Share

4.

Author: Raffarania
last update Last Updated: 2025-10-08 12:01:59

Isla menghela napas kesal, lalu melempar ponselnya sembarangan. Ia pun menjatuhkan tubuhnya sendiri ke kasur, menenggelamkan wajah ke bantal, selimut tebal sudah membungkus sebagian tubuhnya.

Di luar, hujan deras mengguyur. Rintik-rintiknya menabrak kaca jendela, seolah ikut mempertegas suasana murung di kamarnya. Padahal sore tadi, Kanaya sempat mengajaknya pergi ke perayaan ulang tahun kakaknya. Namun kenyataannya? Ia terjebak di kamar, sendirian, dengan mood berantakan.

Tiba-tiba, pintu kamarnya berderit pelan. Isla sempat mengerut kesal, tapi rasa jengkelnya sedikit mereda ketika melihat sosok yang muncul di ambang pintu.

Elvano.

Sepupunya itu masuk dengan ekspresi santai, memeluk erat sebuah toples camilan seolah itu barang berharga.

“Lo ngapain bawa-bawa itu ke sini?” tanya Isla malas.

Elvano menutup pintu dengan kakinya. “Ya buat lo, lah. Gue kira lo lagi butuh temen. Katanya lo lagi bete, kan?”

"Terus apa hubungannya camilan sama bete gue?” Isla mendengus, menarik selimut lebih rapat.

“Jelas ada. Kata siapa makanan nggak bisa nyembuhin bete?” sahut Elvano santai, lalu duduk di lantai.

Isla hanya bisa menatapnya. “Gue cuma kesel. Udah siap-siap mau pergi sama Kanaya, tapi tiba-tiba hujan deras gini."

Elvano mengunyah dengan wajah sok serius. Setelah itu, ia menyodorkan sepotong keripik ke arah Isla.

“Daripada lo hancurin mood sendirian, mending hancurin ini bareng gue.”

Isla menatap toples itu lama, pura-pura cuek. Tapi akhirnya tangannya terulur juga.

“Dasar lo nyebelin.”

“Nyebelin tapi ampuh bikin lo makan.” Elvano nyengir.

Isla menggigit keripik dengan ekspresi pura-pura kesal, tapi sudut bibirnya mulai terangkat tipis. Elvano menatapnya sambil menahan tawa.

“Lo tuh kayak anak kecil banget kalo lagi bad mood. Gue aja heran, umur segini masih suka ngedumel di kasur kayak bocah.”

Isla menatapnya tajam. “Lo mau gue lempar bantal biar diem?”

Elvano terkekeh, mengangkat kedua tangannya. “Ampun, Nona Drama Queen.”

Meski mulutnya tetap cemberut, suasana kamar perlahan mencair.

Isla masih duduk di kasur dengan wajah manyun, sementara Elvano sudah nyaman bersandar di lantai sambil menyantap keripik.

“Eh, Isla,” panggil Elvano sambil nyengir, “lo sadar nggak, kalo sekarang rambut lo udah kayak sapu ijuk?”

Isla langsung menoleh tajam. “Lo ngomong apa barusan?”

Elvano pura-pura sibuk mengunyah keripik. “Rambut lo tuh… kayak yang belum pernah ketemu sisir seumur hidup.”

“ELVANO!” Isla meraih bantal dan melemparkannya tepat ke kepala sepupunya.

“Woy! Gue cuma jujur!” Elvano terbahak.

Isla mendengus keras, tapi juga tertawa kecil. “Dasar lo nyebelin banget.”

“Nyebelin tapi disayang,” balas Elvano cepat.

Isla hanya mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Siapa juga yang sayang?”

“Lo,” Elvano menjawab tanpa ragu.

Isla pura-pura jijik. “Ih, pede banget.”

Setelah cukup lama hanya makan keripik, Elvano bangkit berdiri dan menepuk-nepuk celananya. “Udah, daripada lo ngedumel terus, mending kita nonton film.”

“Nonton film di sini? Di kamar gue?” Isla mengerutkan dahi.

“Ya iya. Gue kan bawa laptop. Kita sambung ke TV. Enak tuh, suara hujan jadi background.”

Isla sebenarnya masih malas, tapi ada sedikit rasa penasaran. “Film apa?”

“Banyak. Mau yang action, horor, romantis, anime, film barat, film lokal… semua ada.” Elvano duduk di meja kecil, membuka laptopnya.

Isla mendekat, duduk bersila di atas kasur. “Kalau horor, gue nggak mau. Gue males kalo nanti kebayang sampe tidur.”

Elvano melirik nakal. “Justru itu seru. Lo bakal meringkuk ketakutan, terus ujung-ujungnya nyari perlindungan ke gue.”

Isla mendorong bahunya. “Mimpi aja lo.”

Akhirnya mereka sepakat memilih film komedi romantis yang agak lama. Mereka menyambungkan laptop ke TV, menaruh toples camilan di antara mereka, lalu menarik selimut besar untuk berdua.

Film baru berjalan beberapa menit, Isla sudah tenggelam ke dalam cerita. Matanya berbinar, ekspresinya berubah-ubah sesuai adegan.

Elvano justru lebih sering mengamati Isla daripada filmnya. Baginya, ekspresi sepupunya itu jauh lebih menghibur.

“Lo tuh, nonton film aja kayak roller coaster,” bisik Elvano.

“Apaan sih? Gue serius nonton.”

“Tapi ekspresi lo lucu banget. Tadi tokohnya jatoh aja lo ikutan teriak.”

Isla menoleh dengan pipi memerah. “Ya itu refleks!”

Elvano tertawa puas. “Makanya gue bilang, lo kayak bocah.”

“Sekali lagi lo bilang gue bocah, sumpah gue lempar toples ini ke kepala lo.” Isla sudah memegang toples keripik.

“Oke-oke! Gue diem.”

Mereka kembali fokus ke film. Hujan di luar makin deras, tapi suara tawa mereka sesekali terdengar jelas.

Tiba-tiba, petir menyambar, disusul dengan “plek!” listrik rumah padam. TV mati, laptop juga langsung ikut gelap.

“Hah?!” Isla langsung memekik, memegang selimut lebih erat. “Gawat! El, mati lampu!”

Elvano tetap santai, bahkan sempat nyeruput minumannya. “Santai, cuma mati lampu doang.”

“Cuma?! Ini horor tau nggak. Gelap semua, hujan gede lagi.”

Elvano mengeluarkan ponselnya, menyalakan flashlight. Wajah Isla langsung tersorot, menampilkan ekspresi panik sekaligus lucu.

“Lah, kenapa lo kayak baru liat hantu?” Elvano tertawa.

Isla mendengus, tapi jelas terlihat ketakutan. “Gue nggak suka gelap, El…” suaranya mengecil.

Mendengar itu, ekspresi Elvano melunak. Ia menaruh toples, lalu naik ke kasur, duduk tepat di samping Isla. “Udah, gue di sini. Nggak usah takut.”

Isla meliriknya cepat, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. “Gue nggak takut kok. Gue cuma… ya… sebel aja.”

“Ah, alasan. Lo panik jelas-jelas keliatan.”

“Diam nggak sih lo!” Isla memukul lengannya.

Mereka pun menyalakan lilin kecil yang ada di meja. Suasana kamar jadi hangat, diterangi cahaya oranye temaram.

“Daripada bete, mending kita main tebak-tebakan aja,” usul Elvano, mencoba mencairkan suasana.

“Lo pikir gue masih SD?” Isla mengangkat alis.

“Ya daripada lo bengong ketakutan.”

Isla akhirnya menurut. Mereka mulai main tebak-tebakan sederhana mulai dari judul film, lagu, sampai nama artis.

Isla ternyata cukup jago. “Ha! Lo kalah lagi. Coba teriak, bilang Isla yang paling hebat!”

Elvano memelototinya setengah malas. “Aduh, rese banget lo. Fine, Isla yang paling hebat.”

Isla tertawa puas, tepuk tangannya nyaring.

“Besok gue rekamin biar jadi bukti. Sekali-kali lo kalah sama gue.”

Elvano menghela napas panjang, tapi tak bisa menahan senyumnya. “Dasar bocah. Nanti kalo udah gede, jangan masih kayak gini ya.”

Isla mendadak terdiam. Kata-kata itu mengingatkannya kalau suatu hari, mereka mungkin tak akan selalu bersama.

“El…” suaranya pelan.

“Hm?”

“Lo nggak bakal ninggalin gue kan?”

Elvano menoleh. Wajah Isla terlihat serius, matanya berkilat dalam cahaya lilin.

“Bego. Gue kan udah bilang, gue nggak akan ninggalin lo. Lo itu kayak adik gue sendiri. Mau gue sibuk kayak apapun nanti, gue bakal tetep ada buat lo.”

Isla menunduk, berusaha menahan senyum yang mendadak muncul. “Makasih, El…”

Elvano mengacak rambutnya. “Udah, jangan drama. Gue males liat lo nangis.”

Isla menepis tangannya sambil cemberut. “Siapa juga yang mau nangis!”

Mereka pun tertawa lagi.

Tak lama kemudian, listrik kembali menyala. Isla bertepuk tangan kecil, lega.

“Yeay! Lanjut nonton!”

“Tapi baterai laptop gue udah sekarat, jangan lama-lama,” kata Elvano sambil colok charger.

Isla menarik selimutnya lebih rapat. “Tenang, gue nggak peduli sama laptop lo. Yang penting filmnya selesai.”

Elvano hanya bisa menggeleng sambil tersenyum. “Iya, iya. Demi Nona Drama Queen.”

"Hei, kamu kehujanan, ya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Yang Memisahkan    5

    Arsen melaju dengan motor sport hitamnya, membelah jalanan sore yang mendung. Angin dingin menusuk, lalu tak lama hujan turun awalnya rintik, kemudian deras mengguyur tanpa ampun. Ia mengumpat pelan, lalu menepi ke sebuah halte kecil di pinggir jalan. Dari sela hujan deras, ia baru sadar halte itu ternyata sudah ada penghuninya. Seorang gadis duduk di bangku halte, rambut panjangnya terurai dengan pita sederhana di samping. “Hei, Kamu, kehujanan ya?” sapanya dengan suara ringan. Arsen menoleh, sedikit heran karena gadis asing itu langsung bicara padanya. “Iya.” Gadis itu tersenyum, menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahnya. “Untung ada halte, ya. Kalau nggak, bisa bubar jalan.” Arsen hanya melirik sebentar, kemudian duduk dengan jarak agak jauh, memilih diam. “Aku Isla,” katanya sambil merapikan pita di rambutnya. “Kamu?” Arsen agak kaku, melepas jaket kulitnya yang basah kuyup. “Arsen.” Isla tersenyum puas, seolah nama itu penting sekali. “Arsen, ya? Nama kamu ke

  • Takdir Yang Memisahkan    4.

    Isla menghela napas kesal, lalu melempar ponselnya sembarangan. Ia pun menjatuhkan tubuhnya sendiri ke kasur, menenggelamkan wajah ke bantal, selimut tebal sudah membungkus sebagian tubuhnya. Di luar, hujan deras mengguyur. Rintik-rintiknya menabrak kaca jendela, seolah ikut mempertegas suasana murung di kamarnya. Padahal sore tadi, Kanaya sempat mengajaknya pergi ke perayaan ulang tahun kakaknya. Namun kenyataannya? Ia terjebak di kamar, sendirian, dengan mood berantakan. Tiba-tiba, pintu kamarnya berderit pelan. Isla sempat mengerut kesal, tapi rasa jengkelnya sedikit mereda ketika melihat sosok yang muncul di ambang pintu. Elvano. Sepupunya itu masuk dengan ekspresi santai, memeluk erat sebuah toples camilan seolah itu barang berharga. “Lo ngapain bawa-bawa itu ke sini?” tanya Isla malas. Elvano menutup pintu dengan kakinya. “Ya buat lo, lah. Gue kira lo lagi butuh temen. Katanya lo lagi bete, kan?” "Terus apa hubungannya camilan sama bete gue?” Isla mendengus, menar

  • Takdir Yang Memisahkan    3.

    Damian berdiri tegak, tubuh tegapnya disandarkan sedikit pada pagar besi balkon. Di tangannya ada segelas kopi hitam yang sudah kehilangan sebagian panasnya. Besok pagi, pesawat akan membawanya terbang ke benua lain. Perjalanan bisnis yang akan mengikatnya selama dua bulan penuh, jauh dari rumah, jauh dari putra semata wayangnya. Damian tahu, meninggalkan bisnis berarti risiko besar, tapi meninggalkan anaknya… entah kenapa terasa lebih berat sekarang. Suara langkah mendekat terdengar dari dalam kamar. “Daddy manggil aku?” suara itu datar, tak berintonasi. Arsen. Remaja itu melangkah santai ke balkon, dengan pakaian rumah yang sederhana. Ia langsung menarik kursi dan duduk di samping Damian. “Kamu udah tahu dari Om Kenzo, kan? Kalau Daddy harus pergi keluar negeri buat urusan bisnis?” tanyanya pelan. Arsen hanya mengangguk, ekspresinya datar. “Udah. Om Kenzo yang bilang.” Damian melirik sekilas dari ujung matanya. Ia takut menatap mata putranya langsung. “Kamu nggak

  • Takdir Yang Memisahkan    2.

    Sepulang sekolah, Arsen tidak langsung pulang ke rumah, melainkan menuju jalan yang cukup ramai disana berdiri sebuah kafe bergaya bohemian, dengan lampu-lampu gantung berbentuk unik dan dinding berhiaskan mural penuh warna. Dari luar, Cafe itu tampak aesthetic, hangat, dan mengundang siapa pun untuk singgah. Lost and Found Café. Begitu nama yang terpampang di papan kayu depan pintu masuk. Nama yang dipilih Arsen sendiri, terinspirasi dari perjalanan hidupnya, tentang kehilangan dan menemukan kembali bagian dirinya yang sempat hancur. Ya, Cafe itu adalah milik Arsen. Tempat yang ia bangun setahun lalu dengan kerja kerasnya. Modalnya sebagian besar dari tabungan, sebagian kecil lagi dari kartu berwarna hitam yang diberikan Damian untuk kebutuhan sehari-hari yang diam-diam ia sisihkan demi mewujudkan mimpinya. Sore itu, suasana Cafe sangat ramai. Beberapa meja penuh dengan pekerja yang sibuk mengetik di laptop, ada juga kelompok siswa berseragam yang baru pulang sekolah, bercengkerama

  • Takdir Yang Memisahkan    1.

    "Arsen, Om tahu kamu pasti punya alasan kenapa mukul temanmu,” ucap seorang pria berjas hitam di samping remaja laki-laki yang bernama Arsenio Nathan Wiratama Arsen menoleh sekilas, tatapannya datar. "Aku pukul dia karena dia ngebully temennya sendiri. Aku cuma nggak suka lihat orang sok berkuasa apalagi di lingkungan sekolah.” Suaranya terdengar dingin, tanpa ekspresi. Keduanya berjalan beriringan hingga langkah mereka terhenti di parkiran sekolah, dipenuhi deretan mobil dan motor mewah. Pria berjas tadi bernama Kenzo. Kenzo datang sesuai perintah Demian - ayah Arsen, karena pihak sekolah menelepon mengenai pemukulan yang dilakukan oleh anaknya. “Kamu mau ikut Om ke kantor Daddy atau balik ikut pelajaran?” tanya Kenzo hati-hati pasalnya Arsen sangat sensitif jika berbicara tentang Daddy nya. Arsen menyunggingkan senyum miris. “Kalau ikut Om juga percuma. Daddy pasti tetap cuekin aku.” Ucapannya terdengar sarkastis, menusuk. Kenzo hanya terdiam, menahan helaan napas. Ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status