Share

Part 2

last update Last Updated: 2025-11-03 15:22:46

"Papa!" seru Lengkara begitu melihat Reza muncul di ambang pintu ruang rawat anak lantai empat.

Hari itu sebenarnya hari terakhir mereka di rumah sakit setelah dua hari menjalani kemoterapi lanjutan. Tubuhnya masih lemah, tapi matanya berbinar karena kedatangan sang ayah.

Reza tersenyum, lalu berjalan mendekat. "Hai, putri kecil Papa," ujarnya lembut, lalu mencium puncak kepala Lengkara. "Papa bawa buah kesukaan kamu nih, sama komik baru."

Anak berusia enam tahun itu tersenyum lemah. "Makasih, Pa."

Reza membantu membetulkan selimut Lengkara. Pria itu memang sangat menyayangi putrinya.

"Kata dokter Dini, aku hebat, Pa. Soalnya aku nggak nangis waktu disuntik."

Reza tertawa sambil mengelus kepala gundul putrinya. "Iya dong. Anak Papa, kan, hebat."

Vanka yang sedari tadi berdiri di sisi tempat tidur hanya diam. Setelah menatap keduanya, ia memalingkan wajah. Sesuatu menekan dadanya. Begitu Reza bertanya tentang hasil pemeriksaan pendonor, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.

Lalu Reza beralih pada Vanka dan menatapnya sekilas. Hubungan mereka memang dingin sejak awal. Reza adalah lelaki yang kasar, suka mengatur dan tidak sekali dua kali menyakiti fisik Vanka dengan tangannya alias suka memukul.

Sudah lebih dari seminggu ini mereka berpisah. Vanka dan Lengkara di Jakarta, sedangkan Reza di kota T, menjalankan usahanya.

"Gimana hasil tesnya? Cocok sama kamu?"

Akhirnya Reza menanyakannya juga, yang membuat Vanka bertambah lesu.

"Nggak cocok, Za," jawab Vanka lirih.

Reza kaget. Matanya melebar. "Kenapa bisa nggak cocok? Kamu, kan, ibunya!"

"Za, walau aku ibunya belum tentu akan cocok." Vanka coba menjelaskan.

"Kenapa bisa begitu, hah?!" Reza mencekal dagu Vanka dan menatapnya dengan tajam.

"Papa, jangan jahat sama Mama." Lengkara menatap dengan ketakutan.

Tangan Reza sontak terlepas dari dagu Vanka. Dipandanginya sang putri dengan mata merah menahan emosi. "Papa nggak jahat. Papa cuma lagi nanya sama Mama," ucapnya sambil pura-pura tersenyum.

Kemudian lelaki itu mengembalikan pandangan pada istrinya.

"Jadi gimana sekarang? Kalau kamu nggak cocok apa kata dokter?"

“Kita harus tes ayahnya, Za,” jawab Vanka hati-hati.

Reza mengerutkan kening. "Ayahnya, kan, aku!"

Vanka semakin gugup. Jantungnya menderu begitu cepat. "I-iya, itu maksudku. Biasanya ayah biologis atau orang tua kandung jadi donor pertama. Kalau cocok, prosedurnya lebih aman dan peluang berhasil lebih tinggi."

Memeriksa Reza adalah hal yang sia-sia, tapi ia harus melakukannya agar Reza tidak curiga.

Reza hanya menghela napas dan terpaksa menyetujui.

Beberapa hari setelah melakukan pemeriksaan terhadap Reza, dokter Dini memanggil mereka ke ruang konsultasi.

"Bu Vanka, Pak Reza, saya sudah dapat hasil tes HLA Bapak Reza." Sang dokter mengawali pembicaraan.

"Gimana hasilnya, Dok?" Vanka bertanya tidak sabar.

Dokter Dini memandang mereka berdua bergantian dan memberitahu. "Sayangnya HLA Pak Reza juga tidak cocok dengan Lengkara. Sama seperti Ibu Vanka."

Reza mengesah kecewa, sedangkan Vanka tidak bersuara karena sudah menduga.

"Jadi selanjutnya bagaimana, Dok?" tanya Reza khawatir.

Dokter Dini menarik napas panjang. Ia memandang Vanka dan Reza dengan serius. "Saya harus jujur. Mendapatkan donor dari luar keluarga tidak semudah itu. Banyak orang yang secara medis cocok, tapi menolak prosedur, atau tidak bersedia. Apalagi untuk anak kecil dengan kondisi sekompleks Lengkara. Ini bukan cuma soal kecocokan HLA saja. Ada faktor kesiapan fisik, psikologis, dan izin medis.”

"Saya akan kasih hadiah dan uang yang banyak pada siapa pun yang bersedia menjadi donor untuk Lengkara," kata Reza sungguh-sungguh.

Vanka menatap Reza di sebelahnya. Suaminya itu sangat menyayangi Lengkara walau kasar pada Vanka.

"Lakukan apa pun untuk mendapatkan donor itu. Tapi sekali lagi saya harus jujur. Waktu kita sangat terbatas. Kondisi Lengkara sudah sangat lemah," kata dokter Dini lagi.

"Berapa lama waktu yang kita punya?" Reza yang bertanya.

Dokter Dini mengembuskan napas berat sebelum mengatakan, "Kira-kira satu bulan."

"Apa? Satu bulan? Maksudnya kondisinya bisa memburuk secepat itu?" Reza tampak begitu shock.

Dokter Dini mengangguk. "Benar sekali. Kita tidak bisa menunda terlalu lama."

Vanka menutup mulutnya dengan tangan, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

"Satu bulan … cuma segitu, Dok?"

"Benar, Bu," jawab dokter Dini iba, ikut prihatin atas kondisi pasiennya. "Kita harus bergerak cepat untuk menyelamatkan Lengkara."

Keduanya meninggalkan ruangan dokter Dini dengan perasaan kacau.

Reza bergerak cepat. Ia memasang pengumuman besar-besaran. Sayembara donor sumsum tulang untuk Lengkara, dengan hadiah dan kompensasi fantastis. Ia menghubungi rumah sakit lain, lembaga donor, bahkan teman-temannya yang punya koneksi medis.

Namun, kenyataan pahit menghantam mereka. Satu per satu kandidat yang muncul ternyata tidak cocok. Entah karena faktor HLA, kondisi medis, atau mereka menolak prosedur karena risikonya nanti. Reza menggeser-geser kertas-kertas di meja rumah sakit karena frustrasi dan putus asa.

Sementara itu, kondisi Lengkara semakin menurun. Energinya berkurang, napasnya berat, dan kulitnya tampak pucat. Ia lebih sering menangis, lemah, dan kehilangan selera makan.

Dalam keputusasaan itu, Vanka kembali ingat pada Shankara.

Tidak ada jalan lain.

Ia harus bertemu dengan Shankara dan mengakui kebenaran yang sudah bertahun-tahun ditutupinya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 108

    Hari masih pagi ketika Lengkara terjaga dari tidurnya. Matanya yang masih setengah mengantuk bergerak ke kanan dan kiri sebelum akhirnya membulat penuh kegembiraan. Di sebelahnya, Mama dan papanya ada di sana. Berdekatan dan saling memeluk satu sama lain."Wah, Papa meluk Mama!" serunya ceria. Ini adalah untuk pertama kalinya anak itu melihat orang tuanya tidur bersama.Lengkara memerhatikan keduanya dengan mata berbinar, seolah menemukan pemandangan paling indah pagi itu. Bibir mungilnya tersenyum lebar, lalu ia duduk sambil menepuk-nepuk kasur.“Papa sama Mama tidur bareng.” Anak itu menggumam takjub dengan mata tidak lepas dari keduanya.Tak lama kemudian Vanka terbangun. Ketika kelopak matanya terbuka, ia bertemu dengan wajah penuh binar anaknya. Pipinya seketika memanas. Ia hendak bergerak menjauh, tapi lengan Shankara justru mengerat di perutnya.“Bang, lepasin. Lengkara udah bangun,” bisiknya malu.Shankara membuka mata dengan santai, lalu tersenyum ketika menyadari siapa yang

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 107

    Vanka sudah berkali-kali memandang jam dinding sejak sore menjadi malam. Tangannya juga tidak berhenti meremas ponsel, membuka, menutup layar, berharap ada pesan masuk atau apa pun dari Shankara. Tapi tidak ada. Lengkara juga sudah berkali-kali menanyakan kenapa papanya masih belum pulang. Tadi Vanka mengatakan padanya bahwa Shankara pergi ke bengkel. Lengkara terus menunggu sampai akhirnya tertidur sendiri. Ia berjalan ke jendela, menyingkap tirai sedikit, lalu kembali duduk. Lalu berdiri lagi. Jantungnya tidak tenang sejak Shankara pergi bertemu Anindia. Vanka tahu pertemuan itu tidak akan sederhana. Ia mencoba menenangkan diri dengan membuat teh, tapi cangkir itu hanya disentuhnya sekali sebelum diletakkan kembali. Pikirannya terus berkelana pada kemungkinan paling terburuk. Ketika akhirnya suara pintu dibuka terdengar, Vanka hampir berlari. "Abang." Kata itu terhenti di bibirnya. Shankara berdiri di ambang pintu dengan wajah letih. Vanka melangkah mendekat, hendak memeluk

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 106

    Shankara membeku hanya sepersekian detik. Lalu nalurinya mengambil alih segalanya.“Anindia!”Ia menerjang ke depan, menangkap pergelangan tangan Anindia sebelum sayatan itu menjadi lebih dalam. Pecahan vas terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring. Darah tetap keluar, tapi tidak seperti yang Anindia niatkan. Shankara menggenggam tangannya kuat-kuat, menekan pergelangan itu ke dadanya sendiri, menahan dengan telapak dan lengan bajunya.“Gila kamu! Kamu mau bunuh diri cuma buat maksa aku?!”Anindia memberontak, menangis, menjerit, memukul dada Shankara dengan tangan satunya yang bebas. “Lepasin! Lepasin aku! Aku lebih baik mati daripada kamu tinggalin!”“Diam!” Shankara membentaknya dengan keras, penuh amarah dan panik. “Diam, Nin! Dengar aku!” Ia menyeret Anindia ke sofa, memaksanya duduk. Anindia terisak keras, tubuhnya gemetar hebat. “Kamu nggak peduli aku mati atau hidup, kan?” suaranya serak, penuh kekecewaan dan luka. “Kamu cuma peduli sama dia.”“Aku peduli sama kamu. M

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 105

    Sedikit pun tidak ada dalam prediksi Shankara mengenai hal yang diinginkan Anindia. Tadi dirinya pikir perempuan itu akan langsung menyerah setelah mengetahui kondisinya. Tapi dugaannya salah."Ayo! Kenapa diam? Kamu takut?" Anindia tersenyum mengejek melihat bungkamnya pria itu."Takut apa?""Takut ketahuan bohong." Anindia mendesis. “Takut ketahuan kamu sebenarnya masih bisa. Takut ketahuan semua omongan kamu cuma alasan murahan biar bisa balik ke dia.”“Aku nggak bohong, Nin. Itu memang kondisiku,” jawab Shankara tanpa nada emosi. “Dan aku nggak akan membuktikan apa pun dengan cara itu.”Anindia mendengkus. Tangannya tiba-tiba mencekal lengan Shankara, menariknya masuk ke dalam rumah. “Ke kamar. Sekarang!”Shankara menghentikan langkahnya. Seketika cengkeraman itu terlepas bukan karena Anindia melepaskan, melainkan karena Shankara mengunci pergelangan tangannya. Cekalannya tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat Anindia terdiam.“Lepasin aku!” Anindia memberontak.“Nin.” Shankar

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 104

    Shankara menutup pintu kamar mandi dengan kakinya. Vanka masih berada dalam gendongannya saat pria itu menurunkannya perlahan. Kala tangan besar itu melucuti pakaian wanitanya, tatapan mereka bertemu, penuh dengan rasa yang tidak perlu diucapkan. Tetes-tetes air yang berjatuhan dari shower membasahi tubuh mereka berdua. Kali ini mereka tidak banyak bicara. Hanya tubuh mereka yang berbahasa. Vanka diam membisu ketika Shankara menyabuni punggungnya, turun dan semakin turun ke bawah sampai tangan lelaki itu berada di kakinya. Shankara kembali berdiri. Tangannya mencengkeram pinggul Vanka untuk kemudian memasukinya dari belakang. Vanka memejamkan mata, menikmati sensasi itu. Sekujur tubuhnya melemah. Sendi-sendi penyanggahnya seakan goyah mendapat manuver yang sebegitu hebatnya. Shankara menahan tubuh Vanka agar tidak jatuh, dadanya menempel di punggung wanita itu. Napas mereka berbaur di bawah titik-titik air. Air mengalir di bahu Vanka, menyusuri lekuk tubuhnya, seolah i

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 103

    Vanka menarik napas dalam-dalam sebelum ia keluar dari mobil setibanya di Mediora Medika. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah sekian lama hari-harinya dihabiskan untuk sang putri. Beberapa saat kemudian ia keluar dari mobil lalu melangkah memasuki gedung. Ia bertemu Jevan yang sepertinya sudah datang sejak tadi. Lelaki itu memberi senyum pada Vanka."Pagi, dokter Vanka," sapanya hangat."Pagi, dokter Jevan." Vanka membalas senyuman lelaki itu."Ready for new journey?"Vanka tersenyum kecil mendengar pertanyaan itu. “Siap nggak siap harus siap. Deg-degan juga, jujur aja.”Jevan terkekeh pelan. “Wajar. Kamu vakum bukan sebentar. Tapi tenang, kemampuan kamu nggak ke mana-mana.”Mereka berjalan berdampingan menuju lift.“Pagi ini briefing dulu sama manajemen medis. Habis itu kamu ikut aku ke poli umum,” kata Jevan.“Kayak koas lagi ya,” celetuk Vanka setengah bercanda.“Versi lebih dewasa dan lebih capek,” balas Jevan tertawa.Mereka masuk ke ruang briefing. Beberapa dokter d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status