Share

7. Mimpi Buruk

Author: Ae-ri Puspita
last update Last Updated: 2022-07-07 10:15:16

Butiran hujan perlahan membasahi ibu kota, mengguyur semesta dengan gemuruh derasnya. Pohon-pohon basah, dedaunan yang bergoyang, bunga yang layu, tiang listrik yang berdiri kaku, hingga atap-atap gedung yang menjulang tinggi—semuanya berselimut dingin air hujan. Titik-titik bening itu terus berjatuhan, menghantam jendela kacanya, seolah mengetuk lembut, ingin menjadi saksi bisu kesedihan yang tak terucapkan.

Menghela napas berat, tangan lentiknya terayun perlahan, menutup jendela kamarnya yang mulai dipenuhi embun. Suara dentingan kaca yang tertutup terdengar lembut, seolah menandai akhir dari pertarungannya dengan malam. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju mokki beds yang bersisian dengan tempat tidurnya. Setiap pijakan kakinya terasa berat, seakan membawa beban hati yang tak terlihat. Di sana, ia berhenti sejenak, membiarkan keheningan malam menyelimuti dirinya, sementara pikirannya terus berputar dalam pusaran rasa yang tak pernah mampu ia ungkapkan.

Seulas senyuman tipis terbit dari bibirnya, namun tak mampu menyembunyikan kepedihan yang tersirat di baliknya. Air matanya kembali berjatuhan, membasahi pipi yang telah lama bersahabat dengan kesedihan. Matanya nanar memandangi toddler kecil yang terlelap damai di atas mokki beds, wajah polosnya memancarkan kebahagiaan dari dunia mimpi yang indah. 

"Maafkan Bunda, sayang," ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah gemuruh hujan di luar sana. Kata-kata itu keluar dengan berat, seperti membawa seluruh penyesalan yang tak pernah mampu ia ungkapkan sebelumnya. Tangannya terulur, membelai lembut rambut halus sang anak yang masih terlelap tanpa beban. Air matanya kian deras mengalir, bercampur dengan senyum getir yang menghiasi wajahnya. Di dalam hatinya, hanya ada doa tanpa henti, berharap kebahagiaan yang tak pernah mampu ia berikan akan tetap menjadi milik buah hatinya.

Bunyi ketukan pintu kamar yang tiba-tiba menggema sontak membuat Airah tersentak dari lamunannya. 

“Boleh Ibu masuk?” suara lembut itu terdengar dari balik pintu, disertai kepala yang perlahan melongok masuk. Tatapan penuh kasih dari sang ibu bertemu dengan mata Airah yang masih sembab. 

Airah tersenyum tipis. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya menganggukkan kepala pelan, memberi izin. 

Sintia membalas dengan senyum lebar, langkahnya perlahan mendekati sang buah hati. Wajah cantiknya yang mulai dimakan usia tampak berbinar, pancaran kebahagiaan jelas terlihat saat pandangannya tertuju pada sang cucu yang masih terlelap damai. Ada kehangatan dan kebanggaan yang sulit disembunyikan, terpancar dari setiap gerak-geriknya, seolah kehadiran kecil itu menjadi cahaya dalam hidupnya.

"Tidurlah, biar Ibu yang berjaga," katanya, suaranya penuh kelembutan, sembari menoleh dan tersenyum lembut ke arah Airah. Senyum itu seakan menenangkan, menghapus sedikit ketegangan yang ada. "Kamu juga butuh istirahat," lanjutnya dengan penuh perhatian, menyadari betapa lelahnya sang anak, meskipun tak pernah mengungkapkan keletihan itu secara terang-terangan padanya. 

Airah tak membalas apapun, pelan ia bergerak menuju tempat tidurnya. Membungkus tubuhnya dengan selimut tebal. 

Tak ada percakapan yang terdengar, hanya keheningan yang memenuhi ruangan. Suara denting jam yang berdetak perlahan dan gemuruh air hujan yang terus mengguyur di luar sana menjadi satu-satunya irama yang memecahkan sunyi antara anak dan ibu itu. 

"Airah," Sintia memanggil dengan suara pelan, namun ada keraguan yang jelas terlihat di wajahnya. Pandangannya lurus menatap manik mata sang anak yang juga tengah menatapnya, seolah mencari jawaban dalam diam. "Adnan sudah memberi tahu ibu," lanjutnya, suara itu mengandung beban yang tak terucapkan. Sintia menunda kalimatnya, lalu pandangannya beralih pada sang cucu yang terlelap dengan tenang. "Apa kamu yakin dengan keputusanmu ini, nak?" tanyanya lembut, namun nada suaranya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam, seperti seorang ibu yang ingin memastikan bahwa jalan yang dipilih anaknya adalah yang terbaik.

Lagi-lagi, tak ada tanggapan dari Airah. Dengan perlahan, ia berbalik tidur, membelakangi Sintia, seolah ingin menutup rapat segala perasaan yang tak mampu ia ungkapkan. Matanya terfokus lurus pada air hujan yang jatuh deras dari balik jendela kamarnya, seakan mencari kedamaian di antara riak-riak air yang mengalir. 

Dalam dekapan hangat selimut, Airah meremas dadanya, berusaha menahan rasa sakit yang begitu menyiksa, yang seolah tak pernah berhenti menggerogoti setiap sudut hatinya. Ia mencoba meredakan beban itu, memejamkan mata, namun tak pernah berhasil. Setiap hari, berulang kali, ia menguatkan diri, meyakinkan dirinya bahwa ia bisa melalui semua ini, tapi usaha itu selalu terasa sia-sia. Sakitnya begitu nyata, seperti jarum yang terus menusuk tanpa henti. Hingga akhirnya, rasa lelah dan sakit yang meluap itu membuatnya terlelap, tidur yang seolah menjadi pelarian terakhir, meskipun hatinya tetap terjaga, membekap dengan kesendirian yang dalam.

Melihat keadaan tersebut, Sintia merasa hatinya teriris. Dengan hati-hati, ia bangkit dari duduknya dan melangkah perlahan menghampiri tempat tidur sang anak. Setiap langkahnya terasa berat, seperti membawa beban yang sama dengan yang dirasakan oleh Airah. Dengan penuh kelembutan, tangannya menyentuh ujung selimut yang membungkus tubuh Airah, memperbaikinya agar lebih nyaman. Perlahan, ia menatap wajah anaknya yang tertidur, wajah yang penuh dengan kesedihan yang tak terungkapkan. 

"Maafkan Ibu, nak," gumam Sintia pelan, suaranya hampir tak terdengar, seolah takut mengganggu tidur anaknya. Kata-kata itu keluar dengan penuh penyesalan, seakan mengalir bersama air mata yang tak dapat dibendung. Tanpa sadar, air mata Sintia menetes, jatuh membasahi pipi yang telah lama memendam kesedihan.  

Jam yang menempel di dinding berdetak pelan, suaranya yang teratur memecah keheningan malam yang pekat. Setiap detiknya terdengar jelas, menggema di dalam ruangan yang sepi. Jarum panjangnya perlahan mendekati angka dua, sementara jarum pendeknya telah berada di angka satu dan lima. Suara detak jam yang monoton itu seolah menjadi pengingat bahwa waktu tak pernah berhenti, terus berjalan tanpa peduli betapa lambat atau cepatnya malam berlalu, seakan mengabaikan segala perasaan dan kesedihan yang membebani setiap jiwa yang terperangkap dalam keheningan itu.

Di tengah detak jam yang terus berdenting, di antara tiga makhluk yang tengah tertidur pulas dalam kamar tersebut, seorang di antara mereka tampak gelisah dalam tidurnya. Wajah yang semula tenang itu kini terlihat pucat pasi, seolah mimpi buruk itu telah menyusup ke dalam alam bawah sadarnya. Kelopak matanya bergerak-gerak gelisah, menandakan bahwa ia tengah terperangkap dalam kegelapan mimpi yang penuh ketakutan. Napasnya mulai terengah-engah, dan tubuhnya bergeming, seolah takut untuk bangun dari mimpi yang menyesakkan itu.

“Bagas!” tubuh Airah refleks terbangun dari pembaringan, matanya terbuka lebar, napasnya tersengal-sengal, seolah-olah ia baru saja berlari marathon tanpa henti. Jantungnya berdebar kencang, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja ia alami dalam mimpinya. "Astagfirullahaladzim," gumamnya pelan, mengucap doa yang sudah begitu sering ia lafalkan dalam hati. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, berusaha menenangkan diri, namun perasaan cemas dan takut masih menyelimutinya, seolah mimpi buruk itu masih menghantui dalam keheningan malam yang dingin.

Ae-ri Puspita

Mohon maaf, untuk sementara novel ini dalam proses revisi.

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Cinta Sejati   Pernyataan

    Allah SWT berfirman dalam (Surah Asy-Syu’arah : 78-82) yang artinya : Yaitu yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku, dan yang Memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan yang sangat kuinginkan akan mengampuni keselahanku pada hari kiamat.” *** Perlahan mata sayu itu terbuka. Lamat-lamat ia mengerjap guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah plafon berwarna putih. Airah merasakan denyut sakit di kepalanya, di sebelah bagian tangan kanannya terdapat selang infus yang terpasang. Pintu ruangan terbuka. Menampilkan sosok Anya dan seorang dokter laki-laki setengah baya menghampirinya. Anya berhambur memeluk tubuh sang sahabat. “Alhamdulillah, Ra, kamu sudah sadar.” Ia merenggangkan pelukannya. “Apa kamu masih merasa pusing?” Airah mengangguk. ”Iya sedikit pusing.” Mata bening Ai

  • Takdir Cinta Sejati   Kisah Kesabaran Nabi Ayyub as

    "Allah melimpahkan setiap ujian-Nya padamu karena Allah percaya bahwa kamu bisa dan mampu dalam melewatinya. " ~Nur Airah Nih~ *** Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Janjian, hari ini Airah dan Anya akan bertemu di Kafe tempat biasa mereka nongkrong. "Assalamu'alaikum, maaf, ya, Ra, aku telat." Airah memutar bola mata malas. Kebiasaan." Wa'alaikumussalam, aku dah nunggu satu jam lebih, loh." Anya menggeser kursi dan duduk di depannya."Iya, maaf banget. Tadi tiba-tiba ada urusan penting di Rumah Kasih Cinta. Maaf, ya. Ra," sesalnya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. "Rumah kasih cinta?" Anya mengangguk." Rumah khusus buat pengidap penyakit kanker," sahutnya seraya melambaikan tangan ke pramusaji. Lagu Kupu-kupu Cinta--Sigma pun mengalun merdu. Menemani makan sore mereka. "Hm, An." Anya mendongak melihat wanita di depannya sambil memasukkan mie goreng ke mulutnya. "Boleh aku ikut dengan

  • Takdir Cinta Sejati   Melamar

    "Masa lalu tak hanya memberikan kenangan, namun juga mengenalkanmu akan makna kehidupan." Anonim. *** Waktu berputar seiring dengan roda jam yang berdetak, tak terasa sudah empat tahun sembilan bulan wanita itu meninggalkan bangku perkuliahan. Lulus dengan nilai cumlaude. Ternyata menjadi seorang sarjana itu tidaklah mudah, seperti dugaan sebagian orang. Ada banyak tuntutan dan tanggung jawab yang harus mereka hadapi. Salah satunya, mencari pekerjaan. Sebagian orang berpendapat bahwa menjadi sarjana akan lebih mudah atau memiliki pegangan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik nantinya. Misalnya, menjadi pegawai pemerintahan, mungkin. Mindset tersebut harus mereka ubah. Menjadi sarjana adalah proses kemandirian diri. Bagaimana mereka dituntut untuk lebih kuat mental lagi dalam menghadapi persaingan dunia kerja. Wanita itu pernah bekerja di salah satu minimarket. Hingga cibiran itu pun berdatangan satu per satu. "Sarjana kok, cuma kerja di minimarket. Sayang, Mbak title

  • Takdir Cinta Sejati   Layaknya Fatimah Az-zahra Dan Siti Hawa

    Aku tidak bisa menjadi layaknya Fatimah Az-zahra yang mencintaimu dalam dalam diam, tapi izinkan aku menjadi layaknya Siti Hawa yang rela menunggumu hingga ajal ini menjemput. Nur Airah Nih *** "Apa Lu nggak tahu kalau dia sudah tidak di Indonesia lagi?" Air mata tak dapat ia bendung lagi. Hatinya terlalu sakit seakan ada ribuan anak panah yang menembus jantungnya. Jika saja Dani tak memberitahunya, mungkin saja dia tidak akan pernah tahu kalau pria tersebut sudah pergi. Benar-benar pergi meninggalkannya. Airah meremas kuat dadanya, perih. Cintanya kini telah pergi meninggalkan perasaan yang masih utuh untuknya. Meninggalkan ribuan kenangan yang masih ia simpan rapat dengan sempurna dalam sanubarinya. Kini, dia hanya bisa meratapi kepergian pria itu dalam doa yang sering dirinya langitkan. Berharap agar pria itu baik-baik saja di sana. Bunyi ketukan pintu menyadarkannya dari lamunan. Gegas, dia menyeka air

  • Takdir Cinta Sejati   Selamat Tinggal

    Benci bukan berarti aku tidak peduli. Bagas Gunawan Basri *** Rahang dan tangannya sama-sama ikut mengeras, menatap tajam pria yang dengan lancangnya menghina wanitanya. Wanitanya? Jika saja pria itu tidak sadar bahwa hubungan mereka sudah berakhir, mungkin saja pria bernama Tomi itu sudah babak belur di tangannya. "Dani!" Pria yang dipanggil namanya tersebut menghela napas berat. Dia paham betul masalah pelik antara sang sahabat dengan mantan kekasihnya itu, yang sialnya masih dicintai oleh sahabatnya. "Gue nggak ngerti deh sama kalian. Kalau kalian masih sama-sama suka, kenapa tidak balikan saja," ucap Fikri seraya menyeruput secangkir kopi. "Itu sama aja Lu nyuruh gue masuk kandang singa. Secinta apa pun gue sama dia. Gue enggak mau jadi perusak rumah tangga orang. Gue masih punya harga diri." Tegas Bagas. Aziz dan Fikri mengangguk paham. "Tapi gue masih nggak ngerti, kenapa Airah tega nyelingkuhin Lu." Ba

  • Takdir Cinta Sejati   Rumor

    "Ketika kepercayaan dirusak, kata maaf sudah tak ada artinya lagi." Anonim *** Suara petir menggelegar diiringi suara gemuruh hujan yang turun membasahi bumi Pertiwi. Suara adzan subuh pun telah terdengar mengalun merdu seantero jagat raya membangunkannya dari tidur lelap. Airah menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya seraya bergegas masuk ke dalam kamar mandi, berwudhu dan melaksanakan salat subuh. Tepat saat matahari menyingsing, dia telah siap dengan balutan gamis grey polos yang senada dengan warna jilbab lebarnya. Melangkah turun, menuju meja makan. Di sana kedua orang tuanya telah duduk manis di kursi masing-masing. Selepas sarapan, dia gegas pamit kepada kedua orang tuanya. Menuju kampus. Setibanya di tempat tujuan, wanita itu mengernyit heran saat melihat para mahasiswa yang menatapnya sedemikian rupa. Apa ada yang salah? Airah menelisik penampilannya sendiri. Tidak ada. "Pantas sekarang berjilbab. Cuma kedok belaka." "Cih, sok su

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status