Ini adalah hari pertama Eric bertandang ke rumah Merry.
Rumah bernuansa nyaris serba putih itu memang minimalis, tapi lumayan cukup ditinggali oleh tiga orang.
"Perkenalkan, saya Eric. Merry tidak pernah cerita kalau dia tinggal bersama orang lain di rumah," sapa Eric sambil mengulurkan tangannya ke arah Bi Ema.
Perempuan paruh baya itu merasa tersanjung. Bagaimana tidak? Selama ini ia hanya hidup sebatangkara, dan Merry adalah satu-satunya orang yang peduli kepadanya.
Bi Ema benar-benar tidak menduga, jika di dunia ini masih ada lelaki tampan, yang tampak berwibawa justru bersikap baik dan sopan kepadanya.
"Saya, Bi Ema. Perempuan jalanan yang ditemukan oleh Merry, lalu diajak tinggal di sini," terangnya.
Sungguh. Penjelasan Bi Ema membuat Eric tersentuh. Bahkan kagum, ia yang selama ini bergelimang harta tanpa kekurangan satu hal pun, bisa dibilang terkadang suka menghamburkan uang justru dipertemukan dengan orang-orang berlatar belakang minim ekonomi.
"Wah, baik sekali ya, Merry," sahut Eric dengan sedikit senyuman.
"Ya, padahal dia sendiri hidupnya menyedihkan, Nak," jelas Bi Ema.
"Kenapa masih berdiri? Duduk."
Suara parau Merry membuat keduanya yang asyik mengobrol tersentak menyadari Merry sudah berdiri sambil membawa nampan berisi minuman.
"Bi, bisa tolong jaga Dave?"
"Tentu, selalu kulakukan tanpa kamu minta, Merry," sahut perempuan paruh baya itu.
Sebelum melenggang ia menyempatkan setengah membungkuk mencondongkan tubuhnya, mendekati telinga Merry.
"Dia pria baik dan tampan, cocok untuk dijadikan Ayah Dave," bisik Bi Ema.
Seketika mata Merry melotot ke arahnya.
"Bi Ema ...."
Perempuan paruh baya itu malah membalasnya dengan terkekeh.
"Dave itu siapa, Bi?" tanya Eric terdengar menginterogasi.
Ya. Sebenarnya ia sudah tahu, jika Dave yang dimaksud adalah anak kecil, dari cara Merry mengatakan agar perempuan itu menjaganya tentu Eric bisa menerka.
Mungkin saja Eric ingin mendengar penjelasan tentang Dave langsung dari Merry.
"Dia anakku, bayi tanpa Ayah," sahut Merry kemudian menangis.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung. Aku hanya penasaran," ungkap Eric yang kini merasa bersalah.
Kini ia menjadi salah tingkah. Lebih tepatnya bingung harus berbuat apa untuk menenangkan gadis cantik yang menangis di hadapannya.
'Seandainya bisa, aku ingin sekali memelukmu. Ah, tapi pasti nanti aku dianggap lancang,' batin Eric mengurungkan niatnya.
Bahkan ia menarik kembali buku jemarinya yang sempat terulur dan nyaris menyentuh punggung Merry.
Bukannya enggan, akan tetapi Eric memanglah pribadi yang sopan.
Namun, reaksi mengejutkan justru ditunjukkan oleh Merry. Gadis itu langsung membalikkan badan dan menangis di pelukan Eric, hingga membuat pemuda itu kebingungan harus bersikap seperti apa.
"Merry, bisakah kamu berhenti menangis? Kudengar Dave juga menangis," ungkap pemuda yang kini justru terlihat kaku itu.
Merry memilih tak menjawab, ia tak bermaksud nakal, hanya ingin mencari tahu. Lelaki seperti apa yang akan menjadi Managernya nanti.
Mengetahui respon Eric, gadis itu lega. Ia langsung menuju kamar, tak lama kemudian kembali muncul sambil menggendong bayi laki-laki tampan yang masih mungil.
Matanya begitu jernih kebiruan, berkulit putih, dan berambut pirang. Sungguh mata yang kontras dengan iris mata hazel milik Merry.
"Dave, kau tampan sekali ya. Nama yang keren."
Entah sejak kapan, Dave sudah berpindah dalam pelukan Eric.
"Ya, aku tidak ingin Ayah kandungnya tahu jika dia kulahirkan," ungkap Merry tiba-tiba.
Sontak saja pengakuan gadis itu membuat Eric terkejut, bahkan kini rautnya berubah tegang. Tak ada senyum yang terpampang di wajahnya.
Bisa dibilang jika sedang serius Eric terlihat menyeramkan.
"Kamu yakin? Kenapa kamu tidak ingin menuntutnya? Anakmu butuh Ayah kandungnya. Dia butuh banyak hal, Merry! Apa kamu bercanda? Apa yang kamu pikirkan hingga membuatmu tega berbuat tidak adil pada bayi setampan Dave?"
Entah apa yang Eric pikirkan, tiba-tiba saja ia mengubah nada suaranya terdengar tinggi. Terlihat marah, dan entah.
"Dia pria kaya, baginya aku hanya barang yang bisa dibeli," sahut Merry dengan suara melemah.
"Bodoh! Kamu cantik, tunjukkan balas dendam kamu dengan prestasi! Kamu bisa mencari uang dan juga ketenaran!" hardik Eric merasa kesal.
Entah mengapa tiba-tiba saja ia meradang. Mungkinkah Dave yang mungil dan lucu itu membuatnya jatuh hati?
"Aku bahkan berhenti sekolah, Eric! Bicara memang mudah!"
Merry berbicara tak kalah bernada tinggi. Seolah sengaja memperlihatkan bahwa ia sedang kesal pada pria di hadapannya.
"Tapi ada aku, Merry. Bukankah aku berjanji akan membantu?" Eric menatap sendu ke arah Merry yang justru menghindari tatapannya.
"Ah terserah!"
Sesaat suasana kembali hening.
"Wajahnya, mirip salah satu kolega Ayahku."
Mata Merry menyipit mendengar pengakuan Eric.
"Apa?" tanya Merry penasaran dengan kalimat terakhir Eric.
"Tidak, mungkin aku salah. Kapan kamu bisa latihan? Setelah kamu mahir, baru kupertemukan dengan klien."
"Besok," sahut Merry sembari meraih Dave yang sudah terlelap dalam dekapan Eric.
Eric memang kini terdiam. Matanya hanya tertuju pada Merry, sesaat kemudian berpindah menatap Dave yang telah terlelap.
'Aku seperti melihat Damian dalam wajah bayi kecil itu. Mungkinkah pria brengsek itu Damian?' batin Eric bertanya-tanya.
"Aku pamit pulang, jika butuh apapun jangan sungkan menghubungiku," ujar Eric, mengakhiri perjumpaannya dengan Merry di hari itu.
Merry mengangguk cepat. Ia memang tak mengantarkan Eric hingga ke teras, tapi ia sempat menatapnya dari balik tirai jendela kamar.
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t