanda genetik yang menentukan seberapa cocok jaringan tubuh seseorang dengan orang lain. Kalau HLA-nya tidak cocok, tubuh penerima bisa menolak donor, dan itu berakibat fatal.

Vanka terdiam karena terlalu kecewa. Tidak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Ia menatap kertas di tangannya dengan perasaan sedih. Kertas yang seharusnya membawa harapan tapi justru membuatnya kecewa.

"Tidak cocok." Ia menggumam lirih.

"Tapi jangan sedih dulu, Bu. Kita bisa melakukan langkah selanjutnya. Masih ada harapan untuk kesembuhan Lengkara," kata dokter Dini memberi semangat.

"Jadi apa langkah selanjutnya, Dok?" tanya Vanka lesu dengan tubuh lunglai.

"Kita bisa coba tes suami Ibu," jawab dokter Dini hati-hati. "Kalau hasilnya tidak cocok juga, satu-satunya jalan adalah mencari donor dari luar keluarga. Tapi Ibu tahu sendiri, peluangnya sangat kecil. Kurang dari tiga puluh persen, bahkan lebih kecil lagi kalau tidak ada kecocokan genetik yang kuat."

Vanka mengembuskan napas berat. Ia menatap dinding ruangan seolah ada solusi di sana. Sesaat setelahnya ia mengembalikan pandangan pada wajah dokter Dini.

"Tes suami saya ya ...," ucapnya lirih, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri.

Dokter Dini mengangguk. "Saya tahu ini tidak mudah. Tapi kita harus mencoba semua kemungkinan untuk kesembuhan Lengkara."

"Baik, Dok. Saya akan bicarakan dengan suami," ujar Vanka.

Namun, di dalam hatinya, suaranya sendiri memberontak. Bahkan, jika Reza mau dites, hasilnya tidak akan pernah cocok. Karena darah yang mengalir di tubuh Lengkara bukanlah darahnya.

Dan itu berarti hanya ada satu orang yang berkemungkinan bisa menyelamatkan anaknya.

Satu nama yang sudah tujuh tahun tidak pernah ia sebut.

Ayah biologis anaknya.

Shankara.

Begitu keluar dari ruang konsultasi, Vanka berjalan dengan langkah lunglai di koridor rumah sakit. Langkahnya terasa begitu berat. Setiap kali melewati ruang anak, dadanya semakin sesak.

Ia melihat beberapa anak dengan kepala botak duduk di kursi tunggu, sebagian tertawa, sebagian diam dengan wajah pucat. Bau antiseptik dan cairan desinfektan terhirup olehnya. Bau yang dulu terasa biasa baginya karena dirinya juga dokter, tapi kini justru membuatnya ingin menangis.

Ia berhenti di depan pintu kamar Lengkara. Dari balik kaca, ia melihat putrinya sedang menggambar sesuatu di atas meja kecil. Tubuhnya tampak lemah, tapi ada senyum tipis di bibirnya.

Senyum itu menghancurkan hati Vanka.

Ia menekan dadanya sendiri, mencoba menahan air mata yang mulai tumpah. Anak sekecil itu tidak pantas menanggung penderitaan sebesar ini.

"Lengkara …," bisiknya sedih.

Ia lalu masuk ke dalam kamar.

Putrinya menoleh dan tersenyum begitu melihatnya.

"Mama, coba lihat, aku menggambar pelangi. Bagus, kan, Ma?"

Vanka berusaha tersenyum sambil memandangi gambar tersebut. "Bagus banget, Sayang."

Lengkara menatap mata Vanka yang sedikit merah. "Mama habis nangis ya?"

"Nggak, Sayang. Mama cuma capek sedikit."

Tapi sepertinya Lengkara tidak percaya karena ia terlalu sering menyaksikan pemandangan tersebut.

"Nanti kalau aku sembuh, Mama jangan nangis lagi ya."

Ucapan sederhana itu begitu menohok hati Vanka. Ia tak sanggup menjawab. Ia hanya mengusap kepala botak anaknya, membiarkan air matanya jatuh diam-diam.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayu Ayuningtiyas
kak zi ,yg jadi pertanyaan ku,berarti saat pergi dari shankara,vanka langsung nikah sama Reza ya ? tanpa nunggu masa iddah .kan taunya reza klo lengkara itu anak kandungnya.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 109

    Ucapan putrinya tentu saja membuat Shankara tercengang. "Tante Anin?" Shankara mengulangi seolah ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar."Iya, Pa. Di depan." Lengkara menunjuk ke arah pintu dengan wajah sedikit tegang, berbeda dari ekspresi cerianya sejak tadi.Tidak ada dalam pikiran Shankara bahwa Anindia akan datang ke rumahnya setelah kejadian kemarin. Pagi-pagi pula. Bayangan kejadian malam itu berkelebat cepat di kepalanya. Teriakan, tangisan, darah, dan kegigihan Anindia yang membuatnya tidak nyaman. “Lengkara masuk ke kamar dulu ya,” katanya setenang mungkin sambil berjongkok di hadapan putrinya. “Papa mau bicara sebentar.”Lengkara mengangguk patuh tanpa banyak bertanya lalu berjalan perlahan menuju kamarnya. Shankara memastikan pintu kamar tertutup sebelum melangkah ke arah depan.Anindia sudah duduk manis di sofa ruang tamu. Perempuan itu tampak kacau. Wajahnya pucat, rambutnya tidak disisir. Dan yang paling jelas adalah matanya yang merah dan bengkak pertanda

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 108

    Hari masih pagi ketika Lengkara terjaga dari tidurnya. Matanya yang masih setengah mengantuk bergerak ke kanan dan kiri sebelum akhirnya membulat penuh kegembiraan. Di sebelahnya, Mama dan papanya ada di sana. Berdekatan dan saling memeluk satu sama lain."Wah, Papa meluk Mama!" serunya ceria. Ini adalah untuk pertama kalinya anak itu melihat orang tuanya tidur bersama.Lengkara memerhatikan keduanya dengan mata berbinar, seolah menemukan pemandangan paling indah pagi itu. Bibir mungilnya tersenyum lebar, lalu ia duduk sambil menepuk-nepuk kasur.“Papa sama Mama tidur bareng.” Anak itu menggumam takjub dengan mata tidak lepas dari keduanya.Tak lama kemudian Vanka terbangun. Ketika kelopak matanya terbuka, ia bertemu dengan wajah penuh binar anaknya. Pipinya seketika memanas. Ia hendak bergerak menjauh, tapi lengan Shankara justru mengerat di perutnya.“Bang, lepasin. Lengkara udah bangun,” bisiknya malu.Shankara membuka mata dengan santai, lalu tersenyum ketika menyadari siapa yang

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 107

    Vanka sudah berkali-kali memandang jam dinding sejak sore menjadi malam. Tangannya juga tidak berhenti meremas ponsel, membuka, menutup layar, berharap ada pesan masuk atau apa pun dari Shankara. Tapi tidak ada. Lengkara juga sudah berkali-kali menanyakan kenapa papanya masih belum pulang. Tadi Vanka mengatakan padanya bahwa Shankara pergi ke bengkel. Lengkara terus menunggu sampai akhirnya tertidur sendiri. Ia berjalan ke jendela, menyingkap tirai sedikit, lalu kembali duduk. Lalu berdiri lagi. Jantungnya tidak tenang sejak Shankara pergi bertemu Anindia. Vanka tahu pertemuan itu tidak akan sederhana. Ia mencoba menenangkan diri dengan membuat teh, tapi cangkir itu hanya disentuhnya sekali sebelum diletakkan kembali. Pikirannya terus berkelana pada kemungkinan paling terburuk. Ketika akhirnya suara pintu dibuka terdengar, Vanka hampir berlari. "Abang." Kata itu terhenti di bibirnya. Shankara berdiri di ambang pintu dengan wajah letih. Vanka melangkah mendekat, hendak memeluk

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 106

    Shankara membeku hanya sepersekian detik. Lalu nalurinya mengambil alih segalanya.“Anindia!”Ia menerjang ke depan, menangkap pergelangan tangan Anindia sebelum sayatan itu menjadi lebih dalam. Pecahan vas terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring. Darah tetap keluar, tapi tidak seperti yang Anindia niatkan. Shankara menggenggam tangannya kuat-kuat, menekan pergelangan itu ke dadanya sendiri, menahan dengan telapak dan lengan bajunya.“Gila kamu! Kamu mau bunuh diri cuma buat maksa aku?!”Anindia memberontak, menangis, menjerit, memukul dada Shankara dengan tangan satunya yang bebas. “Lepasin! Lepasin aku! Aku lebih baik mati daripada kamu tinggalin!”“Diam!” Shankara membentaknya dengan keras, penuh amarah dan panik. “Diam, Nin! Dengar aku!” Ia menyeret Anindia ke sofa, memaksanya duduk. Anindia terisak keras, tubuhnya gemetar hebat. “Kamu nggak peduli aku mati atau hidup, kan?” suaranya serak, penuh kekecewaan dan luka. “Kamu cuma peduli sama dia.”“Aku peduli sama kamu. M

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 105

    Sedikit pun tidak ada dalam prediksi Shankara mengenai hal yang diinginkan Anindia. Tadi dirinya pikir perempuan itu akan langsung menyerah setelah mengetahui kondisinya. Tapi dugaannya salah."Ayo! Kenapa diam? Kamu takut?" Anindia tersenyum mengejek melihat bungkamnya pria itu."Takut apa?""Takut ketahuan bohong." Anindia mendesis. “Takut ketahuan kamu sebenarnya masih bisa. Takut ketahuan semua omongan kamu cuma alasan murahan biar bisa balik ke dia.”“Aku nggak bohong, Nin. Itu memang kondisiku,” jawab Shankara tanpa nada emosi. “Dan aku nggak akan membuktikan apa pun dengan cara itu.”Anindia mendengkus. Tangannya tiba-tiba mencekal lengan Shankara, menariknya masuk ke dalam rumah. “Ke kamar. Sekarang!”Shankara menghentikan langkahnya. Seketika cengkeraman itu terlepas bukan karena Anindia melepaskan, melainkan karena Shankara mengunci pergelangan tangannya. Cekalannya tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat Anindia terdiam.“Lepasin aku!” Anindia memberontak.“Nin.” Shankar

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 104

    Shankara menutup pintu kamar mandi dengan kakinya. Vanka masih berada dalam gendongannya saat pria itu menurunkannya perlahan. Kala tangan besar itu melucuti pakaian wanitanya, tatapan mereka bertemu, penuh dengan rasa yang tidak perlu diucapkan. Tetes-tetes air yang berjatuhan dari shower membasahi tubuh mereka berdua. Kali ini mereka tidak banyak bicara. Hanya tubuh mereka yang berbahasa. Vanka diam membisu ketika Shankara menyabuni punggungnya, turun dan semakin turun ke bawah sampai tangan lelaki itu berada di kakinya. Shankara kembali berdiri. Tangannya mencengkeram pinggul Vanka untuk kemudian memasukinya dari belakang. Vanka memejamkan mata, menikmati sensasi itu. Sekujur tubuhnya melemah. Sendi-sendi penyanggahnya seakan goyah mendapat manuver yang sebegitu hebatnya. Shankara menahan tubuh Vanka agar tidak jatuh, dadanya menempel di punggung wanita itu. Napas mereka berbaur di bawah titik-titik air. Air mengalir di bahu Vanka, menyusuri lekuk tubuhnya, seolah i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status