LOGIN
"Kamu nggak usah khawatir. Pengacaraku sangat ahli menangani gugatan cerai.""Percayalah, sebentar lagi kamu nggak perlu lagi capek-capek klarifikasi."Aku menghela napas, berniat bilang terima kasih.Tapi, entah kenapa, rasanya ada yang janggal.Apa maksudnya sebentar lagi aku tidak perlu klarifikasi?Saat menatapnya dengan heran, aku melihat telinga Galih sudah memerah.Sikapnya terlalu jelas.Tanpa dia mengucapkan apa pun, aku sudah tahu maksudnya."Aku akan nunggu kamu. Sampai hari kamu resmi bercerai.""Selama itu, kamu boleh memastikan sebanyak yang kamu mau.""Aku janji perasaanku ke kamu nggak akan berubah."Saat itu, aku baru benar-benar tahu apa rasanya dicintai.Setelah Galih menyatakan perasaannya, perhatian dan kasihnya tidak pernah dia sembunyikan lagi.Semuanya ditunjukkannya terang-terangan, tanpa ragu sedikit pun.Selama proses cerai dengan Simon, dia beberapa kali datang mencariku.Namun, Galih selalu muncul duluan dan mengusirnya seperti mengusir hama.Bahkan agar ak
Sederet mawar itu, bahkan di ruang terbuka sekalipun, selalu membuatku batuk, mual, dan bersin tanpa henti.Sambil menutup hidung dan mulutku dengan kesal, barulah dia terlihat sadar.Dengan sikap serba salah, dia mengangkat buket itu dan bergegas menaruhnya di luar kafe."Soal cerai, sepertinya Ibu sudah bilang ke kamu.""Kamu datang sendiri ke sini, jadi aku nggak perlu lagi melalui jalur hukum."Itu juga alasan utama aku bersedia duduk dan berbicara dengannya.Sudah enam bulan sejak aku pergi.Aku tidak ingin memperpanjang apa pun. Aku hanya ingin mengakhiri semuanya dengan cepat.Mendengar ucapanku, sorot matanya yang sempat terang langsung meredup.Bagiku, selain urusan cerai, tidak ada lagi yang perlu dibahas di antara kami."Aku nggak mau cerai.""Aku datang karena mau kamu pulang sama aku."Pulang bersamanya?Betapa jauh dari kenyataan.Apa aku tampak serendah itu?Datang kalau dipanggil, pergi kalau diusir, semua sesuka hatinya.Aku baru saja berhasil keluar dari tempat yang t
Bagaimanapun juga, itu rumah yang kutinggali bersamanya selama tiga tahun.Meski semua barangku sudah lama tidak ada, tempat itu masih menyimpan begitu banyak kenangan indah yang pernah kami bagi."Bu, beberapa hari lagi aku bakal bujuk Simon biar vila ini dipindah ke atas namaku.""Dia rela ninggalin istri sama anaknya, cuma buat ngurus aku dan anak orang lain.""Lelaki sebodoh itu mana mungkin aku biarin lolos. Aku harus ambil sebanyak mungkin darinya."Bahkan sebelum Simon masuk rumah, dia sudah mendengar Sheila dan kedua orang tuanya bercakap-cakap.Ternyata mereka sejak awal tahu semuanya.Anak dalam kandungan Sheila bukan anaknya.Semua ini cuma kebohongan yang mereka rancang bersama untuk menipu dia.Semua semata demi uangnya."Jangan lupa, urusin juga rumah buat adikmu.""Atau, jadikan vila ini rumah pernikahan adikmu sekalian."Sejak kecil Simon selalu melindungi Sheila karena tahu keluarga itu lebih memihak anak laki-laki.Aturan mereka yang ketat bukan berarti peduli, hanya
Atau mungkin aku bisa tinggal di mana saja, mengikuti alur hidup dan menikmati hari-hari yang bebas.Begitu saja, beberapa bulan pun berlalu.Malam itu aku sedang makan dan bernyanyi bersama sekelompok teman baru.Setelah meninggalkan rumah dan memulai hidup di kota asing, aku benar-benar memulai segalanya dari awal.Masa-masa awal memang sedikit membuatku canggung.Dari orang yang cenderung takut bersosialisasi, aku butuh sebulan untuk bisa benar-benar menyesuaikan diri.Dalam sebulan itu, aku bahkan mendapatkan banyak teman.Dulu aku selalu mencurahkan seluruh hidupku hanya untuk Simon.Selama tujuh tahun, aku tidak punya teman dan jarang bersosialisasi.Seluruh pikiranku hanya tertuju pada satu orang.Sampai aku benar-benar kehilangan diri sendiri... "Venny, kamu dandan beda banget hari ini. Jangan-jangan karena…"Teman kerjaku, Jerisha, menatapku dengan senyum jail.Lalu dia melirik ke arah pria yang duduk di sebelahku.Beberapa bulan lalu, aku mulai bekerja di sebuah perusahaan k
Simon langsung meluncur ke rumah sakit tempat aku berada.Tapi, seberapa pun dia mencari, dia tetap tidak menemukanku.Setiap kali bertanya ke perawat, jawabannya sama, aku sudah pergi.Masih tidak percaya, dia menelpon temannya.Temannya bilang terakhir melihatku masuk ruang operasi dua jam sebelumnya.Tidak dapat apa-apa di rumah sakit, Simon kembali ke rumah ibunya.Tanpa memedulikan ibunya yang sedang minum teh, dia langsung naik ke lantai dua.Dia membuka semua kamar, tapi tidak ada jejakku sama sekali.Firasat buruk mulai memenuhi dadanya.Rumah itu seperti tidak pernah ada aku di dalamnya."Bu, Venny mana?"Keringat dingin mulai turun di pelipisnya.Sementara dia panik, ibunya tetap duduk tenang di sofa."Venny sudah gugurkan kandungannya dan pergi dari kota ini.""Ini, ada titipan darinya."Ibu meletakkan cangkir dan mengambil surat cerai di meja.Saat matanya jatuh pada dokumen itu, Simon terdiam dan menatap lebar-lebar, tidak percaya.Padahal jauh di dalam hati, sepertinya di
"Aku berbuat salah apa sih sama kamu?" Aku mendekat sedikit, bicara pelan. "Pak Simon terlalu sering bohong ya, sampai lupa sebenarnya anakmu ada di perut siapa."Simon terdiam, lalu tersadar kalau keluarga Sheila masih berdiri di sana. Dia langsung kelihatan mau memarahiku.Aku mengangkat tangan sebentar, memotong ucapannya."Tenang. Aku pergi sekarang. Nggak akan ganggu kebersamaan kalian."Begitu mendengar Simon mau antar aku, rasa sakit di perut Sheila mendadak hilang total.Dia juga nggak rewel soal ke rumah sakit lagi.Bahkan sok perhatian, suruh Simon bantu aku beres-beres.Aku hanya mendengus pelan, lalu menunjuk kamar."Koperku sudah siap. Kamu tinggal bawain ke bawah. Kita bisa pergi sekarang."Simon menatapku seperti tidak percaya.Tapi, aku sudah memakai jaket dan berjalan ke arah pintu. "Aku memang ada rencana tinggal di rumah ibu beberapa hari."Dia langsung kelihatan lega. Dia buru-buru naik ke lantai atas, mengambil koperku, bahkan memesankan taksi dengan manisnya.Aku







