Sepanjang makan malam bersama Damian dan Eric, rupanya Merry merasa tak nyaman.Cemas, tentu ia sangat Cemas. Terlebih kini ia melihat Tuan Sameer bergabung di meja Bi Ema. Bahkan pria menyeramkan itu kini sedang menggendong Dave.Bibir Merry terbuka lebar saat menyadari Tuan Sameer membawa Dave melangkah mendekat ke arahnya.Jantungnya kini gemuruh. Ingin rasanya ia berteriak, lalu berlari membawa Dave, seandainya saja bisa. Tapi sayangnya ia harus pasrah. Ya. Merry terikat kontrak dengan Eric, yang membuatnya tak berdaya di berbagai keadaan."Permisi, Nona. Bayimu menangis, sepertinya ia sedang haus," ujar Tuan Sameer.Pria menyeramkan itu pun sama, ia bersikap seolah jika Merry adalah wanita asing baginya.Mendengar suara Tuan Sameer menegur saja pipi Merry seketika memerah. Bagaimana tidak? Sorot mata Damian langsung berpindah ke arah Dave kala itu.Mungkin, saat sempat bertemu di loby pemuda itu tidak terlalu memperhatikan. Tapi kini tatapan matanya berubah."Dia anakmu, Nona?" S
Suara pintu diketuk dengan keras terdengar memekakkan telinga. Membuat Merry yang sedang memberikan susu untuk anaknya terhenyak seketika. Gadis itu melangkah cepat menuju pintu. Akan tetapi, ia tidak langsung membukakan pintu, melainkan menempelkan kepalanya di daun pintu. Seolah ingin mencari tahu tentang siapa yang datang. Tok ... Tok! Suara itu membuat jantung Merry berdegup kencang. Ia bahkan meraba dadanya sendiri tanpa sengaja. "Merry, buka pintunya!" teriak Damian sambil terus mengetuk. Lelaki yang pernah pergi, dan menjadi masa lalu kelam Merry itu, akhirnya datang juga. Tanpa terasa, bulir bening mengalir deras di pipi mulusnya. "Ada apa?" tanya Merry dengan suara parau. "Kita harus bicara!" serunya dari ambang pintu. Merry terdiam sejenak. Ia masih sesenggukan sambil menyandarkan diri. Ia bahkan sudah lupa di mana keberadaan Bi Ema dan juga Eric. Yang ia tahu hanyalah dirinya sedang terdesak hingga dadanya sesak karena kedatangan tamu pria dari masa lalunya. "Merry,
Damian menatap geram ke arah Oliver. Tak lama kemudian tatapannya sudah berpindah pada Merry, mata gadis itu terlihat sayu. Menyedihkan. "Ambil barang-barang pentingmu saja, tetap di dekatku, ayo kita keluar!" perintah Damian tiba-tiba. Merry biasanya akan berontak, terlebih jika mengingat siapa yang sedang memberinya perintah kali ini. Namun, ini bukan tentang saling menyalahkan seseorang. Dalam situasi genting seperti ini, gadis itu tidak akan pikir panjang untuk menentukan sikap. Ia memang sempat menoleh ke arah Tuan Sameer dan juga Eric. Keduanya bahkan tidak bisa mencegah kerumunan wartawan yang semakin lama semakin ramai. Tak mau buang waktu, Merry langsung mengemas ponsel, dompet, dan juga botol susu Dave ke tas samping yang biasa ia kenakan. Setelahnya, ia menuruti perintah Damian. Ia bahkan tidak lagi peduli dengan detak jantungnya yang berdegup kencang, ketika pemuda itu menggenggam erat tangannya sembari menggendong Dave membiak kerumunan wartawan. "Damian, apakah dia
Damian dan Merry saling diam. Suasana di dalam mobil pun menjadi hening. Tak ada sapa di sepanjang perjalanan mereka. Apalagi Dave sedang terlelap dalam pelukan Merry.Saat itu, Merry dipaksa duduk bersebelahan oleh Damian. Tentu saja alasannya adalah untuk berjaga-jaga, karena situasi mereka buruk akibat ulah Oliver.Di sudut jalan, dekat minimarket, mendadak Damian menghentikan mobilnya."Kau butuh apa, Nona? Setelah ini tidak ada pertokoan. Bisa jadi, Sameer dan anak buahnya akan datang terlambat. Mungkin besok mereka baru bisa menemui kita," ujar Damian.Kali itu, ia berbicara dengan nada rendah. Tak ada ekspresi amarah di wajahnya."Belikan saja susu, botol, dan juga pokok untuk Dave. Jika mungkin, tolong belikan pakaian ganti untuk anak ini," pinta Merry.Damian menatap Dave yang sedang terlelap sesaat."Dia sangat tampan, bahkan meski sedang terlelap. Baiklah, tunggu di sini. Aku akan belanja sebentar. Jangan pergi meninggalkan mobil, atau ke manapun tanpa aku. Kecuali kamu suk
Eric yang sejak tadi mengamati, merasa sangat geram dengan perlakuan Damian."Damian, aku tahu kau adalah pemilik agency di mana tempatku bekerja. Untuk itu, dengan segala hormat, seharusnya tidak sekeji itu kau bersikap kepada Merry," ungkap Eric.Damian tersenyum kecut."Wah, ada pahlawan kesiangan rupanya. Kenapa tidak kau nikahi saja dia. Jadilah ayah bagi anak haram itu!"Damian menunjuk ke arah wajah anak kecil yang sedang digendong Merry itu."Anak haram? Oke, Eric. Tidak ada alasan bagiku untuk tinggal di agency bedebah yang kau rekomendasikan." Merry bahkan berbicara dengan suara bergetar.Awalnya, ia pun tak menginginkan anak. Tapi, seiring berjalannya waktu ia jatuh cinta pada anak kecil yang kini telah menjadi bagian hidupnya itu."Kau tidak boleh berhenti! Kau harus bertanggung atas rumor yang tercipta di luar sana!" bentak Damian dengan rahang mengeras.Merry tersenyum samar."Aku tidak peduli."Gadis itu mengakhiri perdebatannya, lalu segera berkemas. Ia mengangkat kope
Satu minggu telah berlalu. Merry masih ditahan di villa pribadi milik Damian. Sekeliling bangunannya dikelilingi oleh tembok yang tinggi. Merry sempat mencoba keluar saat sore hari, ia bahkan memiliki niat kabur dari tempat itu, nyatanya nyaris tak ada kesempatan. Entah sejak kapan, Sameer meminta anak buahnya melakukan pengawalan yang ketat. "Sampai kapan aku akan menjadi tawananmu di tempat ini, Damian? Aku sudah tidak tahan, biarkan aku pergi!" Merry mendengus kesal. Sesekali mata lentiknya menatap ke arah kereta dorong, di mana di sana Dave sedang duduk dan bermain. "Kau tidak akan pernah pergi. Aku sudahbtahu semua tentangmu dari Sameer, Merry. Tidak baik bagimu berada di luar," sahut Damian. Tentu saja ia bersikap lebih menjengkelkan dari hari-hari sebelumnya. Ia bukan lagi sekedar dingin dan angkuh. Tapi ia juga kerap menunjukkan sikap kasarnya dan juga selalu menatap tajam kepada siapapun lawan bicaranya. Mendengar penuturan Damian, Merry semakin kesal. "Aku harus berte
Hari ini Eric datang ke mansion tersembunyi dekat tebing, tempat Damian menyembunyikan Merry beberapa pekan ini.Saat bertemu dengan Sameer, langkah Eric mulai melambat. Terlebih ia melihat Dave mendapatkan pengasuh baru yang usianya masih muda."Di mana Tuanmu? Aku ada kepentingan pekerjaan," cetus Eric tanpa basa-basi.Eric berbicara sembari memasukkan sebelah tangannya ke kantung celana. Tentu saja hal itu ia lakukan untuk mengurai rasa takut yang mendadak mendera di hadapan Sameer. Tangannya gemetar.Sameer tersenyum simpul, ya pria menyeramkan itu memang tidak pernah ramah pada siapapun."Jika memang itu demi pekerjaan, temui Tuan Damian di sana! Jika demi Merry, jangan harap ada kesempatan!" seloroh Sameer membuat Eric menyembunyikan rasa kesalnya."Ummm, sebentar Sameer. Aku rasa akan lebih baik jika kamu tidak perlu terlalu ikut campur terlalu dalam," bisik Eric, kemudian pergi ke arah yang ditunjukkan oleh Sameer.Ia bahkan tidak ingin tahu bagaimana ekspresi Sameer setelah m
Merry segera berdiri saat melihat situasi di ruangan restoran mulai memanas. Lagi. Seharusnya Eric tidak mempertemukan Oliver dan Damian.Akan tetapi, kondisinya berbeda. Sebenarnya Eric berpihak pada siapa? Mengapa ia terkesan mengadu domba kedua belah pihak? Bahkan pemuda itu tidak berpikir apa akibat yang ditanggung Merry akibat ulahnya."Bibi, berikan Dave padaku. Aku ingin menggendongnya," tukas Merry seraya memperhatikan Damian dan Oliver yang sedang sibuk beradu argumen."Tapi, Nona ... bagaimana jika Tuan Damian marah padaku?""Tidak ada tapi, dia putraku! Hanya aku yang pantas memiliki hak atas Dave!" hardik Merry yang kemudian merebut paksa laki-laki mungil dari pelukan seorang maid.Mata Merry tidak terlepas sedikitpun dari Oliver dan juga Damian. Bukan tanpa sebab, tapi ia memang sedang menunggu momen yang tepat.Dan benar dugaan Merry. Tampak seorang pria tua sedang menuju tempat itu. Pria yang hanya bisa duduk di sebuah kursi roda dengan pengawalan ketat.Di sebelah pria