Malam semakin larut. Naila yang tak bisa tidur beranjak bangkit dari tempat tidurnya kemudian melangkah keluar kamar. Keningnya berkerut ketika mendapati lampu di dapur masih menyala terang.
"Abang," tegur Naila. Dia mendapati laki-laki itu sendirian di dapur. Di tangannya ada secangkir teh yang masih mengepulkan uap panas.
"Minum, Dek," katanya. Dia menyerahkan cangkir berisi teh itu kepada Naila.
Naila menggelengkan kepala. "Ade tidak haus, Bang. Tehnya buat Abang saja."
"Naila hanya tidak bisa tidur malam ini," keluhnya. Wanita itu menarik kursi dan duduk di atasnya.
"Abang juga tidak bisa tidur, De," sahutnya.
Mereka duduk berhadap-hadapan. Laki-laki itu menyeruput teh yang tadi dibuatnya sedikit demi sedikit. Sekejap kemudian ia menghela nafas panjang.
"De, boleh nggak Abang tanya sama Ade?" Pemilik sepasang mata itu me
Ammad menatap wajah Naila begitu lekat seakan berusaha menyelami apa yang tersirat di balik wajah manis nan sederhana itu. Jarinya menunjuk sosok mungil yang tengah tertidur lelap di atas ranjang. "Lihat anak ini, De. Seumur hidupnya dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Abang sangat menyayanginya, De. Anak ini pun merasa nyaman saat bersama Abang. Apakah itu kurang cukup meyakinkan buat kamu untuk menerima Abang?" ucap Ammad. "Abang akui, Abang yang salah di sini. Abang sudah lancang masuk ke dalam kehidupan kalian, padahal Abang sudah memiliki keluarga di kampung halaman Abang. Perasaan hati Abang tidak bisa dibohongi dan cinta itu tidak punya indera, De.Dia tidak pernah permisi,mau ke mana dia melabuhkan dirinya. Abang mencintai kamu, De." "De, kamu boleh merasa ragu-ragu dalam mencintai Abang, tapi pikirkanlah putrimu. Apakah kamu tidak kasihan dengan dirinya? Dia butuh figur seoran
Kata-kata itu begitu tegas sekaligus menusuk hatinya. Dia nyaris tidak mempercayai pendengarannya sendiri Bagaimana mungkin dia bisa menjauh dari wanita pujaannya? Bagaimana bisa dia menghindari gadis kecil kesayangannya yang selama ini begitu dekat dengannya? Baiklah. Mungkin dia begitu lancang malam ini dengan meminta Naila menjadi istri sirinya. Akan tetapi, semua itu dilakukannya bukan hanya sekedar karena nafsu syahwat dan membunuh rasa kesepiannya. Entah kenapa dia seakan di tuntun untuk melindungi sosok gadis kecil yang begitu menyayanginya itu. Ammad kembali menatap sosok mungil yang tengah tertidur lelap itu. Dikecupnya keningnya sekilas dan dibelainya rambutnya. Dia membenarkan selimut yang menutupi tubuh gadis kecil itu. "Maafkan Om, Sayang. Om belum bisa meruntuhkan ego ibu kamu. Dia begitu keras dengan pendiriannya. Om tahu, ibu kamu juga menyimpan rasa yang sama seperti yang om rasakan saat ini. Hanya saja, rasa itu tidak bisa merobohkan
"Tahu dong. Kan Om juga pernah belajar mengaji ketika masih seumuran Nayra dulu." Ammad menjelaskan. Sungguh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, itulah kemenangan yang agung. Sungguh, azab Tuhanmu sangat keras. Sungguh, Dialah yang memulai penciptaan (makhluk) dan yang menghidupkannya (kembali). Dan Dia lah Yang Maha pengampun maha pengasih, Yang memiliki arasy, lagi maha mulia, Maha kuasa berbuat apa yang Dia kehendaki Mata Nayra berbinar. Ammad melihat cahaya mata itu begitu terang melukiskan hatinya yang masih suci. "Om hebat!" serunya. Ammad meletakkan Al Qur'an tikrar itu kembali ke atas meja sesaat sebelum Nayra pindah duduk ke pangkuannya. "Om masih hutang penjelasan sama Nayra," ucapnya. "Penjelasan apa, Nak?" Ammad bertanya. "Itu tadi. Kenapa wudhu Om bisa batal kalau menggendong Nayra?" Ammad
"Andai Kakak masih ada, tentu Kami tidak akan mengalami hal seperti ini. Naila harus bisa menerima kenyataan kalau Kakak sudah tenang di sana," isaknya. "Bang Ammad itu sudah punya istri dan anak, Kak. Naila nggak mau kalau harus menikah dengan dia. Walaupun putri kita sayang sama laki-laki itu." Naila mengambil mushaf surah Yasin yang berada di dalam tas kecilnya. Dia mulai membuka dan membaca surah Yasin di depan makam suaminya. Sesungguhnya urusanNya apabila dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya,"jadilah." Maka jadilah sesuatu itu. Maha suci Allah yang di tanganNya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepadaNya kamu di kembalikan. ❣️❣️❣️ Matahari terus bergulir ke arah barat. Sinarnya semakin redup seiring dengan waktu yang terus berlalu dan akan berganti menuju malam.Ammad
Beberapa hari sudah berlalu. Sejak peristiwa malam itu, Naila mulai merasakan adanya perubahan sikap dari Ammad, walaupun laki-laki itu tetap bersikap baik dan tetap memperhatikan putrinya. Naila merasa sikap Ammad terhadapnya sudah mulai dingin, tidak sehangat dan seperhatian seperti dulu. Bahkan beberapa chat dari Naila pun seringkali tidak terbalas dan kalaupun dibalas hanya dibalas secara singkat. Tidak seperti biasanya chat mereka sering panjang lebar disertai dengan emot canda tawa. Naila berusaha memaklumi perubahan sikap itu. Mungkin laki-laki itu memang membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan posisinya sekarang. Naila berharap semoga laki-laki itu baik-baik saja dan ia bisa mengendalikan perasaannya. "Ma," kata Nayra saat mereka akan tidur pada malam ini. "Iya, ada apa, Sayang?" tanya Naila sambil mengelus kepala gadis kecil yang sudah terbaring di sampingnya. "Boleh nggak Nayra tanya sesuatu sama Mama?"
Abang mau ngomong apa?" tanya Naila. "Maaf Bang, tidak bisa ngobrol panjang lebar. Soalnya ini di tempat kerja Naila. Nggak enak sama yang punya warung." Naila duduk menghadap pemuda itu. "De, Abang dijodohkan sama orang tua Abang," ucap Khairul. Pemuda itu menghela nafas. Dia menundukkan kepala. "Terus apa masalahnya, Bang? Apakah Abang tidak suka dijodohkan dengan wanita itu?" tanya Naila. "Abang sudah punya pilihan, De. Meskipun Abang tidak tahu apakah wanita pilihan Abang itu mau memilih Abang sebagai suaminya atau tidak. Soalnya banyak yang mengejar-ngejar wanita itu." "Wow ...!" Naila tertawa. "Berarti Abang banyak saingan dong.Jadi penasaran,siapa ya wanita itu?" Khairul balas tertawa. "Gimana nih dengan soal perjodohan itu? Apakah Abang tolak atau Abang terima?" tanyanya. Naila mengerutkan keningnya.
Khairul mengacak rambutnya dengan kasar. Dia melemparkan ponselnya begitu saja ke atas pembaringan. Pikirannya kacau. Percakapan dengan ibunya membuat sisi lain dirinya bangkit.Dia benar-benar marah. "Bulan depan ketika kamu cuti, kamu harus menikahi Nana. Mama tidak mau hubungan kekeluargaan ini menjadi tidak harmonis lagi kalau kamu menolak Nana menjadi istrimu," tegas ibunya. "Tetapi Khairul sudah punya pilihan sendiri Ma," sanggah Khairul. "Janda muda beranak satu itu? Apa yang kamu cari, Nak?" "Jangan memandangnya sebagai seorang janda, Ma. Dia wanita yang sangat istimewa. Khairul salut karena selama ini dia berjuang begitu keras dalam menghidupi keluarganya." "Bukankah sayyidah Khadijah juga seorang janda dan memiliki anak dari pernikahan sebelumnya. Akan tetapi, Rasulullah tetap menikahinya dan menjadikan beliau sebagai cinta pertama dan cinta sejatinya. Apakah itu masih
"Maaf Bang, Ade tidak mau mencampuri urusan keluarga Abang. Kalau misalnya kita memang jodoh, pasti akan ada caranya yang membuat kita bisa bersama, tapi bukan dengan cara menyakiti hati kedua orangtua. Bang, Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita. Apakah Abang bersama Ade atau mungkin kita di takdirkan memiliki pasangan yang berbeda. "Boleh jadi kamu tidak menyukai segala sesuatu, tapi bagi Allah Itu yang terbaik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, tapi di dalam pandangan Allah itu tidak baik bagimu. Semua itu pasti ada hikmahnya." Naila tersenyum teduh. Khairul termangu. Sinar matanya kosong menatap wanita dihadapannya itu. Wajah manis Naila dan sorot matanya yang teduh memancarkan kelembutan seorang wanita salehah yang senantiasa dikaguminya. "Iya, De, tapi boleh kan, kalau kita tetap berteman?" Khairul berkata dengan suara lirih. "Boleh Abang. Abang bisa menghubungi Ade kapan saja. Yang terpenting, jadilah Khairul sebagai seorang an