Share

Bab 3. Dua Garis Merah

Rintik-rintik embun masih menghiasi kaca jendela kamar hotel. Dinginnya cuaca pagi bahkan terasa menusuk hingga ke dalam tulang. Akan tetapi, Merry sudah selesai bersiap meski matanya masih terasa perih, sembab sudah pasti. Ia menangis semalaman usai tragedi mengenaskan dalam hidupnya terjadi.

“Permisi, taksi yang Anda pesan sudah menunggu di depan,” panggil sekaligus sapa seseorang di depan pintu yang seolah terdengar setengah berteriak.

“Baik, terimakasih.”

Segera, Merry mengayunkan kaki jenjangnya dengan cepat. Mengabaikan luka hatinya, meski rasa takut terhadap Elena yang ingin segera menemukan dirinya menggelayuni dan mendominasi pikirannya.

“Ah, iya Nyonya, terimakasih sudah bersedia membantu,” sahut Merry sembari menyeret koper yang di genggamnya setelah membukakan pintu.

Wajah seputih pualam itu tampak pucat, dengan cekungan yang melingkar di bawah matanya.

Sedangkan di depannya seorang wanita yang berseragam sebagai pelayan hotel itu hanya tersenyum sembari setengah membungkuk sopan. Setelah itu posisinya kembali tegak dengan dagu terangkat. 

“Ini sudah tugasku, lagi pula aku sudah diberi tips lebih untuk melayani Anda oleh Pak Sameer tadi malam.” Wanita itu menjelaskan sambil menyodorkan paper bag, yang dari aromanya bisa diterka jika isinya adalah makanan.

“Terimakasih,” sahut Merry, seraya menggapainya.

Wanita itu tersenyum ramah, kemudian berjalan beriringan hingga menuju mobil lalu kemudian keduanya terpisah.

******

Singkat cerita, Merry dibawa berputar-putar nyaris setengah hari oleh sopir taksi yang dipesannya, akibat ia bingung dan tak memiliki tujuan. Hingga akhirnya, ia mengatakan kepada sopir tersebut sedang mencari hunian sederhana siap huni. Barulah setelah itu sopir tersebut mengantarkan Merry pada temannya, yang kebetulan memiliki rumah untuk disewakan. Di rumah itulah, akhirnya gadis itu tinggal sendirian.

Rumah minimalis bernuansa modern bercat serba putih, mulanya Merry ragu, tapi setelah ia megingat uang tunai yang diberikan oleh Pak Sameer barulah ia menyanggupi.

“Terimakasih,” ucap Merry pada seorang sopir taksi yang nyaris seharian ini membantunya.

“Tidak perlu sungkan, jika butuh bantuan … silahkan hubungi saya,” sahut sopir taksi itu sebelum akhirnya berpamitan.

*****

Rintik hujan mulai menghilang dari pandangan. Meski jejak basah di aspal belum juga mengering. Akan tetapi, Merry sangat bersemangat menata hidupnya. Ia usap kasar sisa air mata yang mulai mengering di pipinya, kemudian bangkit.

‘Aku harus membeli persiapan, aku harus memiliki rencana baru agar terus bertahan hidup.’ Batinnya kemudian mulai menelusuri setiap ruangan rumah yang akan ditinggali olehnya.

Sejak hari itu, Merry berusaha menyibukkan diri, untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Meski begitu, tak bisa ditepis jika perasaan takut akan bertemu Elena lagi, lalu diseret kembali ke rumah bordil yang akan mengubur dalam semua impiannya. 

Waktu berlalu begitu cepat, Merry menjalani hari-hari sebagai seorang penjual kue keliling, jualannya laris manis, karena ia memang berbakat di bidang memasak. Hingga tiba saatnya satu bulan berlalu, ketika ia mulai memiliki mimpi untuk membuka toko roti. Cuaca tampak cerah dengan langit biru mendominasi, membuat Merry bersemangat untuk berbelanja.

Pagi itu ia pergi dengan taksi menuju supermarket terdekat, langkahnya berubah pelan saat ia berdiri tepat di pintu masuk supermarket.

BUGH!

Seorang pria berambut hitam, dengan iris mata berwarna biru cerah tiba-tiba menubruknya. Merry nyaris saja roboh, jika saja pemuda itu tidak langsung menangkap tubuhnya yang ramping.

“Maaf, saya tidak melihat Anda, Nona,” ucapnya dengan ramah. Sementara matanya masih tidak melepaskan tatapannya kepada Merry.

Seketika Merry tersadar, dan menjauh, serta membenarkan posisi berdirinya. Ia tampak gugup di depan pemuda itu, mungkin saja rasa trauma akan masa lalunya dengan Damian kembali muncul, entah.

“Ummm, maaf. Mungkin ini salah saya yang tidak melihat jalan,” sahut Merry sembari mengulurkan telapak tangan sebagai permintaan maaf.

“Baiklah, kita sama-sama minta maaf. Oh ya, namaku Eric. Apakah kita bisa berteman?” Eric masih mematung sambil mengamati Merry dari atas hingga ke bawah.

Seperti tatapan kagum yang entah. Sulit ditebak.

“Maaf, saya buru-buru,” kilah Merry yang langsung menerobos keramaian.

Tak mau membuang waktu, ia bergegas mencari berbagai bahan kue yang ia butuhkan beserta segala pernak-perniknya. Ia nyaris selesai berbelanja, tiba saatnya mengantre untuk membayar. 

Namun, sayangnya antrean cukup panjang, mungkin karena ini akhir pekan, atau bisa jadi tanggal gajian, sehingga masyarakat banyak yang sedang berbelanja secara bersamaan. Tiba-tiba saja seketika, Merry merasa tak nyaman, matanya terasa berkunang-kunang. Semua yang dilihatnya tampak berputar bahkan berubah samar. Dan. Ia jatuh terkulai di riuhnya anrean panjang.

BRUK!

Merry pun akhirnya jatuh tersungkur di lantai. Dan pengunjungpun riuh berkerumun.

******

Merry terkejut saat ia pertama membuka kelopak matanya dengan sempura. Bukan karena ia mendapatkan kejutan, melainkan ia berada di ruangan asing. Tentu saja bukan rumah yang disewanya selama ini, tak lama kemudian seorang perawat beserta salah seorang dokter datang menghampiri.

Membuat degup jantungnya semakin meningkat. Kini ia mulai menerka, apa yang sedang terjadi dengannya? Siapa pula yang membawanya ke tempat itu?

“Permisi, Nona. Di mana keluarga Anda?” tanya salah satu wanita dari keduanya yang terlihat berseragam serba putih di hadapan Merry.

“Aku tinggal sendiri, aku mencari Ayahku,” tukas Merry menuntaskan kalimatnya yang terkesan berat dan setengah terbata.

Ia bahkan tak berani menatap orang yang diajaknya bicara. Hanya menunduk sembari memainkan jemari. Sementara dokter yang berdiri di hadapannya, terlihat terkejut bahkan keningnya pun berkerut setelah mendengar penjelasan Merry.

“Begini, Nona. Sebenarnya saya tidak tega, tapi … dengan berat hati harus tetap saya sampaikan jika ternyata ….” Ucapan sang dokter akhirya terjeda ketika mengamati raut wajah Merry yang terkesan tak siap menerima kabar itu.

“Kenapa, Dokter. Tidak apa-apa, saya baik-baik saja. Katakan saja.” Merry langsung meraih buku jemari dokter cantik di hadapannya yang langsung ia remas seolah mengiba dengan tatapan matanya yang sayu penuh harap.

“Anda hamil.” 

Mendengarnya saja rasanya dunia seakan berhenti bagi Merry. Ia bingug, memikirkan diri sendiri saya ia tidak pecus, apalagi harus ditambah beban seorang bayi?

Mata Merry yang semula berembun kini mulai merebak, begitu deras, tapi tanpa suara. Ia menangis sejadi-jadinya.

“Nona, tenangkan dirimu, aku bisa membantumu jika kamu ingin menggugurkan bayi ini. Tentu tidak di sini. Kau masih terlalu muda untuk menjadi seorang ihu tunggal.” Dokter cantik itu menyodorkan kartu nama, dari tatapan matanya terlihat begitu tulus.

Merry mencoba memberanikan diri mengangkat wajahnya, membalas tatapan sang Doker di hadapannya. Kemudian ia mendorong uluran tangan sang dokter, sekaligus isyarat gelengan kepala sebagai jawaban ketidak setujuan.

“Tidak. Bayi ini tidak bersalah, bagaimanapun juga, saya akan membesarkannya,” ungkap Merry dengan mata yang masih berkaca-kaca.

“Ini berat, apalagi Anda bilang hanya tinggal seorang diri. Baiklah, jika ini keputusannya, tapi jika berubah pikiran, jangan ragu menghubungiku,” ujar dokter cantik itu, kemudian pergi meninggalkan kartu nama miliknya untuk Merry.

“Tentu aku akan datang lagi mencarimu, Dokter. Mungkin, kau bisa membantuku melahirkan suatu hari ini.” Ucapan Merry menghentikan langkah kaki sang dokter, kemudian ia berbalik sejenak sembari menyunggingkan senyuman diiringi anggukan kepala. 

*****

Karena masih tak percaya akan keadaanya, Merry memberanikan diri membeli alat test kehamilan di perjalanan pulang.

Mual. Ya, rasa itu mulai akrab dengannya.

HUEEEEK!

Ia kembali berlari menerobos pintu kamar mandi, dan sesaat kemudian kembali dengan langkah lemas.

‘Aku harus melakukan test ini sekarang, apa mungkin dokter itu melakukan kesalahan?’ Hati Merry bertanya-tanya.

Tatapan matanya beralih ke arah kantung plastik yang teronggok di atas meja, ia segera menggapainya dan kembali pergi ke kamar mandi.

Beberapa menit setelahnya, tubuhnya kembali lemas, bahkan hingga terduduk di lantai, bukan tanpa sebab, ia terlihat bingung.

“Dua garis merah….”

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Samantha Leticia
Suka ..., semangat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status