Bab 5

"Aku berbuat salah apa sih sama kamu?" Aku mendekat sedikit, bicara pelan. "Pak Simon terlalu sering bohong ya, sampai lupa sebenarnya anakmu ada di perut siapa."

Simon terdiam, lalu tersadar kalau keluarga Sheila masih berdiri di sana. Dia langsung kelihatan mau memarahiku.

Aku mengangkat tangan sebentar, memotong ucapannya.

"Tenang. Aku pergi sekarang. Nggak akan ganggu kebersamaan kalian."

Begitu mendengar Simon mau antar aku, rasa sakit di perut Sheila mendadak hilang total.

Dia juga nggak rewel soal ke rumah sakit lagi.

Bahkan sok perhatian, suruh Simon bantu aku beres-beres.

Aku hanya mendengus pelan, lalu menunjuk kamar.

"Koperku sudah siap. Kamu tinggal bawain ke bawah. Kita bisa pergi sekarang."

Simon menatapku seperti tidak percaya.

Tapi, aku sudah memakai jaket dan berjalan ke arah pintu. "Aku memang ada rencana tinggal di rumah ibu beberapa hari."

Dia langsung kelihatan lega. Dia buru-buru naik ke lantai atas, mengambil koperku, bahkan memesankan taksi dengan manisnya.

Aku tahu kenapa. Mobilnya sudah penuh barang-barang Sheila.

Sudah tidak ada ruang untukku.

Di dalam taksi, aku menatap vila tempatku tinggal selama tiga tahun. Makin lama makin jauh.

Anehnya, aku tidak merasa kehilangan apa pun.

Mobil hening. Aku memejamkan mata. Rasanya lelahnya sampai ke tulang.

Seperti baru bangun dari mimpi panjang.

Mimpi yang membuatku menelusuri ulang separuh hidupku.

Mencintainya tiga tahun, menghabiskan sepertiga hidupku.

Dan hanya butuh tiga bulan untuk menyadari semuanya.

Setelah benar-benar sadar, rasa cintaku hilang begitu saja.

Taksi berhenti di depan rumah ibu Simon.

Saat turun, perutku yang mulai membesar dan jaket tebal membuat langkahku agak kikuk.

Pesan dari Simon masuk.

[Venny, tunggu aku beberapa bulan. Aku pasti akan jemput kamu.]

[Begitu urusan Sheila selesai, aku bakal perjelas posisi kamu dan anak kita.]

[Nanti kita bertiga nggak akan pisah lagi.]

Aku membaca semua janjinya.

Lalu tersenyum tipis tanpa membalas.

Aku menarik koperku, berjalan menuju rumah.

Tidak ada lagi kecewa.

Yang tersisa hanya rasa lega.

'Selamat tinggal, Simon.'

'Ini pertemuan terakhir kita.'

'Mulai sekarang, kamu dan aku nggak ada hubungan apa-apa lagi.'

...

Keesokan harinya, ketika aku berbaring di ruang operasi yang dingin, aku tahu saat aku menutup mata dan membukanya lagi, anak ini tidak akan ada.

Tapi, aku tidak menyesal.

Aku tidak mau anakku lahir untuk menanggung aib yang bukan miliknya.

Kesadaranku mulai menjauh. Aku menutup mata perlahan.

Air mata tetap jatuh.

...

Pada waktu yang sama, Simon yang sedang bersiap naik pesawat menerima telepon.

Telepon dari temannya.

"Kak Simon, selamat ya. Akhirnya lepas juga dari beban itu."

Simon tersentak, mengernyit.

"Maksudnya?"

Temannya terdiam, jelas tidak menyangka Simon benar-benar tidak tahu.

"Kamu nggak tahu? Aku baru lihat Venny di rumah sakit."

"Dia lagi operasi kuret. Sudah masuk ruang operasi."

Tubuh Simon langsung dingin, seperti disiram air es dari kepala sampai kaki.

Tangannya bergetar saat menutup telepon.

Tanpa pikir panjang, dia meninggalkan Sheila yang masih menunggu naik pesawat.

Lalu berlari keluar bandara seperti orang kehilangan akal.