Share

Part 3

last update Last Updated: 2025-11-03 15:23:37

Reza sudah kembali ke kota T sambil menunggu adanya pendonor. Sedangkan Vanka dan Lengkara tetap di ibukota.

Lengkara berbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi tubuh kecilnya yang lemah. Bibir mungilnya sering menggeram saat tubuhnya menggigil.

Vanka duduk di dekatnya sambil membelai kepala sang putri.

"Ma, sakit ...," keluh Lengkara setengah merengek.

“Sakit di mana, Sayang?” tanya Vanka lembut.

Air mata berjatuhan di pipi anak itu. "Di sini, Ma." Ia menunjuk ke kakinya, lalu ke lengannya, lalu ke dadanya. "Sakit semua. Kayak ditusuk-tusuk, Ma. Aku capek."

Vanka menelan saliva yang terasa pahit. Ia tahu rasa sakit itu bukan karena demam biasa. Itu adalah nyeri yang datang dari dalam, dari sumsum tulang kecil yang berjuang melawan sel-sel jahat di tubuhnya.

Pelan-pelan, Vanka memijat betis mungil Lengkara, berharap sentuhannya bisa meringankan sedikit saja penyakit putrinya. "Sabar ya, Sayang, Mama pijitin ya ...."

"Kenapa aku masih sakit, Ma? Aku udah minum obat, tapi masih sakit." Di sela-sela tangisnya Lengkara bertanya lirih.

Ucapan sang putri menusuk dada Vanka. Ia membawa tubuh lemah itu ke pelukannya, membiarkan pipinya menempel di kepala Lengkara yang tidak berambut karena efek kemoterapi.

"Andaikan bisa, Mama mau sakitnya dipindahkan ke Mama aja. Tapi Mama janji, Mama akan cari cara biar kamu cepat sembuh."

Lengkara menggeleng lemah di pelukannya. "Aku nggak mau disuntik lagi, Ma." Ia terisak pelan. "Kata dokter Dini aku hebat, tapi aku capek jadi hebat."

Kata-kata itu membuat Vanka memejam, menahan air mata yang menggumpal di pelupuknya.

"Kamu nggak harus selalu hebat, Sayang. Boleh kok kalau mau istirahat. Sekarang tidur ya."

Lengkara terdiam lama. Hanya napas berat dan sesekali isakan kecil yang terdengar. Tangan mungilnya menggenggam jemari Vanka erat-erat, seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahannya agar tidak tenggelam dalam rasa sakit yang tidak berkesudahan.

Vanka mengecup tangan kecil itu. "Mama janji. Mama akan cari orang yang bisa bantu kamu buat sembuh. Apa pun caranya Mama bakal temuin."

Lengkara tidak menjawab. Matanya terpejam, tubuhnya mulai tenang di pelukan sang ibu. Tapi Vanka tahu, rasa sakit itu belum benar-benar pergi.

Ia menatap wajah putrinya yang damai dalam tidur sambil menahan air mata. Fitur wajahnya begitu mirip dengan Vanka. Dagu kecil, bibir mungil, hidung bangir. Tapi mata anak itu selalu mengingatkannya pada Shankara.

Setelah melepas sang putri dari pelukannya, Vanka mengambil handphone lalu menggulir kontak satu demi satu di sana. Ia mencari barangkali ada seseorang yang bisa memberi informasi mengenai Shankara padanya.

Tapi tidak ada. Vanka sudah sejak lama menghapus nomor orang-orang dari masa lalu. Ia juga mengganti nomor handphonenya untuk menghilangkan jejak.

Vanka menyesal sudah melakukan kebodohan di masa mudanya dulu. Tapi di saat itu ia benar-benar labil.

Dengan embusan napas berat dipandanginya tubuh ringkih sang putri yang terbaring lemah di atas tempat tidur.

Hati ibu mana yang tidak akan sedih menyaksikan anaknya yang di usia segini seharusnya tengah bermain dengan ceria, sekolah dan berkumpul dengan teman-teman, tapi hanya bisa meringkuk sambil menahan sakit di tempat tidur?

"Sudah tahu, kan, akibatnya sekarang?"

Lamunan Vanka buyar saat mendengar suara seseorang. Ia memandang pintu, tempat suara itu berasal. Tampak di sana, Martha, ibunya, sedang berdiri dan tengah memandanginya.

"Tahu apa, Ma?" tanya Vanka.

"Tahu akibat perbuatan kamu!" Martha menjawab dengan ketus sambil melangkah mendekat. "Coba kalau dulu kamu nggak kawin lari sama laki-laki miskin itu, pasti nggak akan begini kejadiannya. Anakmu nggak akan penyakitan seperti ini!" omel wanita itu dengan nyinyirnya.

"Nggak ada hubungannya penyakit Lengkara dengan bapaknya, Ma."

Martha meradang mendengar perkataan Vanka. "Apa kamu bilang? Bapaknya? Hati-hati kalau bicara, Van. Bisa gawat kalau Reza mendengar ucapan kamu ini."

"Faktanya Lengkara bukan anak Reza, Ma. Dan penyakit Lengkara bukan penyakit turunan. Tolong, Ma, jangan salahkan ayah kandung Lengkara. Dia nggak salah apa-apa. Aku yang salah."

"Diam kamu, Vanka!" bentak ibunya keras. "Berhenti membela lelaki miskin yang tidak bertanggung jawab itu. Sejak awal Mama katakan Rezalah yang terbaik untuk kamu. Tapi kamu melawan Mama. Nekat kawin lari sama laki-laki kurang ajar itu. Masih untung Reza mau menikahi kamu!" omel Martha bertubi-tubi.

"Kalau aku bisa memilih, aku nggak akan nikah dengan Reza, Ma. Aku nggak mencintai dia. Tapi Mama nggak pernah mau mengerti perasaanku. Mama selalu memaksakan kehendak," ungkap Vanka sedih. Dari zaman gadis, ibunya selalu mengatur hidupnya. Mulai dari pendidikan sampai jodoh. Dulu Vanka ingin menjadi makeup artist, tapi Martha memaksanya masuk kedokteran.

"Jadi sekarang kamu mau menyalahkan Mama?" Martha berkacak pinggang, tidak terima karena merasa dihakimi. "Jadi ini balasan kamu sebagai anak atas semua jasa-jasa Mama?"

"Bukan, Ma." Vanka menggeleng cepat. "Aku nggak menyalahkan Mama. Aku cuma capek terus-terusan dipaksa dan diatur. Sekarang anakku sakit parah, dan aku cuma ingin fokus menyelamatkan dia, bukan terus mendengar ocehan yang nggak ada habisnya."

Martha menyorot Vanka dengan tajam. "Fokus menyelamatkan anakmu? Kalau dulu kamu nggak bertindak bodoh, anakmu nggak akan seperti ini. Semua ini karena pilihanmu!"

Vanka menggigit bibir bawahnya, susah payah menahan tangis. "Aku sudah bilang, ini bukan kesalahan siapa-siapa, Ma. Lengkara sakit karena leukemianya, bukan karena ayahnya. Dia butuh ketenangan, bukan mendengar kita terus bertengkar."

Lengkara yang menggeliat dan menggumam tidak jelas dalam tidurnya membuat keduanya berhenti berdebat.

Vanka mengusap-usap lengan Lengkara agar kembali tertidur. Ia juga mencium lembut pipinya dengan perasaan sayang.

Martha yang melihat pemandangan itu hanya bisa mengembuskan napas berat. Ia heran bagaimana Vanka bisa sebegitu sayang pada anak penyakitan itu. Bukan tidak sayang pada cucunya sendiri, tapi baginya lebih baik Lengkara mati saja agar tidak lagi merepotkan Vanka dan menjadi batu sandungan dalam hubungannya bersama Reza. Karena Martha tahu, selagi Lengkara masih hidup, Vanka tidak akan bisa melupakan ayah kandung anak itu.

"Sekali lagi Mama bilang, jangan pernah mengingat orang itu lagi. Mama nggak mau Reza sampai tahu."

"Iya, Ma," jawab Vanka karena tidak ingin bertengkar.

Vanka menatap tubuh mungil Lengkara yang mulai tenang kembali. Ia tahu, ini saat yang tepat untuk mengambil keputusan. Ia tidak bisa menunggu lebih lama.

"Ma, aku harus keluar sebentar. Ada urusan penting. Bisa tolong jagain Lengkara sebentar?"

Martha menatapnya tajam dengan alis terangkat. "Jagain anakmu? Kenapa tiba-tiba kamu mau ninggalin dia sekarang? Lagi sakit parah gini!"

"Aku nggak bisa jelasin panjang lebar sekarang, Ma. Aku cuma perlu pergi sebentar untuk sesuatu yang penting bagi dia. Tolong, Ma, jagain Lenkara."

Martha mengesah panjang dan terpaksa mengiakan. "Jangan lama-lama. Mama juga lagi banyak urusan."

"Iya, Ma. Terima kasih, Ma," ucap Vanka cepat, lalu segera menyambar kunci mobil.

Vanka mengecup kening sang putri sebelum pergi sembari berbisik pilu di dalam hati. 'Mama tinggal sebentar ya, Sayang. Doain Mama ketemu sama papa kandung kamu. Agar kamu segera sehat.'

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 108

    Hari masih pagi ketika Lengkara terjaga dari tidurnya. Matanya yang masih setengah mengantuk bergerak ke kanan dan kiri sebelum akhirnya membulat penuh kegembiraan. Di sebelahnya, Mama dan papanya ada di sana. Berdekatan dan saling memeluk satu sama lain."Wah, Papa meluk Mama!" serunya ceria. Ini adalah untuk pertama kalinya anak itu melihat orang tuanya tidur bersama.Lengkara memerhatikan keduanya dengan mata berbinar, seolah menemukan pemandangan paling indah pagi itu. Bibir mungilnya tersenyum lebar, lalu ia duduk sambil menepuk-nepuk kasur.“Papa sama Mama tidur bareng.” Anak itu menggumam takjub dengan mata tidak lepas dari keduanya.Tak lama kemudian Vanka terbangun. Ketika kelopak matanya terbuka, ia bertemu dengan wajah penuh binar anaknya. Pipinya seketika memanas. Ia hendak bergerak menjauh, tapi lengan Shankara justru mengerat di perutnya.“Bang, lepasin. Lengkara udah bangun,” bisiknya malu.Shankara membuka mata dengan santai, lalu tersenyum ketika menyadari siapa yang

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 107

    Vanka sudah berkali-kali memandang jam dinding sejak sore menjadi malam. Tangannya juga tidak berhenti meremas ponsel, membuka, menutup layar, berharap ada pesan masuk atau apa pun dari Shankara. Tapi tidak ada. Lengkara juga sudah berkali-kali menanyakan kenapa papanya masih belum pulang. Tadi Vanka mengatakan padanya bahwa Shankara pergi ke bengkel. Lengkara terus menunggu sampai akhirnya tertidur sendiri. Ia berjalan ke jendela, menyingkap tirai sedikit, lalu kembali duduk. Lalu berdiri lagi. Jantungnya tidak tenang sejak Shankara pergi bertemu Anindia. Vanka tahu pertemuan itu tidak akan sederhana. Ia mencoba menenangkan diri dengan membuat teh, tapi cangkir itu hanya disentuhnya sekali sebelum diletakkan kembali. Pikirannya terus berkelana pada kemungkinan paling terburuk. Ketika akhirnya suara pintu dibuka terdengar, Vanka hampir berlari. "Abang." Kata itu terhenti di bibirnya. Shankara berdiri di ambang pintu dengan wajah letih. Vanka melangkah mendekat, hendak memeluk

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 106

    Shankara membeku hanya sepersekian detik. Lalu nalurinya mengambil alih segalanya.“Anindia!”Ia menerjang ke depan, menangkap pergelangan tangan Anindia sebelum sayatan itu menjadi lebih dalam. Pecahan vas terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring. Darah tetap keluar, tapi tidak seperti yang Anindia niatkan. Shankara menggenggam tangannya kuat-kuat, menekan pergelangan itu ke dadanya sendiri, menahan dengan telapak dan lengan bajunya.“Gila kamu! Kamu mau bunuh diri cuma buat maksa aku?!”Anindia memberontak, menangis, menjerit, memukul dada Shankara dengan tangan satunya yang bebas. “Lepasin! Lepasin aku! Aku lebih baik mati daripada kamu tinggalin!”“Diam!” Shankara membentaknya dengan keras, penuh amarah dan panik. “Diam, Nin! Dengar aku!” Ia menyeret Anindia ke sofa, memaksanya duduk. Anindia terisak keras, tubuhnya gemetar hebat. “Kamu nggak peduli aku mati atau hidup, kan?” suaranya serak, penuh kekecewaan dan luka. “Kamu cuma peduli sama dia.”“Aku peduli sama kamu. M

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 105

    Sedikit pun tidak ada dalam prediksi Shankara mengenai hal yang diinginkan Anindia. Tadi dirinya pikir perempuan itu akan langsung menyerah setelah mengetahui kondisinya. Tapi dugaannya salah."Ayo! Kenapa diam? Kamu takut?" Anindia tersenyum mengejek melihat bungkamnya pria itu."Takut apa?""Takut ketahuan bohong." Anindia mendesis. “Takut ketahuan kamu sebenarnya masih bisa. Takut ketahuan semua omongan kamu cuma alasan murahan biar bisa balik ke dia.”“Aku nggak bohong, Nin. Itu memang kondisiku,” jawab Shankara tanpa nada emosi. “Dan aku nggak akan membuktikan apa pun dengan cara itu.”Anindia mendengkus. Tangannya tiba-tiba mencekal lengan Shankara, menariknya masuk ke dalam rumah. “Ke kamar. Sekarang!”Shankara menghentikan langkahnya. Seketika cengkeraman itu terlepas bukan karena Anindia melepaskan, melainkan karena Shankara mengunci pergelangan tangannya. Cekalannya tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat Anindia terdiam.“Lepasin aku!” Anindia memberontak.“Nin.” Shankar

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 104

    Shankara menutup pintu kamar mandi dengan kakinya. Vanka masih berada dalam gendongannya saat pria itu menurunkannya perlahan. Kala tangan besar itu melucuti pakaian wanitanya, tatapan mereka bertemu, penuh dengan rasa yang tidak perlu diucapkan. Tetes-tetes air yang berjatuhan dari shower membasahi tubuh mereka berdua. Kali ini mereka tidak banyak bicara. Hanya tubuh mereka yang berbahasa. Vanka diam membisu ketika Shankara menyabuni punggungnya, turun dan semakin turun ke bawah sampai tangan lelaki itu berada di kakinya. Shankara kembali berdiri. Tangannya mencengkeram pinggul Vanka untuk kemudian memasukinya dari belakang. Vanka memejamkan mata, menikmati sensasi itu. Sekujur tubuhnya melemah. Sendi-sendi penyanggahnya seakan goyah mendapat manuver yang sebegitu hebatnya. Shankara menahan tubuh Vanka agar tidak jatuh, dadanya menempel di punggung wanita itu. Napas mereka berbaur di bawah titik-titik air. Air mengalir di bahu Vanka, menyusuri lekuk tubuhnya, seolah i

  • Tak Sengaja Mencintaimu   Part 103

    Vanka menarik napas dalam-dalam sebelum ia keluar dari mobil setibanya di Mediora Medika. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja setelah sekian lama hari-harinya dihabiskan untuk sang putri. Beberapa saat kemudian ia keluar dari mobil lalu melangkah memasuki gedung. Ia bertemu Jevan yang sepertinya sudah datang sejak tadi. Lelaki itu memberi senyum pada Vanka."Pagi, dokter Vanka," sapanya hangat."Pagi, dokter Jevan." Vanka membalas senyuman lelaki itu."Ready for new journey?"Vanka tersenyum kecil mendengar pertanyaan itu. “Siap nggak siap harus siap. Deg-degan juga, jujur aja.”Jevan terkekeh pelan. “Wajar. Kamu vakum bukan sebentar. Tapi tenang, kemampuan kamu nggak ke mana-mana.”Mereka berjalan berdampingan menuju lift.“Pagi ini briefing dulu sama manajemen medis. Habis itu kamu ikut aku ke poli umum,” kata Jevan.“Kayak koas lagi ya,” celetuk Vanka setengah bercanda.“Versi lebih dewasa dan lebih capek,” balas Jevan tertawa.Mereka masuk ke ruang briefing. Beberapa dokter d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status