Kutitip dirimu hanya pada-Nya, karena Allah lah sebaik-baiknya penjaga.
Nur Airah Nih
***
Airah menatap pintu bercat biru dari jarak lima meter di hadapannya sambil mondar-mandir gelisah.
Ia menoleh saat mendengar pintu ruang kuliah teknik informatika 101 tersebut terbuka.
"Dani!" Pria itu menoleh.
Airah lekas berlari menghampirinya, dan berdiri di hadapannya. "Bagaimana keadaannya, apa dia baik-baik saja?"
"Dia baik-baik saja. Lu, nggak usah khawatir."
Airah tersenyum tipis." Terima kasih banyak."
Dani menganggukkan kepalanya seraya melanjutkan langkah kakinya.
Kini dia bisa bernapas lega, walau tak sepenuhnya. Meminta bantuan kepada Dani adalah salah-satunya jalan yang bisa ia tempuh saat ini. Dia tidak ingin terjadi sesuatu terhadap Bagas diluar nalar kewarasannya.
Airah menghembuskan napas lelah saat ia berbalik badan dan melihat Angel and the geng tengah berjalan lebar ke arahnya.
"Ngapain Lu di sini?" Wanita berambut pirang itu bertanya sambil bersedekap dada membidiknya.
"Emangnya di sini adalah private place buat Lu, sehingga hanya Lu yang bisa datang?"
Angel tersenyum sinis, mengikis jarak di antara mereka.
"Bilang aja kalau Lu ke sini karena Lu mau ketemu sama Bagas,' kan? Kenapa, Lu masih berharap? Jangan mimpi Lu. Bagas cuma buat gue. Camkan itu!"
Airah memutar bola mata jengah, mendengus kesal. Hendak menjawab tapi urung saat Angle berteriak lantang memanggil seseorang.
"Fikri!" Pria yang ia panggil tersebut menoleh.
"Mana Bagas? Kok nggak barengan sama Lu?"
Pria itu mengangkat bahunya sebagai jawaban seraya melanjutkan derap langkahnya.
Kedua bibir Airah terkatup menahan tawa melihat bibir kerucut wanita di hadapannya.
Airah menggeleng hendak melangkah pergi, tapi sebuah tangan mencekalnya, mengurungkan niatnya.
"Jika Lu berani deketin Bagas lagi. Gue bersumpah bakalan buat hidup Lu menderita."
Airah menghempaskan kasar tangan Angel, menyunggingkan senyum miring.
"Ora urus,” balasanya seraya melangkah menjauh.
"Dasar wanita gatal," teriak Angel.
Langkah kaki Airah terhenti. Tangannya terkepal erat.
Bunyi deringan Hp menghentikan gerakan tubuhnya yang hendak berbalik dan berlari menjambak rambut wanita di belakangnya itu.
"Halo, Assalamu'alaikum, Mas."
"Wa'alaikumussalam, Airah kamu bisa ke rumah sakit sekarang?" Terdengar nada cemas dari seberang sana." Suhu tubuh Hafsyah naik, dia terus mengigau memanggil uminya. Aku mohon segeralah ke kemari."
Airah tak menjawab. Langsung mematikan sambungan telepon dan bergegas berlari ke luar kampus dan menahan angkot yang kebetulan lewat.
"Mas, Bagaimana keadaan Hafsyah?" tanyanya seraya melangkah mendekat ke arah pria yang lagi duduk di kursi panjang depan ruangan Hafsyah di rawat.
Adnan menoleh."Dia lagi ditangani oleh dokter." Pria itu kembali menundukkan kepalanya.
Airah duduk di sampingnya dengan jarak satu meter. Tak ada yang membuka suara, pikiran mereka sama-sama terpusat pada gadis cantik nan ceria yang sekarang lagi terkapar sakit.
"Maaf, jika aku terus menyusahkanmu." Airah menoleh ke arah sumber suara. Menatapnya tajam.
Wajah Adnan tampak terlihat lelah dengan lingkaran hitam di area matanya.
"Aku Ibunya, Mas. Jangan membuatku seperti orang asing dalam hidup Hafsyah. Walaupun..." Ucapan wanita itu terpotong saat pintu kamar Hafsyah terbuka.
Airah dan Adnan sama-sama berdiri. Berjalan mendekat ke arah wanita paruh baya itu.
"Bagaimana keadaan anak saya dok?"
"Bisa kita bicara di ruangan saya saja dokter Adnan?" Adnan menganggukkan kepalanya seraya mengekori dokter ber-name tag Ayunda itu.
Airah melangkah masuk ke dalam kamar Hafsyah. Menghampiri tempatnya tidur.
Air matanya luruh seketika saat memandangi wajah polos bayi kecilnya.
Mencium pucuk kepala si bayi seraya berucap, " Maafkan, bunda, Nak."
Hati ibu mana yang tak sakit, melihat anaknya terkapar tak berdaya seperti ini? Jika bisa wanita itu ingin menggantikan anaknya, biar dia saja yang menanggung sakitnya. Ia rindu tawa canda dari bayi kecilnya.
Airah menyeka air matanya saat mendengar suara decitan pintu. Adnan berjalan ke sisi kiri ranjang Hafsyah. Menatap wajah sang anak.
"Apa kata dokter, Mas?”
Adnan diam sejenak." Hafsyah hanya merindukan uminya."
Adnan menunduk, mencium lama kening sang anak. "Maafkan, Abi, Nak," lirihnya.
Airah diam membiarkan anak dan Ayah itu menyelami perasaan masing-masing.
Adnan menghentikan ciumannya. Setetes air mata jatuh membasahi wajah Hafsyah saat dia menjauhkan wajahnya.
"Sudah waktunya sholat, Ra. Sholatlah duluan, aku yang akan menjaga Hafsyah," ucapnya sambil mengelus lembut pucuk kepala sang anak.
Airah mengangguk dan bergegas menuju masjid rumah sakit. Mengambil wudhu seraya melaksanakan sholat ashar.
Wanita itu menengadahkan tangan ke atas, memohon, memunajat, dan meminta pada Allah, agar diberi ketegaran hati dalam menghadapi segala persoalan pelik dalam hidupnya.
Selepas shalat, ia kembali mengayunkan kakinya menuju ruangan Hafsyah.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Airah tersenyum seraya menghampiri Rita (Ibunda Adnan) dan Sintia. Mencium punggung tangan mereka masing-masing.
"Bagaimana kabarmu, Nduk?" tanya wanita paruh baya itu.
"Alhamdulillah, baik Bu."
Airah, Rita, dan Sintia larut dalam percakapan, hingga suara cadel seseorang menyadarkan mereka.
Airah menghampiri Hafsyah, gadis kecil itu terdengar sedang mengigau memanggil uminya.
"Sayang!" Panggil Airah. Duduk di sisi ranjang dan mengelus lembut tangan mungil milik Hafsyah.
Perlahan mata sayu itu terbuka. Airah tersenyum menatapnya." Unda?"
Airah mengangguk. "Iya, sayang, ini bunda."
Hafsyah merentangkan kedua tangannya. Airah membantunya bangun seraya membawa Hafsyah duduk ke pangkuannya.
"Asya, indu unda. Jangan pelna tinggalka Asya lagi, ya? Asya janji tidak akan nakal lagi."
Airah tak dapat membendung air matanya.
"Maafkan bunda sayang." Bibirnya berkali-kali mengecup pucuk kepala sang anak.
Hafsyah bergerak, melepaskan pelukannya. Dia tersenyum hingga memperlihatkan lesung di kedua pipinya. Kedua tangan mungilnya menangkup wajah Airah.
"Jangan nangis unda. Asya enggak mau unda sakit."
Airah tersenyum, mengangguk. Membawa bayinya kembali ke dalam dekapannya.
***
Hafsyah kembali terlelap saat setelah makan dan minum obat.
Bunyi suara ringtone hp menyentak Airah dari lamunan.
Ia menghampiri meja tempat di mana sumber suara itu berasal. Tiga panggilan tak terjawab dari nomor yang tak tersimpan. Airah tersenyum simpul. Air matanya kembali mengalir, melihat foto dua orang anak Adam yang tengah berpose dengan wajah yang ceria melihat ke arah kamera.
Sebegitu cinta kah Adnan terhadap wanita itu?
"Apa ada yang menelpon?" Airah terlonjak kaget saat tiba-tiba mendengar suara Adnan. Gegas, ia menghapus air matanya dan menoleh ke belakang.
"Iya, Mas. Dari nomor yang tidak tersimpan. Maaf, tadi aku tidak sengaja melihat ponselmu. Itu karena ponselmu terus berdering," tuturnya.
Adnan mengangguk mengerti. Pria itu menghampiri single sofa sembari mendudukan diri di sana.
Airah melihat Rita yang tengah tertidur lelap. Ibu dan ayahnya sudah pulang beberapa jam yang lalu, sedangkan Raffi (Ayahanda Adnan tidur di kursi depan kamar Hafsyah)
Ragu, wanita itu ingin menanyakan sesuatu.
Melepas keraguan ia pun bertanya, "Apa Mas masih merindukannya?"
Mohon maaf, untuk sementara novel ini dalam proses revisi.
Bisakah aku mendengar suaramu sebagai obat atas rinduku. ~Adnan Ghafi Shahzaib~ 🕊🕊🕊 Sejenak lenggang, hanya terdengar suara degup jantung dua insan yang tengah terpaku dalam pikiran mereka masing-masing. Adnan menghela napas berat, dia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa sembari matanya menatap lurus plafon putihnya di atasnya. Pikirannya seakan tengah menerawang jauh ke belakang. Sedangkan wanita yang duduk tiga meter darinya tengah menatap lurus lantai granit putih polos di bawahnya. Menunggu jawaban atas pertanyaannya. Detik menit menunggu tapi tak kunjung pria itu menyahut apa pun. Adnan menutup matanya sejenak. Lagi helaan napas itu terdengar berat keluar dari bibirnya. "Jika aku mempertanyakan hal yang sama, apa kamu juga akan menjawabnya?" Adnan menoleh, menatapnya lamat. Kali ini Airah yang diam tak menjawab. Pria itu kembali mengalihkan tatapannya pada plafon di atasnya. "Tak ada seorang pun yang tak merindukan orang yang mereka cintai, Ra, " imbuhny
Cinta adalah penyakit yang tidak ada kebaikan dan balasannya. Ali bin Abi Thalib. *** Lamat-lamat mata sendu wanita itu terbuka. Mengerjapkan, guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah plafon putih rumah sakit. “Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah bangun.” Airah menoleh ke samping mendapati raut khawatir seorang pria. Kesadaran wanita itu belum pulih sepenuhnya. Ia memperhatikan sekitar, matanya seketika membulat saat menyadari akan sesuatu. Bagas. “Airah, kamu mau ke mana?” tanyanya saat melihat si wanita turun dari ranjang dan memakai sandal swallow miliknya. Adnan menahan tangannya saat ia hendak menarik handle pintu kamar. “Mas, apa yang kamu lakukan?” “Tubuhmu belum terlalu pulih. Kamu harus istirahat.” Airah menggeleng, bagaimana bisa ia istirahat disaat pria yang ia cintai tengah terluka parah. “Aku tidak apa-apa, Mas.” Airah melepas paksa cekala
Aku hanya bisa mengenang kisah kita bersama, disaat aku sudah tak bisa lagi menggapaimu. Bagas Gunawan Basri *** Kelopak mata itu perlahan terbuka. Mengerjap berulang kali guna menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Aroma obat-obatan langsung tercium oleh indera penciumannya. "IBU! Mas Bagas sudah sadar." Terdengar suara nyaring. "Bagas! Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nak." Pria itu diam masih mencerna."Airah, mana Bu?" tanyanya. "Wanita itu tidak ada, Bagas. Dia bahkan tidak mempedulikan bagaimana keadaanmu. Jadi, ibu mohon berhentilah mencarinya, ya?" Bagas tak menjawab. Dia merasa bahwa Airah baru saja datang menjenguknya dan berceloteh berbagai hal seperti biasanya. "Bagas, apa ada yang sakit? Yang mana yang sakit, Nak?" tanya Nia khawatir saat melihat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata sang putra. "Bisa ibu panggilkan Airah untukku?" Rindu tampak jelas di kedua bola mata Bagas. Mata Nia berkaca
Kita berpijak pada bumi yang sama, menatap langit yang sama, juga pada perasaan rindu yang sama. Tapi, mengapa kita tak dapat bersama-sama? ~Rintihan hati dua insan yang dilanda rindu~ *** Airah menghentikan bacaan Alqurannya saat mendengar ketukan pada pintunya. "Unda, boleh Asya masuk." Ia menyunggingkan sebuah senyuman saat mendengar suara teduh tersebut. "Boleh sayang masuklah!" Hafsyah berlari ke pangkuan Airah saat pintu itu dibuka oleh Sintia. "Yasudah, ibu ke bawah, ya?" Airah tersenyum, mengangguk. "Kok, belum tidur sih, Nak?" tanyanya, mengelus lembut pucuk kepala sang anak. Hafsyah menggeleng." Nggak bisa tidul unda." Kening Airah mengerut." Kenapa tidak bisa tidur, hm?" "Abi biasanya bacain Asya dongeng sebelum tidul." "Jadi, anak bunda yang satu ini mau dibacain dongeng, ya?" Hafsyah mengangguk cepat—ia tersenyum. "Biasanya Abi bacain dongeng apa untuk Hafsyah?" Hafsyah mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. Ma
Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia. Ali bin Abi Thalib *** "Gue kira Lu nggak bakalan datang," seloroh Fikri. Bagas tersenyum tipis tak menanggapi ocehan sang sahabat. "Lu yakin mau main?" tanya Dani. Pria itu tahu betul kalau sahabatnya itu belum pulih total. Bagas mengangguk seraya melepas jaket denim jeans black-nya. Mereka bermain hampir dua jam lebih. Peluh telah membasahi keempat pria itu. Tapi tak ada satu pun yang berniat untuk berhenti bermain. "Oper ke gue. Oper ke gue." Aziz berteriak menyuruh Dani mengoper bola ke arahnya. Dani pun mengoper bola tersebut ke arahnya. "Yessss," teriak Aziz saat berhasil memasukkan bola itu ke ring basket. Keempat pria tersebut terkapar letih di atas lantai sambil berselonjoran. "Kira-kira sudah berapa lama kita nggak main bareng, ya?" tanya Fikri. "Sekitar dua tahun," jawab Aziz cepat
Cinta meninggalkan ingatan yang tidak dapat dicuri oleh siapa pun, tetapi terkadang meninggalkan sakit hati yang tidak dapat disembuhkan oleh siapa pun. ~Anonim. *** Cinta itu laksana sayatan pedang yang menghujam, tembus masuk ke dalam ulu hati, sekuat apa pun sang pencinta untuk melepaskan belenggu sayatan pedang itu, akan sia-sia, jika hati dan jiwanya masih terpaut pada sang kekasih hati. Tidak mudah memang melepaskan sangkar memori yang terus bergentayangan dalam ingatan karena dia layaknya memori internal yang menyimpan banyak kenangan masa lalu tersimpan utuh jauh ke dalam cranium dan terbungkus rapat oleh selaput otak yang kuat. “Bagaimana caranya aku memberitahumu, bahwa berbicara denganmu dapat menyembunyikan segala yang ada di hatiku.” Kristal bening yang menumpuk dari pelupuk matanya, kini jatuh bercucuran membasahi kedua pipinya. “Aku sangat merindukanmu Bagas.” Kepalanya mendongak, memandangi cahaya rembulan di langit malam sana. Di langit yang gelap gulita, bulan
Jadilah seperti lilin, agar engkau mengerti apa itu cinta dan ikhlas yang sebenarnya. Rabi'ah Adawiyah *** Kicauan burung kenari saling bersahutan di atas rimbunan pepohonan. Bertasbih memuji Allah Azza Wa Jalla . Rerumputan hijau bergoyang seirama dengan hembusan angin. Arunika pun telah memancarkan cahayanya di atas horizon sebelah timur, hingga menampilkan kehidupan alam semesta dengan hiruk-pikuknya keramaian umat manusia. "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun" (QS. Al-Isra:44). Airah melengkungkan senyuman saat melihat anak-anak kecil yang ia perkirakan seumur dengan Hafsyah tengah berkejaran-kejaran dengan riang gembira. Anak perempuan yang bermain perosotan dengan ibunya, dan anak laki-laki yang bermain bola dengan
Aku memang masih sering meneteskan air mata atas takdir perpisahan cinta kita, bukan karena aku menginginkanmu kembali, tapi karena aku menginginkan kelapangan hati untuk bisa melihatmu bersama dengan yang lainnya. Perih memang tapi harus kulakukan. Bagas Gunawan Basri *** "Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa jatuh dari motor seperti itu?" cecar Airah seraya duduk di samping Bagas, menyerahkan obat yang baru saja ia ambil dari Depo Farmasi. "Hanya keserempet mobil yang menyerobot melawan arah, " balasnya tak acuh sembari menerima obat yang diberikannya. Airah mendengus. "Dan orang itu tidak bertanggung jawab." "Hanya luka kecil." Bagas bangkit berdiri. Airah mengikuti. Mengekori langkah Bagas seperti anak ayam yang mengikuti induknya. "Apa kamu yakin tidak perlu dipapah?" tanya Airah balik. Dia meringis melihat Bagas yang berjalan terseok-seok sambil memenangi sebelah kakinya yang sakit. "Tidak perlu. " Beb