Home / Rumah Tangga / Takdir Yang Membawamu / 3. Roda yang Berputar

Share

3. Roda yang Berputar

Author: Yasmin_imaji
last update Last Updated: 2023-08-01 11:00:51

"Huh! Dasar anak kurang ajar!" Gerutu Bu Ratna yang pergi meninggalkan kami sembari melangkah dengan menghentakkan kakinya.

Setelah perdebatan panjang yang kami lalui tadi, akhirnya Bu Ratna memilih untuk pergi meninggalkan kami. Hal itu bisa membuktikan bahwa ternyata ia tidak gila. Aku hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala melihat kelakuannya itu.

Para pembeli dan juga pedagang yang dari tadi melihat aksi ca ci cu ca ci cu pun mulai membubarkan diri tanpa harus diberi komando.

Andai saja tadi ibu tidak menahanku, mungkin pertikaian itu akan terus berlanjut lebih parah daripada hanya sekedar beradu mulut. Aku benar-benar merasa sakit melihat Bu Ratna merendahkan dan menghinaku dan juga ibuku seperti itu. Seolah kami begitu tidak ada artinya, sehina itukah? Tanyaku pada diri sendiri.

Apa yang dikatakannya tadi? Tidak selevel? Apakah aku harus mengingatkannya tentang bagaimana ia dahulu selalu datang kerumah setiap harinya? Dengan wajah memelas untuk meminta bantuan kepada almarhum bapak agar mau mau meminjamkan uang pada suaminya.

Sebenarnya keluarga kami adalah kerabat jauh. Mereka juga tidak kami anggap sebagai orang lain. Pak Rudi adalah sepupu jauh dari bapakku, mereka masih terikat hubungan saudara dari pihak kakek yang ada di Semarang.

Kehidupan keluargaku dahulu tidak pernah merasakan kekurangan. Untuk ekonomi, keluarga kami bisa dibilang orang yang berpunya. Kami bukan termasuk orang yang kesusahan, karena kebetulan almarhum bapakku merupakan anak tunggal dari kakek. Setelah kakek tiada, seluruh warisan, tabungan, tanah, rumah, serta sawah seluruhnya jatuh ke tangan bapak sebagai pewaris tunggal.

Namun, entah terbuat dari apa hati mendiang bapakku ini. Kebaikan hatinya seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang di sekitarnya, tak terkecuali pak Rudi dan juga Bu Ratna.

Almarhum bapak memiliki jiwa sosial yang terlampau tinggi. Dengan sifat tidak teganya itu, beliau tak kuasa menolak saat pak Rudi dan Bu Ratna datang untuk meminjam sejumlah dana untuk melangsungkan kegiatan kampanye sebagai seorang lurah.

Dengan beberapa desakan dan juga janji-janji yang diberikan oleh pak Rudi, akhirnya bapak menjual beberapa petak sawah peninggalan kakek untuk mendapatkan sejumlah dana untuk kampanye pak Rudi. Akan tetapi setelah pak Rudi berhasil menjabat menjadi seorang lurah, uang tersebut tak kunjung dikembalikan. Ada saja alasan yang mereka berikan kepada bapakku.

Mereka selalu saja mengelak dan berdalih bahwa nantinya keluarga kami akan berbesan dan menjadi satu keluarga. Bukankah sedari dulu Deva dan Kinara sudah saling dijodohkan. Itulah yang selalu mereka katakan, hingga lagi-lagi bapak merasa tak enak hati untuk menagihnya.

Hubunganku dan Deva memang semakin dekat setelah itu. Sejak dulu, sejak kami masih duduk di bangku sekolah dasar memang kami sudah sering bersama-sama hingga kami sama-sama duduk di bangku SMA.

Kehidupan ekonomi pak Rudi menjadi lebih baik setelah ia menjabat sebagai seorang lurah sejak 3 tahun yang lalu. Namun demikian, hutang yang pernah dipinjamnya tak kunjung juga dikembalikan. Bahkan sampai akhir hayat bapak, sepeserpun mereka tidak pernah mengembalikannya meskipun sekarang pak Rudi bisa disebut sebagai orang yang sukses.

Bagaikan roda yang berputar, kehidupan keluarga kami dan kehidupan keluarga pak Rudi seolah tertukar. Aku yang dulu menganggap diriku seorang gadis beruntung yang selalu berkecukupan. Kini harus rela membanting tulang dan membantu ibu berjualan sayur. Harapanku untuk kuliah 3 tahun yang lalu, harus ku pupus. Aku harus merasa puas dengan ijazah tamatan SMA karena memang keterbatasan biaya untuk masuk universitas. Sedangkan Deva, keberuntungan sedang memihak kepadanya hingga dia bisa melanjutkan kuliahnya di kampus ternama yang ada di kota.

Bapak yang dahulunya segar bugar, perlahan mulai sakit-sakitan. Tak sedikit waktu, tenaga dan juga biaya yang kami keluarkan untuk biaya pengobatan bapak. Tak apa kami kehilangan semuanya, asalkan bapak diberikan kesembuhan. Satu persatu aset yang ditinggalkan oleh kakek mulai terkikis. Tanah, sawah, bahkan juga usaha pemotongan kayu nya juga ikut habis kami jual untuk biaya operasi bapak pada waktu itu.

Namun kembali lagi, seberapa kuat pun kita berjuang, jika yang kuasa sudah menentukan jalannya maka kita sebagai hamba bisa apa selain menerima ketetapan-Nya. Dan pada akhirnya, bapak pun harus berpulang karena sudah terlalu lelah dan juga menyerah dengan sakit yang dideritanya.

Entah kata apa yang tepat untuk aku sematkan kepada bapak dan juga ibuku atas kemalangan yang menimpa kami ini.

Di ujung jalan keluar dari pasar ini, masih kudengar beberapa omelan dari mulut pedas Bu Ratna. Perempuan yang tadinya akan berstatus sebagai ibu mertuaku itu berjalan dengan menenteng tas kremes kawe warna hitam. Dia berjalan menuju mobil berwarna putih yang terparkir tepat di samping pintu keluar.

"Jedharrr"

Terdengar suara pintu mobil yang dibanting dengan keras. Mobil berwarna putih tersebut mulai melaju meninggalkan tempat parkir.

"Nak, harusnya kamu biarkan saja Bu Ratna, nggak usah di ladenin dan nggak perlu kamu berantem kayak tadi, dilihatin banyak orang seperti itu, nanti malah urusannya jadi panjang loh. Kayak nggak tahu aja kamu gimana sifat Bu Ratna," ucap ibu kepadaku disaat suasana sudah mulai tenang.

Para pedagang yang sedari tadi melihat pertikaian kami sekarang sudah diam dan kembali melanjutkan aktivitasnya masing-masing.

"Ibu itu loh, harusnya ibu jangan diem aja Bu dihina dan direndahkan seperti itu. Ibu harus berani melawan Bu Ratna, jangan mau diinjak-injak. Kinara nggak suka jika harga diri kita diinjak-injak seperti itu, apalagi itu karena harta dan status saja. Apa Bu Ratna pernah ngasih makan kita Bu? Enggak kan? Berani-beraninya dia maki-maki ibuku yang baik hati ini,"

Ucapku sambil sedikit memainkan alis menatap dengan senyum kepada ibu. Mendengar rayuan maut dari mulutku, membuat ibu langsung tersenyum dan lantas memeluk erat diriku.

"Aku Kinara Larasati memanglah seorang wanita Jawa asli yang ada gambar badaknya. Dan aku adalah seorang gadis yang suka ceplas ceplos kalau bicara. Apa yang aku suka ya aku suka, tapi apa yang aku tidak suka ya aku selalu bilang tidak suka. Itulah aku!"

Kinara Larasati putri dari Pak Budiman dan Bu Wati.

-----

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anah Sukmara
pengen aku iket mulut Bu Ratna...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Takdir Yang Membawamu   94. Pulang Kampung

    94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd

  • Takdir Yang Membawamu   93. Tanda Merah

    Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees

  • Takdir Yang Membawamu   92. Malam Pertama

    Sah, Sah,Sah,Terdengar sorak sorai dari para tamu undangan yang menjadi saksi pernikahan Arjuna serta Kinara. Sorak sorai pun mengudara riuh setelah para gadis-gadis dan juga sepupu Arjuna saling bersahutan saat melihat prosesi penyematan cincin kawin di jari masing-masing."Cium ...! Cium ...! Cium ...!" teriak mereka setelahnya.Pada saat ini wajah Kinara terasa memanas. Meskipun mereka berdua sudah kerap kali melakukannya, namun tetap saja dirinya akan merasa malu jika melakukan hal tersebut di depan banyak orang seperti ini. Hingga pada akhirnya Arjuna hanya mendaratkan hidung dan juga bibirnya di kening Kinara. Gemuruh suara tepuk tangan serta siulan yang bersahut-sahutan panjang langsung terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan.Mereka merasakan kelegaan dan keharuan secara bersamaan. Kedua mata Nara mulai memburam dan berkabut karena dipenuhi oleh buliran-buliran hangat yang menumpuk di sepasang kelopak matanya yang begitu indah itu.Reni pun mulai maju ke depan untuk meng

  • Takdir Yang Membawamu   91. Pesta Pernikahan

    Mereka semua sudah berkumpul pada saat ini di restoran hotel tersebut. Mereka makan dalam suasana yang tenang namun tetap membahagiakan. Setelah selesai dengan acara makan malamnya, seluruh anggota keluarga tidak langsung kembali ke kamar masing-masing. Melainkan semuanya pergi ke ballroom hotel di mana acara akad dan resepsi akan diselenggarakan esok hari. Ruangan yang begitu luas itu sudah di dekor dengan seindah mungkin dengan tema yang telah dipilih oleh pihak keluarga Arjuna sebelumnya.Meskipun Nara dan Juna tidak terlibat langsung dalam setiap persiapan pesta yang akan digelar esok hari, namun Nara sudah merasa sangat puas dengan kinerja dan segala persiapan yang telah dilakukan oleh keluarga Juna. Kinara merasa jika tidak ada sesuatupun yang kurang dari seluruh persiapan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibu mertuanya, serta kedua adik iparnya.Nara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kemudian dirinya menatap lurus ke arah meja akad yang dilengkapi dengan empat buah kur

  • Takdir Yang Membawamu   90. Es Krim Kopi

    90. Pucuk MonasPada saat ini acara fitting pakaian sudah selesai. Setelah semuanya telah mencoba busananya masing-masing, Arjuna mengajak mereka menuju ke salah satu gerai kopi yang cukup terkenal di mall tersebut. Sebuah gerai coffee shop bernuansa coklat kayu yang terlihat begitu estetik. Di coffe shop tersebut tak hanya menjual minuman, tapi juga beberapa croissant yang beraneka rupa."Mau pesan apa, Ra?" tanya Juna pada Nara."Cuma Nara, nih?" sahut Reni."Oh, ya. Kamu mau pesan apa, Ren?" tanya Juna kemudian pada Reni."Hmm, aku ngikut Mas Juna saja, wes. Terserah Mas Juna mau pesan apa asalkan tidak beracun. Kan Mas tahu kalau aku belum kawin," seloroh Reni saat mereka sudah berada di dalam barisan antrian untuk memesan."Kamu mau coba es krim kopi nggak?" Juna bertanya pada Nara yang berdiri di hadapannya."Enak nggak?""Enak sih menurut Mas. Juwita selalu pesan itu setiap kali datang ke tempat ini," jawab Juna."Ya deh, boleh. Aku juga nggak terlalu ngerti bahasa menunya. Jad

  • Takdir Yang Membawamu   89. Pergi ke Butik

    Semua orang yang sedang berada dan berkumpul bersama di ruang keluarga Pak Hasan yang terbilang luas itu, segera memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara. Suara itu secara tiba-tiba saja datang dan memecah ketenangan.Sementara Nara tidak terlalu menghiraukan akan hal tersebut, karena karena ia dan adik perempuan Arjuna yang bernama Juwita sedang merapikan souvenir pernikahan yang baru datang diantar tadi sore."Maya ...!" Bu Laras melirik ke arah wanita yang tadi berbicara dengan penuh arti. Ia jelas-jelas merasakan tak enak hati atas sikap adik iparnya alias adik kandung dari papanya Arjuna itu terhadap Reni dan juga ibunya."Mbak Laras tidak perlu melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku kan hanya berbicara tentang fakta, Mbak. Memangnya kalian mau jika pesta pernikahan Arjuna rusak hanya gara-gara ada yang merusak pemandangan mata?" Balas perempuan yang ternyata bernama Maya itu dengan nada yang ketus."Mbak Reni, tolong Mbak Reni jangan ambil hati ucapan dari Tante Maya, ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status