Share

Bab 2

Author: KarenW
Sudut Pandang Icana.

Tubuhnya menjadi kaku. Begitu juga dengan aku.

Tapi bibirnya lembut. Sangat lembut. Dan untuk sekejap, kita berdua tidak bergerak.

Dan kemudian... aku tidak ingin bergerak.

‘Rizky mungkin sedang bercinta dengan Alya sekarang’, ingatku. Jadi, mengapa aku tidak boleh sedikit bersenang-senang sendiri?

Lenganku merangkul di leher orang asing itu seolah memang seharusnya berada di sana. Keraguan di matanya menghilang seperti asap, lalu dia menciumku kembali dengan ganas, seolah ingin melahap setiap bagian dariku.

Aku bahkan tidak sadar saat dia mengangkatku sampai kakiku melayang di udara. Bibirnya tidak pernah lepas dari bibirku saat dia menggendongku keluar menuju ke arah mobilnya, kurasa. Nafasnya menerpa telingaku, dalam dan berbahaya.

“Besok jangan menyesal ya, Ica,” bisiknya. “Kamu yang memilih bermain denganku kali ini.”

Bahkan dalam efek minuman keras yang masih berdenyut, aku tahu kami sedang menuju sesuatu yang intens. Sesuatu yang tak bisa dibatalkan.

Malam itu adalah malam yang penuh dengan gairah panas dan sprei yang kusut.

Dia bertubuh kekar, otot-ototnya keras, tangan yang berkuasa, bibirnya yang merusakku dengan cara terbaik...

Kami tak berhenti. Hingga aku terlalu lelah untuk bernapas, apalagi bergerak.

...

Aku terbangun di kamar hotel keesokan paginya, kepalaku berdenyut, mulutku kering. Tirai tertutup rapat, membuat ruangan sungguh gelap.

Aku perlahan bangkit dari tempat tidur, menarik gaunku yang robek kembali menutupi tubuhku yang sakit. Aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya dengan jelas.

Tidak perlu. Ini hanya hubungan satu malam. Hanya itu saja.

Aku hanya perlu keluar dari sini.

Pada saat aku akhirnya berhasil mendapatkan taksi, aku melihat diriku dari pantulan kaca spion.

Gaunku hancur. Dan leherku seperti medan perang dengan bekas ciuman dan gigitan.

Sempurna.

Aku harus pulang dan menghapus semua jejak ini sebelum ayah, ibu, atau Rendra melihatku seperti ini.

Tapi saat sampai pintu depan rumah, suara yang amat familiar menggema di koridor.

“Kamu di mana sepanjang malam, Ica?”

Aku membeku. Sial. Rizky.

Hanya kakakku yang memanggilku ‘Ica’. Dulu Rizky pernah, ketika aku masih menyukainya, aku membiarkan dia memanggilku begitu.

Sekarang panggilan itu hanya membuat kulitku merinding.

Dia bersandar di dinding, satu pergelangan kaki saling bersilangan dengan santai. Tatapannya menyapu diriku, lalu terkunci di leherku.

“Hanya menginap di rumah teman,” jawabku dengan dingin dan melangkah melewatinya.

“Jangan bohong, Ica,” katanya dengan mata menyipit.

“Aku tidak bohong.” Kesabaranku mulai menipis.

Bukankah dia seharusnya sedang sibuk bersama Alya malam ini? Bukankah dia seharusnya menikmati suasana setelah bersatu kembali dengan cinta sejatinya?

Tapi kemudian aku melihatnya juga memiliki bekas. Samar, tapi jelas.

Dan dia berani-beraninya mempertanyakan aku?

“Aku merayakan ulang tahun dengan teman-teman,” kataku sembari memberinya senyum tajam. “Dan kamu tidak berhak menyelidikiku, Rizky. Kamu hanya teman kakakku. Bukan penjagaku.”

Aku melirik ke belakangnya. “Di mana Alya? Bukankah dia tidur bersamamu malam ini?”

Rahang dia mengeras. “Aku tanya padamu, Icana. Kamu di mana semalam? Dan dari mana kamu dapat semua itu?”

Dia mengangguk ke arah leherku, ekspresinya tak terbaca, tapi tatapan matanya menyala marah.

Aku mengangkat tangan, mencoba menyembunyikan bekas-bekas itu. “Reaksi alergi.”

Rizky tertawa dengan dingin dan mencemooh. “Kamu sungguh berharap aku percaya itu? Jangan pura-pura. Aku tahu apa yang kamu dan Rendra rencanakan. Kalian membuatku mabuk, mendorongku ke kamarmu, berharap sesuatu terjadi.”

Aku menatapnya dengan tajam. “Rizky…”

“Kamu ingin tidur denganku, tapi ketika itu gagal, kamu lari dan menemukan pria asing untuk melakukannya?” Suaranya menurun dan penuh dengan jijik. “Tidak disangka ternyata kamu gitu, Ica.”

Tanganku mengepal. “Cukup. Kamu sudah kelewatan.”

Tapi dia tidak berhenti. Dia mendekat dan suaranya tajam dan rendah. “Emang kenapa? Bukankah kamu ingin aku peduli? Makanya kamu panggil Alya malam itu, berharap aku menyadari sesuatu ketika kamu pergi?”

Aku mengerjap ke arahnya, tertegun.

Lalu aku tersadar.

Rizky masih mengira aku adalah gadis putus asa yang menyukainya. Jadi setiap gerakan yang kulakukan semalam pasti terlihat seperti tipuan lain, jebakan lain.

Mungkin dia berpikir aku merencanakan semua ini untuk membuat dia bersalah karena bersama Alya. Bahwa aku berharap rasa bersalah akan membuat dia jatuh cinta padaku.

Jadi itulah sebabnya dia menghina ku begitu saja ketika aku masuk pintu. Dia tidak melihatku sebagai seseorang yang patah hati. Tapi sebagai seseorang yang manipulatif.

Hatiku retak. Sungguh sakit karena Rizky sungguhan berpikir aku sanggup merencanakan semua ini hanya demi membuatnya jatuh cinta.

Di setiap kehidupanku, dia selalu meremehkanku.

Suara Rizky menjadi lebih dingin, menusuk pikiranku. “Seperti yang kamu inginkan, aku tidur dengan Alya. Kita sekarang pasangan. Resmi. Mungkin aku akan menikahinya.”

Aku memaksakan senyum dengan tenang dan cerah. “Itu kabar baik. Selamat.”

Rahangnya menegang, seolah tidak menyangka aku akan mengatakan itu.

“Jadi, apa pun trik yang kamu mainkan...” katanya dengan tajam. “Hentikan. Jangan ganggu hubunganku dengan dia.”

“Seperti yang kamu inginkan,” sahutku dengan lembut.

Aku berbalik untuk kembali ke kamarku. Tapi sebelum masuk, aku melihat ke belakang dan menambah, “Ngomong-ngomong... aku tidak menyukaimu lagi. Jangan terlalu percaya diri. Aku tidak tertarik padamu, Rizky. Aku sudah selesai bermain.”

“Kamu…”

Aku menutup pintu, menutup momen itu dengan pasti.

Sempurna. Semuanya berjalan sesuai rencana.

Rizky mendapatkan apa yang dia inginkan, yaitu Alya. Dan sekarang dia tidak punya alasan untuk menyalahkan aku, tidak ada dendam lagi.

Kita sudah impas.

Selama aku menjauhinya, akhirnya aku bisa hidup damai.

...

Suara benturan keras terdengar dari koridor.

Aku membuka pintu, tepat saat mendengar suara marah kakakku.

“Kenapa Alya ada di sini?” Rendra menggeram di luar kamar tamu. “Dan kamu? Kamu tidur dengannya? Di kamar tamuku?”

Rizky bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat, dan ekspresinya dingin. “Kenapa kaget? Siapa lagi yang akan aku tiduri? Adik kamu?”

“Itu bukan maksudku, berengsek.”

“Aku mabuk,” kata Rizky dengan santai. “Alya hanya... menjaga aku.”

Ketika Rendra melihatku berdiri di ambang pintu, wajahku memucat.

Dia mengerutkan alisnya dengan kebingungan. “Ica…?”

“Aku tidak enak badan,” sahutku dengan cepat dan mundur ke kamar seperti terbakar.

Astaga. Suasananya canggung banget.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 9

    Sudut Pandang Icana.Aku membeku.“Di kehidupan lampauku, kamu tidak hanya menikah denganku. Kamu menipuku tidur denganmu, berpura-pura polos, dan akhirnya hamil anakku, Leonardy.”Darahku terasa membeku.Rizky juga dihidupkan kembali.Suaraku tercekat di tenggorokan. “Kamu…?”Dia tidak menjawab. Hanya menatapku, seolah-olah ingatan itu masih membakar di balik matanya.Jadi, itu dia. Mungkin kami berdua mati. Atau mungkin kesempatan keduaku entah bagaimana menyeretnya kembali bersamaku. Aku tidak tahu.Tapi yang aku tahu?Kali ini, dia tidak akan menang.Aku melepaskan diri dari genggamannya dan mundur.“Kalau kamu benar-benar ingat semuanya, maka kamu juga harus ingat ini,” kataku dengan dingin. “Kamu meninggalkanku. Kamu meninggalkan aku dan anakmu di mobil yang terbakar. Kamu memilih Alya. Berulang kali dan berulang kali. Dan sadarlah, dialah yang sebenarnya kamu cintai. Jadi pergilah. Kejar Alya. Lakukan dengan benar kali ini, kalau kamu memang tahu caranya.”Dia tidak bergerak dan

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 8

    Sudut Pandang Icana.Hari ini menandai tiga bulan sejak aku dan Kevin mulai berkencan dan dia bersikeras untuk merayakannya.“Setiap hari-hari kenangan kecil itu penting,” katanya dengan senyum menawan. “Baik itu pertemuan pertama, bulan pertama, atau tahun penuh, semuanya bagian dari cerita kita.”Jadi kami berpakaian rapi, makan di bawah lampu-lampu kecil, berbagi makanan ringan, dan dia mengantarku pulang seperti pria sopan yang selalu dia lakukan.Dalam perjalanan pulang, kami bertemu kakak aku, Rendra. Dia hanya sekilas melihatku dan beralih ke Kevin. “Kamu bisa menginap malam ini, kalau mau.”Namun Kevin menggelengkan kepala, suaranya tenang dan penuh hormat. “Belum. Aku akan menunggu sampai melamar Ica dan secara resmi memperkenalkan diri kepada orang tuamu. Itu yang akan dilakukan pria sejati.”Kadang-kadang aku lupa Kevin adalah pemimpin mafia. Ia berdiri dengan keanggunan masa lampau, dengan etika yang halus dan batasan yang tegas. Tidak sekalipun dia memaksaku untuk tinggal

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 7

    Sudut Pandang Rizky.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku.Aku seharusnya memusatkan perhatian pada Alya. Pada wanita yang aku katakan sebagai cintaku, pada masa depan yang aku katakan sebagai tujuanku.Namun, sekeras apa pun aku mencoba, pandanganku selalu melayang. Ke arah dia. Ke Icana Salsabila.Ya, aku telah dihidupkan kembali. Diberikan kesempatan kedua.Dan dalam kehidupanku yang pertama, aku menikahi Icana. Bukan karena cinta, tetapi karena kewajiban. Satu malam ceroboh yang berubah menjadi komitmen seumur hidup yang tak pernah kuinginkan. Dia hamil. Aku pun menikahinya. Aku membenci setiap detiknya.Jadi aku lari.Aku meninggalkannya pada hari dia melahirkan anak kami, Leonardy, dan melarikan diri ke pelukan Alya.Untuk sesaat, aku merasa bebas. Tapi ketika Alya menghilang dalam penerbangan pulang, duniaku seakan runtuh. Dan semakin sering aku melihat Icana dan Leonardy, kehidupan yang tak kuinginkan, semakin aku membenci mereka hanya karena itu.Membenci m

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 6

    Sudut Pandang Icana.“Pelajaran?” seru Rendra dengan lantang. “Biarkan aku jelaskan dengan sangat jelas, ini rumahku, dan dia adikku. Aku tidak peduli apakah kamu sahabat baikku atau pangeran mafia Selat Timur. Kamu tidak punya hak menyentuhnya. Jangan pernah.”Ia lalu menoleh padaku, matanya penuh keprihatinan. “Ica, apa dia menyakitimu? Kenapa kamu gemetar?”Aku tidak menjawab. Hanya menggeleng pelan dan menatap Kevin.Rizky masih berdiri di tempat, seolah-olah dia tidak melakukan kesalahan apa pun.Sementara Rendra melangkah maju dengan tangannya mengepal. ““Aku percaya padamu, Rizky. Aku bahkan berharap kamu akan bersama dengannya. Tapi kamu memilih boneka plastik si Alya. Baiklah. Adikku pun sudah melepaskanmu. Dia sudah menemukan seseorang yang memperlakukannya lebih baik daripada yang pernah kamu lakukan. Jadi, apa alasanmu masih mengejarnya seperti ini?”Kevin melangkah maju dan menaruh tangannya di punggungku sambil menarikku lembut ke dalam pelukannya.“Aku tidak tahu penyaki

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 5

    Sudut Pandang Icana.Tangannya menggenggam pergelangan tanganku, memutariku dengan cepat, dan mendorong sampai punggungku menabrak dinding.Suara benturan menggelegar di koridor seperti suara tembakan pistol.“Aku bilang berhenti bermain-main,” dengusnya dengan mata liar. “Kamu bikin baju Alya hancur? Itu caramu mengancam dia? Kamu berencana membunuh dia hanya untuk mendapatkan aku?”Aku tertegun oleh keberanian Rizky yang tidak masuk akal. Dia benar-benar percaya aku akan melakukan itu? Bahwa aku masih terobsesi padanya, begitu ingin mendapatkan perhatiannya?Rizky berdiri seperti orang yang kehilangan kendali, kemarahan berkecamuk di balik matanya."Merusak baju Alya?"Aku menatapnya dengan terkejut. Apa yang dia bicarakan?Sebelum aku sempat menjawab, teleponku berdering. Aku melirik ke layar ponsel, ternyata Kevin.Tapi Rizky merebutnya dari tanganku sebelum aku sempat berkedip."Ini pacarmu?" serunya sambil menggoyangkan ponsel seolah itu bukti. "Kamu sudah punya pacar, tapi masih

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 4

    Sudut Pandang Icana.Hari Rizky melamar Alya, aku terpeleset di tangga dan patah pergelangan kaki.Alya tetap tidak melewatkan kesempatan ini. Dia menerobos ke ruang pasienku seperti model dan memamerkan cincin pertunangannya seolah itu punya kekuatan magis.“Ya ampun, Icana!” serunya dengan dramatis saat melihat gips di kakiku. “Kelihatannya sakit sekali. Parah banget ya? Kamu… akan sembuh sepenuhnya?”“Hanya retak ringan,” gumamku dengan datar. “Bukan tragedi.”Dia berkedip seolah menahan air mata buatan. "Apa karena kami? Aku... Aku merasa bersalah banget…” Lalu, tepat pada waktunya. “Tunggu, aku angkat telepon dulu.”Dia pun pergi dengan sombong, dan meninggalkan wangi parfum dan kumannya di udara.Beberapa menit kemudian, Rizky masuk. Wajahnya muram seperti habis meminum jeruk masam. “Kamu pasti lagi cari cara buat merebut perhatian, 'kan? Tepat di hari tunangan kami.”“Tidak. Aku hanya terpeleset. Hanya itu,” jawabku dengan tenang. “Aku sudah bilang, aku tidak suka kamu lagi. Dul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status