Pagi harinya, Devan mendapati Nadya sudah berangkat ke kantor. Dia tersenyum kala melihat pakaiannya teronggok di sofa. Pakaian itu semalam yang dia lepaskan di kamar Nadya, sebelum Kayden menelepon dan menggagalkan rencananya.Devan paham kalau saat ini Nadya kesal padanya. Itu karena dia meninggalkan Nadya ketika menerima telepon. Hal itulah yang menyebabkan Nadya langsung menutup pintu, dan mengunci kamarnya sehingga Devan tidak bisa masuk ke kamar itu. Padahal Devan ingin melanjutkan kegiatan mereka yang tertunda.Devan tersenyum ketika melihat sarapan sudah tersedia di meja makan. Dia lalu memakannya dengan lahap. Setelah selesai sarapan, dia mengirimkan pesan ke tunangannya itu.[Sayang, terima kasih untuk sarapannya. Ini enak sekali]'Tak lama, pesan Devan dibalas oleh Nadya. Devan sangat senang ketika Nadya membalas pesannya, tetapi rasa senangnya seketika hilang kala dia membaca pesan itu. Pesan yang Nadya kirimkan hanya berupa emoticon orang yang merotasi matanya. "Kamu mas
Setelah rapat pemegang saham berakhir, Devan segera pergi dari gedung perkantoran itu. Dia berniat akan menjemput Nadya, untuk dia ajak makan siang bersama.Sementara itu di kantor Nadya, gadis itu tengah sibuk memeriksa berkas ketika dering teleponnya terdengar nyaring. Nadya meraih telepon genggamnya itu. Seulas senyum terbit dari bibirnya kala nama Devan terpampang di layar telepon genggamnya. Dia segera mengangkat panggilan telepon tersebut."Halo, Mas,” sapa Nadya.“Halo, sayang. Kita makan siang bareng, yuk!” sahut Devan di seberang sana."Eum, kerjaan aku banyak, Mas," ucap Nadya.“Ya nanti dikerjain lagi setelah makan siang,” timpal Devan. Maya tidak langsung menjawab, dia berpikir sejenak. Dan akhirnya…"Ok deh. Tapi makan siangnya jangan jauh-jauh, ya. Kerjaan aku banyak," jawab Nadya akhirnya.“Nggak jauh kok. Di dekat sini saja. Sekarang aku sudah ada di lobby. Ayo, turun!” ucap Devan."Hah! Sudah di lobby?"Nadya lalu menutup panggilan teleponnya dan berjalan tergesa-ges
Devan kembali ke kantornya setelah dia mengantar Nadya. Dia langsung menuju ruangannya dan membuat surat pengunduran diri yang nantinya akan dia serahkan kepada Doni. Dia membuat surat itu dengan cepat dan setelah itu dia berjalan menuju ruangan Doni.“Doni sudah ada di ruangannya, Tik?” tanya Devan yang diangguki oleh Tika.Tok...tok...tok.“Masuk!” suara bariton milik Doni terdengar dari dalam, dan mempersilakan orang yang mengetuk pintu untuk memasuki ruangannya.Devan kemudian masuk ke dalam ruangan atasan sekaligus sahabatnya itu. Dia tersenyum sumringah kala Doni mengangkat wajahnya dari beberapa dokumen yang menyita perhatiannya.“Hai! Ayo duduk! Ada apa?” Doni bangkit dari kursi dan mendekat ke arah Devan lalu menyalaminya. Dia kemudian memindai penampilan Devan yang hari ini beda dari biasanya. Hari ini Devan tampil rapi.“Aku akan menyerahkan surat ini padamu.” Devan kemudian menyerahkan surat pengunduran dirinya pada Doni, yang langsung dia buka karena penasaran mengenai is
Devan kemudian membalikkan tubuhnya untuk melangkah ke arah pintu kamar dan keluar dari kamar itu. Namun, di saat dia memutar handle pintu, terdengar suara yang mampu menghentikan tangannya untuk membuka pintu kamar itu.“Tolong...tolong.” suara yang keluar dari mulut Nadya terdengar pilu.Devan kemudian bergegas mendatangi gadis itu yang masih meracau, dengan matanya yang masih terpejam. Dia segera membangunkan Nadya dari tidurnya agar mimpi buruknya segera berakhir.“Nad! bangun!” Devan mengguncang sedikit kencang agar Nadya segera terbangun dari tidurnya. Seketika Nadya membuka matanya dan terkejut dengan kehadiran Devan.“Mas, kamu...kamu ada di sini?” tanyanya linglung. Dia kemudian menatap sekeliling kamar dan tak lama menghela napas lega. “Syukurlah ini semua hanya mimpi.”“Kamu mimpi apa?” tanya Devan penasaran.“Aku...aku mimpi di kejar ular yang besar sekali, Mas.” Nadya tersipu menatap Devan, yang kini mengulum senyumnya.“Aku ambilkan minum dulu untuk kamu. Tunggu sebentar
Nadya mengernyit, tidurnya terusik karena merasakan beban di bagian dada. Dia membuka matanya dan melihat sebuah lengan kekar melingkar di tubuhnya dengan posesif. Nadya menoleh, mendapati wajah Devan tepat berada di ceruk lehernya. Kedua mata Devan masih terpejam, pertanda pria itu masih berada di alam mimpinya. Dada Devan bergerak seirama dengan napasnya yang mengalun pelan. Wajah pria itu terlihat begitu damai dengan suara dengkuran halus yang mengiringi. Tubuh mereka masih sama-sama polos, hanya selimut yang kini menutupi tubuh polos mereka.Nadya menghela napas panjang. Pikirannya melayang, memutar kembali kegiatan panas yang mereka lakukan semalam. Dia mengingat jelas bagaimana mereka melakukannya dengan gairah yang begitu menggelora. Dia mengingat jelas bagaimana dirinya merintih, mengerang dan meneriakkan nama Devan berulang kali di setiap pergulatan panas yang mereka lakukan. Dia mengingat bagaimana tubuh mereka melebur menjadi satu. Lagi, lagi dan lagi.Mereka bahkan baru te
Devan dan Nadya tersenyum melihat pasangan suami-istri yang kini saling menggoda satu sama lain. Hal itu membuat Devan menoleh ke arah Nadya dan membisikkan sesuatu di telinga gadis itu.“Kita juga nanti harus seperti mereka ya, Sayang. Tetap mesra walaupun usia sudah tidak muda lagi,” bisik Devan di telinga Nadya. Seketika wajah Nadya merona dan dengan cepat gadis itu menganggukkan kepalanya.“Mas juga harus setia dong seperti Papa! Kalau Mas setia, maka segalanya akan menjadi lebih indah untuk kita menjalani kehidupan rumah tangga nantinya,” bisik Nadya di telinga Devan.“Selama ini aku sudah membuktikan kalau aku seorang kekasih yang setia,” balas Devan berbisik ke telinga Nadya. Dan ketika sedang berbisik, dia sempatkan untuk mengecup pipi Nadya sekilas.Interaksi antara Devan dan Nadya rupanya diperhatikan oleh kedua orang paruh baya, yang dari tadi merasa diabaikan oleh dua insan yang sedang kasmaran. Mereka tersenyum saat melihat Devan tanpa tahu malu mengecup pipi Nadya di had
Nadya memeluk Runi dengan erat. Dia merasa memiliki dua orang ibu saat ini. Dia dan Runi baru saja bertemu, tapi rasanya mereka sudah lama kenal dan baru hari ini bertemu kembali.Runi pun memiliki perasaan sama terhadap gadis yang kini ada di pelukannya. Dia merasa kalau sudah pernah mengenal Nadya sebelumnya. Dia berharap kalau Nadya dan anaknya dapat berjodoh dan membina kehidupan rumah tangga yang harmonis.“Terima kasih atas semua yang Tante berikan padaku. Bukan hanya cincin indah ini saja, tapi semenjak saya menginjakkan kaki di sini, Tante menerima saya dengan baik. Saya merasa bahagia.” Nadya menangis karena terharu. Runi menghapus air mata yang menetes di pipi mulus Nadya. Dan mencium pipi gadis itu lembut.“Mulai sekarang, kamu jangan panggil Tante lagi. Tapi, harus panggil Mama, ya.” Runi menatap wajah Nadya dengan senyum yang mengembang di bibirnya.“Baik, Ma.” Nadya kemudian mencium punggung tangan Runi.Mereka menghabiskan waktu di kamar. Bercerita tentang banyak hal, h
Nadya merapikan barang-barang pribadi yang ada di ruang kerjanya. Dia sebenarnya tidak tega meninggalkan ayahnya yang tengah berjuang, untuk menghadapi krisis keuangan yang dialami oleh perusahaannya. Dia biasanya selalu mendampingi ayahnya dan memberikan pendapatnya, apabila ayahnya meminta pertimbangan darinya untuk mengambil keputusan. Tetapi, kini hatinya sudah terluka karena ayahnya tetap saja membenci Devan. Ayahnya tidak mau mengenal Devan terlebih dahulu, tapi justru memaksakan kehendaknya agar dia menikah dengan David. Tak terasa air matanya menetes di pipinya yang mulus. Dia tidak menyangka kalau akan berakhir begini. Dia mencintai ayahnya, tapi dia juga mencintai Devan, laki-laki yang sudah dia berikan segalanya baik itu hati maupun tubuhnya.Tiba-tiba pintu ruangan Nadya terbuka. Menampilkan sosok Indra di ambang pintu sambil memegang sepucuk surat, yang tadi Nadya letakkan di meja kerjanya. Indra menghela napas panjang kala dia melihat anak yang dia cintai dan banggakan,