Share

7. Ponsel Mas Mana?

Aku tak tau bagaimana menjawabnya lantaran pikiranku yang tak bisa berpikir dengan jernih. Sebelum aku mulai menjawab, pintu kamarnya dibuka dan Ibu Mertuaku nampak melihatku dengan sorot bingung.

"Fuchsia mana?" tanyanya. Dia celingukan mencari Fuchsia. 

Ibu Mertuaku tentu berpikir jika aku ke sana dengan mengajak Fuchsia seperti Bapak Mertuaku tadi. Sebenarnya tidak bisa disalahkan juga jika mereka bertanya begitu.

Ini karena dulu, saat Fuchsia masih berusia sekitar empat bulan, aku ke sana sore hari dengan menyewa kendaraan online bersama dengan Fuchsia.

"Fuchsia nggak Zara ajak, Bu. Tadi lagi tidur."

"Terus sama Mamamu?" tanyanya lagi.

"Iya, Bu."

Ibu melirikku dan aku buru-buru membersihkan mataku yang mungkin masih ada sisa-sisa air mataku.

"Puasa nggak? Kalau nggak, tak panasin sayur. Ibu masak sop," ucap ibu mertuaku.

Dia tahu aku menyukai sop dan dulu saat aku hamil, Ibu Mertuaku sering sekali memasakannya untukku.

"Insyaallah, puasa. Ibu, nggak ke pasar?"

"Nggak. Nanti ada penyembelihan sapi di depan rumah," jawabnya.

Aku terdiam, bingung harus membahas apa lagi. Sedangkan Mas Gandhy masih diam saja seperti patung.

"Ada apa? Ada masalah?" tanya ibu mertuaku tampak curiga.

Aku menggeleng dengan cepat. Aku tak mau dia mengetahui perkara ini karena pasti semua akan tambah rumit.

"Ya sudah, Ibu mau ke depan."

Aku mengangguk dan berbalik menatap suamiku itu. Aku segera mengeluarkan ponselku dan mematikan recordingnya. Aku membuka aplikasi chat lagi dan mengetik pesan untuk Deva.

Aku: 'Mbak, di mana?'

Deva: 'Di rumah barat. Ada apa, Ra?'

Aku: 'Oh, aku kira udah di rumah timur.'

Deva: 'Bentar lagi ke sana. Ada apa memangnya?'

Aku: 'Mas Gandhy nggak bisa dihubungi.'

Aku ingin tahu sejauh mana orang itu berlagak sok baik di depanku. 

Deva: 'Ntar aku tak berangkat. aku bilangin nanti untuk hubungi kamu.'

Aku ingin mengumpat rasanya, kata-katanya seolah jika dia yang bilang ke Mas Gandhy, dia akan langsung mau menjawab pesanku.

Karena rupanya aku tak bisa menahan lagi, aku langsung saja mengirim sebuah foto tentang chat mereka yang aku ambil sebelum membangunkan suamiku tadi.

Deva: 'Itu nggak benar. Itu hanya bercandaan saja.'

Aku: 'Cepat ke sini!'

Deva; 'Suamimu yang mulai duluan.'

Aku: 'Kalau aku yang datang ke sana, kamu akan malu ntar.'

Deva: 'Ya.'

Aku ingin mengamuk, sungguh. Rasa kesalku tak bisa ditahan lagi.

"Siapa yang mulai, Mas?" tanyaku pada Mas Gandhy.

"Aku."

"Kenapa harus dia, Mas?" Pertanyaan yang tetap saja masih menggangguku.

"Karena ketemu setiap hari. Ya sudah, terbiasa."

Aku mendesah lelah. 

"Mas, aku setiap hari ketemu tukang sayur yang lewat depan rumah tapi aku nggak tertarik sama dia. Padahal dia nggak jelek," sindirku.

Mas Gandhy menoleh ke arahku tetapi tak membalas.

"Kalau posisinya di balik gimana, Mas? Kalau aku yang selingkuh gimana?"

"Ngomong apa sih kamu. Lagi pula aku sama dia belum lakuin apapun. Aku cuma chat aja sama dia," ucap Mas Gandhy.

Inilah dia. Baginya hal seperti itu bukanlah hal besar.

"Mas, kamu nggak pernah mikir ya. Kamu itu udah nikah, udah punya Fuchsia. Kamu nggak bisa seenaknya main-main terus. Kamu bukan pria single yang bisa pindah dari satu wanita ke wanita lainnya."

Dia diam lagi. Aku tak tahu diamnya karena malas menanggapi aku atau tak tahu cara membalasku.

"Aku udah berusaha terima kamu. Kamu pikir mudah nerima kamu padahal masa lalu kamu yang berhubungan dengan banyak wanita itu? Nggak mudah, Mas. Aku takut kamu punya penyakit atau semacamnya. Tapi aku coba mikir jika aku akan baik-baik saja dan kamu akan berubah. Tapi nyatanya apa?"

Mas Gandhy berdiri. "Terus kamu mau bilang kalau kamu menyesal kalau nikah sama aku?"

"Bukannya kamu yang bilang nyesal nikah sama aku? Kamu bahkan bahas itu sama Deva kan? Kok bisa-bisanya kamu bahas hal itu sama dia. Itu sama aja kamu mau bilang kamu menyesali kelahiran Fuchsia," ucapku.

Dia menatapku datar. Kemudian yang tidak aku sangka-sangka dia malah mencari-cari ponselnya lagi.

"Di mana ponsel Mas?" tanya Mas Gandhy.

Aku tak menjawab. Kata-kataku tak dia dengarkan. Aku akhirnya keluar dari kamar.

Ibu mertuaku masuk ke rumah lagi, katanya mau ambil pisau.

Aku sedang berdiri di dekat jendela, melihat ke arah kebun belakang. Suasana hatiku tentu tak baik.

Tak lama kemudian, aku melihat Mas Gandhy ke luar kamar sambil membawa sebuah ponsel dengan tipe lama. Ponsel itu hanya bisa digunakan untuk mengirim pesan dan menelepon saja.

Aku kesal sekali. Ponsel itu adalah milik mendiang Mas Jaka, suaminya Deva itu. Dulu saat aku bertanya kepadanya soal dia yang memakai ponsel itu sekaligus memakai tas kerja Mas Jaka, jawabnya enteng sekali. Alasannya ya karena untuk kerja. Aku percaya saja. 

Yah, mungkin dulu belum ada hubungan itu antara mereka tetapi setelah mereka menjalin hubungan di belakangku dan sekaran aku tahu, rasanya kemarahanku tak bisa ditahan.

"Kamu taruh di mana ponsel Mas? Mas harus kerja," ucap Mas Gandhy lagi.

Aku malas menjawabnya dan melihat ponselku lagi.

Deva: 'Aku dah sampai.'

Tanpa mengatakan apapun, aku ke luar dari rumah itu dan berjalan menuju rumah Deva yang terletak di belakang rumah mertuaku. Iya, mereka tetangga dekat. Bahkan saat berjalan ke sana pun hanya membutuhkan waktu satu menit saja.

"Eh, Mamanya Fuchsia. Kapan datang?" tanya Mbak Lina yang sedang memangku bayinya duduk di sebuah kursi depan rumah. 

"Tadi, Mbak. Eh, ini udah berapa bulan, Mbak?" tanyaku.

"Lima bulan. Fuchsia mana? Udah lama nggak lihat Fuchsia. Sepantaran sama Salsa ya?" tanyanya.

"Nggak, Mbak. Beda enam minggu," jawabku.

"Iya nggak beda jauh. Itu Salsa baru datang sama ibunya," ucap Lina.

"Ah, iya Mbak. Aku memang mau ketemu sama Ibunya Salsa."

Mbak Lina ini adalah kakaknya Mas Jaka yang berarti dia kakak iparnya Deva. Rumahnya tepat di sebelah rumah Deva. Aku cukup kenal dengan dia.

Tetangga mulai berdatangan dan aku harus menyapa mereka untuk menjaga kesopanan.

"Hoalah, Ra. Zara. Nggak betah ya hidup di desa? sampai jarang banget sekarang di sini," ucap Mbak Yani sambil menepuk punggungku. Aku hanya meringis.

Mbak Yani ini sangat baik terhadapku dan bahkan sering sekali membantuku sejak aku tinggal di sana. Aku cukup akrab dengannya karena orangnya yang sangat ramah dan hangat.

"Aku kan mau cari kerja, Mbak." Aku mengucapkannya sambil tersenyum.

Ini pertama kalinya aku tersenyum tulus sejak beberapa terakhir. Percayalah, Mbak Yani selalu membuat suasana yang mencekam jadi menjadi hangat. Dia juga suka sama sekali Fuchsia dan selalu bilang ingin menculik Fuchsia.

"Lha kamu ngapain di sini? Mana Gandhy?" tanyanya.

"Aku mau ketemu Mbak Deva, Mbak." 

Aku berbincang sebentar dengan para tetanggaku itu selama beberapa menit sebelum akhirnya berpamitan.

Aku menyeberang dan melihat Deva sedang membersihkan rumah. Rumahnya cukup luas tetapi sebagian besar dipenuhi dengan barang dagangan. 

Dia menoleh ke arahku dan menatapku dengan sinis.

Hatiku sudah kesal dibuatnya. Bukankah aku yang harus menatap dia sinis? Kenapa justru dia yang bersikap tidak bersahabat kepadaku? 

"Ayo bicara di dalam! Kamu nggak mau mereka mendengarkan semuanya kan?" ucapku sambil menoleh ke arah tetanggaku yang sedang menatap ke arah kami dari seberang jalan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status