Share

Bab 5

Author: KarenW
Sudut Pandang Icana.

Tangannya menggenggam pergelangan tanganku, memutariku dengan cepat, dan mendorong sampai punggungku menabrak dinding.

Suara benturan menggelegar di koridor seperti suara tembakan pistol.

“Aku bilang berhenti bermain-main,” dengusnya dengan mata liar. “Kamu bikin baju Alya hancur? Itu caramu mengancam dia? Kamu berencana membunuh dia hanya untuk mendapatkan aku?”

Aku tertegun oleh keberanian Rizky yang tidak masuk akal. Dia benar-benar percaya aku akan melakukan itu? Bahwa aku masih terobsesi padanya, begitu ingin mendapatkan perhatiannya?

Rizky berdiri seperti orang yang kehilangan kendali, kemarahan berkecamuk di balik matanya.

"Merusak baju Alya?"

Aku menatapnya dengan terkejut. Apa yang dia bicarakan?

Sebelum aku sempat menjawab, teleponku berdering. Aku melirik ke layar ponsel, ternyata Kevin.

Tapi Rizky merebutnya dari tanganku sebelum aku sempat berkedip.

"Ini pacarmu?" serunya sambil menggoyangkan ponsel seolah itu bukti. "Kamu sudah punya pacar, tapi masih terobsesi untuk merusak hubunganku? Icana, kamu begitu haus perhatian?"

Suaranya merendah dan dingin. “Aku angkat ya? Kuberitahu dia apa yang telah kamu lakukan?"

Aku maju untuk merebut kembali ponselku. "Tidak. Aku tidak melakukan apa pun. Dan aku tidak punya waktu untuk bersandiwara fantasi yang kamu dan Alya mainkan.”

Aku berbalik hendak pergi, tapi Rizky belum selesai.

Dia menggenggam pergelangan tanganku dengan kuat, dan menyeretku melintasi koridor.

"Kalau kamu lupa apa yang kamu lakukan, biar aku bikin kamu ingat kembali.”

Dia berhenti sampai kita sampai di kamar tamu, yakni kamar mereka. Dia lalu mendorong pintunya terbuka.

Ruangan itu tampak seperti tempat kejahatan.

Kain-kain hancur berserakan di lantai. Sepatu hak tinggi desainer ditendang ke sudut. Setiap sudut ruangan berantakan. Tapi yang paling parah? Gaun-gaun Alya yang banyak dihancurkan menjadi potongan-potongan kecil. Termasuk gaun yang dia pakai di ulang tahunku.

"Lihat?" sembur Rizky. "Masih mau berpura-pura polos? Masih ingin berbohong? Siapa lagi yang bisa melakukan ini? Pembantumu? Kakak kamu? Atau mungkin kamu pikir Alya menghancurkan gaunnya sendiri hanya untuk menyalahkanmu?"

Apa yang Rizky katakan di akhir kalimat itu tidak mustahil. Alya pernah menjatuhkan dirinya dari tangga dan menangis, lalu mengatakan aku yang mendorongnya.

Sebelum aku sempat bicara, pintu kamar mandi terbuka.

Alya saat ini keluar dengan terbungkus gaun sutra, matanya memerah dan suaranya gemetar.

"Astaga, Icana," bisiknya. "Aku tahu kamu tidak suka aku, tapi teganya kamu menghancurkan semua bajuku. Kejam sekali… kamu."

Dia mendekat ke sisi Rizky seperti tokoh utama drama tragis. "Sayang, ayo pulang. Aku tidak merasa aman di sini. Gimana kalau dia… menyakitiku?"

Rizky menariknya lebih dekat, menatapku seolah aku adalah monster. "Kita akan pulang, jangan khawatir. Siapa juga yang mau tinggal di rumah bersama wanita gila?"

Dia menoleh padaku, suaranya dingin. "Tapi sebelum kami pergi, sebaiknya kamu merasakan konsekuensinya. Wanita sepertimu tidak boleh dibiarkan lepas tanpa hukuman."

Apa maksudnya?

"Aku bilang aku tidak melakukannya," ucapku dengan berusaha tetap tenang. "Aku tidak punya waktu menyaksikan kalian berdua bermain sinetron."

Aku mulai melangkah.

"Hentikan dia!" seru Rizky dengan keras.

Salah satu pengawalnya segera menghadang dan menutup jalan di depanku.

Aku terdiam.

"Kamu tahu ini rumahku, kan?" kataku sambil menatap tajam ke arah pengawal. "Kalian semua adalah tamu. Kalian tidak punya hak menghalangiku."

Pengawal itu ragu sampai suara Rizky kembali terdengar.

"Hentikan dia. Aku akan tanggung jawab."

Dia tersenyum padaku dengan senyumannya yang lambat dan beracun.

"Aku tamu kakak kamu, bukan tamu kamu. Dan kasinomu yang berharga masih bergantung pada kontrakku. Sebenarnya, kamu yang harus memperlakukanku dengan baik, Icana Salsabila."

Alya memainkan peran sebagai penengah, dia menyentuh lengan Rizky dengan ujung jarinya. "Rizky, biarkan saja. Mungkin Icana cuma… kesal. Tidak sepadan."

Rizky menoleh padanya, dan suaranya setajam baja. "Tidak sepadan? Ini bukan lelucon. Ini ancaman. Dan aku akan membalas dengan sepadan."

Aku mundur selangkah. "Apa yang kamu inginkan?"

Dia beralih ke arahku perlahan, ketenangan yang menakutkan menyelubungi wajahnya. Lalu, dia tersenyum.

"Aku tidak akan memotong seluruh isi lemari bajumu," katanya dengan hiburan gelap berkilau di matanya. "Hanya pakaian yang kamu kenakan sekarang."

Jantungku seolah berhenti berdetak.

Dia serius.

Senyum aneh itu tetap di wajahnya saat ia mengeluarkan pisau dari saku, seolah itu hanya mainan.

Dia terlihat seperti pewaris mafia sejati, yang tak tersentuh, berbahaya, mabuk akan kekuasaan.

"Beraninya kamu," ucapku memperingatkannya dengan suaraku yang rendah. "Kamu sudah kelewatan, Rizky."

Dia melangkah lebih dekat.

"Oh, tolong," sindir Rizky. "Jangan berpura-pura polos. Kamu yang memulai ini saat memilih bermain-main dengan Alya."

Ia mengangkat tangannya dengan gerakan santai, seolah-olah bosan. "Tahan dia. Biar Nona Icana belajar sopan santun."

Pengawalnya mencengkeramku dengan kuat, mengikat lenganku seolah aku hanya boneka kain.

"Tidak," bisikku. Lalu lebih keras, "Tidak! Beraninya kamu!" Aku meronta dengan panik yang menjalar di dadaku. "Rizky, aku sudah memberikan semua yang kamu inginkan. Kenapa kamu masih menghantuiku? Apa lagi yang kamu mau dariku?!"

Aku tahu dia sangat kejam. Tapi bahkan dalam mimpi terburukku, aku tidak pernah membayangkan dia akan melakukan ini padaku.

"Berhenti!"

“Berhenti!”

Kata itu meledak bersamaan di koridor, dua suara yang sama-sama dipenuhi amarah.

Kevin dan Rendra.

Rendra tiba lebih dulu, dan kemarahan menyala di wajahnya saat ia menghantam rahang pengawal, membuat pria itu terjengkang.

"Lepaskan adik aku!" teriak Rendra. "Kamu tamu di rumah ini, Rizky. Bukan raja iblis."

Suara Kevin lebih rendah, tapi jauh lebih dingin. "Pak Rizky," katanya dengan tenang, kedua matanya menatap Rizky dengan tajam. “Apa yang mau kamu lakukan pada pacarku?”

Rizky beralih dengan wajahnya memerah. "Pacar?" ulangnya. Lalu tatapannya beralih kembali padaku, setajam pecahan kaca. "Ternyata benar? Kamu bersama dia, Kevin Dansoni?"

Dia berhenti dan menyindir. "Ica bersikap buruk hari ini. Aku hanya mengajarinya pelajaran."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 9

    Sudut Pandang Icana.Aku membeku.“Di kehidupan lampauku, kamu tidak hanya menikah denganku. Kamu menipuku tidur denganmu, berpura-pura polos, dan akhirnya hamil anakku, Leonardy.”Darahku terasa membeku.Rizky juga dihidupkan kembali.Suaraku tercekat di tenggorokan. “Kamu…?”Dia tidak menjawab. Hanya menatapku, seolah-olah ingatan itu masih membakar di balik matanya.Jadi, itu dia. Mungkin kami berdua mati. Atau mungkin kesempatan keduaku entah bagaimana menyeretnya kembali bersamaku. Aku tidak tahu.Tapi yang aku tahu?Kali ini, dia tidak akan menang.Aku melepaskan diri dari genggamannya dan mundur.“Kalau kamu benar-benar ingat semuanya, maka kamu juga harus ingat ini,” kataku dengan dingin. “Kamu meninggalkanku. Kamu meninggalkan aku dan anakmu di mobil yang terbakar. Kamu memilih Alya. Berulang kali dan berulang kali. Dan sadarlah, dialah yang sebenarnya kamu cintai. Jadi pergilah. Kejar Alya. Lakukan dengan benar kali ini, kalau kamu memang tahu caranya.”Dia tidak bergerak dan

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 8

    Sudut Pandang Icana.Hari ini menandai tiga bulan sejak aku dan Kevin mulai berkencan dan dia bersikeras untuk merayakannya.“Setiap hari-hari kenangan kecil itu penting,” katanya dengan senyum menawan. “Baik itu pertemuan pertama, bulan pertama, atau tahun penuh, semuanya bagian dari cerita kita.”Jadi kami berpakaian rapi, makan di bawah lampu-lampu kecil, berbagi makanan ringan, dan dia mengantarku pulang seperti pria sopan yang selalu dia lakukan.Dalam perjalanan pulang, kami bertemu kakak aku, Rendra. Dia hanya sekilas melihatku dan beralih ke Kevin. “Kamu bisa menginap malam ini, kalau mau.”Namun Kevin menggelengkan kepala, suaranya tenang dan penuh hormat. “Belum. Aku akan menunggu sampai melamar Ica dan secara resmi memperkenalkan diri kepada orang tuamu. Itu yang akan dilakukan pria sejati.”Kadang-kadang aku lupa Kevin adalah pemimpin mafia. Ia berdiri dengan keanggunan masa lampau, dengan etika yang halus dan batasan yang tegas. Tidak sekalipun dia memaksaku untuk tinggal

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 7

    Sudut Pandang Rizky.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku.Aku seharusnya memusatkan perhatian pada Alya. Pada wanita yang aku katakan sebagai cintaku, pada masa depan yang aku katakan sebagai tujuanku.Namun, sekeras apa pun aku mencoba, pandanganku selalu melayang. Ke arah dia. Ke Icana Salsabila.Ya, aku telah dihidupkan kembali. Diberikan kesempatan kedua.Dan dalam kehidupanku yang pertama, aku menikahi Icana. Bukan karena cinta, tetapi karena kewajiban. Satu malam ceroboh yang berubah menjadi komitmen seumur hidup yang tak pernah kuinginkan. Dia hamil. Aku pun menikahinya. Aku membenci setiap detiknya.Jadi aku lari.Aku meninggalkannya pada hari dia melahirkan anak kami, Leonardy, dan melarikan diri ke pelukan Alya.Untuk sesaat, aku merasa bebas. Tapi ketika Alya menghilang dalam penerbangan pulang, duniaku seakan runtuh. Dan semakin sering aku melihat Icana dan Leonardy, kehidupan yang tak kuinginkan, semakin aku membenci mereka hanya karena itu.Membenci m

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 6

    Sudut Pandang Icana.“Pelajaran?” seru Rendra dengan lantang. “Biarkan aku jelaskan dengan sangat jelas, ini rumahku, dan dia adikku. Aku tidak peduli apakah kamu sahabat baikku atau pangeran mafia Selat Timur. Kamu tidak punya hak menyentuhnya. Jangan pernah.”Ia lalu menoleh padaku, matanya penuh keprihatinan. “Ica, apa dia menyakitimu? Kenapa kamu gemetar?”Aku tidak menjawab. Hanya menggeleng pelan dan menatap Kevin.Rizky masih berdiri di tempat, seolah-olah dia tidak melakukan kesalahan apa pun.Sementara Rendra melangkah maju dengan tangannya mengepal. ““Aku percaya padamu, Rizky. Aku bahkan berharap kamu akan bersama dengannya. Tapi kamu memilih boneka plastik si Alya. Baiklah. Adikku pun sudah melepaskanmu. Dia sudah menemukan seseorang yang memperlakukannya lebih baik daripada yang pernah kamu lakukan. Jadi, apa alasanmu masih mengejarnya seperti ini?”Kevin melangkah maju dan menaruh tangannya di punggungku sambil menarikku lembut ke dalam pelukannya.“Aku tidak tahu penyaki

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 5

    Sudut Pandang Icana.Tangannya menggenggam pergelangan tanganku, memutariku dengan cepat, dan mendorong sampai punggungku menabrak dinding.Suara benturan menggelegar di koridor seperti suara tembakan pistol.“Aku bilang berhenti bermain-main,” dengusnya dengan mata liar. “Kamu bikin baju Alya hancur? Itu caramu mengancam dia? Kamu berencana membunuh dia hanya untuk mendapatkan aku?”Aku tertegun oleh keberanian Rizky yang tidak masuk akal. Dia benar-benar percaya aku akan melakukan itu? Bahwa aku masih terobsesi padanya, begitu ingin mendapatkan perhatiannya?Rizky berdiri seperti orang yang kehilangan kendali, kemarahan berkecamuk di balik matanya."Merusak baju Alya?"Aku menatapnya dengan terkejut. Apa yang dia bicarakan?Sebelum aku sempat menjawab, teleponku berdering. Aku melirik ke layar ponsel, ternyata Kevin.Tapi Rizky merebutnya dari tanganku sebelum aku sempat berkedip."Ini pacarmu?" serunya sambil menggoyangkan ponsel seolah itu bukti. "Kamu sudah punya pacar, tapi masih

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 4

    Sudut Pandang Icana.Hari Rizky melamar Alya, aku terpeleset di tangga dan patah pergelangan kaki.Alya tetap tidak melewatkan kesempatan ini. Dia menerobos ke ruang pasienku seperti model dan memamerkan cincin pertunangannya seolah itu punya kekuatan magis.“Ya ampun, Icana!” serunya dengan dramatis saat melihat gips di kakiku. “Kelihatannya sakit sekali. Parah banget ya? Kamu… akan sembuh sepenuhnya?”“Hanya retak ringan,” gumamku dengan datar. “Bukan tragedi.”Dia berkedip seolah menahan air mata buatan. "Apa karena kami? Aku... Aku merasa bersalah banget…” Lalu, tepat pada waktunya. “Tunggu, aku angkat telepon dulu.”Dia pun pergi dengan sombong, dan meninggalkan wangi parfum dan kumannya di udara.Beberapa menit kemudian, Rizky masuk. Wajahnya muram seperti habis meminum jeruk masam. “Kamu pasti lagi cari cara buat merebut perhatian, 'kan? Tepat di hari tunangan kami.”“Tidak. Aku hanya terpeleset. Hanya itu,” jawabku dengan tenang. “Aku sudah bilang, aku tidak suka kamu lagi. Dul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status