Rintik-rintik embun masih menghiasi kaca jendela kamar hotel. Dinginnya cuaca pagi bahkan terasa menusuk hingga ke dalam tulang. Akan tetapi, Merry sudah selesai bersiap meski matanya masih terasa perih, sembab sudah pasti. Ia menangis semalaman usai tragedi mengenaskan dalam hidupnya terjadi.
“Permisi, taksi yang Anda pesan sudah menunggu di depan,” panggil sekaligus sapa seseorang di depan pintu yang seolah terdengar setengah berteriak.
“Baik, terimakasih.”
Segera, Merry mengayunkan kaki jenjangnya dengan cepat. Mengabaikan luka hatinya, meski rasa takut terhadap Elena yang ingin segera menemukan dirinya menggelayuni dan mendominasi pikirannya.“Ah, iya Nyonya, terimakasih sudah bersedia membantu,” sahut Merry sembari menyeret koper yang di genggamnya setelah membukakan pintu.
Wajah seputih pualam itu tampak pucat, dengan cekungan yang melingkar di bawah matanya.
Sedangkan di depannya seorang wanita yang berseragam sebagai pelayan hotel itu hanya tersenyum sembari setengah membungkuk sopan. Setelah itu posisinya kembali tegak dengan dagu terangkat.
“Ini sudah tugasku, lagi pula aku sudah diberi tips lebih untuk melayani Anda oleh Pak Sameer tadi malam.” Wanita itu menjelaskan sambil menyodorkan paper bag, yang dari aromanya bisa diterka jika isinya adalah makanan.
“Terimakasih,” sahut Merry, seraya menggapainya.
Wanita itu tersenyum ramah, kemudian berjalan beriringan hingga menuju mobil lalu kemudian keduanya terpisah.
******
Singkat cerita, Merry dibawa berputar-putar nyaris setengah hari oleh sopir taksi yang dipesannya, akibat ia bingung dan tak memiliki tujuan. Hingga akhirnya, ia mengatakan kepada sopir tersebut sedang mencari hunian sederhana siap huni. Barulah setelah itu sopir tersebut mengantarkan Merry pada temannya, yang kebetulan memiliki rumah untuk disewakan. Di rumah itulah, akhirnya gadis itu tinggal sendirian.
Rumah minimalis bernuansa modern bercat serba putih, mulanya Merry ragu, tapi setelah ia megingat uang tunai yang diberikan oleh Pak Sameer barulah ia menyanggupi.
“Terimakasih,” ucap Merry pada seorang sopir taksi yang nyaris seharian ini membantunya.
“Tidak perlu sungkan, jika butuh bantuan … silahkan hubungi saya,” sahut sopir taksi itu sebelum akhirnya berpamitan.
*****
Rintik hujan mulai menghilang dari pandangan. Meski jejak basah di aspal belum juga mengering. Akan tetapi, Merry sangat bersemangat menata hidupnya. Ia usap kasar sisa air mata yang mulai mengering di pipinya, kemudian bangkit.
‘Aku harus membeli persiapan, aku harus memiliki rencana baru agar terus bertahan hidup.’ Batinnya kemudian mulai menelusuri setiap ruangan rumah yang akan ditinggali olehnya.
Sejak hari itu, Merry berusaha menyibukkan diri, untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Meski begitu, tak bisa ditepis jika perasaan takut akan bertemu Elena lagi, lalu diseret kembali ke rumah bordil yang akan mengubur dalam semua impiannya.
Waktu berlalu begitu cepat, Merry menjalani hari-hari sebagai seorang penjual kue keliling, jualannya laris manis, karena ia memang berbakat di bidang memasak. Hingga tiba saatnya satu bulan berlalu, ketika ia mulai memiliki mimpi untuk membuka toko roti. Cuaca tampak cerah dengan langit biru mendominasi, membuat Merry bersemangat untuk berbelanja.
Pagi itu ia pergi dengan taksi menuju supermarket terdekat, langkahnya berubah pelan saat ia berdiri tepat di pintu masuk supermarket.
BUGH!
Seorang pria berambut hitam, dengan iris mata berwarna biru cerah tiba-tiba menubruknya. Merry nyaris saja roboh, jika saja pemuda itu tidak langsung menangkap tubuhnya yang ramping.
“Maaf, saya tidak melihat Anda, Nona,” ucapnya dengan ramah. Sementara matanya masih tidak melepaskan tatapannya kepada Merry.
Seketika Merry tersadar, dan menjauh, serta membenarkan posisi berdirinya. Ia tampak gugup di depan pemuda itu, mungkin saja rasa trauma akan masa lalunya dengan Damian kembali muncul, entah.
“Ummm, maaf. Mungkin ini salah saya yang tidak melihat jalan,” sahut Merry sembari mengulurkan telapak tangan sebagai permintaan maaf.
“Baiklah, kita sama-sama minta maaf. Oh ya, namaku Eric. Apakah kita bisa berteman?” Eric masih mematung sambil mengamati Merry dari atas hingga ke bawah.
Seperti tatapan kagum yang entah. Sulit ditebak.
“Maaf, saya buru-buru,” kilah Merry yang langsung menerobos keramaian.
Tak mau membuang waktu, ia bergegas mencari berbagai bahan kue yang ia butuhkan beserta segala pernak-perniknya. Ia nyaris selesai berbelanja, tiba saatnya mengantre untuk membayar.
Namun, sayangnya antrean cukup panjang, mungkin karena ini akhir pekan, atau bisa jadi tanggal gajian, sehingga masyarakat banyak yang sedang berbelanja secara bersamaan. Tiba-tiba saja seketika, Merry merasa tak nyaman, matanya terasa berkunang-kunang. Semua yang dilihatnya tampak berputar bahkan berubah samar. Dan. Ia jatuh terkulai di riuhnya anrean panjang.
BRUK!
Merry pun akhirnya jatuh tersungkur di lantai. Dan pengunjungpun riuh berkerumun.
******
Merry terkejut saat ia pertama membuka kelopak matanya dengan sempura. Bukan karena ia mendapatkan kejutan, melainkan ia berada di ruangan asing. Tentu saja bukan rumah yang disewanya selama ini, tak lama kemudian seorang perawat beserta salah seorang dokter datang menghampiri.
Membuat degup jantungnya semakin meningkat. Kini ia mulai menerka, apa yang sedang terjadi dengannya? Siapa pula yang membawanya ke tempat itu?
“Permisi, Nona. Di mana keluarga Anda?” tanya salah satu wanita dari keduanya yang terlihat berseragam serba putih di hadapan Merry.
“Aku tinggal sendiri, aku mencari Ayahku,” tukas Merry menuntaskan kalimatnya yang terkesan berat dan setengah terbata.
Ia bahkan tak berani menatap orang yang diajaknya bicara. Hanya menunduk sembari memainkan jemari. Sementara dokter yang berdiri di hadapannya, terlihat terkejut bahkan keningnya pun berkerut setelah mendengar penjelasan Merry.
“Begini, Nona. Sebenarnya saya tidak tega, tapi … dengan berat hati harus tetap saya sampaikan jika ternyata ….” Ucapan sang dokter akhirya terjeda ketika mengamati raut wajah Merry yang terkesan tak siap menerima kabar itu.
“Kenapa, Dokter. Tidak apa-apa, saya baik-baik saja. Katakan saja.” Merry langsung meraih buku jemari dokter cantik di hadapannya yang langsung ia remas seolah mengiba dengan tatapan matanya yang sayu penuh harap.
“Anda hamil.”
Mendengarnya saja rasanya dunia seakan berhenti bagi Merry. Ia bingug, memikirkan diri sendiri saya ia tidak pecus, apalagi harus ditambah beban seorang bayi?
Mata Merry yang semula berembun kini mulai merebak, begitu deras, tapi tanpa suara. Ia menangis sejadi-jadinya.
“Nona, tenangkan dirimu, aku bisa membantumu jika kamu ingin menggugurkan bayi ini. Tentu tidak di sini. Kau masih terlalu muda untuk menjadi seorang ihu tunggal.” Dokter cantik itu menyodorkan kartu nama, dari tatapan matanya terlihat begitu tulus.
Merry mencoba memberanikan diri mengangkat wajahnya, membalas tatapan sang Doker di hadapannya. Kemudian ia mendorong uluran tangan sang dokter, sekaligus isyarat gelengan kepala sebagai jawaban ketidak setujuan.
“Tidak. Bayi ini tidak bersalah, bagaimanapun juga, saya akan membesarkannya,” ungkap Merry dengan mata yang masih berkaca-kaca.
“Ini berat, apalagi Anda bilang hanya tinggal seorang diri. Baiklah, jika ini keputusannya, tapi jika berubah pikiran, jangan ragu menghubungiku,” ujar dokter cantik itu, kemudian pergi meninggalkan kartu nama miliknya untuk Merry.
“Tentu aku akan datang lagi mencarimu, Dokter. Mungkin, kau bisa membantuku melahirkan suatu hari ini.” Ucapan Merry menghentikan langkah kaki sang dokter, kemudian ia berbalik sejenak sembari menyunggingkan senyuman diiringi anggukan kepala.
*****
Karena masih tak percaya akan keadaanya, Merry memberanikan diri membeli alat test kehamilan di perjalanan pulang.
Mual. Ya, rasa itu mulai akrab dengannya.
HUEEEEK!
Ia kembali berlari menerobos pintu kamar mandi, dan sesaat kemudian kembali dengan langkah lemas.
‘Aku harus melakukan test ini sekarang, apa mungkin dokter itu melakukan kesalahan?’ Hati Merry bertanya-tanya.
Tatapan matanya beralih ke arah kantung plastik yang teronggok di atas meja, ia segera menggapainya dan kembali pergi ke kamar mandi.
Beberapa menit setelahnya, tubuhnya kembali lemas, bahkan hingga terduduk di lantai, bukan tanpa sebab, ia terlihat bingung.
“Dua garis merah….”
Hari berlalu begitu cepat. Kini usia kandungan Merry sudah berusia sekitar delapan bulan. Karena sebentar lagi ia akan memiliki bayi, ia memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih besar.Memang, uangnya masih lumayan untuk sekedar menghidupinya dan juga anaknya. Tapi, apa jadinya jika ia hanya berdiam diri? Semakin hari, uang akan habis juga.Hari itu Merry memilih untuk menyewa jasa asisten rumah tangga. Selain untuk membantunya pasca melahirkan, tapi nantinya juga bisa membantunya mengasuh bayi sekaligus menjadi teman hidupnya yang masih sepi."Non, kenapa melamun?" Suara Bi Ema, seorang perempuan paruh baya yang kini menemani Merry.Bi Ema adalah seorang janda yang tak memiliki kerabat. Semenjak bekerja pada Merry, ia merasa hidupnya yang nyaris mati mulai berwarna. Ia bahkan menganggap Merry sebagai anak sendiri."Jika nanti aku sudah melahirkan, aku ingin bekerja. Bisakah Bi Ema selain bekerja juga menjaga anakku?" Merry masih duduk meringkuk di sofa dekat jendela."Tentu, kenap
Degup jantung Merry masih terasa memburu. Dengan tangan gemetar, yang terlihat jelas saat meremas ujung kain kemeja yang ia kenakan, bisa diterka jika ia sedang cemas sekaligus takut berada di mobil orang asing."Siapa gerombolan perundangan tadi, Nona?"Suara bariton itu, seketika membuyarkan lamunan Merry. Membuatnya seketika menoleh ke arah sumber suara."Ummm, ceritanya panjang. Terimakasih sudah menolongku, turunkan saja di sini," sahut Merry, masih dengan raut wajahnya yang cemas.Kening si pemuda yang kini sedang duduk di balik kursi kemudi seketika berkerut.Sedang bermasalah? Mungkin."Apakah kau tidak ingat, Nona? Nyawamu sedang dalam bahaya. Lagi pula hujan baru saja turun. Sebaiknya ikut aku sebentar, nanti pasti ku antar pulang."Entah apa yang dipikirkan oleh Merry saat itu. Mendengar ajakan pria di sampingnya, bukannya tenang, kini ekspresi wajahnya mendadak berubah cemas. Ada guratan takut yang pemuda itu tangkap.Rona merah seketika menyebar di pipinya."Tidak, saya h
Merry masih tetap berdiri, di sebuah ruangan besar sambil mendekap dirinya sendiri yang menahan gigil.Tubuhnya yang basah tanpa sengaja membuat bagian tubuh seksinya terekpos sempurna."Pakai handuk ini untuk mengeringkan tubuhmu di kamar mandi sebelah sana! Ganti pakaianmu dengan ini." Eric menyodorkan pakaian ganti dan juga handuk.Tentu saja hal itu membuat Merry gugup, apalagi dia memiliki masa lalu kelam yang membuatnya trauma. Gadis itu segera berlalu, tanpa berani menatap lawan bicaranya begitu saja.Beberapa menit berselang, Merry telah kembali dengan setelan kaos berwarna pink serta celana pendek selutut.Ia mendapati Eric sudah duduk di sofa, lengkap dengan dua cangkir teh panas dengan asap mengepul yang tersaji. Tak lupa ia melengkapi dengan kudapan."Duduk, kau pas memiliki banyak pertanyaan," ungkap pemuda tampan tapi ramah itu."Ya, tentang kaos pink ini dan juga celana pendek selutut yang ku kenakan. Bukankah ini milik perempuan?" tanya Merry dengan raut setengah menye
Ini adalah hari pertama Eric bertandang ke rumah Merry.Rumah bernuansa nyaris serba putih itu memang minimalis, tapi lumayan cukup ditinggali oleh tiga orang."Perkenalkan, saya Eric. Merry tidak pernah cerita kalau dia tinggal bersama orang lain di rumah," sapa Eric sambil mengulurkan tangannya ke arah Bi Ema.Perempuan paruh baya itu merasa tersanjung. Bagaimana tidak? Selama ini ia hanya hidup sebatangkara, dan Merry adalah satu-satunya orang yang peduli kepadanya.Bi Ema benar-benar tidak menduga, jika di dunia ini masih ada lelaki tampan, yang tampak berwibawa justru bersikap baik dan sopan kepadanya."Saya, Bi Ema. Perempuan jalanan yang ditemukan oleh Merry, lalu diajak tinggal di sini," terangnya.Sungguh. Penjelasan Bi Ema membuat Eric tersentuh. Bahkan kagum, ia yang selama ini bergelimang harta tanpa kekurangan satu hal pun, bisa dibilang terkadang suka menghamburkan uang justru dipertemukan dengan orang-orang berlatar belakang minim ekonomi."Wah, baik sekali ya, Merry,"
Pagi ini, Merry sibuk merias diri. Ia bahkan tidak menyadari keberadaan Bi Ema, yang sejak tadi memperhatikan dari ambang pintu sambil menggendong bayi Dave."Kenapa ke kafe sepagi ini?" tanya Bi Ema, membuat jemari lentik yang semula menggerakkan kuasa dipaksa berhenti.Merry mengalihkan yang menatap sendu ke arah wanita paruh baya yang terlihat kebingungan atas sikapnya."Oh, maaf, Bi ... mungkin aku lupa bilang, kalau sejak kemarin, aku sudah tidak bekerja di kafe lagi. Mengenai alasannya, aku diperlakukan tidak adil di tempat itu," cetus Merry.Pengakuannya membuat wanita tua yang sudah seperti ibunya entah sejak kapan itu terbelalak."Lalu, mau ke mana kamu sepagi ini? Merry, ingat ya, Elena dan anak buahnya masih berkeliaran di luar sana. Kecuali, jika kamu mau mencari Ayah anakmu."Bi Ema berbicara sambil mengguratkan isyarat wajah cemas. Terpampang jelas dari matanya yang redup."Bukankah kemarin Bi Ema sudah bertemu Eric? Dia Managerku sejak hari ini? Aku akan menjajal dunia
Sinar mentari nyaris menghilang, pertanda hari berganti sore. Merry yang semula tak punya tujuan pun, kini hidupnya mulai berwarna sejak Eric datang membantunya."Kamu mau langsung pulang atau kita jalan dulu?"Eric datang tiba-tiba, saat Merry sedang sibuk mengamati sekitar ruangan gedung tempatnya bekerja."Mau ke mana lagi? Lagi pula, aku kasian sama Dave kalau aku tinggalin dia terlalu lama," keluh Merry."Wah, sayang sekali ya! Padahal aku mau ajak kamu jalan sebentar. Tapi gak apa-apa deh, mungkin lain kali."Wajah Eric berubah mendung saat berkata. Ia tampak kecewa dengan penolakan gadis cantik, yang baru saja ia angkat sebagai modelnya.Di saat bersamaan, sejenak Merry menatap Eric. Ia tahu sekali ekspresi wajah pemuda itu, di sisi lain ia juga tak sabar ingin bertemu sang anak."Baiklah, jika memang sebentar aku setuju. Ayo kita pergi!"Akhirnya, keduanya menghabiskan waktu bersama. Jalan-jalan sore di tengah kota, melewati beberapa pertokoan yang riuh, membuat Merry sejenak
Pagi ini Eric menjadwalkan waktu latihan untuk Merry.Karena penasaran, gadis itu datang lebih awal. Ia melihat beberapa model mengenakan heels. Raut wajah cantik Merry berubah muram. Bagaimana tidak? Ia memiliki kenangan buruk tentang heels.Pagi itu, Merry dilatih oleh Harry, ia terkejut. Bukankah sebelumnya Eric memperkenalkan Bu Veronica yang menjadi pelatihnya? Lalu kenapa justru ia diajari berjalan melenggang, dan melenggok dengan lelaki setengah melambai?"Merry giliranmu, bisakah kau kenakan heels pemberian Eric sekarang?" Harry menunjukkan kotak berisi sepasang sepatu indah.Namun, bukannya menjawab, gadis itu justru diam termangu menatap sepatu itu."Ha ... ha ... sepertinya, dia tidak pernah pakai sepatu mahal," ejek Rebeca.Tatapan mata Rebeca terlihat tidak senang atas bergabungnya Merry dengan agency yang menaunginya."Rebeca, urus dirimu sendiri! Kamu tidak berhak menjatuhkan orang lain. Atau sebaiknya aku akhiri kontrakmu!" desis Eric yang ternyata sejak tadi sudah ber
Merry masih terus mencecar Bu Veronica. Akan tetapi, wanita berusia paruh baya itu langsung pergi begitu saja tanpa menghiraukannya."Nyonya, Nyonya Veronica! Di mana Ayah saya!" teriak Merry sambil terus berlari mengejar.DUG!Tubuh Merry nyaris terpelanting setelah bertubrukan dengan tubuh kekar seorang pria."Awwww!""Hati-hati Nona cantik, perhatikan jalan. Apa kau baru di sini?"Merry tersentak dan langsung membisu. Ia terkejut melihat kedatangan pemuda tampan di hadapannya. Entah dari mana datangnya, tapi yang jelas pemuda itu telah menghalangi jalan Merry, hingga Bu Veronica menghilang dari pandangannya."Maaf," ucap Merry kemudian beranjak pergi."Hey, cantik! Buru-buru ke mana? Kita masih belum berkenalan," sergah pria genit itu.Merry membuang muka, sementara tangan pemuda itu justru telah melingkar di pinggang Merry. Membuat gadis itu merasa tak nyaman."Lepas! Jangan ganggu saya!"Merry yang berhasil meronta seketika berbalik dan berlari menuju ruangan Manager. Beruntung,