Share

Bab 3

Author: KarenW
Sudut Pandang Icana.

Aku menghabiskan hari di tempat tidur.

Untungnya, tak seorang pun menggangguku. Mungkin mereka mengira aku sedang memulihkan diri dari mabuk atau berpura-pura begitu.

Saat menjelang makan malam, terdengar ketukan pintu.

“Hai, Ica.” Suara Rendra terdengar lembut dari luar pintu. “Kamu baik-baik saja? Kamu belum makan apa pun hari ini.”

“Aku nggak apa,” bohongku di balik selimut dengan suaranya teredam.

“Ayo, makan bareng kita, ya?”

Tentu saja, dia tidak datang sendirian.

Alya ikut menyela. “Icana! Yuk makan bareng!”

Dan karena semesta tampaknya sedang tidak berpihak padaku, ibuku pun bergabung. Aku pasti kalah dalam jumlah.

Jadi aku menyerahkan diri ke meja, duduk, dan berharap tidak ada yang bicara padaku.

Rizky duduk di sebelah Alya, memotong daging untuknya dengan serius seperti Alya gadis kecil yang tidak bisa memegang pisau.

“Rizky,” canda Alya dengan genit. “Aku bisa potong sendiri, kok. Aku bukan anak-anak.”

Dia mengatakannya seperti lelucon.

Tatapan Rizky melirikku dengan tajam dan membara. “Kamu pacarku. Siapa lagi yang harus kujaga?”

Tapi aku tetap fokus ke potongan dagingku seolah itu hal paling menarik sedunia. Tapi kemesraan mereka terlalu mencolok.

Mereka hampir menempel seperti lem, terus berbisik, bersentuhan, berciuman, bermain peran pasangan bahagia seolah sedang audisi untuk acara realitas.

Kita yang lain duduk dalam keheningan yang canggung.

Sampai Rendra menumbuk garpu ke meja dengan gigi yang bergeretak. “Apakah sulit untuk bersikap sedikit sopan?” serunya. “Ada orang lain di meja ini lho.”

Alya tertawa manis dan licik. “Oh, jangan pedulikan kami. Kita sedang dalam fase ini. Tahu kan, baru jadian. Genggaman tangan tak bisa dipisahkan.” Lalu dia mengalihkan perhatian ke aku dengan suara manis-manis menyengat. “Dan semua ini berkat Icana. Kalau bukan karena dia, Rizky dan aku tidak akan bersama secepat ini.”

Dia mengangkat gelasnya. “Aku bersulang untuk Icana, mak comblang.”

Dia lalu berkedip.

Tampak lucu. Tapi aku tentu tahu apa maksudnya.

Aku membalas dengan senyum tenang. “Tentu saja. Kalian memang serasi.”

Aku mendentingkan gelasku ke gelasnya.

Bersulang.

Ekspresi yang melintas di wajahnya begitu singkat dan kesal, hampir membuatku puas.

Aku pun berdiri dan menarik kursi dengan anggun. “Aku kenyang. Permisi.”

Dan begitulah, aku pergi.

...

Rendra mencariku malam itu, dia berjalan bolak-balik seperti badai tak bertuan.

“Kamu lihat sendiri apa yang terjadi, kan?” katanya dengan gusar. “Bagaimana Rizky bisa seperti itu? Di depanmu. Di depanku. Seolah kita orang asing.”

Dia meninju sisi tempat tidur dengan kesal. “Dia tahu. Dia selalu tahu perasaanmu padanya. Tapi bisa-bisanya dia tetap memamerkan Alya seperti piala.”

“Rendra, biarkan saja.” Suaraku terdengar tenang dan datar. “Aku tidak suka Rizky lagi.”

Itu membuatnya terdiam.

“Kamu… tidak suka?”

“Tidak.” Aku tersenyum dan bersandar ke bantal seolah itu berita lama. “Ada banyak pria baik di luar sana, kan? Kakak punya teman lain yang tampan dan secara emosional stabil? Perkenalkan dong. Aku resmi buka pendaftaran.”

Dia terbelalak, lalu tersenyum lebar. “Nah, gitu dong! Buat apa buang waktu memendam cinta pada Rizky kalau ada banyak pria lebih baik di luar sana?”

Dia memelukku dengan erat.

“Sebenarnya...” ujarnya sambil mundur sedikit dan matanya berbinar, “Kamu ingat pria yang ayah dan ibu coba jodohkan ke kamu? Yang mereka bilang cocok sekali dengan kamu dan bisa membantu meningkatkan bisnis kasino?”

Aku menaikkan alis. “Siapa?”

“Kevin Dansoni.” Senyum Rendra semakin lebar. “Bisnisnya sepuluh kali lebih besar dari Rizky. Senjata, klub, hiburan. Pria ini bahkan hanya bersin saja bisa langsung mencapai miliaran. Dia tidak tinggal penuh waktu di Nusatama, tapi kamu tahu nggak, dia sedang di kota. Sekarang.”

Jantungku berdebar. “Serius?”

“Aku akan kirim nomornya. Atau mau kuatur pertemuan langsung? Kamu mau makan malam? Atau yang lebih privat?” Dia mengedip.

Aku mencari nama Kevin di ponsel. Dan saat itu juga aku merasakannya kelegaan dengan nyata, jelas, tak terbantahkan.

Melepaskan Rizky pernah terasa seperti hal paling sulit di dunia.

Sekarang malah terasa seperti kebebasan.

Kali ini, aku tidak mengejar pria yang tidak menginginkanku. Aku memilih masa depan untuk diriku sendiri, dan untuk anakku.

Keesokan paginya, Alya menghadangku dengan senyum terlalu cerah.

“Kamu tidak keberatan kalau kita tinggal sebentar, kan?” tanyanya sambil kedua tangan merangkul lengan Rizky seolah sedang bulan madu. “Rizky merenovasi rumah untukku, tapi masih dalam proses. Dan hotel… terlalu tidak personal.”

“Tentu saja,” jawabku dengan lembut dan dingin seperti kaca. “Anggap saja rumah ini seperti rumahmu sendiri.”

Rumah kami memang berdekatan, rumah Rizky hanya dua blok jauhnya. Membiarkan mereka tinggal di sini efisien dan strategis. Cukup untuk menghemat waktu dan tenaga. Lagi pula, hubungan bisnis tetap penting. Aku tak akan menghancurkannya hanya karena urusan pribadi.

Rizky memainkan peran pacar yang begitu sempurna. Dia mempekerjakan tim untuk memindahkan barang-barang mereka, mengirim, dan membongkar dalam beberapa jam.

Aku pun berdiri di sisi tangga, melihatnya dari sudut mata. Dan untuk sesaat, dengan rasa malu, pikiranku melayang kembali ke versi lain kehidupan ini.

Setelah malam ceroboh dengan dia, Rizky mengirim Alya ke Franzia, seolah-olah dia rapuh dan tidak bisa menerima kebenaran. Lalu dia menyusulnya di sana, dan menghilang dari hidupku seolah aku adalah kesalahan yang perlu disembunyikan.

Ketika mereka kembali setelah lima tahun kemudian, aku tetap merupakan sebuah rahasia yang tak pantas diungkapkan.

Rizky selalu merendahkan aku, seakan aku cukup beruntung bahkan bisa menghirup udara yang sama dengan dia.

Dia tidak pernah menatapku seperti dia menatapnya.

Aku baru ingin menaiki tangga ketika suara gedebuk keras seperti suara seseorang terjatuh.

Alya yang jatuh dari tangga dengan gulungan dramatis, mendarat di lantai dasar dengan tangisan tajam.

Rizky pun menghampirinya secepat kilat.

Dia menangis tersedu, wajahnya bersemayam di dada Rizky, lalu perlahan menoleh padaku.

Dia membusungkan pipinya dengan polos dan sedikit berbahaya.

“Kenapa kamu dorong aku, Icana?” tangisnya. “Aku pikir kami disambut di sini… Kenapa kamu lakukan ini?”

“Apa?” Aku terpaku. “Aku tidak…”

“Cukup!” Suara Rizky memecah lorong seperti cambuk. “Aku bilang berhenti bermain permainan ini. Kalau kami tidak disambut, kami akan pergi malam ini juga.”

Dia menggendong Alya, dengan rahang yang tegang, dan berjalan pergi.

Sementara Alya, dia hanya menoleh dari pelukannya dan tersenyum padaku. Senyuman yang sombong, sinis, dan licik, seperti sedang mengatakan ‘aku menang’.

Malam itu, pintuku diketuk.

Itu Rizky.

“Kamu masih simpan kalung berlian yang kuberikan di ulang tahun ke-18mu?” tanyanya.

Aku mengerutkan dahi. “Masih.”

“Boleh pinjamkan ke Alya? Kita ada makan malam formal, dan dia belum sempat pergi berbelanja.”

Aku terdiam. Lalu menoleh ke kotak perhiasanku.

“Tentu,” jawabku sambil mengambil kotak beludru halus. “Ini.”

Kalung itu adalah satu-satunya hadiah yang pernah dia berikan. Dulu, ini adalah barang paling berhargaku.

Sekarang? Hanya kaca dan emas. Kalaupun Alya tak mengembalikannya, aku tak akan merindukannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 9

    Sudut Pandang Icana.Aku membeku.“Di kehidupan lampauku, kamu tidak hanya menikah denganku. Kamu menipuku tidur denganmu, berpura-pura polos, dan akhirnya hamil anakku, Leonardy.”Darahku terasa membeku.Rizky juga dihidupkan kembali.Suaraku tercekat di tenggorokan. “Kamu…?”Dia tidak menjawab. Hanya menatapku, seolah-olah ingatan itu masih membakar di balik matanya.Jadi, itu dia. Mungkin kami berdua mati. Atau mungkin kesempatan keduaku entah bagaimana menyeretnya kembali bersamaku. Aku tidak tahu.Tapi yang aku tahu?Kali ini, dia tidak akan menang.Aku melepaskan diri dari genggamannya dan mundur.“Kalau kamu benar-benar ingat semuanya, maka kamu juga harus ingat ini,” kataku dengan dingin. “Kamu meninggalkanku. Kamu meninggalkan aku dan anakmu di mobil yang terbakar. Kamu memilih Alya. Berulang kali dan berulang kali. Dan sadarlah, dialah yang sebenarnya kamu cintai. Jadi pergilah. Kejar Alya. Lakukan dengan benar kali ini, kalau kamu memang tahu caranya.”Dia tidak bergerak dan

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 8

    Sudut Pandang Icana.Hari ini menandai tiga bulan sejak aku dan Kevin mulai berkencan dan dia bersikeras untuk merayakannya.“Setiap hari-hari kenangan kecil itu penting,” katanya dengan senyum menawan. “Baik itu pertemuan pertama, bulan pertama, atau tahun penuh, semuanya bagian dari cerita kita.”Jadi kami berpakaian rapi, makan di bawah lampu-lampu kecil, berbagi makanan ringan, dan dia mengantarku pulang seperti pria sopan yang selalu dia lakukan.Dalam perjalanan pulang, kami bertemu kakak aku, Rendra. Dia hanya sekilas melihatku dan beralih ke Kevin. “Kamu bisa menginap malam ini, kalau mau.”Namun Kevin menggelengkan kepala, suaranya tenang dan penuh hormat. “Belum. Aku akan menunggu sampai melamar Ica dan secara resmi memperkenalkan diri kepada orang tuamu. Itu yang akan dilakukan pria sejati.”Kadang-kadang aku lupa Kevin adalah pemimpin mafia. Ia berdiri dengan keanggunan masa lampau, dengan etika yang halus dan batasan yang tegas. Tidak sekalipun dia memaksaku untuk tinggal

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 7

    Sudut Pandang Rizky.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku.Aku seharusnya memusatkan perhatian pada Alya. Pada wanita yang aku katakan sebagai cintaku, pada masa depan yang aku katakan sebagai tujuanku.Namun, sekeras apa pun aku mencoba, pandanganku selalu melayang. Ke arah dia. Ke Icana Salsabila.Ya, aku telah dihidupkan kembali. Diberikan kesempatan kedua.Dan dalam kehidupanku yang pertama, aku menikahi Icana. Bukan karena cinta, tetapi karena kewajiban. Satu malam ceroboh yang berubah menjadi komitmen seumur hidup yang tak pernah kuinginkan. Dia hamil. Aku pun menikahinya. Aku membenci setiap detiknya.Jadi aku lari.Aku meninggalkannya pada hari dia melahirkan anak kami, Leonardy, dan melarikan diri ke pelukan Alya.Untuk sesaat, aku merasa bebas. Tapi ketika Alya menghilang dalam penerbangan pulang, duniaku seakan runtuh. Dan semakin sering aku melihat Icana dan Leonardy, kehidupan yang tak kuinginkan, semakin aku membenci mereka hanya karena itu.Membenci m

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 6

    Sudut Pandang Icana.“Pelajaran?” seru Rendra dengan lantang. “Biarkan aku jelaskan dengan sangat jelas, ini rumahku, dan dia adikku. Aku tidak peduli apakah kamu sahabat baikku atau pangeran mafia Selat Timur. Kamu tidak punya hak menyentuhnya. Jangan pernah.”Ia lalu menoleh padaku, matanya penuh keprihatinan. “Ica, apa dia menyakitimu? Kenapa kamu gemetar?”Aku tidak menjawab. Hanya menggeleng pelan dan menatap Kevin.Rizky masih berdiri di tempat, seolah-olah dia tidak melakukan kesalahan apa pun.Sementara Rendra melangkah maju dengan tangannya mengepal. ““Aku percaya padamu, Rizky. Aku bahkan berharap kamu akan bersama dengannya. Tapi kamu memilih boneka plastik si Alya. Baiklah. Adikku pun sudah melepaskanmu. Dia sudah menemukan seseorang yang memperlakukannya lebih baik daripada yang pernah kamu lakukan. Jadi, apa alasanmu masih mengejarnya seperti ini?”Kevin melangkah maju dan menaruh tangannya di punggungku sambil menarikku lembut ke dalam pelukannya.“Aku tidak tahu penyaki

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 5

    Sudut Pandang Icana.Tangannya menggenggam pergelangan tanganku, memutariku dengan cepat, dan mendorong sampai punggungku menabrak dinding.Suara benturan menggelegar di koridor seperti suara tembakan pistol.“Aku bilang berhenti bermain-main,” dengusnya dengan mata liar. “Kamu bikin baju Alya hancur? Itu caramu mengancam dia? Kamu berencana membunuh dia hanya untuk mendapatkan aku?”Aku tertegun oleh keberanian Rizky yang tidak masuk akal. Dia benar-benar percaya aku akan melakukan itu? Bahwa aku masih terobsesi padanya, begitu ingin mendapatkan perhatiannya?Rizky berdiri seperti orang yang kehilangan kendali, kemarahan berkecamuk di balik matanya."Merusak baju Alya?"Aku menatapnya dengan terkejut. Apa yang dia bicarakan?Sebelum aku sempat menjawab, teleponku berdering. Aku melirik ke layar ponsel, ternyata Kevin.Tapi Rizky merebutnya dari tanganku sebelum aku sempat berkedip."Ini pacarmu?" serunya sambil menggoyangkan ponsel seolah itu bukti. "Kamu sudah punya pacar, tapi masih

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 4

    Sudut Pandang Icana.Hari Rizky melamar Alya, aku terpeleset di tangga dan patah pergelangan kaki.Alya tetap tidak melewatkan kesempatan ini. Dia menerobos ke ruang pasienku seperti model dan memamerkan cincin pertunangannya seolah itu punya kekuatan magis.“Ya ampun, Icana!” serunya dengan dramatis saat melihat gips di kakiku. “Kelihatannya sakit sekali. Parah banget ya? Kamu… akan sembuh sepenuhnya?”“Hanya retak ringan,” gumamku dengan datar. “Bukan tragedi.”Dia berkedip seolah menahan air mata buatan. "Apa karena kami? Aku... Aku merasa bersalah banget…” Lalu, tepat pada waktunya. “Tunggu, aku angkat telepon dulu.”Dia pun pergi dengan sombong, dan meninggalkan wangi parfum dan kumannya di udara.Beberapa menit kemudian, Rizky masuk. Wajahnya muram seperti habis meminum jeruk masam. “Kamu pasti lagi cari cara buat merebut perhatian, 'kan? Tepat di hari tunangan kami.”“Tidak. Aku hanya terpeleset. Hanya itu,” jawabku dengan tenang. “Aku sudah bilang, aku tidak suka kamu lagi. Dul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status