Share

Frustasi

"Jika melukaiku adalah jalan untuk menebus kesalahan dan rasa sakit hatimu, maka lukai dan sakiti saja hatiku. Tapi, ku mohon jangan melukai dirimu sendiri, karena itu sama saja kamu menambah rasa bersalahku padamu."

                                                            Nur Airah Nih

🥀🥀🥀

Jam berdenting menunjukkan pukul dua dini hari. Airah melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Mengambil wudhu dan melaksanakan sholat dua rakaat sebagai penutup malam ini.

Air matanya tak dapat ia bendung kala masa lalu muncul silih berganti dalam memori. Bahu wanita itu terguncang oleh tangis. Wajahnya, wajah sosok yang sangat dia cintai. Wajah pria yang ingin dia bersamai hingga ajal menjemput. Wajah sosok yang selalu dia harapkan menjadi imam dalam sholatnya. Kini, hanya dapat ia kenang dengan doa yang terus dia langitkan.

Airah merindukan pria itu. Sangat. Hampir dua belas bulan wanita itu menjauh berharap agar dapat melupakan sosoknya, melupakan semua kenangan yang telah mereka rajut, tapi semua itu tak semudah apa yang dia pikirkan. Masih ada rasa sakit dan cemburu  saat melihatnya bersama wanita lain. 

Airah ingin menghampirinya  dan menumpahkan rasa rindu kala mata mereka bertemu, dia ingin memaki kala melihatnya merokok, dia ingin mengatakan bahwa dia cemburu kala melihatnya bersama wanita lain.

Salahkah jika dia masih mencintai pria itu? Saat dia tahu bahwa dialah penghancur hubungan mereka.

Airah menutup bacaan Al-Qur'annya seraya bergegas naik ke atas tempat tidur. Hati dan raganya butuh istirahat. Perlahan mata sendu itu pun tertutup rapat. Tepat saat adzan subuh berkumandang mata itu kembali terbuka. 

Airah menyibak selimut yang membungkus tubuhnya, lantas berjalan pelan masuk ke dalam kamar mandi–membersihkan diri lalu menunaikan kewajibannya dan bergegas menuju rumah sakit, sebelum ke tempat dimana dia mengenyam pendidikan. 

"Biar diantar Pak Abdul, ya?" ujar Adnan saat Airah pamit hendak ke kampus. 

Airah menyampirkan tas punggungnya sembari menggeleng. "Nggak usah Mas, biar aku pesan gojek, aja."

Adnan balas menggeleng. "Tidak Airah. Pak Abdul tetep akan mengantarmu. Titik tidak pakai koma."

Airah menghela napas. Adnan tipikal pria yang tidak suka dibantah. Wanita itu pun mengangguk. Men-iyakan adalah keputusan yang tepat saat ini. Lebih tepatnya mengalah, Airah tidak punya stok untuk berdebat. 

Setelah pamit kembali, mencium sang anak, wanita itu pun lantas meninggalkan rumah sakit, meninggalkan kehampaan yang kembali berkecamuk dalam rongga dada pria yang kini menatap anaknya yang tengah tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. 

Tak berselang lama, mobil BMW hitam itu pun tiba di depan gerbang kampus. 

 "Terima kasih, Pak," ujarnya pada Pak Abdul sambil membuka seat beltnya

Pria paruh baya itu tersenyum. Melihatnya dari balik rear-vision mirror. "Inggih. Mau dijemput jam berapa, Mbak?"

Airah menggeleng, tersenyum. "Nggak perlu, Pak. Nanti saya pesan Gojek saja."

Turun dari mobil. Langkah kaki Airah terhenti saat memasuki gerbang kampus. Matanya terus menelisik punggung seorang pria yang tengah duduk bersandar di tembok bercat kuning itu sambil meneguk sesuatu.

Mata wanita itu seketika terbelalak saat si pria menoleh ke samping sambil meludah.

Dengan langkah pasti ia mengayunkan kakinya menghampiri pria itu dengan kedua tangan yang terkepal erat. 

 "Bagas apa yang kamu lakukan?" Lantangnya seraya merampas botol alkohol dalam genggaman pria tersebut dan menghempaskannya ke tanah.

Bagas berdiri matanya menatapnya tajam. Rahang pria itu terkatup rapat. 

Sudah berapa lama pria ini minum? Hingga matanya sudah semerah itu.

"Apa yang kamu lakukan, hah?"

"Akulah yang sepatutnya bertanya seperti itu, apa yang sedang kamu lakukan? Sejak kapan kau minum, minuman haram ini, hah?"

Bagas menggerakkan lehernya yang terasa kaku. Giginya gemeletuk. Jari-jemarinya terkepal membentuk tinju hingga menonjolkan urat-urat pada kulit eksotisnya. 

"Itu bukan urusanmu, " tukasnya, membuang muka. 

"Itu urusanku, Bagas!"

Sadarkah Airah saat mengatakan itu, dia telah membangkitkan bara api ke dalam hati pria di depannya? 

Bagas kembali menatapnya. "Urusanmu?" Tatapannya menusuk ke dalam bola mata Airah. "Apa urusanmu?" 

Airah tercekat, ia baru menyadari perkataannya. 

Bibirnya bergerak, ingin mengatakan sesuatu tapi suaranya seakan tenggelam dalam kerongkongan. 

 "Katakan di mana letak urusanmu, Airah?" Suara Bagas melemah. 

Airah semakin mundur saat pria itu maju.

"Apa kamu sedpresi ini?" Dia berhenti. Membiarkan Bagas mengikis jarak mereka. Mata mereka saling bertemu. 

Pria itu menyunggingkan senyum miring. 

"Depresi kenapa? Depresi dikhianati dan ditinggal nikah olehmu? Atau depresi karena kau hamil diluar nikah bersama pria lain?"

Bibir Airah terkatup rapat. Diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Walau hatinya terasa teriris sembilu oleh perkataan pria yang masih dia cintai ini. 

 Bagas tertawa mengejek. 

Airah  meringis sakit saat Bagas meremas kedua bahunya. Mata tajam bak elang itu menatap bola matanya yang tampak berkilat oleh air mata. 

"Untuk apa aku depresi, Airah? Bukankah aku sepatutnya bersyukur dan bahagia karena sudah lepas dari cewek murahan sepertimu?"

Murahan? Air mata wanita itu luruh membasahi pipinya. 

Airah  mengangguk."Iya, aku tahu aku perempuan murahan Bagas. Dan aku akui itu. Maaf, jika perempuan murahan ini sudah berani menyakiti dan mengkhianatimu." 

Menggigit bibirnya, menahan agar tangisnya tidak pecah. "Tapi bisakah kamu melampiaskan rasa sakit hatimu itu hanya padaku saja, bukan pada alkohol, rokok ataupun sesuatu yang bisa merusak masa depanmu. InsyaAllah, aku ikhlas jika kamu ingin menyakiti ataupun membalas dendam padaku. Tapi aku mohon jangan menyakiti dirimu sendiri seperti ini."

Bagas berteriak sambil menjambak rambutnya penuh frustasi. 

"Bagas," lirihnya. 

 "Pergi!" Usirnya saat wanita itu melangkahkan kaki hendak mendekat ke arahnya. 

Airah  menggeleng. Bagaimana bisa dia pergi saat keadaan pria itu seperti saat ini? 

"Pergi Airah!" Serunya dengan nada frustasi. Emosi Bagas sudah berada di puncaknya, jangan sampai dia melampiaskan emosinya itu pada wanita ini, yang sialnya masih sangat dia cintai. 

Airah menggeleng lagi. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian dalam keadaan seperti ini."

Bagas mengusap wajahnya dengan kasar.

Bagas kembali menatapnya." Pergi sebelum aku memperkosamu di sini."

Airah terkesiap, menatap kembali bola mata Bagas yang mengisyaratkan bahwa pria itu tidak main-main dengan ucapannya.

"Maafkan aku, " ucapnya seraya beranjak pergi dari sana. Meninggalkan Bagas seorang diri. 

Tubuh Bagas luruh ke atas lantai. Air matanya ikut mengalir, berjatuhan. 

Mengapa. Mengapa? Wanita yang sangat dia cintai itu menghianatinya? Apa salahnya? Di mana letak kesalahannya? 

"Arrrggghhh. Brengsek."

Bagas  menjambak rambutnya dengan kasar kala bayangan wanita itu bersama dengan pria lain bersemayam dalam sanubarinya. 

"Mau sampai kapan lu seperti ini?"

Bagas mendongak melihat si pemilik suara. 

Dani berjongkok di dekat sang sahabat. 

"Gue nggak tahu masalah kalian itu apa. Tapi nggak sepatutnya lu nyakitin diri lu seperti ini."

Dani merangkul bahu Bagas. "Hidup masih panjang bro. Jangan sia-siakan hidup lu hanya karena masalah percintaan."

Ae-ri Puspita

Mohon maaf, novel ini dalam proses revisi.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status