Share

2. Isi Chat

Author: Zila Aicha
last update Last Updated: 2022-05-29 02:41:06

Kosong. Tak ada chat dari wanita itu.

Bagaimana bisa? Tadi Mas Gandhy bilang jika dia sedang membicarakan tentang pekerjaannya dengan Mbak Deva kan? Tetapi kenapa nggak ada history chat-nya sama sekali?

Aku bingung. Aku segera melihat isi chat lain dan anehnya tak ada yang dihapus. Semuanya masih ada. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Hanya chat dari bosnya itu yang dihapus. Kalau begini caranya, bagaimana aku tidak curiga?

Aku lihat Mas Gandhy menggeliat. Aku kembalikan ponselnya ke dalam tas itu lagi dan aku membaringkan badanku di samping Mas Gandhy. Dia langsung memelukku. Aku tak membalas pelukannya.

Hatiku sedang tidak tenang. Malam itu aku kesusahan memejamkan mataku hingga waktu sahur tiba.

"Mas, bangun!" ucapku pelan sambil menepuk lembut bahu suamiku.

Dia tak menyahut. Baru setelah beberapa kali aku mencoba membangunkan dirinya, dia akhirnya membuka matanya dan kami pun sahur bersama-sama di ruang tengah.

"Gandhy, bagaimana kabar Bapak dan Ibu?" tanya Papaku.

"Alhamdulillah, baik Pak." Mas Gandhy menjawabnya dengan pelan.

"Kalau Ibu libur jualan ya kalau bulan puasa begini?" Giliran Mama yang bertanya.

"Iya, Bu."

Mama dan Papa kemudian mengangguk.

Bapak dan Ibu mertuaku masih bekerja di usia mereka yang bisa dibilang sudah cukup renta. Akan tetapi, Bapak terlihat bugar dan masih bertani. Sedangkan Ibu masih berjualan di pasar. Ibu adalah seorang penjual nasi pecel yang cukup terkenal.

Tak heran jika pecel buatan Ibuertuaku laris manis karena memang pecel yang dibuat Ibu memiliki cita rasa yang unik dan khas dibandingkan buatan penjual lain.

"Bapak Ibu nanti masih kerja lagi habis lebaran?" tanya Mama lagi.

Aku melirik ke arah Mas Gandhy sambil mengambilkan makanan untuknya.

"Masih, Bu. Bapak sama Ibu kalau nggak bekerja nggak enak. Udah terbiasa bekerja," jawab Mas Gandhy.

Aku mengernyit. Untuk hal ini, aku sama sekali tidak setuju dengan Mas Gandhy. Menurutku orang tua yang sudah memasuki usia lanjut ya seharusnya tidak perlu bekerja lagi.

Anak-anaknya yang harus bertanggung jawab merawat mereka. Masa iya tega membiarkan orang tua sendiri harus kesusahan untuk mencari sesuap nasi?

Aku ingat betul perkataan Bapak mertuaku tentang hal itu. Dia pernah bercerita jika dia dari kecil sampai tua sekarang selalu hidup susah dan harus berjuang terus.

Bukankah itu artinya Bapak belum hidup nyaman? Kenapa Mas Gandhy malah tetap membiarkan Bapak Ibunya masih bekerja?

"Tapi Bapak Ibu kamu kan sudah sepuh, Gandhy. Apa nggak kecapekan?" tanya Mama lagi.

"Capek itu sudah biasa, Bu. Kalau bekerja pasti ya capek, Bu."

Aku menatap suamiku dengan tatapan tak percaya. Mamaku yang sepertinya sudah enggan membahas itu akhirnya memilih diam.

Kami akhirnya makan sahur dalam diam.

Setelah kami menunaikan salat Subuh sendiri-sendiri, aku melihat Mas Gandhy sedang asyik dengan ponselnya dan aku pun duduk di sampingnya.

Mumpung anak kami masih tidur dengan nyenyaknya, aku memutuskan untuk berbicara dengannya.

"Mas, Mbak Deva itu udah punya pacar ya?" tanyaku.

Mas Gandhy terdiam sebentar lalu menjawab, "Mana aku tahu, Dik."

"Hah!? Kok nggak tahu, Mas? Kan Mas anak buahnya, masa nggak tahu?" tanyaku lagi.

Mas Gandhy kembali menjawab, "Iya tapi mana mungkin dia cerita tentang hal begitu sama Mas, sih Dik?"

Aku terdiam dan pura-pura melihat ponselku sendiri.

"Eh, Mas. Mas Jaka memangnya sudah meninggal berapa lama sih?" Aku bertanya tanpa melihat ke arahnya.

Dia lagi-lagi terdiam sebentar sebelum menjawab, "Satu setengah tahun."

Suami Mbak Deva, Mas Jaka itu bos asli suamiku  yang meninggal karena sakit. Aku tak terlalu paham tentang jenis penyakitnya tapi seingat diriku, Mas Jaka mengalami komplikasi dan mengembuskan napas terakhirnya saat anak kedua mereka masih berusia empat bulan.

Anak kedua mereka ini lahirnya hanya berjarak sekitar enam minggu saja dari kelahiran putriku. Itulah kenapa aku bisa kenal Mbak Deva, istri Mas Jaka itu.

Saat aku hamil, aku dan dia beberapa kali ikut pertemuan di kantor desa yang diadakan oleh perangkat desa khusus untuk ibu hamil.

Selain itu, saat aku berada di rumah barat, aku dan Mbak Deva sering juga berangkat bersama-sama ke posyandu.

"Oh iya masih belum lama ya ternyata," balasku.

"Hm." Dia menjawabnya singkat.

"Ya sudah, Mas. Aku mandi dulu."

Aku pun mandi dan setelah mandi, entah kenapa aku ingin ber-selfie ria. Sudah lama juga aku tak melakukannya.

Aku mengambil beberapa photo dan mengunggahnya sebagai status di salah satu aplikasi chat. Sekitar beberapa menit kemudian aku melihat Mbak Deva membuat sebuah status. Isinya ternyata tentang sebaik-baiknya wanita adalah yang jarang selfie.

"Apa-apaan sih ni orang," gumamku di ruang tamu sendirian.

Aku merasa tersindir lagi. Apa maksudnya coba?

Aku lalu masuk kamar dan berbicara dengan pelan pada suamiku, "Mas, Mbak Deva kayanya nggak suka deh sama aku. Dia kok nyindir-nyindir aku terus sih."

Mas Gandhy meletakkan ponselnya. Dia menjawab, "Cuma perasaan kamu aja kali, Dik."

"Ya nggak mungkin lah, Mas. Ini beberapa kali dia begini kok. Memang aku salah apa sih sama dia?" tanyaku sengaja memancing. Aku ingin tahu reaksi suamiku.

"Sudahlah, Dik. Nggak usah diributin. Cuekin aja," ucapnya.

Dia lalu mengambil tasnya dan mengeluarkan dompetnya. Dia menyerahkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan kepadaku. Aku terkejut.

"Kok banyak banget, Mas?"

"Lagi ada banyak," jawabnya.

Ini nggak salah? Jumlah uang mingguan yang diberikan Mas Gandhy hampir dua kali lipat dari pada biasanya.

Oh iya, Mas Gandhy selalu memberi uang belanja setiap seminggu sekali karena dia gajiannya kan tiap minggu, tidak sebulan sekali seperti yang lain.

"Kalau ada sisa jangan lupa ditabung ya?" ucapnya lagi.

Aku mengangguk.

Mas Gandhy lalu mandi dan ganti baju.

"Loh, Mas. Masa mau balik sekarang? Kan Fuchsia baru bangun, ini aja belum mandi." Aku menatap suamiku heran saat dia sudah rapi.

Yang membuatku lebih heran lagi adalah dia mengeluarkan sebuah parfum dan menyemprotkannya cukup banyak di badannya.

Sebentar, sejak kapan dia beli parfum?

Oke, sebelum menikah dan sampai aku hamil, dia memang sangat rapi. Dia tipe laki-laki yang akan selalu terlihat bersih dan benar-benar menjaga penampilannya.

Tetapi setelah aku melahirkan, dia sudah jarang begitu. Dia bahkan tak pernah membeli parfum. Lalu kenapa sekarang dia membelinya lagi? Apalagi dia sampai membawa parfum itu di tasnya juga. Kenapa kemarin aku tidak memeriksanya juga?

"Kok tumben wangi banget, Mas?"

"Ini kan mau ambil roti dulu buat dagangan besok. Malu kalau bau," jawabnya.

Aku menatapnya penuh curiga. Sejak kapan dia peduli jika tubuhnya bau? Selama ini dia cuek tentang itu.

Sungguh aku semakin bingung.

***

Fuchsia cukup susah ditenangkan saat melihat papanya pergi lebih awal. Anakku itu pastilah masih merindukan papanya. Mereka hanya bertemu sekali dalam satu minggu, sudah jelas waktu kebersamaan mereka sedikit.

Tetapi aku beruntung, Mamaku selalu berhasil membantuku untuk membuat Fuchsia tenang. Gadis kecil itu pun tertidur lebih cepat di malam hari.

Aku membuka aplikasi chat lagi dan mencari nomor suamiku. Yah, beginilah. Hubungan pernikahan jarak jauh tentu saja membutuhkan aplikasi ini untuk tetap saling bertukar kabar.

Saat membuka chat dari suamiku yang mengabarkan dia sudah sampai ke rumah itu, aku kembali dibuat kaget lagi.

Foto profil suamiku telah diganti.

Kenapa lagi ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Nada Azzah
Lola bet sih harusnya sadap tu hp mumpung lgi GK di kunci ...
goodnovel comment avatar
Ira Cdv
Ribet amat hidup lu mbak, sibuk mantau chatingan suami lu sm bosnya, lu mendadak ke ktrnya baru nanti ketahuan.
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Lelet bgt jadi istri klo merasa tingkah suaminya aneh ya tinggal datengin aja rumah mertuanya...untuk membuktikan kecurigaannya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Talak Aku, Mas!   98. Akhir

    "Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la

  • Talak Aku, Mas!   97. Keterbukaan

    Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A

  • Talak Aku, Mas!   96. Rencana Aaron

    "Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.

  • Talak Aku, Mas!   95. Alasan Zara

    "Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i

  • Talak Aku, Mas!   94. Putus Asa

    "Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek

  • Talak Aku, Mas!   93. Keegoisan

    "Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status