Share

Bab 4

Penulis: KarenW
Sudut Pandang Icana.

Hari Rizky melamar Alya, aku terpeleset di tangga dan patah pergelangan kaki.

Alya tetap tidak melewatkan kesempatan ini. Dia menerobos ke ruang pasienku seperti model dan memamerkan cincin pertunangannya seolah itu punya kekuatan magis.

“Ya ampun, Icana!” serunya dengan dramatis saat melihat gips di kakiku. “Kelihatannya sakit sekali. Parah banget ya? Kamu… akan sembuh sepenuhnya?”

“Hanya retak ringan,” gumamku dengan datar. “Bukan tragedi.”

Dia berkedip seolah menahan air mata buatan. "Apa karena kami? Aku... Aku merasa bersalah banget…” Lalu, tepat pada waktunya. “Tunggu, aku angkat telepon dulu.”

Dia pun pergi dengan sombong, dan meninggalkan wangi parfum dan kumannya di udara.

Beberapa menit kemudian, Rizky masuk. Wajahnya muram seperti habis meminum jeruk masam. “Kamu pasti lagi cari cara buat merebut perhatian, 'kan? Tepat di hari tunangan kami.”

“Tidak. Aku hanya terpeleset. Hanya itu,” jawabku dengan tenang. “Aku sudah bilang, aku tidak suka kamu lagi. Dulu tidak, sekarang juga tidak.”

Tapi Rizky tidak percaya, rahangnya menegang dan matanya menyempit.

“Icana,” kata Rizky dengan nada dingin, suara rendah penuh ancaman di balik ketenangan palsu. “Saran aku, cari pacar sendiri dan berhenti campur hidup kita. Jangan ganggu lagi.”

“Aku sudah punya,” kataku dengan tegas. “Dan dia luar biasa, terima kasih.”

“Kamu tidak perlu berbohong. Tidak mungkin kamu bisa menemukan seseorang dalam waktu sesingkat itu.”

Sebelum aku sempat menjawab, Alya dengan gaya santai seolah model berjalan masuk. “Kalian bisik-bisik apa?”

“Dia bilang dia sudah punya pacar,” kata Rizky sambil merangkul pinggang Alya seolah dia perlu diingatkan. “Percaya tidak, sayang?”

Alya menatapku dengan sorot matanya bersinar puas. “Pacar, Icana? Benar?” Suaranya turun dengan nada sindiran yang cukup manis. “Aku tahu kalau kamu mungkin kesal dengan pertunangan kami. Tapi bohong soal punya pacar…”

Rizky lalu menambahkan dengan senyumnya paternalistis. “Kamu itu kayak adik buatku, tahu? Aku akan tetap jaga kamu. Tapi jangan sampai kamu berbohong atau ganggu hubungan aku dan Alya.”

Lalu, tanpa menunggu jawabanku, mereka keluar seolah-olah telah memenangkan sesuatu.

Sombong. Sangat sombong.

...

Yang penting adalah aku tidak berbohong.

Mataku melirik ke vas bunga mawar merah tua di jendela. Kelopak-kelopaknya padat, lembut, dan jelas mahal.

Itu dari dia, pacarku.

Ternyata, takdir punya selera humor yang jahat.

Karena pria yang pernah berhubungan satu malam dengan aku di Resana, yang wajahnya tidak terlihat dengan jelas di balik lampu redup, dan kabut sampanye, ternyata adalah Kevin.

Kevin yang sama dengan yang dijodohkan oleh orang tua aku untuk aku temui.

Pria yang dibicarakan semua orang di Mandarana. Pemimpin mafia pesisir, dan pewaris kekaisaran senjata. Misterius, menakutkan, dan terlalu tampan sampai membuat orang terpana.

Ketika masuk kafe untuk “perkenalan resmi”, aku langsung tahu saat melihatnya. Dan dari senyumnya yang lucu, dia juga tahu.

Wajahku pun memerah tidak bisa disembunyikan.

Dia mendekat dengan suaranya yang menggoda. “Malu sekarang? Malam itu kamu tidak malu kok.”

“Aku pikir kamu cuma… pria ganteng yang bekerja di situ,” kataku dengan jujur.

Dia mengangkat bahu dengan santai. "Aku memang bekerja di situ. Cuma tidak pernah bilang aku bukan bosnya. Kamu tidak tanya.”

Argumen yang adil.

Dia memperhatikan wajahku. Lalu berbisik, “Kalau bukan aku, siapa yang seberuntung itu malam itu?”

“Tidak ada,” jawabku dan menatapnya. “Tidak semua pria bisa menarik perhatianku.”

Senyumnya yang berbahaya dibungkus pesona muncul di wajahnya. “Jadilah pacarku, Ica. Biar aku jaga kamu.”

Dan aku berkata ya. Itulah sebabnya aku terpeleset dan patah kaki. Aku salah langkah saat berkencan dengan Kevin.

...

Setelah keluar rumah sakit, aku sering bersama Kevin. Kita makan malam, berkendara, dan ciuman yang bikin napas aku terengah-engah.

Pulang larut malam jadi rutinitas kami. Aku suka begitu.

Namun suatu malam, ketika aku masuk karena baru saja pulang dari makan malam di atap paling romantis di SoHo, aku melihat Rizky di sofa ruang tamu dengan kedua tangannya yang terlipat dan rahangnya yang menegang.

“Kamu ke mana saja?” tanyanya dengan suara tegang.

Aku mengerutkan kening. “Aku tidak tahu ada batas jam pulang.”

“Sudah tengah malam!” serunya. “Kamu tinggal di rumah ini. Tolong bertindak seperti itu.”

Aku melepas jaket dan melintasinya dengan santai. “Kamu bukan ayahku, Rizky. Apa urusannya denganmu?”

Aku hendak lewat, tapi Rizky menghalangiku, matanya terkunci di leherku. Dia menatap dengan tajam dan posesif.

Lalu dia bicara dengan suara rendah dan berbahaya. “Itu… bekas ciuman?”

Aku tertegun. Lalu melihat cermin lorong, tanda merah gelap di bawah tulang selangka.

Tentu saja, itu ulah Kevin.

Aku menatap Rizky dengan tegas. “Ya. Pacarku yang buat. Memang kenapa?”

Aku tidak berutang apa pun padanya. Tidak perlu penjelasan atau izin.

Wajahnya memerah.

Tanpa kata lain, aku melintasinya dan masuk ke kamarku, bunyi klik pintu yang lembut menutup dia di luar dan aku telah masuk ke dalam kamar.

...

Beberapa hari kemudian, kedamaian kembali ke rumah.

Tampaknya sih gitu.

Sampai satu pagi, saat keluar kamar, aku masih setengah tidur dan menuju dapur untuk kopi. Lalu, Rizky muncul.

Tanpa ada peringatan atau sapaan, hanya kemarahan.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 9

    Sudut Pandang Icana.Aku membeku.“Di kehidupan lampauku, kamu tidak hanya menikah denganku. Kamu menipuku tidur denganmu, berpura-pura polos, dan akhirnya hamil anakku, Leonardy.”Darahku terasa membeku.Rizky juga dihidupkan kembali.Suaraku tercekat di tenggorokan. “Kamu…?”Dia tidak menjawab. Hanya menatapku, seolah-olah ingatan itu masih membakar di balik matanya.Jadi, itu dia. Mungkin kami berdua mati. Atau mungkin kesempatan keduaku entah bagaimana menyeretnya kembali bersamaku. Aku tidak tahu.Tapi yang aku tahu?Kali ini, dia tidak akan menang.Aku melepaskan diri dari genggamannya dan mundur.“Kalau kamu benar-benar ingat semuanya, maka kamu juga harus ingat ini,” kataku dengan dingin. “Kamu meninggalkanku. Kamu meninggalkan aku dan anakmu di mobil yang terbakar. Kamu memilih Alya. Berulang kali dan berulang kali. Dan sadarlah, dialah yang sebenarnya kamu cintai. Jadi pergilah. Kejar Alya. Lakukan dengan benar kali ini, kalau kamu memang tahu caranya.”Dia tidak bergerak dan

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 8

    Sudut Pandang Icana.Hari ini menandai tiga bulan sejak aku dan Kevin mulai berkencan dan dia bersikeras untuk merayakannya.“Setiap hari-hari kenangan kecil itu penting,” katanya dengan senyum menawan. “Baik itu pertemuan pertama, bulan pertama, atau tahun penuh, semuanya bagian dari cerita kita.”Jadi kami berpakaian rapi, makan di bawah lampu-lampu kecil, berbagi makanan ringan, dan dia mengantarku pulang seperti pria sopan yang selalu dia lakukan.Dalam perjalanan pulang, kami bertemu kakak aku, Rendra. Dia hanya sekilas melihatku dan beralih ke Kevin. “Kamu bisa menginap malam ini, kalau mau.”Namun Kevin menggelengkan kepala, suaranya tenang dan penuh hormat. “Belum. Aku akan menunggu sampai melamar Ica dan secara resmi memperkenalkan diri kepada orang tuamu. Itu yang akan dilakukan pria sejati.”Kadang-kadang aku lupa Kevin adalah pemimpin mafia. Ia berdiri dengan keanggunan masa lampau, dengan etika yang halus dan batasan yang tegas. Tidak sekalipun dia memaksaku untuk tinggal

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 7

    Sudut Pandang Rizky.Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku.Aku seharusnya memusatkan perhatian pada Alya. Pada wanita yang aku katakan sebagai cintaku, pada masa depan yang aku katakan sebagai tujuanku.Namun, sekeras apa pun aku mencoba, pandanganku selalu melayang. Ke arah dia. Ke Icana Salsabila.Ya, aku telah dihidupkan kembali. Diberikan kesempatan kedua.Dan dalam kehidupanku yang pertama, aku menikahi Icana. Bukan karena cinta, tetapi karena kewajiban. Satu malam ceroboh yang berubah menjadi komitmen seumur hidup yang tak pernah kuinginkan. Dia hamil. Aku pun menikahinya. Aku membenci setiap detiknya.Jadi aku lari.Aku meninggalkannya pada hari dia melahirkan anak kami, Leonardy, dan melarikan diri ke pelukan Alya.Untuk sesaat, aku merasa bebas. Tapi ketika Alya menghilang dalam penerbangan pulang, duniaku seakan runtuh. Dan semakin sering aku melihat Icana dan Leonardy, kehidupan yang tak kuinginkan, semakin aku membenci mereka hanya karena itu.Membenci m

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 6

    Sudut Pandang Icana.“Pelajaran?” seru Rendra dengan lantang. “Biarkan aku jelaskan dengan sangat jelas, ini rumahku, dan dia adikku. Aku tidak peduli apakah kamu sahabat baikku atau pangeran mafia Selat Timur. Kamu tidak punya hak menyentuhnya. Jangan pernah.”Ia lalu menoleh padaku, matanya penuh keprihatinan. “Ica, apa dia menyakitimu? Kenapa kamu gemetar?”Aku tidak menjawab. Hanya menggeleng pelan dan menatap Kevin.Rizky masih berdiri di tempat, seolah-olah dia tidak melakukan kesalahan apa pun.Sementara Rendra melangkah maju dengan tangannya mengepal. ““Aku percaya padamu, Rizky. Aku bahkan berharap kamu akan bersama dengannya. Tapi kamu memilih boneka plastik si Alya. Baiklah. Adikku pun sudah melepaskanmu. Dia sudah menemukan seseorang yang memperlakukannya lebih baik daripada yang pernah kamu lakukan. Jadi, apa alasanmu masih mengejarnya seperti ini?”Kevin melangkah maju dan menaruh tangannya di punggungku sambil menarikku lembut ke dalam pelukannya.“Aku tidak tahu penyaki

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 5

    Sudut Pandang Icana.Tangannya menggenggam pergelangan tanganku, memutariku dengan cepat, dan mendorong sampai punggungku menabrak dinding.Suara benturan menggelegar di koridor seperti suara tembakan pistol.“Aku bilang berhenti bermain-main,” dengusnya dengan mata liar. “Kamu bikin baju Alya hancur? Itu caramu mengancam dia? Kamu berencana membunuh dia hanya untuk mendapatkan aku?”Aku tertegun oleh keberanian Rizky yang tidak masuk akal. Dia benar-benar percaya aku akan melakukan itu? Bahwa aku masih terobsesi padanya, begitu ingin mendapatkan perhatiannya?Rizky berdiri seperti orang yang kehilangan kendali, kemarahan berkecamuk di balik matanya."Merusak baju Alya?"Aku menatapnya dengan terkejut. Apa yang dia bicarakan?Sebelum aku sempat menjawab, teleponku berdering. Aku melirik ke layar ponsel, ternyata Kevin.Tapi Rizky merebutnya dari tanganku sebelum aku sempat berkedip."Ini pacarmu?" serunya sambil menggoyangkan ponsel seolah itu bukti. "Kamu sudah punya pacar, tapi masih

  • Takdir Bukan Lagi Milik Kita   Bab 4

    Sudut Pandang Icana.Hari Rizky melamar Alya, aku terpeleset di tangga dan patah pergelangan kaki.Alya tetap tidak melewatkan kesempatan ini. Dia menerobos ke ruang pasienku seperti model dan memamerkan cincin pertunangannya seolah itu punya kekuatan magis.“Ya ampun, Icana!” serunya dengan dramatis saat melihat gips di kakiku. “Kelihatannya sakit sekali. Parah banget ya? Kamu… akan sembuh sepenuhnya?”“Hanya retak ringan,” gumamku dengan datar. “Bukan tragedi.”Dia berkedip seolah menahan air mata buatan. "Apa karena kami? Aku... Aku merasa bersalah banget…” Lalu, tepat pada waktunya. “Tunggu, aku angkat telepon dulu.”Dia pun pergi dengan sombong, dan meninggalkan wangi parfum dan kumannya di udara.Beberapa menit kemudian, Rizky masuk. Wajahnya muram seperti habis meminum jeruk masam. “Kamu pasti lagi cari cara buat merebut perhatian, 'kan? Tepat di hari tunangan kami.”“Tidak. Aku hanya terpeleset. Hanya itu,” jawabku dengan tenang. “Aku sudah bilang, aku tidak suka kamu lagi. Dul

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status