Share

4. Putus

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2023-08-01 11:15:56

Setelah Bu Ratna pergi, aku dan ibu menata kembali barang dagangan yang tadi sempat kocar-kacir, kami memutuskan untuk menutup lapak lebih awal dan bergegas pulang.

Huh ...

Ku sandarkan kepalaku di sofa, ku hela nafas panjang untuk sekedar melemaskan otot yang tegang.

"MBREEEM BREM"

Baru saja ku letakkan pan**t di atas sofa, terdengar suara sepeda motor yang sudah sangat ku kenali berhenti di halaman depan, ku toleh sekilas lewat pintu yang masih terbuka. Ya, aku tahu betul siapa yang baru saja datang.

"Assalamualaikum ... tok tok tok," terdengar suara ketukan di pintu.

"Wa'alaikumsalam," jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya. Aku malah mengambil remote televisi dan menyalakannya. Sedangkan ibu masih berada di belakang, meletakkan barang dagangan.

Deva bergegas masuk meski belum ku persilahkan. Dia memang begitu, menganggap rumahku seperti rumahnya sendiri, dan ibuku seperti ibunya sendiri. Dia langsung duduk di sampingku dan membalikkan badanku untuk menatapnya. Hal tersebut tentu saja membuat mataku bersirobok dengan matanya.

Kami menjadi sepasang kekasih sejak tiga tahun yang lalu. Tepatnya setelah kedua orang tua kami membahas mengenai perjodohan kami waktu itu.

Kutatap lekat mata Deva, kulihat ada rasa bersalah yang teramat dari dalam sana. Malas rasanya untuk melihatnya setelah kejadian tadi.

"Mau apa kamu datang kesini?" Tanyaku.

"Ra, aku kesini untuk meminta maaf sama kamu," jawabnya.

"Maaf, maaf untuk apa?"

"Ra, maafkan atas kelakuan ibuku ya, Sayang. Pak Burhan tadi sudah menceritakan semuanya padaku. Tentang apa yang ibu lakukan padamu juga ibu di pasar, aku sudah tahu," ucapnya menjelaskan.

"Lalu, apa aku harus diam saja, Va, saat ibumu menghina dan merendahkan ibuku seperti itu? Bahkan dengan terang-terangan ibumu telah menginjak-injak harga diriku. Bagaimana jika itu terjadi padamu?" Cecarku.

"Aku nggak melarang kamu untuk marah sayang. Kamu marah itu hal yang wajar. Tapi, aku nggak mau kalau kemarahanmu itu akan merusak hubungan kita berdua. Aku nggak mau kalau nantinya kita sampai putus Ra."

"Hufth" aku menghela nafas kasar.

Aku sendiri tidak tahu harus bagaimana. Bagaimana aku akan melanjutkan hubungan ini jika ibunya saja dengan terang-terangan telah menolak ku. Aku tidak yakin akan bisa melanjutkan hubungan kami hingga ke jenjang pernikahan seperti rencana semula.

"Kinara," suara lirih Deva membuyarkan lamunanku. Pria yang selama ini menemaniku dan bersamaku, menatap lekat ke arahku.

"Ah" kulepaskan genggaman tangannya dari atas tanganku. Dan aku menoleh menatap lurus ke depan. Aku yang menahan gemuruh dan laju nafas yang memburu berusaha untuk tidak memperlihatkannya di depan Deva.

"Deva, maafkan aku..... Tapi sepertinya hubungan ini tidak bisa kita lanjutkan. Aku ingin mengakhirinya cukup sampai disini. Aku tidak akan pernah akan menikah denganmu jika ibumu tak memberikan restu. Namun bagaimana keluargamu akan memberikan restu jika ibumu sendiri yang telah melarang aku untuk bersamamu. Bahkan ibumu juga bilang jika ia mampu mencarikan jodoh untukmu dengan gadis yang lebih setara dengan mu. Bukan dengan aku yang miskin dan tak berpendidikan ini," ujarku meluapkan semua kepadanya.

Sesak!!! Hanya itulah yang dapat mengungkapkan perasaan hatiku saat ini. Dadaku sungguh terasa sangat sesak sekarang ini.

"Nggak Ra, nggak semudah itu kamu putuskan hubungan kita. Aku mencintaimu dengan apa adanya Ra. Kamu nggak bisa dong memutuskan hubungan ini dengan sebelah pihak saja," ucapnya.

Aku hanya terdiam, menahan buliran air mata yang sebenarnya sudah memberontak ingin keluar dari tadi. Tapi sebisa mungkin aku tetap menahannya.

Benar apa yang Deva bilang, hubungan ini bukanlah hubungan yang hanya sesaat. Tiga tahun bersama sejak masa sekolah, dan sekarang harus berakhir dan harus saling menjauhi bukanlah suatu hal yang mudah menurutku.

"Deva, baiknya kamu pulang sekarang. Aku nggak mau nanti akan semakin timbul masalah jika ibumu mengetahui jika kamu ada di sini bersamaku. Aku sudah cukup lelah hari ini. Pulanglah, karena aku harus membantu ibu beberes," ucapku dengan berat hati.

"Tolong dong Ra, kamu jangan buru-buru mengambil keputusan seperti ini sendiri. Baiklah, baik aku akan pulang dan segera membicarakan hal ini dengan ibu. Biar bagaimana, yang menjalani hubungan ini adalah kita Ra, bukan orang tua kita. Kita sudah dewasa Ra, cobalah mengerti bahwa kita berhak untuk menentukan jalan hidup kita sendiri.

"Ceessh" tumpahlah juga tanggul pertahanan ku mendengar tutur katanya.

Deva langsung memeluk tubuhku dengan erat. Aku paling tahu jika lelaki di hadapanku ini paling tidak bisa melihat aku menangis.

"Mau kamu berkata apa, sekarang aku sudah tak terlalu peduli Va, terserah saja apa katamu. Bagiku hubungan kita lebih baik berakhir sampai disini. Tak ada gunanya kita memaksakan kehendak. Aku tak mau dicap sebagai wanita yang membuatmu melawan ibumu sendiri" aku berucap terisak di dalam dekap peluk Deva. Lelaki yang sudah mengisi hari-hariku selama tiga tahun terkahir ini.

Kucoba untuk melepaskan pelukannya, kuurai diriku yang berada di dalam dekapannya. Tanpa menunggunya mengeluarkan kata-kata lagi, aku segera beranjak dan sedikit berlari masuk ke dapur untuk membantu ibu.

"Bruuuk" kutabrak tubuh ibuku yang ternyata dari tadi mendengarkan percakapanku dengan Deva. Kutumpahkan semua air mataku di dalam pelukan wanita yang selama ini aku hormati. Bagiku, hubungan yang selama ini telah terjalin bersama Deva sudah berakhir....

"Ibu, maafkan Kinara Bu," lirihku. Dan ibu hanya mengusap dan membelai rambutku sebagai obat penenang.

Kudengar langkah kaki Deva mulai mendekat, aku pun mengurai pelukan ibuku dan menuju wastafel untuk mencuci beberapa gelas dan piring yang kotor.

"Bu, Deva mohon pamit dulu ya Bu," kulirik lewat ekor mataku Deva berjalan mendekati ibuku dan kemudian mencium tangannya. Entahlah, mungkin sekarang dia sedang menatapku, tapi aku terus menyibukkan diri agar dia tak mendekat.

Dan benar saja, setelah itu Deva berjalan keluar.

"Hati-hati ya nak," ucap Ibu.

Setelah mendengar deru mesin motornya di luar, kedua tanganku mencengkeram kuat pinggiran wastafel yang ada di depanku. Air mata tumpah bersama dengan air kran yang masih mengalir. Ibu datang dan mengusap punggungku dari belakang.

"Istirahatlah nak, biar ibu yang lanjutkan," titahnya. Aku yang sedang rapuh langsung berlari memasuki kamar dan melompat ke atas matras tanpa dipan.

"Brrmmm Bremmm tin," ku tajamkan pendengaranku, hingga suara laju motor itu menjauh dan semakin menghilang diantara langit yang sudah mulai berwarna senja.

"Maafkan aku Deva," lirihku dengan bulir-bulir air mata yang menjadi saksi betapa hancurnya perasaanku saat ini.

----

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Yang Membawamu   94. Pulang Kampung

    94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd

  • Takdir Yang Membawamu   93. Tanda Merah

    Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees

  • Takdir Yang Membawamu   92. Malam Pertama

    Sah, Sah,Sah,Terdengar sorak sorai dari para tamu undangan yang menjadi saksi pernikahan Arjuna serta Kinara. Sorak sorai pun mengudara riuh setelah para gadis-gadis dan juga sepupu Arjuna saling bersahutan saat melihat prosesi penyematan cincin kawin di jari masing-masing."Cium ...! Cium ...! Cium ...!" teriak mereka setelahnya.Pada saat ini wajah Kinara terasa memanas. Meskipun mereka berdua sudah kerap kali melakukannya, namun tetap saja dirinya akan merasa malu jika melakukan hal tersebut di depan banyak orang seperti ini. Hingga pada akhirnya Arjuna hanya mendaratkan hidung dan juga bibirnya di kening Kinara. Gemuruh suara tepuk tangan serta siulan yang bersahut-sahutan panjang langsung terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan.Mereka merasakan kelegaan dan keharuan secara bersamaan. Kedua mata Nara mulai memburam dan berkabut karena dipenuhi oleh buliran-buliran hangat yang menumpuk di sepasang kelopak matanya yang begitu indah itu.Reni pun mulai maju ke depan untuk meng

  • Takdir Yang Membawamu   91. Pesta Pernikahan

    Mereka semua sudah berkumpul pada saat ini di restoran hotel tersebut. Mereka makan dalam suasana yang tenang namun tetap membahagiakan. Setelah selesai dengan acara makan malamnya, seluruh anggota keluarga tidak langsung kembali ke kamar masing-masing. Melainkan semuanya pergi ke ballroom hotel di mana acara akad dan resepsi akan diselenggarakan esok hari. Ruangan yang begitu luas itu sudah di dekor dengan seindah mungkin dengan tema yang telah dipilih oleh pihak keluarga Arjuna sebelumnya.Meskipun Nara dan Juna tidak terlibat langsung dalam setiap persiapan pesta yang akan digelar esok hari, namun Nara sudah merasa sangat puas dengan kinerja dan segala persiapan yang telah dilakukan oleh keluarga Juna. Kinara merasa jika tidak ada sesuatupun yang kurang dari seluruh persiapan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibu mertuanya, serta kedua adik iparnya.Nara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kemudian dirinya menatap lurus ke arah meja akad yang dilengkapi dengan empat buah kur

  • Takdir Yang Membawamu   90. Es Krim Kopi

    90. Pucuk MonasPada saat ini acara fitting pakaian sudah selesai. Setelah semuanya telah mencoba busananya masing-masing, Arjuna mengajak mereka menuju ke salah satu gerai kopi yang cukup terkenal di mall tersebut. Sebuah gerai coffee shop bernuansa coklat kayu yang terlihat begitu estetik. Di coffe shop tersebut tak hanya menjual minuman, tapi juga beberapa croissant yang beraneka rupa."Mau pesan apa, Ra?" tanya Juna pada Nara."Cuma Nara, nih?" sahut Reni."Oh, ya. Kamu mau pesan apa, Ren?" tanya Juna kemudian pada Reni."Hmm, aku ngikut Mas Juna saja, wes. Terserah Mas Juna mau pesan apa asalkan tidak beracun. Kan Mas tahu kalau aku belum kawin," seloroh Reni saat mereka sudah berada di dalam barisan antrian untuk memesan."Kamu mau coba es krim kopi nggak?" Juna bertanya pada Nara yang berdiri di hadapannya."Enak nggak?""Enak sih menurut Mas. Juwita selalu pesan itu setiap kali datang ke tempat ini," jawab Juna."Ya deh, boleh. Aku juga nggak terlalu ngerti bahasa menunya. Jad

  • Takdir Yang Membawamu   89. Pergi ke Butik

    Semua orang yang sedang berada dan berkumpul bersama di ruang keluarga Pak Hasan yang terbilang luas itu, segera memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara. Suara itu secara tiba-tiba saja datang dan memecah ketenangan.Sementara Nara tidak terlalu menghiraukan akan hal tersebut, karena karena ia dan adik perempuan Arjuna yang bernama Juwita sedang merapikan souvenir pernikahan yang baru datang diantar tadi sore."Maya ...!" Bu Laras melirik ke arah wanita yang tadi berbicara dengan penuh arti. Ia jelas-jelas merasakan tak enak hati atas sikap adik iparnya alias adik kandung dari papanya Arjuna itu terhadap Reni dan juga ibunya."Mbak Laras tidak perlu melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku kan hanya berbicara tentang fakta, Mbak. Memangnya kalian mau jika pesta pernikahan Arjuna rusak hanya gara-gara ada yang merusak pemandangan mata?" Balas perempuan yang ternyata bernama Maya itu dengan nada yang ketus."Mbak Reni, tolong Mbak Reni jangan ambil hati ucapan dari Tante Maya, ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status