"Kenapa sih kamu ngomong kaya gitu? Kamu mau misahin aku sama Fuchsia?" tanya Mas Gandhy.Aku menatapnya tak percaya, "Bukannya kamu tidak pernah mikirin Fuchsia?""Dia anakku, aku pasti mikirin dia," balasnya."Kalau kamu mikirin dia, kamu nggak akan tega berselingkuh. Wallpaper ponselmu itu photo Fuchsia, apa kamu nggak pernah merasa bersalah saat bermesraan dengan dia tapi dengan bersamaan melihat photo anakmu?" Hatiku sudah remuk jadi aku suda tidak peduli. Aku sama sekali tidak menahan kekesalanku.Mas Gandhy terdiam.Deva ke luar lagi dari kamar itu. Dia berkata, "Dibicarakan baik-baik dulu. Diselesaikan baik-baik. Aku nggak akan ganggu lagi, Zara. Aku nggak akan ganggu hubungan kalian lagi."Tetapi kamu udah terlanjur menghancurkannya, Mbak. Aku membatin kesal. Aku melihat Mas Gandhy menatap Deva dengan tatapan sedih. Hatiku semakin teriris rasanya, dia seolah-olah tak rela.Mas Gandhy, "Dik, apa nggak bisa diperbaiki lagi?"Aku terdiam. Sejujurnya aku sangat bingung. Memang ak
Sakit? Tentu saja sangat sakit. Siapa yang tidak merasakan sakit jika pernikahan yang baru saja terjalin seumur jagung harus kandas begitu saja dikarenakan orang ketiga?Yang lebih menyakitkan lagi setelah mencoba memberikan solusi dan menekan ego untuk menyelamatkan rumah tanggaku, dia tetap saja lebih memilih wanita itu. Bahkan dia sudah tidak memikirkan nasib anaknya lagi.Aku tak bisa berkata-kata lagi begitu dia berkata seperti itu. Hal ini tak mudah bagiku. Mengingat meskipun awalnya aku begitu emosi dan langsung ingin bercerai darinya tetapi setelah memikirkan lagi, aku takut. Aku tidak takut sendiri. Aku tidak takut menjadi seorang janda dan harus banting tulang demi anakku. Bukan itu. Aku hanya takut anakku yang tak memiliki sosok ayah untuk selalu ada bersamanya."Ya sudah, yang urus perceraiannya aku atau kamu, Mas?" tanyaku. Hatiku tidak baik-baik saja tetapi aku tak mungkin menunjukkan itu di depannya."Nanti Mas ngomong dulu sama Bapak," jawabnya.Aku mengangguk. Memang
Usai mengetik itu, langsung saja banyak respon yang aku dapat. Aku terkejut. Padahal bisa dibilang aku sangat jarang menimbrung di dalam obrolan mereka. Dan aku pun juga beberapa kali membuat beberapa member dari group chat itu merasa tak nyaman dengan kata-kataku.Sungguh aku tak pernah menduganya. Respon mereka beragam. Ada yang ikut geram dengan ceritaku, ada juga yang menyarankan banyak hal-hal. Banyak pula yang memberiku semangat dan juga doa. Jujur, dengan respon mereka yang seperti itu hatiku mulai sedikit menjadi ringan. Mungkin hal ini bisa dikatakan sebagai membicarakan masalah pribadi di depan umum, tapi aku hanya ingin teman. Aku ingin teman yang mau mendengarkan aku. Aku pun tahu jika aku bisa melakukan sesi curahan hati ini pada Allah, tetapi saat ini aku juga ingin ada manusia yang mendengar ceritaku. Salahkah aku?Apakah ini termasuk membuka sebuah aib? Aku rasa memang iya. Namun, dengan cara bercerita, aku jadi tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Jadi aku a
Aku tak bisa berkutik saat Papa berbicara seperti itu.Aku tak mengerti dan bingung harus bagaimana saat ini. Mas Gandhy jelas-jelas tak mau menemui anaknya jadi apa yang harus aku bicarakan dengannya lagi? Bukankah tak ada gunanya?Namun, saat aku melihat anakku yang masih belia itu, sekali lagi aku berusaha menelan egoku bulat-bulat dan mulai memutuskan untuk membaca pesannya. Tetapi pesannya kali ini sungguh membuatku terkejut.'Jadi kamu sudah bilang ke Bapak kalau kamu mau pisah sama aku? Ya sudah kalau mau pisah ya pisah.'Hatiku panas langsung. Dengan cepat aku langsung mengetik balasan untuknya dengan tangan gemetar.'Jadi bapak bilang apa?'Dia rupanya sedang online, karena pesanku dengan cepat dibalasnya.'Suruh lepaskan saja. Orang kamu juga nggak mau tinggal di sini.'Aku syok seketika. Aku melihat berulang-ulang balasan pesan itu dan tetap bingung karena rasanya masih tak bisa mempercayainya. Jadi orang tuanya yang tidak lain adalah mertuaku itu malah mendukung anaknya un
Jujur saja, aku rasanya mau marah pada orang yang sudah aku anggap sebagai ayahku itu. Bisa-bisanya dia dengan enteng mengatakan hal itu padahal jelas-jelas dia tahu jika anaknya yang salah.Namun, aku melirik ke arah Gandhy. Hatiku yang sedang tak baik-baik saja ini membuatku berkata, "Ngomong dong, Mas. Kenapa kamu diam saja?"Gandhy tetap tak mau berbicara dan malah menundukkan kepala, enggan bertatapan denganku atau dengan siapapun.Apa maksudnya bersikap seperti itu? "Perempuan itu kalau sudah menikah harusnya patuh dan ikut apa kata suami, bukan malah melawan dan tinggal di tempat lain tanpa suami. Anak juga sudah jarang diajak ke rumah barat setelah dapat surat-surat." Bapak mertuaku kembali mengoceh sambil menggendong anakku.Surat-surat yang dimaksud oleh Bapak Mertuaku itu adalah akta kelahiran dan juga kartu identitas anak. Tetapi kenapa Bapak Mertuaku itu malah membahas hal itu? Apa hubungannya coba?Mamaku langsung menyahut dengan cepat, "Yang salah itu Gandhy, Pak. Kena
Aku hanya bisa beristigfar begitu mendengar dugaan Mama.Sesungguhnya hal itu mungkin saja memang benar. Karena yang aku tahu, Bapak Mertuaku itu selalu sering membicarakan soal beberapa orang yang dia kenal mau melakukan hal terlarang itu demi membuat suaminya nurut."Mungkin dia berpikir Zara itu nggak memiliki iman yang kuat," ucapku kemudian."Benar-benar sangat keterlaluan. Kalau papamu dengar soal ini, dia bisa murka," ujar Mama.Ya, tentu saja akan begitu. Papaku begitu taat beribadah dan selalu mengajarkanku untuk lebih menjaga ibadahku. Mana mungkin aku bisa berbuat hal yang bertentangan begitu demi masalahku? "Sudahlah, Ma. Biarkan saja. Lagi pula, semuanya sudah selesai. Gandhy sepertinya juga sudah benar-benar melepaskan Zara dan Fuchsia kok," ucapku lagi.Mama yang masih menggendong Fuchsia menidurkan anakku ke dalam kamarku yang sudah mulai terlelap itu.Sementara aku memilih untuk mengambil sebuah minuman dingin di dalam kulkas lalu meminumnya sampai habis. Aku duduk
Apa yang harus aku lakukan? Aku sendiri bingung bagaimana cara mengatasi ini. Jika ini adalah sebuah hubungan pacaran mungkin aku akan dengan mudah mengambil keputusan untuk meninggalkan seorang pria. Akan tetapi, ini adalah hubungan pernikahan yang diatur dalam agama serta hukum negara.Aku tahu jika permintaanku bercerai dengan Gandhy mungkin benar dilandasi oleh sebuah emosi tetapi jelas saja jika permintaan itu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Apalagi setelah Gandhy juga Bapak Mertuaku itu datang ke rumahku, rasanya memang tak mungkin lagi mengharapkan apapun dari pernikahan yang sudah terlanjur rusak ini.Aku memberanikan diriku untuk berkata, "Jika dia memang tak mau menggugat cerai Zara, Zara yang akan menggugatnya."Mungkin Mama sedikit terkejut dengan ucapanku sehingga dia membalas, "Kamu yakin, Nduk?""Ya mau gimana lagi, Ma. Zara juga nggak mau digantung terus-menerus tanpa adanya kepastian. Buat apa juga Zara menunggu dia padahal dia mungkin sedang asik-asikan d
"Tidak, tidak. Aku tak boleh lagi mengeluh. Sudah tak ada gunanya sekarang. Semuanya sudah berakhir," ucapku yang lalu menghapus air mataku.Aku mulai mengambil barang-barangku dan mengemasnya dalam sebuah tas besar dan beberapa tas plastik besar karena jumlah barangku ternyata cukup banyak.Selama aku mengemas barang-barangku itu, aku mendengar suara Ibu Mertuaku yang sepertinya baru saja pulang dari pasar. Dan tak lama kemudian pintu kamar suamiku itu terbuka. Aku yang sedang merapikan barang-barangku itu sontak menoleh, "Bu."Ibu Mertuaku tersenyum tipis, "Mau diambil sekarang?""Nggeh, Bu. Mumpung Zara belum kerja jadi bisa ambil ke sini," jelasku.Ibu Mertuaku terlihat menatapku dengan tatapan sedihnya. Dia lalu masuk ke dalam kamar itu dan duduk di kasur. "Kamu yakin mau pisah, Nduk? Apa nggak kasihan sama Fuchsia?" tanya Ibu Mertuaku yang mulai berkaca-kaca saat menatapku.Ya Tuhan, hatiku langsung perih melihatnya. Bagaimana pun juga, dia pernah sangat menyayangiku dan karena