Share

2. Isi Chat

Kosong. Tak ada chat dari wanita itu.

Bagaimana bisa? Tadi Mas Gandhy bilang jika dia sedang membicarakan tentang pekerjaannya dengan Mbak Deva kan? Tetapi kenapa nggak ada history chat-nya sama sekali?

Aku bingung. Aku segera melihat isi chat lain dan anehnya tak ada yang dihapus. Semuanya masih ada. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Hanya chat dari bosnya itu yang dihapus. Kalau begini caranya, bagaimana aku tidak curiga?

Aku lihat Mas Gandhy menggeliat. Aku kembalikan ponselnya ke dalam tas itu lagi dan aku membaringkan badanku di samping Mas Gandhy. Dia langsung memelukku. Aku tak membalas pelukannya.

Hatiku sedang tidak tenang. Malam itu aku kesusahan memejamkan mataku hingga waktu sahur tiba.

"Mas, bangun!" ucapku pelan sambil menepuk lembut bahu suamiku.

Dia tak menyahut. Baru setelah beberapa kali aku mencoba membangunkan dirinya, dia akhirnya membuka matanya dan kami pun sahur bersama-sama di ruang tengah.

"Gandhy, bagaimana kabar Bapak dan Ibu?" tanya Papaku.

"Alhamdulillah, baik Pak." Mas Gandhy menjawabnya dengan pelan.

"Kalau Ibu libur jualan ya kalau bulan puasa begini?" Giliran Mama yang bertanya.

"Iya, Bu."

Mama dan Papa kemudian mengangguk.

Bapak dan Ibu mertuaku masih bekerja di usia mereka yang bisa dibilang sudah cukup renta. Akan tetapi, Bapak terlihat bugar dan masih bertani. Sedangkan Ibu masih berjualan di pasar. Ibu adalah seorang penjual nasi pecel yang cukup terkenal.

Tak heran jika pecel buatan Ibuertuaku laris manis karena memang pecel yang dibuat Ibu memiliki cita rasa yang unik dan khas dibandingkan buatan penjual lain.

"Bapak Ibu nanti masih kerja lagi habis lebaran?" tanya Mama lagi.

Aku melirik ke arah Mas Gandhy sambil mengambilkan makanan untuknya.

"Masih, Bu. Bapak sama Ibu kalau nggak bekerja nggak enak. Udah terbiasa bekerja," jawab Mas Gandhy.

Aku mengernyit. Untuk hal ini, aku sama sekali tidak setuju dengan Mas Gandhy. Menurutku orang tua yang sudah memasuki usia lanjut ya seharusnya tidak perlu bekerja lagi.

Anak-anaknya yang harus bertanggung jawab merawat mereka. Masa iya tega membiarkan orang tua sendiri harus kesusahan untuk mencari sesuap nasi?

Aku ingat betul perkataan Bapak mertuaku tentang hal itu. Dia pernah bercerita jika dia dari kecil sampai tua sekarang selalu hidup susah dan harus berjuang terus.

Bukankah itu artinya Bapak belum hidup nyaman? Kenapa Mas Gandhy malah tetap membiarkan Bapak Ibunya masih bekerja?

"Tapi Bapak Ibu kamu kan sudah sepuh, Gandhy. Apa nggak kecapekan?" tanya Mama lagi.

"Capek itu sudah biasa, Bu. Kalau bekerja pasti ya capek, Bu."

Aku menatap suamiku dengan tatapan tak percaya. Mamaku yang sepertinya sudah enggan membahas itu akhirnya memilih diam.

Kami akhirnya makan sahur dalam diam.

Setelah kami menunaikan salat Subuh sendiri-sendiri, aku melihat Mas Gandhy sedang asyik dengan ponselnya dan aku pun duduk di sampingnya.

Mumpung anak kami masih tidur dengan nyenyaknya, aku memutuskan untuk berbicara dengannya.

"Mas, Mbak Deva itu udah punya pacar ya?" tanyaku.

Mas Gandhy terdiam sebentar lalu menjawab, "Mana aku tahu, Dik."

"Hah!? Kok nggak tahu, Mas? Kan Mas anak buahnya, masa nggak tahu?" tanyaku lagi.

Mas Gandhy kembali menjawab, "Iya tapi mana mungkin dia cerita tentang hal begitu sama Mas, sih Dik?"

Aku terdiam dan pura-pura melihat ponselku sendiri.

"Eh, Mas. Mas Jaka memangnya sudah meninggal berapa lama sih?" Aku bertanya tanpa melihat ke arahnya.

Dia lagi-lagi terdiam sebentar sebelum menjawab, "Satu setengah tahun."

Suami Mbak Deva, Mas Jaka itu bos asli suamiku  yang meninggal karena sakit. Aku tak terlalu paham tentang jenis penyakitnya tapi seingat diriku, Mas Jaka mengalami komplikasi dan mengembuskan napas terakhirnya saat anak kedua mereka masih berusia empat bulan.

Anak kedua mereka ini lahirnya hanya berjarak sekitar enam minggu saja dari kelahiran putriku. Itulah kenapa aku bisa kenal Mbak Deva, istri Mas Jaka itu.

Saat aku hamil, aku dan dia beberapa kali ikut pertemuan di kantor desa yang diadakan oleh perangkat desa khusus untuk ibu hamil.

Selain itu, saat aku berada di rumah barat, aku dan Mbak Deva sering juga berangkat bersama-sama ke posyandu.

"Oh iya masih belum lama ya ternyata," balasku.

"Hm." Dia menjawabnya singkat.

"Ya sudah, Mas. Aku mandi dulu."

Aku pun mandi dan setelah mandi, entah kenapa aku ingin ber-selfie ria. Sudah lama juga aku tak melakukannya.

Aku mengambil beberapa photo dan mengunggahnya sebagai status di salah satu aplikasi chat. Sekitar beberapa menit kemudian aku melihat Mbak Deva membuat sebuah status. Isinya ternyata tentang sebaik-baiknya wanita adalah yang jarang selfie.

"Apa-apaan sih ni orang," gumamku di ruang tamu sendirian.

Aku merasa tersindir lagi. Apa maksudnya coba?

Aku lalu masuk kamar dan berbicara dengan pelan pada suamiku, "Mas, Mbak Deva kayanya nggak suka deh sama aku. Dia kok nyindir-nyindir aku terus sih."

Mas Gandhy meletakkan ponselnya. Dia menjawab, "Cuma perasaan kamu aja kali, Dik."

"Ya nggak mungkin lah, Mas. Ini beberapa kali dia begini kok. Memang aku salah apa sih sama dia?" tanyaku sengaja memancing. Aku ingin tahu reaksi suamiku.

"Sudahlah, Dik. Nggak usah diributin. Cuekin aja," ucapnya.

Dia lalu mengambil tasnya dan mengeluarkan dompetnya. Dia menyerahkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan kepadaku. Aku terkejut.

"Kok banyak banget, Mas?"

"Lagi ada banyak," jawabnya.

Ini nggak salah? Jumlah uang mingguan yang diberikan Mas Gandhy hampir dua kali lipat dari pada biasanya.

Oh iya, Mas Gandhy selalu memberi uang belanja setiap seminggu sekali karena dia gajiannya kan tiap minggu, tidak sebulan sekali seperti yang lain.

"Kalau ada sisa jangan lupa ditabung ya?" ucapnya lagi.

Aku mengangguk.

Mas Gandhy lalu mandi dan ganti baju.

"Loh, Mas. Masa mau balik sekarang? Kan Fuchsia baru bangun, ini aja belum mandi." Aku menatap suamiku heran saat dia sudah rapi.

Yang membuatku lebih heran lagi adalah dia mengeluarkan sebuah parfum dan menyemprotkannya cukup banyak di badannya.

Sebentar, sejak kapan dia beli parfum?

Oke, sebelum menikah dan sampai aku hamil, dia memang sangat rapi. Dia tipe laki-laki yang akan selalu terlihat bersih dan benar-benar menjaga penampilannya.

Tetapi setelah aku melahirkan, dia sudah jarang begitu. Dia bahkan tak pernah membeli parfum. Lalu kenapa sekarang dia membelinya lagi? Apalagi dia sampai membawa parfum itu di tasnya juga. Kenapa kemarin aku tidak memeriksanya juga?

"Kok tumben wangi banget, Mas?"

"Ini kan mau ambil roti dulu buat dagangan besok. Malu kalau bau," jawabnya.

Aku menatapnya penuh curiga. Sejak kapan dia peduli jika tubuhnya bau? Selama ini dia cuek tentang itu.

Sungguh aku semakin bingung.

***

Fuchsia cukup susah ditenangkan saat melihat papanya pergi lebih awal. Anakku itu pastilah masih merindukan papanya. Mereka hanya bertemu sekali dalam satu minggu, sudah jelas waktu kebersamaan mereka sedikit.

Tetapi aku beruntung, Mamaku selalu berhasil membantuku untuk membuat Fuchsia tenang. Gadis kecil itu pun tertidur lebih cepat di malam hari.

Aku membuka aplikasi chat lagi dan mencari nomor suamiku. Yah, beginilah. Hubungan pernikahan jarak jauh tentu saja membutuhkan aplikasi ini untuk tetap saling bertukar kabar.

Saat membuka chat dari suamiku yang mengabarkan dia sudah sampai ke rumah itu, aku kembali dibuat kaget lagi.

Foto profil suamiku telah diganti.

Kenapa lagi ini?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ira Cdv
Ribet amat hidup lu mbak, sibuk mantau chatingan suami lu sm bosnya, lu mendadak ke ktrnya baru nanti ketahuan.
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Lelet bgt jadi istri klo merasa tingkah suaminya aneh ya tinggal datengin aja rumah mertuanya...untuk membuktikan kecurigaannya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
terlalu banyak bertanya2 sendiri. kenapa g kamu datangi aja rumah mertua mu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status