"Maaf, Mas. Tadi aku di belakang lagi nonton televisi sama Fuchsia," ucapku saat aku sudah membukakan pintu rumah.
Aku mencium tangan suamiku sebelum membiarkan dia masuk ke dalam rumah."Nggak apa-apa. Ini bawa ke belakang," ucap Mas Gandhy menyerahkan dua bungkus besar belanjaan yang aku langsung tahu betul berasal dari minimarket.Aku agak terkejut saat melihat begitu banyak isinya, "Mas, kok banyak banget. Eh, ini ada susu kedelai juga."Aku senang sekali karena dia membelikanku minuman favoritku semenjak melahirkan.
"Iya, kamu kan suka itu," ucapnya lalu tersenyum.Suamiku mencubit daguku lembut."Aku ke kamar mandi dulu," ucapnya lagi.Dia berjalan ke kamar mandi dan mencuci tangannya seperti biasanya. Dia sudah hafal kalau dia harus cuci tangan dulu sebelum bertemu dengan putri kami yang masih belum genap berusia dua tahun.Aku langsung membawa makanan dan minuman yang dibawakan Mas Gandhy dan menaruh sebagian di kulkas. Aku mulai tersenyum saat aku rasa suamiku mulai lebih perhatian.Dia ternyata tak hanya membelikanku minuman kesukaanku tapi juga roti keju yang juga aku sukai. Tak hanya itu, dia bahkan juga membelikan Fuchsia mainan.
Fuchsia sedang bermain lego di depan televisi saat aku menghampiri gadis kecil itu."Fuchsia, lihat! Ini Papa beliin mainan baru untuk Fuchsia. Bagus kan, Sayang?" ucapku pada anakku yang kemudian menoleh."Ma, Main." Dia meraih mainan barunya, boneka kucing yang bisa bergerak.Aku menunggu suamiku yang lama di kamar mandi. Jadi, aku pun menyusulnya. Saat aku melihatnya, dia memasang ekspresi terkejut. Dia ternyata sedang mengetik sesuatu di ponselnya."Kok lama banget, Mas?" tanyaku tanpa menaruh curiga."Iya, ini Mbak Deva tanya stok barang. Ada barang yang datang," jawabnya.Aku hanya mengangguk.Mas Gandhy lalu mendekati Fuchsia dan bermain dengannya."Bapak, Ibu ke mana, Dik?""Ada acara yasinan, Mas. Mas, sudah buka puasa belum tadi?" tanyaku."Udah tadi, Ibu masak oseng-oseng jamur," jawabnya.Aku kecewa mendengarnya. Padahal aku sudah memasak untuknya tadi. Aku hanya mengembuskan napasku dengan pelan. Aku tahu aku tidak pintar memasak dan bisa dikatakan jarang memasak.Walaupun begitu, sesekali aku ingin suamiku makan makanan masakanku. Akan tetapi, semakin lama aku merasa susah sekali membuatnya makan masakanku.
"Enak pasti," ucapku yang memang mengakui masakan ibu mertuaku yang tidak mengecewakan.Bahkan beliau juga sering mengajariku masak saat aku berada di rumah barat. Kami selalu menyebutnya begitu. Rumah mertuaku rumah barat, sedangkan rumah orangtuaku rumah timur.
Aku dan Mas Gandhy sudah menikah hampir tiga tahun lamanya dan kami sudah memiliki putri cantik yang dalam waktu dekat akan segera berusia dua tahun.Mas Gandhy bekerja sebagai seorang sales snack di usaha kecil milik tetangga kami. Sedangkan aku masih belum kembali bekerja karena masih ingin membesarkan putriku sendiri, setidaknya sampai dia berusia tiga tahun.Aku dulunya seorang guru di sekolah swasta dan harus resign karena kandunganku saat itu yang lemah.
Aku dan Mas Gandhy tidak tinggal dalam satu rumah. Aku tinggal di rumah timur, Mas Gandhy tinggal di rumah barat. Rumah barat dan timur berjarak sekitar dua puluh lima kilometer dan hal itu yang dijadikan alasan Mas Gandhy untuk tidak mau tinggal serumah denganku dan memilih tinggal di rumah barat. Itu juga karena kebetulan saja tempat kerja Mas Gandhy berada tepat di belakang rumah mertuaku itu.Mas Gandhy hanya datang menjengukku satu kali dalam satu minggu. Orangtuaku berulang kali menyarankan Mas Gandhy untuk mencari kerja baru di tempat lain, tetapi dia tak pernah mau. Jadi terpaksa, kami tinggal berjauhan sekarang.Mengingat ulang tahun Fuchsia yang tinggal sepuluh hari lagi itu aku berbicara, "Mas, ulang tahun Fuchsia nanti gimana? Dirayakan nggak?"Mas Gandhy yang sedang bermain bersama Fuchsia itu menjawab, "Iya dong. Iya kan, Nduk? Anak Papa mau dibelikan apa, Sayang nanti?"Dia menggendong putrinya itu dan mencium pipinya dengan gemas."Pe-men." Gadis kecil itu menjawab dengan bersemangat."Hah!? Kok permen, sih. Nanti giginya bolong-bolong lho, Nduk." Mas Gandhy mencium lagi pipi Fuchsia."Mau pe-men," ucap Fuchsia sambil menampilkan ekspresi cemberutnya yang lucu sekali.Aku jadi ikutan gemas dan duduk di samping Mas Gandhy dan ikut mencium pipi putriku itu. Kami pun menggelitik Fuchsia sampai gadisku itu tertawa."Mas, nanti dirayakan kaya gimana?" tanyaku lagi."Adik aja yang atur, Mas Ikut aja. Nanti uangnya Mas transfer ya," jawabnya.Aku tertegun. Pasalnya, Mas Gandhy terlihat begitu mudahnya menyetujui itu. Biasanya, dia tidak begitu. Dia pasti akan bertanya ini itu dulu sebelum mengiyakan.Suamiku itu memang bukan orang yang pelit tapi dia tidak juga terlalu royal. Aku tidak tahu apakah ini pertanda baik atau buruk, tetapi untuk sekarang aku lega karena bisa membuat acara syukuran kecil-kecilan untuk Fuchsia.***"Dik, kamu nggak makan lagi?" tanya Mas Gandhy setelah aku selesai menidurkan Fuchsia."Enggak terlalu lapar. Mas mau makan?" tanyaku. Aku masih berharap dia mau makan masakanku."Enggak. Masih kenyang. Eh, Mas ke depan dulu ya? Mau udud sebentar," pamitnya dan dia membawa ponselnya ke luar kamar.Aku tetap di kamar dan mengambil ponselku sendiri. Aku membuka status orang-orang di salah satu aplikasi chat.Tak ada yang menarik. Tetapi kemudian aku membuka status dari Mbak Deva, Bos suamiku.Isinya begini: Ah, pengangguran. Wanita hebat itu wanita yang bisa ngurus anak sekaligus bisa mencari uang.Dia menambahkan emoticon tersenyum.Siapa yang dia sindir?Hatiku tiba-tiba panas. Masalahnya, aku saat ini memang masih menganggur dan hanya mengurus anak.Aku membuka nomornya dan berniat mengirim pesan kepadanya. Saat melihat dia sedang online, aku langsung mengetik beberapa kata."Bentar-bentar, kan belum tentu aku yang disindir. Kenapa aku kesal?" gumamku pelan.Aku langsung menghapus pesan itu dan tak jadi mengirimkannya."Jangan gampang baper, Zara!" Aku berbicara pada diriku sendiri.Aku lalu dengan iseng membuka nomor suamiku dan agak terkejut saat dia sedang online. Biasanya kalau ke depan sambil merokok itu dia akan bermain game atau nonton video saja.Aku tersenyum dan langsung mengetik: 'Kok malah online, Mas?'Aku menunggu beberapa detik, pesanku langsung berubah biru, tanda dia sudah membacanya. Dia menjawab: 'Iya, Dik. Ada masalah dengan barang yang datang tadi. Mbak Deva nanyain.'Setelah membaca pesan itu, aku memilih untuk mendengarkan musik sambil menunggu Mas Gandhy masuk.Akan tetapi, setelah setengah jam kemudian, entah kenapa aku malah mulai kepikiran lagi. Aku kembali membuka aplikasi chat itu dan membuka nomor Mas Gandhy dan dia masih online. Lalu aku membuka nomor Mbak Deva dan ternyata juga sedang online.Oke, aku tahu mereka memang anak buah dan bos. Masalah barang datang itu pasti juga didiskusikan bersama. Tetapi masa iya diskusi hampir setengah jam lamanya.Aku berpikir sebentar sebelum akhirnya turun dari tempat tidur dan berjalan menuju teras."Mas, kok lama banget ngerokoknya?" tanyaku.Dia yang sedang tersenyum sambil mengetik sesuatu yang entah apa dan kepada siapa itu kaget luar biasa dan hampir menjatuhkan ponselnya.Aku juga jadi ikut terkejut saat melihat wajah Mas Gandhy yang kaget itu."I-iya, ini dah habis."Dia kemudian berdiri dari kursi dan menggandengku masuk ke kamar."Udah beres, Mas?" tanyaku setelah kami sudah berada di dalam kamar."Apanya?" tanyanya bingung."Tadi barang yang baru datang.""Oh, itu. Udah. Ayo tidur," ajaknya.Dia kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas selempangnya yang dia gantung di dekat lemari.Firasatku mulai tak enak. Dia tak pernah begitu. Ponselnya harus ada di sampingnya saat dia tidur. Ini pertama kalinya dia tak menaruh ponselnya di dekatnya."Kenapa?" tanyanya."Nggak apa-apa," jawabku pelan.Aku membiarkan dia tidur sambil memelukku di kasur bagian bawah. Kasur kami ada dua di kamar, sebuah spring bed dan sebuah kasur busa biasa. Spring bed untuk Fuchsia, busa untuk Mas Gandhy dan aku.Aku tidak bisa tidur dan saat aku lihat Mas Gandhy sudah tertidur pulas, secara perlahan aku menggeser tubuhku dan berdiri. Dengan pelan-pelan aku berjalan agar tidak ketahuan. Aku lalu membuka tas selempang hitam Mas Gandhy dan mengambil ponselnya.Tidak dikunci, aku lega. Dia memang tidak pernah mengunci ponselnya.Aku dengan cepat membuka aplikasi chat itu dan langsung mencari nomor Mbak Deva. Aku agak terkejut saat nomor itu di pinned. Padahal setahuku hanya nomorku saja yang di pinned.Aku menggigit bibirku mulai takut. Aku memejamkan mataku sebelum membuka isi chat dari bos suamiku itu.Tetapi kemudian aku hanya bisa terdiam saat membacanya.Kosong. Tak ada chat dari wanita itu. Bagaimana bisa? Tadi Mas Gandhy bilang jika dia sedang membicarakan tentang pekerjaannya dengan Mbak Deva kan? Tetapi kenapa nggak ada history chat-nya sama sekali? Aku bingung. Aku segera melihat isi chat lain dan anehnya tak ada yang dihapus. Semuanya masih ada. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Hanya chat dari bosnya itu yang dihapus. Kalau begini caranya, bagaimana aku tidak curiga?Aku lihat Mas Gandhy menggeliat. Aku kembalikan ponselnya ke dalam tas itu lagi dan aku membaringkan badanku di samping Mas Gandhy. Dia langsung memelukku. Aku tak membalas pelukannya.Hatiku sedang tidak tenang. Malam itu aku kesusahan memejamkan mataku hingga waktu sahur tiba."Mas, bangun!" ucapku pelan sambil menepuk lembut bahu suamiku.Dia tak menyahut. Baru setelah beberapa kali aku mencoba membangunkan dirinya, dia akhirnya membuka matanya dan kami pun sahur bersama-sama di ruang tengah."Gandhy, bagaimana kabar Bapak dan Ibu?" tanya Papaku."Alhamdul
Foto profil suamiku yang sebelumnya adalah foto kami bertiga, kini sudah diubah dengan foto tumpukan snack. Tentu saja aku terkejut bukan main.Selama kami menikah, dia terhitung hanya beberapa kali saja mengganti foto profil di aplikasi chat tersebut. Dia selalu memakai foto kami berdua, foto Fuchsia, foto bertiga kami atau foto dia bersama dengan Fuchsia.Aku mengerutkan dahiku bingung lalu aku langsung saja mengetik pesan untuk Mas Gandhy. Aku menanyakan tentang foto profilnya yang diganti.Dia sedang online siang itu tapi anehnya dia tak kunjung membalas pesanku itu. Jujur saja, perasaanku mulai tak karuan. Mungkin bagi sebagian orang, mengganti foto profil itu hal yang biasa saja. Namun, untukku yang telah mengenal suamiku, tentu hal itu bukan hal yang biasa. Firasat aneh mulai menghampiriku. "Kenapa, Ra?" Mama bertanya. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Ah, nggak apa-apa, Ma."Aku lalu mengambil Fuchsia dari gendongan Mama dan menggendongnya.Aku memilih untuk mengabaikan ha
Apakah itu sebuah pertanda buruk? Aku tidak memikirkannya. Tetapi Mamaku terlihat sedang berpikir saat aku membersihkan pecahan kaca itu. Foto itu padahal baru saja dipasang di ruang tamu tapi bisa-bisanya malah jatuh."Apa kurang kuat ya talinya, Ma?" tanyaku."Mungkin," jawab Mama singkat.Daripada aku berpikiran yang bukan-bukan, aku memutuskan untuk segera pergi ke percetakan photo. Di tengah perjalanan, aku sudah lupa tentang pigura yang jatuh itu.Aku malah menikmati jalanan kota. Aku sudah jarang sekali keluar sendirian semenjak memiliki anak. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah bersama anakku dan kalau pun aku keluar, tidak mungkin aku sendirian. Aku pasti akan mengajak Mamaku dan juga Fuchsia. Kalau saat Mas Gandhy sedang pulang, kami keluar bertiga.Sambil mengemudi motor kesayanganku yang aku beli dari hasil jerih payahku sebagai seorang guru beberapa tahun yang lalu, aku melihat banyak hal yang telah berubah di kota kelahiranku.Saat aku berhenti di pertigaan ka
Eros langsung meneleponku. Dengan pelan-pelan aku ke luar dari kamar agar suaraku tak menganggu anakku yang sedang tidur."Gimana? Bisa nggak?" tanyaku dengan gelisah."Buat apa memangnya, Mbak?" tanya Eros terdengar heran.Aku menahan napas sebentar, menimbang-nimbang apakah aku harus cerita tentang kecurigaanku atau tidak. Selama berumah tangga dengan Mas Gandhy, aku sangat tertutup pada siapapun. Tak pernah sekalipun aku cerita tentang masalah-masalah yang menimpaku. Bahkan kepada sahabat baikku yang baru saja menikah beberapa bulan lalu, aku tak pernah berkeluh kesah padanya meskipun terkadang aku tidak betah. Akan tetapi, aku tetap teguh dengan pendirianku, aku tak ingin masalah rumah tanggaku diketahui oleh orang lain karena menurutku memang hal itu sangat pribadi.Namun, saat ini aku sudah sangat pusing sekali, pikiranku sedang berantakan. Aku membutuhkan saran orang lain. Bukankah lebih baik jika aku bercerita pada adikku saja? Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu adikk
Aku melirik suamiku, takut jika dia terbangun karena suaraku. Jantungku benar-benar sudah tidak bisa terkendali. Berdetak dengan sangat cepat hingga mungkin suara detaknya bisa terdengar oleh orang lain.Aku mencoba berdiri dengan tegak meskipun rasanya aku hampir tak mampu. Aku perlahan ke luar dari kamarnya sambil mengantongi ponselnya. Bapak mertuaku melihatku ke luar dan dia langsung berkata, "Belum mau bangun?""Belum, Bapak." Aku masih linglung rasanya, jadi aku masih berdiri di depan kamar suamiku yang pintunya sudah aku tutup seperti orang bodoh. "Ada apa?" tanya Bapak mertua.Aku menggigit bibirku, aneh rasanya. Kenapa aku tak bisa menangis? Harusnya aku meraung-raung kan? Tetapi dadaku rasanya sangat sesak, tak bisa menangis. Aku lalu berjalan menuju Bapak Mertuaku yang sekarang sudah duduk. Dia jelas menungguku untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi."Pak, Mas Gandhy selingkuh," ucapku akhirnya.Aku dengan gemetar menunjukkan ponsel Mas Gandhy pada Bapak. Bapak mertua
Aku tak tau bagaimana menjawabnya lantaran pikiranku yang tak bisa berpikir dengan jernih. Sebelum aku mulai menjawab, pintu kamarnya dibuka dan Ibu Mertuaku nampak melihatku dengan sorot bingung. "Fuchsia mana?" tanyanya. Dia celingukan mencari Fuchsia. Ibu Mertuaku tentu berpikir jika aku ke sana dengan mengajak Fuchsia seperti Bapak Mertuaku tadi. Sebenarnya tidak bisa disalahkan juga jika mereka bertanya begitu. Ini karena dulu, saat Fuchsia masih berusia sekitar empat bulan, aku ke sana sore hari dengan menyewa kendaraan online bersama dengan Fuchsia. "Fuchsia nggak Zara ajak, Bu. Tadi lagi tidur." "Terus sama Mamamu?" tanyanya lagi. "Iya, Bu." Ibu melirikku dan aku buru-buru membersihkan mataku yang mungkin masih ada sisa-sisa air mataku. "Puasa nggak? Kalau nggak, tak panasin sayur. Ibu masak sop," ucap ibu mertuaku. Dia tahu aku menyukai sop dan dulu saat aku hamil, Ibu Mertuaku sering sekali memasakannya untukku. "Insyaallah, puasa. Ibu, nggak ke pasar?" "Nggak. Na
Walaupun hatiku sedang kacau, aku tetap menjaga mulutku untuk tak berucap kasar saat ini. Bahkan, aku masih mengucapkan salam saat aku masuk ke dalam rumahnya. Rumah itu masih tak berubah, masih dipenuhi dengan berbagai barang dagangan. Barang-barang itu memakan tempat hampir tiga perempat bagian rumahnya. Aku mengernyit karena saat mulai berjalan di dalam rumah itu kakiku langsung tak nyaman. Terlalu banyak debu. Deva masih di depan. Anak perempuannya yang seusia dengan anakku sedang duduk sambil makan jelly. Aku berjongkok, aku bersihkan mulutnya yang belepotan dengan tissue. Kenapa kamu harus memiliki ibu seorang perebut suami orang? batinku sedih. "Aku mau ngomong," ucapku begitu Deva masuk. Deva langsung menggendong anaknya dan membawanya ke kamar. "Jagain Adik ya, Mar. Ibu mau ngomong sama Mamanya Fuchsia dulu," ucap Deva. Telingaku gatal rasanya, entah kenapa aku tak rela nama anakku diucapkan oleh wanita itu. Aku duduk di salah satu sofa yang lagi-lagi banyak debu
"Kenapa sih kamu ngomong kaya gitu? Kamu mau misahin aku sama Fuchsia?" tanya Mas Gandhy.Aku menatapnya tak percaya, "Bukannya kamu tidak pernah mikirin Fuchsia?""Dia anakku, aku pasti mikirin dia," balasnya."Kalau kamu mikirin dia, kamu nggak akan tega berselingkuh. Wallpaper ponselmu itu photo Fuchsia, apa kamu nggak pernah merasa bersalah saat bermesraan dengan dia tapi dengan bersamaan melihat photo anakmu?" Hatiku sudah remuk jadi aku suda tidak peduli. Aku sama sekali tidak menahan kekesalanku.Mas Gandhy terdiam.Deva ke luar lagi dari kamar itu. Dia berkata, "Dibicarakan baik-baik dulu. Diselesaikan baik-baik. Aku nggak akan ganggu lagi, Zara. Aku nggak akan ganggu hubungan kalian lagi."Tetapi kamu udah terlanjur menghancurkannya, Mbak. Aku membatin kesal. Aku melihat Mas Gandhy menatap Deva dengan tatapan sedih. Hatiku semakin teriris rasanya, dia seolah-olah tak rela.Mas Gandhy, "Dik, apa nggak bisa diperbaiki lagi?"Aku terdiam. Sejujurnya aku sangat bingung. Memang ak