Sandera berkacak pinggang memandang ke arah Briella yang digendong oleh Aden. Keningnya berkerut menyaksikan kejadian itu.
"Apa Briella membuat kekacauan lagi di kantormu, Aden?" tanya Sandera.
Briella mengerucutkan bibirnya. Pasalnya Sandera selalu seenaknya menuduh dirinya. Padahal Briella mengalami ini semua secara tidak sengaja.
Kakinya benar-benar terkilir!
"Tidak kok, Ma. Briella tidak sengaja jatuh lalu kakinya sakit," ujar Aden.
"Ya ampun. Kamu ini benar-benar ceroboh ya, Briella! Bisa-bisanya jatuh begitu," kata Sandera.
Sandera lalu melihat ke arah Briella. Ditatapnya anak perempuannya yang sedang digendong oleh Aden. Sandera kemudian menurunkan kacak pinggangnya dan menghampiri Briella.
"Kasihan Aden menggendongmu sampai seperti itu," lanjut Sandera.
Sandera kemudian menilik kaki Briella yang tampak bengkak. Dilihatnya dengan cermat kondisi kaki Briella yang saat ini lebam.
"Turunkan saja, Aden. Biarkan Briella berjalan sendiri," kata Sandera.
Aden terkejut seketika. Keningnya mengerut hingga kedua alisnya hampir saling bertautan. Tampaknya Aden tidak menyangka karena Sandera bisa tega mengatakan hal seperti itu.
"Lepaskan saja. Biar Briella rasakan," perintah Sandera.
"Tapi, Ma ... Briella tidak bisa jalan untuk saat ini. Bahkan berdiri pun rasanya sakit," bela Aden.
"Biar dia rasakan bagaimana sakitnya jalan di atas kaki yang lebam. Itu hukuman bagi dia yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri," ucap Sandera.
"Biar Aden saja yang bawa Briella, Ma. Kita obati saja di dalam," kata Aden pada akhirnya.
Aden langsung berjalan melewati Sandera. Sambil menggendong Briella, langkahnya mantap mengarah ke dalam rumah. Dibawanya Briella hingga akhirnya dia letakkan di sofa.
Setelah selesai membujurkan kaki Briella, Aden segera mencium tunangannya tersebut.
"Di sini dulu ya, Sayang. Akan aku panggilkan dokter untuk menyembuhkan kakimu," kata Aden lembut.
Briella hanya bisa mengangguk pasrah. Sakit yang ia rasa di kakinya sungguh luar biasa. Saat ini bahkan kakinya tidak bisa digerakkan sama sekali.
Aden segera menelepon nomor dokter pribadinya. Setelah terjadi percakapan singkat di sambungan telepon, kemudian Aden menutupnya.
Tidak lama sesudahnya, datanglah sebuah mobil hitam berkilat. Keluarlah seorang pria bertubuh tinggi kekar dengan jas laboratorium putih.
"Dok! Tolong periksa kekasih saya. Sepertinya kaki Briella harus segera disembuhkan," jelas Aden.
Tanpa banyak bicara, sang dokter segera memeriksa kaki Briella. Warna biru kehitaman yang ada di pergelangan kaki Briella tampak nyata. Terlihat sakit yang teramat dari sana.
"Saya pegang sebentar," kata sang dokter.
"Aduh!"
Seketika terdengar pekikan dan rintihan dari mulut Briella. Kaki yang sengaja dipegang oleh sang dokter adalah pusat dari rasa sakitnya. Briella merintih kesakitan.
"Uratnya terjepit. Tapi tidak apa-apa, tak masalah. Ini hanya luka ringan. Setelah diurut dan diobati pasti akan sembuh," kata dokter.
Tanpa menghadap ke arah Aden, sang dokter pun mencoba mengurut pergelangan kaki Briella. Meskipun pelan, tetapi rasa sakit masih bisa dirasakan Briella. Briella pun meringis menahan sakitnya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, dokter mengoleskan salep obat ke kulit kaki Briella. Setelahnya, diperbanlah kaki Briella dengan hati-hati. Sang dokter pun tersenyum.
"Sudah saya obati. Kemungkinan nanti setelah lima jam, baru akan merasa baikan. Istirahat saja dan jangan banyak bergerak," ucap dokter.
Sang dokter pun beranjak. Dia berdiri menghadap Aden. Sesekali membicarakan mengenai kondisi kaki Briella yang kesakitan.
"Terima kasih banyak, Dok. Tanpa dokter, kekasih saya tidak akan dapat penanganan yang tepat," ujar Aden.
"Sama-sama, Pak Aden. Sudah tugas saya untuk menyembuhkan orang yang sakit," kata dokter.
Aden mengajak si dokter untuk bersalaman. Setelah mereka saling menjabat tangan, dokter pun menyudahinya dengan seulas senyum.
"Baiklah, saya pulang dulu kalau begitu. Ada banyak pasien yang harus saya tangani," kata dokter.
"Mari saya antar ke depan," ujar Aden.
Aden pun mengantar sang dokter ke depan. Seketika itu pula Sandera langsung masuk dan menghampiri Briella.
"Bagaimana kakimu? Apa sudah agak baikan sekarang?" tanya Sandera.
"Ya seperti yang Mama lihat. Kaki Briella sudah dapat penanganan. Diperban," jawab Briella.
Briella lalu mengarahkan pandangannya menuju Sandera. Saat menatap wajah mamanya, tiba-tiba perasaan Briella menjadi berubah. Wajahnya menjadi lesu dan kedua matanya sayu.
"Doakan semuanya baik-baik saja," ujar Briella.
Menyadari ekspresi wajah putrinya yang berubah, Sandera bingung. Ia lantas segera duduk di samping Briella dan menaikkan dagu putrinya.
"Ada apa? Apa ada yang salah?" tanya Sandera.
Sekejap Briella pun menggeleng. Ia enggan untuk menjawab pertanyaan Sandera. Bibir Briella membungkam, sedikit rasa bimbang menyelinap dalam hatinya.
"Apa ada yang menyakitimu?" tanya Sandera.
Briella masih menggeleng. Ditepisnya tangan Sandera dari dagunya. Briella pun lekas mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Perasaan Briella tidak enak, Ma. Briella merasa bahwa ada orang yang akan merebut Aden," ujar Briella.
Mendengar pengakuan Briella, seketika langsung membuat Sandera mengembuskan napas. Bukan napas lega yang ia embuskan, melainkan napas sesak dan sengal.
"Masalah apa lagi? Ada apa dengan Aden?" tanya Sandera.
"Aden akan meninggalkan Briella suatu saat nanti," kata Briella.
"Dari mana kau seyakin itu? Padahal kau tahu Aden sangat menyayangimu," ujar Sandera.
Briella mengangkat bahunya ke atas. Ucapan Sandera sama sekali tidak bisa menenangkan hatinya. Ia masih merasakan kegundahan.
"Jika Aden menemukan yang lebih baik dari Briella, maka Aden akan pergi," kata Briella.
"Sayang, menemukan yang lebih baik tidak semudah itu. Bahkan dalam cinta pun, akan ada masa-masa sulit," ucap Sandera.
Kedua mata Briella kini memandang ke arah Sandera. Sebersit rasa ragu menyelinap di hati Briella. Ingin rasa menangis dan memeluk mamanya, namun Briella ingat bahwa dirinya harus tegar.
"Siapa gadis yang akan merebut Aden, hingga kamu bisa meragukan kesetiaan Aden," kata Sandera.
Sandera menaikkan alis kanannya ke atas. Seolah sedang meminta jawaban dari Briella. Menyadari mamanya yang sedang menunggu jawaban darinya, Briella pun menghela.
"Gietta," kata Briella singkat.
Sontak saja jawaban dari Briella membuat mata Sandera melotot. Ia terang tidak percaya bahwa Gietta akan merebut Aden dari Briella.
"Bagaimana mungkin? Bukannya dia adalah temanmu sendiri?" ujar Sandera.
Briella menundukkan pandangannya. Sedikit pun ia tak berani memandang ke arah Sandera. Tampaknya Briella enggan untuk menjelaskan semuanya.
"Kamu jangan asal tuduh, Briel. Mana mungkin Gietta mengambil Aden darimu," imbuh Sandera.
Briella memegangi kepalanya. Terasa pening baginya untuk menjelaskan masalah ini dengan Sandera. Kendati Sandera adalah mamanya, namun bibir Briella masih berat untuk mengatakannya.
"Jangan mengada-ada kamu. Curigamu itu yang mama tidak suka," ujar Sandera.
"Aku hanya mengatakan apa yang kurasakan saja, Ma," kata Briella.
"Tapi menuduh teman itu tidak baik, Briel. Apalagi dia sahabatmu sendiri," ujar Sandera.
Briella diam seketika setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Sandera. Terkadang mamanya itu memang benar. Briella tidak membantah sedikitpun kali ini.
Setelah mendengar kata-kata Aden, Briella bisa bernapas lebih lega. Tadi yang semula dadanya sesak bagaikan terikat oleh ucapan Gietta, kini menjadi leluasa dan ringan.Memang Aden adalah laki-laki yang bisa menjaga diri Briella agar tetap tenang seperti semula. Meskipun kadang Aden dapat membuat Briella merasa ragu akan cintanya karena perbuatan Aden sendiri."Aku juga tidak percaya sepenuhnya kepadamu, Aden. Bukankah kamu ini yang selalu membuatku bimbang dengan ketulusan cintamu," kata Briella."Kamu ini bagaimana sih, Briel. Kita ini sudah bertunangan, tetapi kamu masih meragukan diriku," kata Aden, tidak kalah sengit dari kata-kata Briella."Lalu apa aku harus mempercayai semua ucapanmu itu, Aden?" tanya Briella."Kamu percaya boleh, tidak juga tak masalah. Tapi satu yang perlu kamu ingat, Briel. Bahwa aku telah memilih kamu sebagai pasanganku," kata Aden."Itu tidak ada hubungannya dengan perkara saat ini," ujar Briella.Aden lantas mengalihkan perhatiannya dari Briella. Tatapan
Gietta hanya memasang senyum kaku setelah mendengar perkataan Briella. Terlihat dengan jelas bahwa saat ini teman lamanya itu sedang menunjukkan wajah yang kesal.Tetapi demikian, Gietta tidak tertawa untuk meluapkan perasaan puas yang dia rasakan. Kedua matanya masih tertuju ke Briella dan Aden secara bergantian."Aku tidak bermaksud untuk membuatmu jengkel, Briel. Tapi apa yang aku katakan memang benar, sekali-kali coba memahami Aden sebelum pasanganmu diambil perempuan lain," kata Gietta."Apa yang kamu bilang, Giet? Aku tidak ingin menentang kata-katamu. Apa yang kurang dariku, aku sudah mengerti Aden lebih dari yang kamu tahu, sudah bersabar untuk setiap kelakuannya," ujar Briella."Mungkinkah benar begitu? Ketika kulihat kamu dan Aden hampir setiap hari bertengkar karena masalah yang tidak terlalu penting," kata Gietta."Sebab aku ini jengkel, Giet. Kamu tahu tidak, kalau Aden ini terlalu menyepelekan perempuan-perempuan yang menyukai dia. Tentu semua gosip yang beredar tentang
Setelah mengetahui apa yang dikatakan Aden adalah agar dirinya dapat mempersiapkan diri, Briella membulatkan mata. Tidak menyangka sedikitpun bahwa akan ada masa di mana mereka berdua tidak dapat menghabiskan waktu bersama.Briella sama sekali tidak menduga bahwa Aden memilih untuk menyibukkan diri di kantor, ketimbang bersamanya. Karena itulah, saat ini Briella hampir tidak akan menerima alasan apapun yang akan diucapkan Aden padanya."Jadi begitu kamu sekarang, Aden. Kamu lebih memilih untuk tidak menyisakan sedikitpun waktu bersamaku," kata Briella."Bukan begitu, Briell. Aku mendapat tugas untuk memeriksa seluruh perkembangan di kantorku. Tidak mungkin aku mengabaikan urusan penting semacam ini," kata Aden, menjelaskan yang terjadi sesungguhnya kepada sang tunangan.Meskipun Briella sudah mendengar alasan yang dikatakan Aden adalah benar, tetap saja hati perempuan itu tidak mau menerima. Rasanya dia masih tidak terima jika jatah waktu untuk bersama sang kekasih menjadi berkurang.
Gietta mengangguk, tetapi dalam hatinya enggan untuk menggubris kata-kata Briella. Kedua matanya menjelajah ke seisi ruangan, seolah tidak bisa diam."Padahal aku sangat menantikan kedatangan Aden, Briel," kata Gietta."Kamu tunggu saja. Pasti nanti dia datang kemari," balas Briella.Gietta kemudian menunduk. Tangannya lekas menyodorkan sebungkus oleh-oleh yang sedari tadi dibawanya."Ini ada kue krim keju untukmu, Briel. Aku tadi sengaja mampir ke toko kue untuk membelikan ini," kata Gietta.Briella memandang ke arah bungkusan kue yang disodorkan Gietta. Tanpa banyak bicara, Briella pun lekas menerima bingkisan kue tersebut."Duduklah, Giet. Akan aku buatkan teh lemon untukmu," kata Briella.Gietta mengangguk setuju. Ia lantas duduk di sofa yang berada tidak jauh di belakangnya. Briella tersenyum, sesaat kemudian ia mulai berjalan menuju dapur.Ketika sampai di dapur, Briella membuka lemari pendingin dan mengambil racikan teh. Tangannya yang ramping dengan terampil meracik semua baha
Mata Sandera mengekor pada kepergian Briella yang langsung masuk ke dalam kamar. Sandera hanya bisa menghela dengan kasar. Masih saja anak gadisnya satu itu tidak terketuk hati untuk segera melangsungkan pernikahan.Sandera berdiri dan menyusul Briella. Setelah tiba di depan pintu kamar Briella yang tertutup, Sandera mengetuk pintunya."Bukakanlah, Briel. Jangan membantah mama seperti ini," kata Sandera setengah berteriak agar Briella mendengar.Sandera masih mengetuk pintu kamar Briella. Hingga beberapa menit berlalu, Briella pun terusik dan membuka pintu kamarnya."Mari kita bicara. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan berdua," ujar Sandera.Meskipun awalnya Briella keberatan dan ingin menolak ajakan mamanya, tetapi Sandera langsung menarik lengan Briella. Inilah yang membuat Briella tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan mamanya.Sandera mengajak Briella untuk duduk di tepi ranjang. Meskipun tampaknya wajah Sandera sangat tegas dan terlihat seolah akan membicarakan h
"Perihal nikahan kalian berdua," ucap Sandera.Sekejap saja Aden membelalakkan matanya. Tiada angin tak ada hujan, tiba-tiba Sandera menanyakan tentang pernikahan mereka.Wajar saja jika Aden kaget. Dia lantas menatap kaku ke arah Briella yang sama kagetnya dengan dirinya."Pernikahan kami, Ma?" tanya Briella."Ya. Nikahan kalian. Bagaimana? Apa sudah terencana?" tanya Sandera.Briella spontan langsung terdiam. Ia menoleh ke arah Aden dan menatap calon suaminya tersebut. Briella menggeleng pelan."Kami masih belum ada rencana ke sana, Tante," ucap Aden."Bagaimana bisa? Kalian kan sudah lama bertunangan. Masa iya belum merencanakan pernikahan sama sekali," kata Sandera.Aden langsung terdiam seketika. Bibirnya menutup rapat sama seperti Briella. Tampaknya Aden dan Briella sama sekali tidak menyangka jika Sandera akan menanyakan tentang hal ini."Kalau kalian belum merencanakannya, mari kita bicarakan. Kebetulan Mama ada waktu senggang untuk kalian," kata Sandera.Aden menggaruk kepala