Share

Gundah

Aku merindukanmu seperti matahari yang merindukan bulan. ~ Airah~

***

Hampir mendekati dua belas bulan wanita itu meninggalkan kota metropolitan, dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dia kembali menginjakkan kakinya di kota itu. 

Kota yang membawanya pada kenangan masa silam.

Airah menatap Arunika dengan bulir bening yang berjatuhan, cahayanya memancarkan warna ke orengan dari ufuk timur hingga mengenai dinding kaca kamarnya. Sejuknya udara pagi tak dapat menyejukkan hatinya yang tengah dilipat gejolak yang berkecamuk. 

"Jadi kapan berangkat ke kampusnya, Ra?" Wanita itu terperanjat kaget saat Sintia tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya. 

Berjalan mendekat dan menyimpan nampan makanan dan minuman yang ia bawa di atas nakas.

Airah menoleh sekilas. "InsyaAllah besok, Bu," balasnya, kembali menatap pepohonan di balik jendela.

Sintia menghampirinya. Membalikkan tubuh Airah kemudian menggenggam tangan sang anak dengan lembut dia berujar, "Apa kamu yakin dengan keputusanmu ini?"

Airah mengangguk, tersenyum." InsyaAllah, Bu."

"Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak bisa melakukan apa pun untukmu saat ini." Airah menggeleng. Menatap wanitanya dengan lembut. 

"Semua yang sudah terjadi adalah kehendak dari yang Maha Kuasa, Bu. InsyaAllah, semua ini adalah ketetapan dari-Nya."

"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (Q.S Al-Baqarah: 153)

"Tapi ibu--"

"Hussshh, sudahlah, Bu. Apa pun yang terjadi kita serahkan saja pada Allah." Airah membawa tubuh Sintia  yang tengah menangis tersedu-sedu ke dalam pelukannya. 

Wanita itu juga sama merasakan apa yang tengah Ibunya rasakan. Tetesan-tetesan air matanya terus berjatuhan mengenai kedua pipinya yang terlihat makin tirus itu. 

Pagi beranjak siang, siang beranjak sore dan sore beranjak malam. Tapi, wanita itu masih setia menatap hamparan rerumputan yang bergoyang akibat tertiup angin malam di depan kaca kamarnya. Airah menghela napas pelan saat bayangan-bayangan masa lalu silih berganti berseliweran dalam benaknya. 

Tangan lentik itu kembali bergerak, merangkai kata pada keyboard laptop di pangkuannya. Sesekali jari-jemari itu tampak terhenti, saat ide tersendat dalam pikirannya. 

"Terkadang kamu perlu menyadari, bahwa seseorang ditakdirkan untuk ada di hatimu, tapi tidak di hidupmu…"

Alunan suara keyboard laptop terdengar lembut, layar laptop berpendar-pendar, huruf demi huruf terus diuntai menjadi bait kalimat yang indah. Hingga untaian kalimat  itu harus ter-jada saat gangguan dering HP terdengar. 

Airah melirik sekilas, menghela napas saat melihat nama si penelepon. Airah abai. Ia kembali fokus pada layar laptop di depannya. Tapi lagi-lagi terhenti saat bunyi pesan masuk berkali-kali–yang membuatnya mau tak mau membuka pesan tersebut. 

[Hafsyah merindukan Umminya, Ra] Itu pesan dari Adnan. 

Lagi. Airah menghela panjang dan menyadarkan punggungnya pada tembok. Wanita itu kembali menoleh menatap pepohonan yang tumbuh rindang dan menjulang tinggi di depan kamarnya. 

***

Suara adzan subuh menyentaknya dari alam mimpi ke alam nyata. Ia membangunkan tubuhnya secara perlahan. Entah jam berapa matanya terpejam hingga tak sadarkan diri, 

tidur berlantai dengan laptop yang sudah kehabisan cas. 

Airah melangkah gontai masuk ke dalam kamar mandi, berwudhu kemudian melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Kuasa. 

Tepat saat kabut turun membungkus sekitar, cahaya matahari menerobos dedaunan, Ia pun telah bersiap. Melangkah turun menuju dapur di sana sudah ada ibunya yang tampak sibuk menyiapkan sarapan pagi. 

Sarapan bersama. Suara sendok, garpu, dan celotehan anak  ibu itu memenuhi ruang makan minimalis mereka. 

"Mau berangkat kuliah sekarang?" tanya Sintia saat Airah menghampirinya yang lagi mencuci peralatan masak di wastafel.

"Aku mau jenguk Hafsyah di rumah sakit dulu, Bu. Baru berangkat ke kampus." 

"Yasudah, kalau begitu kamu sekalian bawa bekal itu." Sintia menunjuk dengan dagunya, rantang susun yang sudah ia sediakan.

Setelah pamit kepada kedua orang tuanya, Airah bergegas menuju rumah sakit. Hanya memakan waktu sekitar 30 menit kendaraan yang wanita itu tumpangi sampai di tempat tujuan.

Setelah mengucap salam, Airah menghampiri sosok mungil yang tengah terlelap di atas pembaringan. Malaikat kecilnya. Airah mengecup keningnya penuh sayang.

"Maafkan bunda sayang. Maaf karena jarang menjengukmu, " sesalnya disertai dengan bulir bening yang berlomba-lomba berjatuhan dari pelupuk matanya. 

Bunyi decitan pintu membuat wanita itu menghapus jejak air matanya lalu menoleh ke arah sumber suara.

Airah kembali memusatkan perhatiannya pada bayi kecilnya saat melihat siapa yang datang. Sosok pria dengan tubuh tinggi atletis dibalut snelli putih lengang pandek menghampiri ranjang sang buah hati. 

"Mau sampai kapan kamu menciuminya seperti itu?" tanya Adnan sambil meletakkan sebuah bingkisan buah di atas nakas.

Airah mendengus. Apa salahnya menciumi anak sendiri? 

"Sampai aku puas," balasnya. Kembali melayangkan ciuman pada pipi chubby putih mulus bak bakpao yang tampak tak terganggu dalam tidurnya. 

"Kamu akan membangunkannya kalau kamu terus menciuminya seperti itu."

Airah seakan tuli, tak mempedulikan ucapan pria yang tengah berdiri di sisi ranjang. 

Adnan menggeleng percuma, bahkan sampai mulutnya berbusa pun wanita itu takkan mendengar ucapannya. 

Ia memandang lamat-lamat wajah cantik yang tengah tertidur pulas. Wajahnya sangat mirip dengan Ayahnya. 

Hafsyah Khairunnisa nama yang  Adnan berikan yang memiliki arti sebaik-baik wanita yang selalu berusaha agar hidupnya dapat bermanfaat untuk banyak orang. Airah  berharap kelak bayi kecilnya dapat memberi manfaat dan cerminan yang baik sebagai seorang wanita sholehah, sama seperti   namanya. 

"Dia sangat menggemaskan," gumamnya. Tak melepas pandangan pada bayi cantik itu. 

Sedangkan pria yang tengah duduk di sofa panjang sambil menyilangkan kaki dan bersedekap dada itu tengah menatapnya dalam diam. 

Ada desiran aneh pada lubuk hatinya. 

Menyadari tatapan tajam seseorang, Airah menoleh dengan kening yang tampak berkerut. 

"Kenapa Mas menatapku seperti itu?"

Adnan tersenyum simpul  kemudian menggelengkan kepala. 

Airah  mengangkat bahu tak acuh. 

"Itu bingkisan dari siapa, Mas?" tanya wanita itu sambil melihat bingkisan buah yang Adnan simpan tadi.

"Dari dokter Arvan. "

Airah mengangguk seraya melihat jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi.

"Mau berangkat kuliah sekarang?"

Airah kembali menganggukkan kepalanya.

Adnan bangkit dari duduknya kemudian menghampiri tempat Hafsyah baring. 

"Aku sudah menghubungi Pak Abdul, beliau yang akan mengantarmu ke kampus."

"Nggak usah Mas, aku pesan gojek aja," tolak Airah halus sambil mengenakan tas punggungnya

 Adnan menggeleng. "Aku tidak mau terjadi sesuatu pada bundanya anakku, " sahutnya. Mengulas sebuah senyuman. 

Beberapa saat mereka saling bertatapan, sebelum Airah memutus kontak mata mereka lebih dulu. 

"Bunda berangkat kuliah dulu, ya, Nak. InsyaAllah, nanti bunda ke sini lagi." Ia mengecup pucuk kepala sang buah hati seraya melangkah meninggalkan ruangan itu. 

Adnan menghela napas panjang. Ada kehampaan mengiringi kepergian wanita itu. 

"Apa kamu masih merindukannya?" gumamnya. Melihat pintu kamar yang sudah tertutup rapat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status