Tak pernah melihat wajah tenang ayahnya seperti saat ini, Dira sibuk mengutuk diri yang merasa kurang perduli.“Huh! Entah udah berapa lama aku enggak ngomong baik-baik kekgini dengan Ayak. Sampek aku lupa kapan terakhir Ayak bahagia kayak tadi,” gumam Dira setelah duduk tenang di atas kursi miliknya.Memandangi keheningan landasan udara dari jendela pesawat, Dira merasa sedih harus pergi. Padahal keputusan awal berkat tekadnya yang kuat. Yah, saat itu Dira bertengkar hebat dengan ayahnya yang tak henti menjodohkan dirinya. Memilih kabur dengan alasan tugas, menjadi pilihan. Tak menyangka, dari begitu banyak keputusan nekad dan mendadak yang sudah ia perbuat hanya keputusan kali ini yang ia sesali.“Andai aja aku enggak nerima tawaran itu, mungkin enggak gini kejadiannya?”Beragam sangka dan prasangka pun timbul. Bayang-bayang keadaan yang mungkin terjadi pun hadir memenuhi benak. Hingga sebuah keadaan pun terbayang jelas dalam mata yang kini terpejam.Bayang dimana Dira duduk di atas
Selama perjalanan pulang menuju rumah, Alia dan Arini terus saja menunjukkan wajah masam. Sepertinya ada sesuatu yang hilang hingga membuat mereka enggan untuk sekedar berucap. Saling membuang pandang, menatap jalanan kota Medan kedua saudara sedarah ini asik berkutat dengan perasaannya. Berbeda jauh dengan sang ayah yang terlihat begitu bahagi. Tergambar jelas dari senyum yang terus mengembang. Tatapan teduh diikuti hembusan napas tenang.“Ckiit!”Mobil yang membawa mereka mendadak berhenti. Ternyata seorang anak muda terjatuh dari motornya tepat di depan mobil mereka.“Udah gilak kurasa anak ini!” teriak Arini kasar. Wajahnya menunjukkan amarah terlebih melihat ayahnya yang nyaris tersungkur.“Kurang suntik kali. Udah lama enggak nyedot mungkin,” sambung Alia yang tak kalah geram.“Hus! Belum tau kok main tuduh aja,” ucap Ayah menengahi celotehan kedua putrinya.“Kenapa tuh Bang?” tanya pria dewasa yang tak lain si supir ojol.“Kayaknya lagi sakit Bang. Tiba-tiba dia enggak sadarkan
Pagi yang cerah digunakan Dira untuk berolah raga. Tubuhnya terasa kurang segar karena seminggu lamanya sibuk mengurus ayahnya. Begitu pula dengan pikiran yang terus dihantui akan pernikahan. Tidak ada kontrak dan sejenisnya yang artinya ia sungguh-sungguh melakukan pernikahan. Sesak dan pusing, entah mengapa ia sangat menderita setiap kali memikirkan hal ini. Padahal ada banyak hal sulit yang ia lewati selama ini. Namun, keputusan gila ini bisa menyiksanya seumur hidup.“Kekmana kalok aku cerai aja!”Pikiran gila seketika hadir. Tidak ada cara untuk menyelesaikan semua kerumitan ini.“Aku cerai tapi dengan syarat jangan sampek orang Ayak tau. Tapi ....”Bisik hati seketika terhenti. Mengingat betapa ayahnya sangat menyukai Daffin. “Kalok Ayak datang ke Jakarta langsung kekmana? Jangankan datang. Ayak pasti mintak foto atau video aku lagi di rumah sama dia kan? Ya Tuhan ... berasa masuk neraka aku.”Debat hebat dalam pikiran Dira mendadak lenyap kala ia melihat ada banyak wartawan di
Mengetahui betapa kesalnya perasaan Dira saat ini, Daffin tanpa meragu menggenggam tangan Dira. Mendaratkan bibirnya di sana. Lalu menatap manja ke arah mata yang sedari tadi memandangnya tajam.“Aku cinta kamu. Sejak pertama kali melihatmu,” ucap Daffin. Nada lembut dan tulus itu tengah berusaha memujuk gadis yang ada di hadapannya.“Bener? Kamu enggak bercanda kan?” tanya Dira dengan nada terputus-putus. Ia begitu bahagia mendapatkan perlakuan lembut seperti ini. Sudah terlalu lama ia sibuk memikirkan keluarganya hingga terlupa untuk memikirkan hati dan perasaannya.“Enggak,” jawab Daffin diikuti gelengan manja. “Sumpah! Aku mencintaimu. Cuma kamu yang ada di hatiku. Aku yakin kamu jodohku, wanita yang Tuhan kirim untuk menjadi ibu dari anak-anakku.”Terdiam malu, Dira sedikit menunduk untuk menutupi pipinya yang merona.“Dira ....”Panggilan lembut Daffin memaksa Dira untuk menoleh ke arahnya.“Bolehkah aku mengecup dahimu?”Tak ada kata yang keluar, hanya kedipan mata sembari meng
“Eh, loh. Udah selesai ngomongnya?” tanya Anton yang mencoba menyapa Dira.Seperti tak dianggap keberadaannya, Dira hanya melongos pergi. Dirinya terlalu kesal pagi ini. Terlihat dari kakinya yang terus melangkah sambil menghentak. Begitu juga dengan tangannya yang bergerak maju mundur seirama dengan langkah.Seakan mengerti dengan keadaan Dira, Anton hanya menggeleng sambil tersenyum lalu masuk ke dalam mobil menghampiri Daffin.“Woy! Lagi kasmaran ya. Senyum terus,” ledek Anton yang dengan sengaja menyadarkan Daffin dari lamunannya. “Gimana ... udah beres?” sambungnya sembari mengangkat kedua alis matanya.Daffin tak menjawab. Hanya mengangguk dengan bibir yang masih terus tersenyum.“Lu sehatkan? Bukannya waktu SMA dulu lu pernah bilang takut kawin ya? Mana sekarang yang lu nikahin cewek seperti dia lagi. Lu enggak kena pelet atau sejenisnya kan? Atau jangan-jangan ....”Ucapan Anton terhenti, matanya melirik dengan penuh rasa curiga. Jari telunjuk kanannya mengarah pada Daffin yan
Pagi yang cerah mendadak gersang. Panas menyengat terasa menggigit kulit Dira. Sengatan tajam dan menyakitkan itu menerobos masuk hingga ke hatinya. Panas dan sangat menggerahkan, hingga Dira tak lagi menghiraukan panggilan Ria.Dengan menggeleng pelan, Ria hanya bisa menggerutu, “Kenapa lagilah anak itu. Udah ah, aku berangkat aja.”Beberapa saat kemudian, Dira melirik ke arah ruang tamu guna memastikan kepergian Ria. Segera menutup rapat pintu rumah dan menjatuhkan dirinya di atas sofa. Lelah, wajahnya begitu lelah hingga kini pundak dan kepalanya terkulai lemas di atas sandaran kursi.“Gilak, gilak, gilak! Dia cowon pertama yang berani nyentuh aku. Syukur enggak kena bogem tuh orang!” gerutu Dira yang tanpa sadar mengingat kembali momen dimana Daffin membelai lembut kepalanya.Seketika matanya berkaca-kaca, membayangkan masa kecilnya yang suram. Masa itu Dira mendapati kebahagiaannya. Dira kecil mendapat kasih sayang yang cukup dari ibu terutama ayahnya. Sebagai anak sulung berstat
Terbangun di tengah malam yang gelap hanya karena sebuah gigitan nyamuk. Berusaha melenyapkan biang pengusik dengan menepuk kuat. Mungkin berhasil mengusir pergi, namun tak lantas mampu mengembalikan rasa kantuk. Lelap seketika lenyap dengan mata yang menyala.Berbaring ke lain arah, meraih kain dan menutupi hingga ke wajah, namun tetap saja tak membuatku kembali tidur. Memejam paksa mata dan menanti lelap, namun justru telinga tajamku menangkap suara aneh.“Ih, suara apa itu?”Penasaran, gadis kecil itu segera keluar dari kelambu usang miliknya. Melangkah pelan dengan kaki kecilnya, mendekati pintu yang tak lagi memiliki pintu. Melirik ke kanan dan kiri mencari asal suara yang ternyata berasal dari ruang tengah.“Ayak?” gumam gadis yang tak lain adalah Dira kecil.“Mak ... cepat kalilah kau pergi ninggalin aku, Mak ....”Kalimat itu terus saja keluar dari mulut pria yang menjadi cinta pertamanya. Terduduk dengan wajah menunduk, wajahnya dipenuhi air mata kesedihan. Tangis kepedihan i
“Hei! Kenapa sih, murung terus daritadi?” tanya Ria yang merusak hayalan Dira.“Apanya kau!” ucap Dira dengan lirikan kesal.“Udah waktunya makan siang. Temani makan yuk! Ada warung makan enak kali loh, murah lagi,” pujuk Ria. Selaku teman serumah Dira, sepertinya Ria tahu kegundahan yang tengah Dira rasakan. Meski belum begitu lama tinggal bersama, namun Dira terlalu mudah memancarkan perasaan hati melalui wajahnya.“Yoklah! Aku yang bayarin deh.”Sontak saja lirikan Dira terlihat tak percaya dan curiga akan kebaikan Ria kepadanya. Gadis Medan yang satu ini sangat sulit menerima bantuan orang lain meskipun ia tengah sangat membutuhkan. Apalagi saat ini, hati dan pikirannya sedang tak karuan.“Is, aku pengen banget loh. Udah beberapa hari ini lidahku rindu masakan kampung. Hehehe, aku mau bayarin kali ini. Tapi besok-besok gantian ya, kamu yang bayari aku,” ucap Ria dengan santainya.Penjelasan singkat dengan nada malu-malu ini berhasil meluluhkan segala kecurigaan Dira. Meski menunju