Share

Rindu

Bisakah aku mendengar suaramu sebagai obat atas rinduku. ~Adnan Ghafi Shahzaib~

đź•Šđź•Šđź•Š

Sejenak lenggang, hanya terdengar suara degup jantung dua insan yang tengah terpaku dalam pikiran mereka masing-masing. 

Adnan menghela napas berat, dia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa sembari matanya menatap lurus plafon putihnya di atasnya. Pikirannya seakan tengah menerawang jauh ke belakang. 

Sedangkan wanita yang duduk tiga meter darinya tengah menatap lurus lantai granit putih polos di bawahnya. Menunggu jawaban atas pertanyaannya. Detik menit menunggu tapi tak kunjung pria itu menyahut apa pun. 

Adnan menutup matanya sejenak. Lagi helaan napas itu terdengar berat keluar dari bibirnya. 

 "Jika aku mempertanyakan hal yang sama, apa kamu juga akan menjawabnya?" Adnan menoleh, menatapnya lamat. 

Kali ini Airah yang diam tak menjawab. Pria itu kembali mengalihkan tatapannya pada plafon di atasnya. 

 "Tak ada seorang pun yang tak merindukan orang yang mereka cintai, Ra, " imbuhnya. 

Airah meremas kuat tangannya. Tak ada yang salah mereka berhak merindukan orang yang mereka cintai, bukan? 

Adnan bangkit berdiri. Pria itu melangkah menuju tempat tidur sang anak. Mengecup lama keningnya. Kemudian berbalik badan, menghadap wanita yang masih termenung di tempatnya. 

Adnan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana lalu berkata, "tidurlah, sudah larut." Lantas melenggang keluar dari kamar inap itu. 

Menghela napas, wanita itu pun beranjak, mendekati ranjang Hafsyah. Airah tidur berlengan bantal di sisi tempat tidur anaknya. 

Tepat adzan subuh wanita itu terbangun dari lelapnya. Dia memperbaiki posisi selimut yang membungkus tubuh Hafsyah sebelum beranjak  menuju masjid rumah sakit guna melaksanakan kewajibannya. Setelah salat dia kembali ke kamar inap Hafsyah. 

"Ra, kamu yakin nggak apa-apa ibu tinggal?" tanya Rita memastikan. 

Airah mengangguk, tersenyum. "Nggak apa-apa, Bu. Ibu pulang, aja, istirahat biar Airah di sini berjaga. Lagian hari ini Airah juga nggak ke kampus."

Rita mengangguk, menghela napas. "Ya sudah, ibu balik dulu. InsyaAllah, sore nanti ibu balik lagi ke sini. "

Airah mengangguk, menatap punggung Rita yang kini sudah beranjak menjauh dari tempat.

Menit merangkak jam, pintu kamar itu kembali terbuka menampilkan sosok pria dengan balutan snelli putih yang membungkus tubuh atletisnya. 

"Ibu sudah pulang, Ra?" Adnan berjalan mendekat ke arah meja, menyimpan sesuatu yang terbungkus paper bag di atas meja. 

Airah hanya mengangguk, ia fokus memainkan hpnya. 

"Sebaiknya, kamu sarapan dulu. Biar aku yang berjaga."

Airah menoleh, mengangkat wajahnya, memandangi wajah tampan itu. 

"Aku sudah belikan makanan kesukaanmu, " imbuh Adnan lagi. Mata mereka saling bersibobok. 

Airah tersenyum, mengangguk. "Aku akan sarapan bersama dengan anakku nanti."

Anakku? Entah mengapa membuat perih di ulu hati Adnan. 

Adnan menghela napasnya, mencoba bertahan dari perasaan aneh yang menjalar, mengusik hatinya. 

"Tapi Ra–"

"Aku sudah lama tidak sarapan bareng dengan Hafsyah." Dia berbalik badan, membelakangi Adnan. 

Adnan menghela napas. Pria itu mengangguk pasrah. "Baiklah. Tapi kalau Hafsyah bangunya lama, sebaiknya kamu sarapan jangan sampai maagmu kambuh lagi."

Airah hanya bergumam. Tak menoleh sedikit pun. Adnan lantas beranjak dari ruangan itu meninggalkan dua wanita yang sama berharganya dalam hidupnya. 

Tak berselang dari itu bayi kecilnya pun menggeliat dari tidurnya, perlahan mata belo itu terbuka, mengerjap berulang kali kala intensitas cahaya masuk ke dalam retinanya. 

"Unda?" Mendengar seseorang memanggilnya sontak membuat wanita yang tengah membaca novel online itu pun mengangkat wajahnya. 

Dengan wajah berseri-seri, Airah beranjak mendekat ke arah sang anak. 

"Selamat pagi anak, Bunda." Airah mengelus sayang rambut legam Hafsyah seraya mendaratkan kecupan pada dahinya. 

Hafsyah balas tersenyum lebar. "Selamat pagi Unda."

"Mau bangun?"

Hafsyah mengangguk cepat. Airah membantu Hafsyah untuk bangun dari pembaringan. 

"Waktunya anak bunda sarapan, " ucapnya dengan senyum mengembang, menatap sang anak."Bunda panggil suster Ina dulu, ya?"

Hafsyah lekas menggeleng cepat. "Hafsyah nggak mau selapan lumah sakit lagi unda." Ia mengerucutkan bibirnya. 

Games. Airah mencubit lembut hidung mancung anaknya. 

"Tapi Hafsyah harus sarapan, Nak. Habis itu minum obat biar cepat sembuh." Airah mengelus lembut pipi cabinya.

 "Tapi Hafsyah nggak suka makanan lumah sakit unda." Dia menggeleng. "Ih…nggak enak."

Mendengar itu sontak membuat sang bunda tergelak. "Terus anak bunda yang cantik ini mau makan apa?"

Hafsyah mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu, berfikir. Kemudian, anak itu menjentikkan jarinya. 

"Hafsyah mau makan bakpao buatan unda."

"Baiklah, yang mulia princess. Tapi, kita harus izin sama abi, dulu ya?"

Hafsyah mengangguk antusias. Airah lantas meraih hpnya di meja, mengirim pesan pada Adnan. Sekitar tiga puluh menitan, pria itu pun datang dengan tergesa-gesa. 

"Maaf, tadi aku ada pasien, " jelasnya dengan napas yang tidak teratur. Menatap Airah dan Hafsyah yang tengah bercanda bersama di atas tempat tidur. 

Airah menoleh, bangkit berdiri lalu berujar, "Hafsyah belum sarapan, Mas. Katanya, dia mau makanan lain, bukan makanan rumah sakit."

Adnan menghela napas, dia menunduk menatap wajah anaknya–yang tengah menunduk dalam itu. 

"Anak abi mau makan apa, hm?"

Mata beningnya menatap sang ayah. "Masakan Unda."

Jawaban Hafsyah sontak membuat Adnan menoleh, menatap Airah. 

Airah mengangkat sudut bibirnya menjadi senyuman, tangannya terulur mengelus pipi putih cabinya. "Tapi, bunda harus pulang dulu."

Wajah Hafsyah seketika sendu, mata belo itu berkaca-kaca. 

"Kok anak bunda jadi sedih, sih?"

"Hafsyah nggak mau unda pulang?"

Airah kembali mendaratkan bokongnya ke sisi tempat tidur, kedua tangannya menangkup wajah Hafsyah. 

Dia tersenyum, menatap lekat ke dalam bola mata bening itu. "Bunda harus pulang buat masakin makanan enak buat Hafsyah, setelah itu bunda balik lagi ke sini." Ibu jarinya dengan lembut mengelus pipi anaknya. "Tapi, sebelum itu Hafsyah harus mau serapan rumah sakit dulu, ya?"

"Unda janji?" Hafsyah mengangkat jari kelingkingnya. 

Airah mengangguk. "Janji." Dia menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Hafsyah. 

Adnan tidak bisa menahan senyumnya melihat interaksi dua perempuan kesayangan di depannya. 

***

"Apa tidak apa-apa Hafsyah makan makanan luar, Mas?" tanyanya begitu mereka sudah di luar kamar inap sang anak. Hafsyah sudah terlelap tidur sehabis sarapan dan minum obat. 

"Nanti aku buat surat perjanjian dengan dokter Ayunda."

Airah mengangguk." Ya sudah, Mas. Aku balik dulu. InsyaAllah, habis salat dzuhur aku ke sini lagi."

Adnan balas mengangguk. "Hm, hati-hati."

Wanita itu pun melenggang pergi dari sana dengan tatapan sendu Adnan yang mengiringi kepergiannya. 

Airah mengerutkan keningnya kala melihat beberapa dokter dan perawat yang berbondong-bondong lari keluar rumah sakit. Di ambang pintu, wanita itu sudah tak dapat menggerakkan tubuhnya. Mulut dan matanya membeliak, tangannya bergetar, tubuhnya seakan tak bertulang, melihat siapa sosok yang tengah terbaring di atas brankar  dengan tubuh yang berlumuran darah, penuh luka, luka yang menganga.

"Bagas!"

Hal terakhir yang dia dengar adalah orang-orang yang memanggilnya sebelum kesadaran wanita itu benar-benar hilang.

Ae-ri Puspita

Mohon maaf novel ini masih dalam proses revisi

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status