LOGINArsen melaju dengan motor sport hitamnya, membelah jalanan sore yang mendung. Angin dingin menusuk, lalu tak lama hujan turun awalnya rintik, kemudian deras mengguyur tanpa ampun. Ia mengumpat pelan, lalu menepi ke sebuah halte kecil di pinggir jalan. Dari sela hujan deras, ia baru sadar halte itu ternyata sudah ada penghuninya.
Seorang gadis duduk di bangku halte, rambut panjangnya terurai dengan pita sederhana di samping. “Hei, Kamu, kehujanan ya?” sapanya dengan suara ringan. Arsen menoleh, sedikit heran karena gadis asing itu langsung bicara padanya. “Iya.” Gadis itu tersenyum, menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahnya. “Untung ada halte, ya. Kalau nggak, bisa bubar jalan.” Arsen hanya melirik sebentar, kemudian duduk dengan jarak agak jauh, memilih diam. “Aku Isla,” katanya sambil merapikan pita di rambutnya. “Kamu?” Arsen agak kaku, melepas jaket kulitnya yang basah kuyup. “Arsen.” Isla tersenyum puas, seolah nama itu penting sekali. “Arsen, ya? Nama kamu keren. Cocok sama motor kamu, kelihatan dingin tapi… pasti kenceng.” Arsen mengangkat alis, untuk pertama kalinya nyaris ingin tertawa kecil, tapi ia menahannya. Cewek ini terlalu santai, seolah hujan deras dan suasana asing bukan halangan sama sekali. Isla mencondongkan tubuh sedikit. “Kamu pulang sekolah, kan? Atau mau kabur ke tempat lain?” tanyanya dengan nada bercanda. Arsen mendengus, menoleh sebentar. “Pulang.” Isla terkekeh, lalu menggeleng. “Kamu hemat kata-kata banget. Kayak tiap huruf yang keluar tuh harus bayar pajak.” Kali ini, Arsen tak bisa menahan diri. Sudut bibirnya terangkat tipis. Isla menatap hujan deras di depan mereka, kakinya bergoyang pelan seperti mengikuti ritme rintik air. “Tau nggak sih, katanya hujan deras itu bagus buat tanaman. Tapi buat kita? Nyebelin. Sepatu basah, rambut lepek, mood bubar.” Arsen hanya melirik, tanpa komentar. “Eh, tapi aku suka hujan juga sih. Kayak… rasanya dunia tuh jadi lebih tenang. Orang-orang lari, jalanan sepi, suara mobil ketutup sama suara hujan. Jadi kayak… semua masalah ikut ke cuci gitu.” Isla tersenyum kecil, lalu memandang Arsen. “Kamu suka hujan nggak?” Arsen menatap keluar, hujan menetes di ujung atap halte. “Biasa aja.” “Biasa aja?” Isla mendesah dramatis, meletakkan dagu di tangan. “Kamu ini kayaknya orang yang nggak gampang suka sesuatu, ya?” Arsen tidak menjawab, hanya mengangkat bahu. Isla masih lanjut. “Tapi aku ngerti sih. Aku juga gitu kok sama matematika. Mau suka gimana pun, tetep aja bikin pusing. Mending aku suka ayam goreng aja, jelas-jelas enak.” Arsen akhirnya menghela napas pendek. “Random banget.” “Ya biarin,” Isla nyengir lebar. “Kalau nggak random, kita berdua bakal diem aja, kan? Kamu diem, aku diem, nanti dikira lagi musuhan. Padahal baru kenal.” Arsen menggeleng pelan, tapi sudut bibirnya kembali terangkat samar. Isla, merasa berhasil, langsung menepuk tangannya sendiri. “Yes, berhasil bikin Arsen senyum kedua kalinya. Rekor.” Arsen menatapnya sekilas, pura-pura tak peduli, tapi sebenarnya ia mulai terbiasa mendengarkan celotehan gadis dengan pita rambut itu. “Kamu sekolah di mana?” tanya Isla tiba-tiba, matanya menatap lurus, penuh rasa ingin tahu. Arsen sedikit terdiam sebelum menjawab, suaranya tetap datar. “Wiratama International Academy.” Isla langsung mengangkat kedua alisnya, matanya berbinar. “Waaah, keren! Itu sekolah yang katanya super ketat sama aturan, kan? Muridnya kalau bolos sekali aja bisa langsung dipanggil orang tua?” Arsen menghela napas pendek, lalu mengangguk pelan. “Kurang lebih.” Isla tersenyum lebar, jelas kagum. “Gila sih… sekolah internasional gitu pasti isinya anak-anak jenius sama anak-anak crazy rich.” Ia menunjuk motor sport Arsen yang terparkir di depan halte. “Dan… keliatan sih kamu masuk kategori yang kedua.” Arsen menoleh cepat, menatapnya dingin. “Jangan nge-judge.” Isla langsung tertawa kecil, menutup mulutnya dengan tangan. “Oke, oke, maaf. Nggak bermaksud. Cuma yaa… emang keliatan aja. Eh, kalau aku sekolah di Greenhill Academy. Baru pindah dua bulan yang lalu, ikut Mommy.” Arsen mengernyit tipis. “Greenhill?” “Hmm.” Isla mengangguk mantap. “Sekolahnya nggak terlalu gede sih, tapi lumayan. Anak-anaknya juga rame. Ya, beda banget lah sama sekolah kamu yang katanya tiap murid pulang aja naik mobil pake sopir pribadi.” Arsen menahan senyum tipis, kali ini tanpa berusaha menutupinya. “Nggak semua gitu.” Isla mendesah dramatis, menatap hujan yang makin deras. “Ah, hidup aku kayaknya beda banget sama kamu. Aku pindah ke sini gara-gara Mommy dapat kerjaan baru. Jadi kayak anak baru, nggak kenal siapa-siapa, masuk sekolah baru… terus ya gini, akhirnya ngobrol sama orang asing di halte.” “Gue juga asing,” Arsen menyahut singkat. Isla langsung meliriknya, wajahnya penuh semangat. “Tapi sekarang kan udah kenal! Jadi kamu nggak asing lagi.” Arsen menatapnya beberapa detik, lalu bergumam lirih. “…ribet.” “Aku tuh suka banget sama hujan,” katanya tiba-tiba lagi. “Tau nggak kenapa?” Arsen menoleh sekilas. “Kenapa?” “Karena hujan itu jujur. Kalau dia mau turun, ya turun aja. Kalau dia berhenti, ya berhenti. Nggak ada drama, nggak ada basa-basi. Sederhana.” Isla tersenyum samar. “Andai aja orang juga bisa kayak gitu, ya?” Arsen terdiam. Kata-kata itu entah kenapa menempel di kepalanya. “Lo sering ngomong aneh-aneh, ya?” Isla tertawa, menepuk tangannya sendiri. “Bukan aneh, Arsen. Itu namanya filosofi hidup. Anak baru pindahan butuh sesuatu buat keliatan keren, biar nggak dianggap cupu.” Arsen menunduk, sudut bibirnya terangkat samar lagi. Isla terlalu… ringan. Terlalu berbeda dengan lingkungannya yang penuh kepalsuan, gengsi, dan aturan kaku. “Kamu diem-diem ngedengerin aku, kan?” tanya Isla tiba-tiba, mencondongkan tubuhnya ke arah Arsen. Arsen kaget, tapi tetap dingin. “Terus kalau iya?” Isla tersenyum puas. “Ya berarti aku berhasil bikin kamu penasaran. Nggak semua orang bisa bikin cowok kayak kamu dengerin dengan serius.” Tak lama kemudian, Isla berdiri, merentangkan tangan seolah sedang menikmati derasnya hujan. “Duh, ini kalau nunggu reda, bisa sampai malem kali ya.” Arsen bangkit juga, memasukkan jaket basahnya ke lengan. “Lo nunggu dijemput?” Isla menggeleng, rambut panjangnya ikut bergoyang. “Nggak. Mommy lagi lembur. Harusnya aku naik bus, tapi udah kelewatan tadi gara-gara mampir beli jepit rambut. Terus keburu hujan. Yaudah deh, mampir sini.” Arsen menatap motornya, lalu menatap Isla. “Lo pulang naik apa?” Isla mengedikkan bahu. “Belum tau. Kalau reda, jalan aja. Kalau nggak reda…” ia menoleh, menatap motor sport hitam itu dengan mata berbinar. “…kayaknya aku bakal nebeng sama seseorang yang keliatan super dingin tapi hatinya mungkin nggak sedingin ekspresinya.” Arsen mengerutkan kening. “Siapa?” Isla menunjuk motor itu dengan polos. “Ya kamu lah.” Arsen mendengus, lalu menyalakan kembali motornya meski hujan masih deras. “Lo siap basah kuyup?” Isla langsung tersenyum lebar, matanya berbinar penuh semangat. “Siap banget! Seru kali ya naik motor di tengah hujan, kayak adegan film romantis gitu.” Arsen menatapnya sebentar, lalu menyalakan mesin. “Lo banyak ngomong." “Tapi kamu nggak nolak, kan?” Isla terkekeh, lalu dengan sigap naik ke boncengan motor. “Ayo jalan, Arsen.”Arsen melaju dengan motor sport hitamnya, membelah jalanan sore yang mendung. Angin dingin menusuk, lalu tak lama hujan turun awalnya rintik, kemudian deras mengguyur tanpa ampun. Ia mengumpat pelan, lalu menepi ke sebuah halte kecil di pinggir jalan. Dari sela hujan deras, ia baru sadar halte itu ternyata sudah ada penghuninya. Seorang gadis duduk di bangku halte, rambut panjangnya terurai dengan pita sederhana di samping. “Hei, Kamu, kehujanan ya?” sapanya dengan suara ringan. Arsen menoleh, sedikit heran karena gadis asing itu langsung bicara padanya. “Iya.” Gadis itu tersenyum, menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahnya. “Untung ada halte, ya. Kalau nggak, bisa bubar jalan.” Arsen hanya melirik sebentar, kemudian duduk dengan jarak agak jauh, memilih diam. “Aku Isla,” katanya sambil merapikan pita di rambutnya. “Kamu?” Arsen agak kaku, melepas jaket kulitnya yang basah kuyup. “Arsen.” Isla tersenyum puas, seolah nama itu penting sekali. “Arsen, ya? Nama kamu ke
Isla menghela napas kesal, lalu melempar ponselnya sembarangan. Ia pun menjatuhkan tubuhnya sendiri ke kasur, menenggelamkan wajah ke bantal, selimut tebal sudah membungkus sebagian tubuhnya. Di luar, hujan deras mengguyur. Rintik-rintiknya menabrak kaca jendela, seolah ikut mempertegas suasana murung di kamarnya. Padahal sore tadi, Kanaya sempat mengajaknya pergi ke perayaan ulang tahun kakaknya. Namun kenyataannya? Ia terjebak di kamar, sendirian, dengan mood berantakan. Tiba-tiba, pintu kamarnya berderit pelan. Isla sempat mengerut kesal, tapi rasa jengkelnya sedikit mereda ketika melihat sosok yang muncul di ambang pintu. Elvano. Sepupunya itu masuk dengan ekspresi santai, memeluk erat sebuah toples camilan seolah itu barang berharga. “Lo ngapain bawa-bawa itu ke sini?” tanya Isla malas. Elvano menutup pintu dengan kakinya. “Ya buat lo, lah. Gue kira lo lagi butuh temen. Katanya lo lagi bete, kan?” "Terus apa hubungannya camilan sama bete gue?” Isla mendengus, menar
Damian berdiri tegak, tubuh tegapnya disandarkan sedikit pada pagar besi balkon. Di tangannya ada segelas kopi hitam yang sudah kehilangan sebagian panasnya. Besok pagi, pesawat akan membawanya terbang ke benua lain. Perjalanan bisnis yang akan mengikatnya selama dua bulan penuh, jauh dari rumah, jauh dari putra semata wayangnya. Damian tahu, meninggalkan bisnis berarti risiko besar, tapi meninggalkan anaknya… entah kenapa terasa lebih berat sekarang. Suara langkah mendekat terdengar dari dalam kamar. “Daddy manggil aku?” suara itu datar, tak berintonasi. Arsen. Remaja itu melangkah santai ke balkon, dengan pakaian rumah yang sederhana. Ia langsung menarik kursi dan duduk di samping Damian. “Kamu udah tahu dari Om Kenzo, kan? Kalau Daddy harus pergi keluar negeri buat urusan bisnis?” tanyanya pelan. Arsen hanya mengangguk, ekspresinya datar. “Udah. Om Kenzo yang bilang.” Damian melirik sekilas dari ujung matanya. Ia takut menatap mata putranya langsung. “Kamu nggak
Sepulang sekolah, Arsen tidak langsung pulang ke rumah, melainkan menuju jalan yang cukup ramai disana berdiri sebuah kafe bergaya bohemian, dengan lampu-lampu gantung berbentuk unik dan dinding berhiaskan mural penuh warna. Dari luar, Cafe itu tampak aesthetic, hangat, dan mengundang siapa pun untuk singgah. Lost and Found Café. Begitu nama yang terpampang di papan kayu depan pintu masuk. Nama yang dipilih Arsen sendiri, terinspirasi dari perjalanan hidupnya, tentang kehilangan dan menemukan kembali bagian dirinya yang sempat hancur. Ya, Cafe itu adalah milik Arsen. Tempat yang ia bangun setahun lalu dengan kerja kerasnya. Modalnya sebagian besar dari tabungan, sebagian kecil lagi dari kartu berwarna hitam yang diberikan Damian untuk kebutuhan sehari-hari yang diam-diam ia sisihkan demi mewujudkan mimpinya. Sore itu, suasana Cafe sangat ramai. Beberapa meja penuh dengan pekerja yang sibuk mengetik di laptop, ada juga kelompok siswa berseragam yang baru pulang sekolah, bercengkerama
"Arsen, Om tahu kamu pasti punya alasan kenapa mukul temanmu,” ucap seorang pria berjas hitam di samping remaja laki-laki yang bernama Arsenio Nathan Wiratama Arsen menoleh sekilas, tatapannya datar. "Aku pukul dia karena dia ngebully temennya sendiri. Aku cuma nggak suka lihat orang sok berkuasa apalagi di lingkungan sekolah.” Suaranya terdengar dingin, tanpa ekspresi. Keduanya berjalan beriringan hingga langkah mereka terhenti di parkiran sekolah, dipenuhi deretan mobil dan motor mewah. Pria berjas tadi bernama Kenzo. Kenzo datang sesuai perintah Demian - ayah Arsen, karena pihak sekolah menelepon mengenai pemukulan yang dilakukan oleh anaknya. “Kamu mau ikut Om ke kantor Daddy atau balik ikut pelajaran?” tanya Kenzo hati-hati pasalnya Arsen sangat sensitif jika berbicara tentang Daddy nya. Arsen menyunggingkan senyum miris. “Kalau ikut Om juga percuma. Daddy pasti tetap cuekin aku.” Ucapannya terdengar sarkastis, menusuk. Kenzo hanya terdiam, menahan helaan napas. Ia







