Aku tak tau bagaimana menjawabnya lantaran pikiranku yang tak bisa berpikir dengan jernih. Sebelum aku mulai menjawab, pintu kamarnya dibuka dan Ibu Mertuaku nampak melihatku dengan sorot bingung.
"Fuchsia mana?" tanyanya. Dia celingukan mencari Fuchsia.
Ibu Mertuaku tentu berpikir jika aku ke sana dengan mengajak Fuchsia seperti Bapak Mertuaku tadi. Sebenarnya tidak bisa disalahkan juga jika mereka bertanya begitu.
Ini karena dulu, saat Fuchsia masih berusia sekitar empat bulan, aku ke sana sore hari dengan menyewa kendaraan online bersama dengan Fuchsia.
"Fuchsia nggak Zara ajak, Bu. Tadi lagi tidur."
"Terus sama Mamamu?" tanyanya lagi.
"Iya, Bu."
Ibu melirikku dan aku buru-buru membersihkan mataku yang mungkin masih ada sisa-sisa air mataku.
"Puasa nggak? Kalau nggak, tak panasin sayur. Ibu masak sop," ucap ibu mertuaku.
Dia tahu aku menyukai sop dan dulu saat aku hamil, Ibu Mertuaku sering sekali memasakannya untukku.
"Insyaallah, puasa. Ibu, nggak ke pasar?"
"Nggak. Nanti ada penyembelihan sapi di depan rumah," jawabnya.
Aku terdiam, bingung harus membahas apa lagi. Sedangkan Mas Gandhy masih diam saja seperti patung.
"Ada apa? Ada masalah?" tanya ibu mertuaku tampak curiga.
Aku menggeleng dengan cepat. Aku tak mau dia mengetahui perkara ini karena pasti semua akan tambah rumit.
"Ya sudah, Ibu mau ke depan."
Aku mengangguk dan berbalik menatap suamiku itu. Aku segera mengeluarkan ponselku dan mematikan recordingnya. Aku membuka aplikasi chat lagi dan mengetik pesan untuk Deva.
Aku: 'Mbak, di mana?'
Deva: 'Di rumah barat. Ada apa, Ra?'Aku: 'Oh, aku kira udah di rumah timur.'Deva: 'Bentar lagi ke sana. Ada apa memangnya?'Aku: 'Mas Gandhy nggak bisa dihubungi.'Aku ingin tahu sejauh mana orang itu berlagak sok baik di depanku.
Deva: 'Ntar aku tak berangkat. aku bilangin nanti untuk hubungi kamu.'
Aku ingin mengumpat rasanya, kata-katanya seolah jika dia yang bilang ke Mas Gandhy, dia akan langsung mau menjawab pesanku.
Karena rupanya aku tak bisa menahan lagi, aku langsung saja mengirim sebuah foto tentang chat mereka yang aku ambil sebelum membangunkan suamiku tadi.
Deva: 'Itu nggak benar. Itu hanya bercandaan saja.'
Aku: 'Cepat ke sini!'Deva; 'Suamimu yang mulai duluan.'Aku: 'Kalau aku yang datang ke sana, kamu akan malu ntar.'Deva: 'Ya.'Aku ingin mengamuk, sungguh. Rasa kesalku tak bisa ditahan lagi.
"Siapa yang mulai, Mas?" tanyaku pada Mas Gandhy.
"Aku."
"Kenapa harus dia, Mas?" Pertanyaan yang tetap saja masih menggangguku.
"Karena ketemu setiap hari. Ya sudah, terbiasa."
Aku mendesah lelah.
"Mas, aku setiap hari ketemu tukang sayur yang lewat depan rumah tapi aku nggak tertarik sama dia. Padahal dia nggak jelek," sindirku.
Mas Gandhy menoleh ke arahku tetapi tak membalas.
"Kalau posisinya di balik gimana, Mas? Kalau aku yang selingkuh gimana?"
"Ngomong apa sih kamu. Lagi pula aku sama dia belum lakuin apapun. Aku cuma chat aja sama dia," ucap Mas Gandhy.
Inilah dia. Baginya hal seperti itu bukanlah hal besar.
"Mas, kamu nggak pernah mikir ya. Kamu itu udah nikah, udah punya Fuchsia. Kamu nggak bisa seenaknya main-main terus. Kamu bukan pria single yang bisa pindah dari satu wanita ke wanita lainnya."
Dia diam lagi. Aku tak tahu diamnya karena malas menanggapi aku atau tak tahu cara membalasku.
"Aku udah berusaha terima kamu. Kamu pikir mudah nerima kamu padahal masa lalu kamu yang berhubungan dengan banyak wanita itu? Nggak mudah, Mas. Aku takut kamu punya penyakit atau semacamnya. Tapi aku coba mikir jika aku akan baik-baik saja dan kamu akan berubah. Tapi nyatanya apa?"
Mas Gandhy berdiri. "Terus kamu mau bilang kalau kamu menyesal kalau nikah sama aku?"
"Bukannya kamu yang bilang nyesal nikah sama aku? Kamu bahkan bahas itu sama Deva kan? Kok bisa-bisanya kamu bahas hal itu sama dia. Itu sama aja kamu mau bilang kamu menyesali kelahiran Fuchsia," ucapku.
Dia menatapku datar. Kemudian yang tidak aku sangka-sangka dia malah mencari-cari ponselnya lagi.
"Di mana ponsel Mas?" tanya Mas Gandhy.
Aku tak menjawab. Kata-kataku tak dia dengarkan. Aku akhirnya keluar dari kamar.
Ibu mertuaku masuk ke rumah lagi, katanya mau ambil pisau.
Aku sedang berdiri di dekat jendela, melihat ke arah kebun belakang. Suasana hatiku tentu tak baik.
Tak lama kemudian, aku melihat Mas Gandhy ke luar kamar sambil membawa sebuah ponsel dengan tipe lama. Ponsel itu hanya bisa digunakan untuk mengirim pesan dan menelepon saja.
Aku kesal sekali. Ponsel itu adalah milik mendiang Mas Jaka, suaminya Deva itu. Dulu saat aku bertanya kepadanya soal dia yang memakai ponsel itu sekaligus memakai tas kerja Mas Jaka, jawabnya enteng sekali. Alasannya ya karena untuk kerja. Aku percaya saja.
Yah, mungkin dulu belum ada hubungan itu antara mereka tetapi setelah mereka menjalin hubungan di belakangku dan sekaran aku tahu, rasanya kemarahanku tak bisa ditahan.
"Kamu taruh di mana ponsel Mas? Mas harus kerja," ucap Mas Gandhy lagi.
Aku malas menjawabnya dan melihat ponselku lagi.
Deva: 'Aku dah sampai.'
Tanpa mengatakan apapun, aku ke luar dari rumah itu dan berjalan menuju rumah Deva yang terletak di belakang rumah mertuaku. Iya, mereka tetangga dekat. Bahkan saat berjalan ke sana pun hanya membutuhkan waktu satu menit saja.
"Eh, Mamanya Fuchsia. Kapan datang?" tanya Mbak Lina yang sedang memangku bayinya duduk di sebuah kursi depan rumah.
"Tadi, Mbak. Eh, ini udah berapa bulan, Mbak?" tanyaku.
"Lima bulan. Fuchsia mana? Udah lama nggak lihat Fuchsia. Sepantaran sama Salsa ya?" tanyanya.
"Nggak, Mbak. Beda enam minggu," jawabku.
"Iya nggak beda jauh. Itu Salsa baru datang sama ibunya," ucap Lina.
"Ah, iya Mbak. Aku memang mau ketemu sama Ibunya Salsa."
Mbak Lina ini adalah kakaknya Mas Jaka yang berarti dia kakak iparnya Deva. Rumahnya tepat di sebelah rumah Deva. Aku cukup kenal dengan dia.
Tetangga mulai berdatangan dan aku harus menyapa mereka untuk menjaga kesopanan.
"Hoalah, Ra. Zara. Nggak betah ya hidup di desa? sampai jarang banget sekarang di sini," ucap Mbak Yani sambil menepuk punggungku. Aku hanya meringis.
Mbak Yani ini sangat baik terhadapku dan bahkan sering sekali membantuku sejak aku tinggal di sana. Aku cukup akrab dengannya karena orangnya yang sangat ramah dan hangat.
"Aku kan mau cari kerja, Mbak." Aku mengucapkannya sambil tersenyum.
Ini pertama kalinya aku tersenyum tulus sejak beberapa terakhir. Percayalah, Mbak Yani selalu membuat suasana yang mencekam jadi menjadi hangat. Dia juga suka sama sekali Fuchsia dan selalu bilang ingin menculik Fuchsia.
"Lha kamu ngapain di sini? Mana Gandhy?" tanyanya.
"Aku mau ketemu Mbak Deva, Mbak."
Aku berbincang sebentar dengan para tetanggaku itu selama beberapa menit sebelum akhirnya berpamitan.
Aku menyeberang dan melihat Deva sedang membersihkan rumah. Rumahnya cukup luas tetapi sebagian besar dipenuhi dengan barang dagangan.
Dia menoleh ke arahku dan menatapku dengan sinis.
Hatiku sudah kesal dibuatnya. Bukankah aku yang harus menatap dia sinis? Kenapa justru dia yang bersikap tidak bersahabat kepadaku?
"Ayo bicara di dalam! Kamu nggak mau mereka mendengarkan semuanya kan?" ucapku sambil menoleh ke arah tetanggaku yang sedang menatap ke arah kami dari seberang jalan.
"Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la
Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A
"Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.
"Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i
"Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek
"Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "