Kosong. Tak ada chat dari wanita itu.
Bagaimana bisa? Tadi Mas Gandhy bilang jika dia sedang membicarakan tentang pekerjaannya dengan Mbak Deva kan? Tetapi kenapa nggak ada history chat-nya sama sekali?
Aku bingung. Aku segera melihat isi chat lain dan anehnya tak ada yang dihapus. Semuanya masih ada. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Hanya chat dari bosnya itu yang dihapus. Kalau begini caranya, bagaimana aku tidak curiga?Aku lihat Mas Gandhy menggeliat. Aku kembalikan ponselnya ke dalam tas itu lagi dan aku membaringkan badanku di samping Mas Gandhy. Dia langsung memelukku. Aku tak membalas pelukannya.Hatiku sedang tidak tenang. Malam itu aku kesusahan memejamkan mataku hingga waktu sahur tiba."Mas, bangun!" ucapku pelan sambil menepuk lembut bahu suamiku.Dia tak menyahut. Baru setelah beberapa kali aku mencoba membangunkan dirinya, dia akhirnya membuka matanya dan kami pun sahur bersama-sama di ruang tengah."Gandhy, bagaimana kabar Bapak dan Ibu?" tanya Papaku."Alhamdulillah, baik Pak." Mas Gandhy menjawabnya dengan pelan."Kalau Ibu libur jualan ya kalau bulan puasa begini?" Giliran Mama yang bertanya."Iya, Bu."Mama dan Papa kemudian mengangguk.Bapak dan Ibu mertuaku masih bekerja di usia mereka yang bisa dibilang sudah cukup renta. Akan tetapi, Bapak terlihat bugar dan masih bertani. Sedangkan Ibu masih berjualan di pasar. Ibu adalah seorang penjual nasi pecel yang cukup terkenal.Tak heran jika pecel buatan Ibuertuaku laris manis karena memang pecel yang dibuat Ibu memiliki cita rasa yang unik dan khas dibandingkan buatan penjual lain."Bapak Ibu nanti masih kerja lagi habis lebaran?" tanya Mama lagi.Aku melirik ke arah Mas Gandhy sambil mengambilkan makanan untuknya."Masih, Bu. Bapak sama Ibu kalau nggak bekerja nggak enak. Udah terbiasa bekerja," jawab Mas Gandhy.Aku mengernyit. Untuk hal ini, aku sama sekali tidak setuju dengan Mas Gandhy. Menurutku orang tua yang sudah memasuki usia lanjut ya seharusnya tidak perlu bekerja lagi.Anak-anaknya yang harus bertanggung jawab merawat mereka. Masa iya tega membiarkan orang tua sendiri harus kesusahan untuk mencari sesuap nasi?
Aku ingat betul perkataan Bapak mertuaku tentang hal itu. Dia pernah bercerita jika dia dari kecil sampai tua sekarang selalu hidup susah dan harus berjuang terus.Bukankah itu artinya Bapak belum hidup nyaman? Kenapa Mas Gandhy malah tetap membiarkan Bapak Ibunya masih bekerja?
"Tapi Bapak Ibu kamu kan sudah sepuh, Gandhy. Apa nggak kecapekan?" tanya Mama lagi."Capek itu sudah biasa, Bu. Kalau bekerja pasti ya capek, Bu."Aku menatap suamiku dengan tatapan tak percaya. Mamaku yang sepertinya sudah enggan membahas itu akhirnya memilih diam.Kami akhirnya makan sahur dalam diam.Setelah kami menunaikan salat Subuh sendiri-sendiri, aku melihat Mas Gandhy sedang asyik dengan ponselnya dan aku pun duduk di sampingnya.Mumpung anak kami masih tidur dengan nyenyaknya, aku memutuskan untuk berbicara dengannya.
"Mas, Mbak Deva itu udah punya pacar ya?" tanyaku.Mas Gandhy terdiam sebentar lalu menjawab, "Mana aku tahu, Dik.""Hah!? Kok nggak tahu, Mas? Kan Mas anak buahnya, masa nggak tahu?" tanyaku lagi.Mas Gandhy kembali menjawab, "Iya tapi mana mungkin dia cerita tentang hal begitu sama Mas, sih Dik?"Aku terdiam dan pura-pura melihat ponselku sendiri."Eh, Mas. Mas Jaka memangnya sudah meninggal berapa lama sih?" Aku bertanya tanpa melihat ke arahnya.Dia lagi-lagi terdiam sebentar sebelum menjawab, "Satu setengah tahun."Suami Mbak Deva, Mas Jaka itu bos asli suamiku yang meninggal karena sakit. Aku tak terlalu paham tentang jenis penyakitnya tapi seingat diriku, Mas Jaka mengalami komplikasi dan mengembuskan napas terakhirnya saat anak kedua mereka masih berusia empat bulan.Anak kedua mereka ini lahirnya hanya berjarak sekitar enam minggu saja dari kelahiran putriku. Itulah kenapa aku bisa kenal Mbak Deva, istri Mas Jaka itu.Saat aku hamil, aku dan dia beberapa kali ikut pertemuan di kantor desa yang diadakan oleh perangkat desa khusus untuk ibu hamil.
Selain itu, saat aku berada di rumah barat, aku dan Mbak Deva sering juga berangkat bersama-sama ke posyandu."Oh iya masih belum lama ya ternyata," balasku."Hm." Dia menjawabnya singkat."Ya sudah, Mas. Aku mandi dulu."Aku pun mandi dan setelah mandi, entah kenapa aku ingin ber-selfie ria. Sudah lama juga aku tak melakukannya.Aku mengambil beberapa photo dan mengunggahnya sebagai status di salah satu aplikasi chat. Sekitar beberapa menit kemudian aku melihat Mbak Deva membuat sebuah status. Isinya ternyata tentang sebaik-baiknya wanita adalah yang jarang selfie."Apa-apaan sih ni orang," gumamku di ruang tamu sendirian.Aku merasa tersindir lagi. Apa maksudnya coba?Aku lalu masuk kamar dan berbicara dengan pelan pada suamiku, "Mas, Mbak Deva kayanya nggak suka deh sama aku. Dia kok nyindir-nyindir aku terus sih."Mas Gandhy meletakkan ponselnya. Dia menjawab, "Cuma perasaan kamu aja kali, Dik.""Ya nggak mungkin lah, Mas. Ini beberapa kali dia begini kok. Memang aku salah apa sih sama dia?" tanyaku sengaja memancing. Aku ingin tahu reaksi suamiku."Sudahlah, Dik. Nggak usah diributin. Cuekin aja," ucapnya.Dia lalu mengambil tasnya dan mengeluarkan dompetnya. Dia menyerahkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan kepadaku. Aku terkejut."Kok banyak banget, Mas?""Lagi ada banyak," jawabnya.Ini nggak salah? Jumlah uang mingguan yang diberikan Mas Gandhy hampir dua kali lipat dari pada biasanya.Oh iya, Mas Gandhy selalu memberi uang belanja setiap seminggu sekali karena dia gajiannya kan tiap minggu, tidak sebulan sekali seperti yang lain.
"Kalau ada sisa jangan lupa ditabung ya?" ucapnya lagi.Aku mengangguk.Mas Gandhy lalu mandi dan ganti baju."Loh, Mas. Masa mau balik sekarang? Kan Fuchsia baru bangun, ini aja belum mandi." Aku menatap suamiku heran saat dia sudah rapi.Yang membuatku lebih heran lagi adalah dia mengeluarkan sebuah parfum dan menyemprotkannya cukup banyak di badannya.Sebentar, sejak kapan dia beli parfum?Oke, sebelum menikah dan sampai aku hamil, dia memang sangat rapi. Dia tipe laki-laki yang akan selalu terlihat bersih dan benar-benar menjaga penampilannya.Tetapi setelah aku melahirkan, dia sudah jarang begitu. Dia bahkan tak pernah membeli parfum. Lalu kenapa sekarang dia membelinya lagi? Apalagi dia sampai membawa parfum itu di tasnya juga. Kenapa kemarin aku tidak memeriksanya juga?"Kok tumben wangi banget, Mas?""Ini kan mau ambil roti dulu buat dagangan besok. Malu kalau bau," jawabnya.Aku menatapnya penuh curiga. Sejak kapan dia peduli jika tubuhnya bau? Selama ini dia cuek tentang itu.Sungguh aku semakin bingung.***Fuchsia cukup susah ditenangkan saat melihat papanya pergi lebih awal. Anakku itu pastilah masih merindukan papanya. Mereka hanya bertemu sekali dalam satu minggu, sudah jelas waktu kebersamaan mereka sedikit.Tetapi aku beruntung, Mamaku selalu berhasil membantuku untuk membuat Fuchsia tenang. Gadis kecil itu pun tertidur lebih cepat di malam hari.Aku membuka aplikasi chat lagi dan mencari nomor suamiku. Yah, beginilah. Hubungan pernikahan jarak jauh tentu saja membutuhkan aplikasi ini untuk tetap saling bertukar kabar.Saat membuka chat dari suamiku yang mengabarkan dia sudah sampai ke rumah itu, aku kembali dibuat kaget lagi.Foto profil suamiku telah diganti.Kenapa lagi ini?Foto profil suamiku yang sebelumnya adalah foto kami bertiga, kini sudah diubah dengan foto tumpukan snack. Tentu saja aku terkejut bukan main.Selama kami menikah, dia terhitung hanya beberapa kali saja mengganti foto profil di aplikasi chat tersebut. Dia selalu memakai foto kami berdua, foto Fuchsia, foto bertiga kami atau foto dia bersama dengan Fuchsia.Aku mengerutkan dahiku bingung lalu aku langsung saja mengetik pesan untuk Mas Gandhy. Aku menanyakan tentang foto profilnya yang diganti.Dia sedang online siang itu tapi anehnya dia tak kunjung membalas pesanku itu. Jujur saja, perasaanku mulai tak karuan. Mungkin bagi sebagian orang, mengganti foto profil itu hal yang biasa saja. Namun, untukku yang telah mengenal suamiku, tentu hal itu bukan hal yang biasa. Firasat aneh mulai menghampiriku. "Kenapa, Ra?" Mama bertanya. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Ah, nggak apa-apa, Ma."Aku lalu mengambil Fuchsia dari gendongan Mama dan menggendongnya.Aku memilih untuk mengabaikan ha
Apakah itu sebuah pertanda buruk? Aku tidak memikirkannya. Tetapi Mamaku terlihat sedang berpikir saat aku membersihkan pecahan kaca itu. Foto itu padahal baru saja dipasang di ruang tamu tapi bisa-bisanya malah jatuh."Apa kurang kuat ya talinya, Ma?" tanyaku."Mungkin," jawab Mama singkat.Daripada aku berpikiran yang bukan-bukan, aku memutuskan untuk segera pergi ke percetakan photo. Di tengah perjalanan, aku sudah lupa tentang pigura yang jatuh itu.Aku malah menikmati jalanan kota. Aku sudah jarang sekali keluar sendirian semenjak memiliki anak. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah bersama anakku dan kalau pun aku keluar, tidak mungkin aku sendirian. Aku pasti akan mengajak Mamaku dan juga Fuchsia. Kalau saat Mas Gandhy sedang pulang, kami keluar bertiga.Sambil mengemudi motor kesayanganku yang aku beli dari hasil jerih payahku sebagai seorang guru beberapa tahun yang lalu, aku melihat banyak hal yang telah berubah di kota kelahiranku.Saat aku berhenti di pertigaan ka
Eros langsung meneleponku. Dengan pelan-pelan aku ke luar dari kamar agar suaraku tak menganggu anakku yang sedang tidur."Gimana? Bisa nggak?" tanyaku dengan gelisah."Buat apa memangnya, Mbak?" tanya Eros terdengar heran.Aku menahan napas sebentar, menimbang-nimbang apakah aku harus cerita tentang kecurigaanku atau tidak. Selama berumah tangga dengan Mas Gandhy, aku sangat tertutup pada siapapun. Tak pernah sekalipun aku cerita tentang masalah-masalah yang menimpaku. Bahkan kepada sahabat baikku yang baru saja menikah beberapa bulan lalu, aku tak pernah berkeluh kesah padanya meskipun terkadang aku tidak betah. Akan tetapi, aku tetap teguh dengan pendirianku, aku tak ingin masalah rumah tanggaku diketahui oleh orang lain karena menurutku memang hal itu sangat pribadi.Namun, saat ini aku sudah sangat pusing sekali, pikiranku sedang berantakan. Aku membutuhkan saran orang lain. Bukankah lebih baik jika aku bercerita pada adikku saja? Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu adikk
Aku melirik suamiku, takut jika dia terbangun karena suaraku. Jantungku benar-benar sudah tidak bisa terkendali. Berdetak dengan sangat cepat hingga mungkin suara detaknya bisa terdengar oleh orang lain.Aku mencoba berdiri dengan tegak meskipun rasanya aku hampir tak mampu. Aku perlahan ke luar dari kamarnya sambil mengantongi ponselnya. Bapak mertuaku melihatku ke luar dan dia langsung berkata, "Belum mau bangun?""Belum, Bapak." Aku masih linglung rasanya, jadi aku masih berdiri di depan kamar suamiku yang pintunya sudah aku tutup seperti orang bodoh. "Ada apa?" tanya Bapak mertua.Aku menggigit bibirku, aneh rasanya. Kenapa aku tak bisa menangis? Harusnya aku meraung-raung kan? Tetapi dadaku rasanya sangat sesak, tak bisa menangis. Aku lalu berjalan menuju Bapak Mertuaku yang sekarang sudah duduk. Dia jelas menungguku untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi."Pak, Mas Gandhy selingkuh," ucapku akhirnya.Aku dengan gemetar menunjukkan ponsel Mas Gandhy pada Bapak. Bapak mertua
Aku tak tau bagaimana menjawabnya lantaran pikiranku yang tak bisa berpikir dengan jernih. Sebelum aku mulai menjawab, pintu kamarnya dibuka dan Ibu Mertuaku nampak melihatku dengan sorot bingung. "Fuchsia mana?" tanyanya. Dia celingukan mencari Fuchsia. Ibu Mertuaku tentu berpikir jika aku ke sana dengan mengajak Fuchsia seperti Bapak Mertuaku tadi. Sebenarnya tidak bisa disalahkan juga jika mereka bertanya begitu. Ini karena dulu, saat Fuchsia masih berusia sekitar empat bulan, aku ke sana sore hari dengan menyewa kendaraan online bersama dengan Fuchsia. "Fuchsia nggak Zara ajak, Bu. Tadi lagi tidur." "Terus sama Mamamu?" tanyanya lagi. "Iya, Bu." Ibu melirikku dan aku buru-buru membersihkan mataku yang mungkin masih ada sisa-sisa air mataku. "Puasa nggak? Kalau nggak, tak panasin sayur. Ibu masak sop," ucap ibu mertuaku. Dia tahu aku menyukai sop dan dulu saat aku hamil, Ibu Mertuaku sering sekali memasakannya untukku. "Insyaallah, puasa. Ibu, nggak ke pasar?" "Nggak. Na
Walaupun hatiku sedang kacau, aku tetap menjaga mulutku untuk tak berucap kasar saat ini. Bahkan, aku masih mengucapkan salam saat aku masuk ke dalam rumahnya. Rumah itu masih tak berubah, masih dipenuhi dengan berbagai barang dagangan. Barang-barang itu memakan tempat hampir tiga perempat bagian rumahnya. Aku mengernyit karena saat mulai berjalan di dalam rumah itu kakiku langsung tak nyaman. Terlalu banyak debu. Deva masih di depan. Anak perempuannya yang seusia dengan anakku sedang duduk sambil makan jelly. Aku berjongkok, aku bersihkan mulutnya yang belepotan dengan tissue. Kenapa kamu harus memiliki ibu seorang perebut suami orang? batinku sedih. "Aku mau ngomong," ucapku begitu Deva masuk. Deva langsung menggendong anaknya dan membawanya ke kamar. "Jagain Adik ya, Mar. Ibu mau ngomong sama Mamanya Fuchsia dulu," ucap Deva. Telingaku gatal rasanya, entah kenapa aku tak rela nama anakku diucapkan oleh wanita itu. Aku duduk di salah satu sofa yang lagi-lagi banyak debu
"Kenapa sih kamu ngomong kaya gitu? Kamu mau misahin aku sama Fuchsia?" tanya Mas Gandhy.Aku menatapnya tak percaya, "Bukannya kamu tidak pernah mikirin Fuchsia?""Dia anakku, aku pasti mikirin dia," balasnya."Kalau kamu mikirin dia, kamu nggak akan tega berselingkuh. Wallpaper ponselmu itu photo Fuchsia, apa kamu nggak pernah merasa bersalah saat bermesraan dengan dia tapi dengan bersamaan melihat photo anakmu?" Hatiku sudah remuk jadi aku suda tidak peduli. Aku sama sekali tidak menahan kekesalanku.Mas Gandhy terdiam.Deva ke luar lagi dari kamar itu. Dia berkata, "Dibicarakan baik-baik dulu. Diselesaikan baik-baik. Aku nggak akan ganggu lagi, Zara. Aku nggak akan ganggu hubungan kalian lagi."Tetapi kamu udah terlanjur menghancurkannya, Mbak. Aku membatin kesal. Aku melihat Mas Gandhy menatap Deva dengan tatapan sedih. Hatiku semakin teriris rasanya, dia seolah-olah tak rela.Mas Gandhy, "Dik, apa nggak bisa diperbaiki lagi?"Aku terdiam. Sejujurnya aku sangat bingung. Memang ak
Sakit? Tentu saja sangat sakit. Siapa yang tidak merasakan sakit jika pernikahan yang baru saja terjalin seumur jagung harus kandas begitu saja dikarenakan orang ketiga?Yang lebih menyakitkan lagi setelah mencoba memberikan solusi dan menekan ego untuk menyelamatkan rumah tanggaku, dia tetap saja lebih memilih wanita itu. Bahkan dia sudah tidak memikirkan nasib anaknya lagi.Aku tak bisa berkata-kata lagi begitu dia berkata seperti itu. Hal ini tak mudah bagiku. Mengingat meskipun awalnya aku begitu emosi dan langsung ingin bercerai darinya tetapi setelah memikirkan lagi, aku takut. Aku tidak takut sendiri. Aku tidak takut menjadi seorang janda dan harus banting tulang demi anakku. Bukan itu. Aku hanya takut anakku yang tak memiliki sosok ayah untuk selalu ada bersamanya."Ya sudah, yang urus perceraiannya aku atau kamu, Mas?" tanyaku. Hatiku tidak baik-baik saja tetapi aku tak mungkin menunjukkan itu di depannya."Nanti Mas ngomong dulu sama Bapak," jawabnya.Aku mengangguk. Memang