Zafran berjalan mendekati kami. Entah bagaimana bisa pria itu ada di sini.
“Om, kapan pulang?” tanya Airin.
Zafran berjalan mendekati gadis kecil itu.
Aku bingung dengan mereka. Ada hubungan apa sebenarnya mereka.
“Farabi ini kakakku.” Zafran memandang pria di hadapannya.
Kalau dilihat tidak ada kemiripan di antara mereka. Kalaupun jalan bersama tidak ada yang mengira kalau mereka bersaudara.
“Deema aku antar kamu pulang, ya.”
Cepat aku menggelengkan kepala. Gegas aku berpamitan dan ke liar dari rumah itu.
Kondisi yang tidak memungkinkan membuatku melajukan motor perlahan. Tanpa sengaja aku melihat sebuah mobil berjalan di belakangku. Mobil itu sama seperti milik Zafran. Pasti pria itu sengaja mengikuti.
Setibanya di rumah, Ayah ternyata sudah menunggu kepulanganku. Pria itu berdiri di teras rumah. Senyumnya mengembang ketika melihatku memasuki halaman. Namun, ketika melihat sebuah mobil yang berjalan di belakangku senyumnya hilang. Aku segera menoleh ke arah mobil. Ternyata Zafran berhenti tepat di depan rumah.
Ayah begitu membenci Zafran karena itu membulatkan tekatnya untuk menikahkanku dengan Mas Bhanu. Apalagi setelah tahu pria yang pernah singgah di hatiku itu lebih memilih Namira.
Tanpa diduga Zafran turun dari mobil. Melihat hal itu Ayah memintaku untuk segera masuk ke dalam rumah. Aku tahu pria itu sama sakitnya sepertiku ketika pria itu meninggalkanku. Aku menuruti perintah Ayah.
“Mau apa kamu ke sini?” Pertanyaan Ayah mengejutkanku. Pria itu begitu marah pada Zafran.
Aku mengurungkan niat untuk masuk kamar dan memilih bersandar pintu yang separo terbuka dan mendengar percakapan.
“Pak, maafkan saya. Bukan maksud saya untuk ....”
Belum selesai Zafran berbicara, Ayah menyanggah perkataan pria itu. “Sudahlah Zafran. Aku tidak mau mendengar apa-apa lagi dari mulutmu. Pulanglah.”
Mendengar langkah kaki Ayah bergegas aku masuk kamar. Aku masih bisa mendengar pria itu menutup pintu dengan keras. Aku tahu dia kecewa. Aku tahu dia terluka dengan apa yang menimpa diriku. Dua kali disakiti pria.
Aku berdiri di samping jendela kamar mengamati Zafran. Pria itu berjalan perlahan menuju mobilnya. Ada gurat penyesalan dalam wajah itu. Aku sadar di sini bukan hanya diri ini saja yang terluka, tapi juga dia.
Sebelum masuk ke mobil, pria itu memandang ke arahku. Segera aku bersembunyi. Setelah mendengar suara mesin mobil yang dinyalakan, aku kembali mengintipnya.
“Deema.” Tanpa sadar Ayah sudah berdiri di ambang pintu. “Jauhi dia!”
Baru kali Ayah begitu marah. Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan perintahnya.
“Maafkan Ayah, Deema. Maaf.” Pria itu menitikkan air mata.
Aku menghampirinya. “Ayah tidak salah. Tidak ada yang salah di sini. Mungkin memang Allah belum mengirimkan jodoh yang tepat untuk Deema.”
Pria itu membelai puncak kepalaku yang tertutup jilbab.
“Ayah jangan khawatir. Deema baik-baik saja. Deema ikhlas dan sabar dengan semua yang terjadi.”
Pria itu tersenyum padaku. Beliau lantas pamit untuk kembali ke kamarnya.
Setelah kepergian Ayah, tubuhku luruh ke lantai. Air mata deras, jatuh membasahi pipi. Aku menyandarkan diri pada tempat tidur.
‘Ayah sebenarnya putrimu ini tak sekuat Asiyah yang begitu sabar dan tabah menghadapi suaminya—Firaun—yang kejam. Tidak juga seperti Aisyah yang bisa memimpin perang Basra. Aku hanya wanita biasa, Ayah. Aku juga merasakan sakit di hati ini. Namun, aku berusaha tegar agar air mata tak jatuh sia-sia hanya demi pria yang tak berharga. Doa kan putrimu agar kelak dapat menemukan kebahagiaan.’
***
Menuruti nasihat Ayah, aku jarang ke rumah Bu Nirmala. Semua dilakukan untuk menghindari pertemuan dengan Mas Bhanu. Karena hal itu justru akan menimbulkan rasa sakit. Untuk perceraian aku belum mengurusnya. Sengaja agar pria itu yang mengurus semuanya. Toh yang salah dia. Kenapa aku yang harus repot.
“Anak-anak hari akan belajar tentang operasi penjumlahan dengan menyimpan.” Aku menuliskan angka 360 di papan tulis. Kemudian menulis angka 245 di bawah angka tadi dan menarik garis lurus di ujungnya diberi tanda plus
“0 di tambah 5?”
Anak-anak kompak menjawab, “5”
Aku menuliskan jawaban mereka. Lalu kembali bertanya penjumlahan pada angka puluhan dan seterusnya.
Setelah materi selesai aku sampaikan, aku menulis lima soal dan meminta para siswa untuk maju satu persatu mengerjakannya.
“Airin.” Pada soal terakhir aku meminta Airin untuk maju. Namun, ketika melihat kondisi gadis kecil itu aku begitu khawatir. Bergegas aku menghampirinya. Demam.
Aku segera menghubungi ayahnya dan mengabarkan putrinya sedang sakit. Sayangnya, Pak Farabi sedang ada rapat. Jadi dia tidak bisa menjemput putrinya.
Kebetulan waktu itu jam pelajaran telah usai. Anak-anak juga saatnya pulang. Aku pun mengantarkan Airin pulang mengendarai motorku.
Setibanya di rumah Airin, Mbak Darsi mengendong gadis kecil itu ke kamarnya. Aku mengikuti mereka.
“Mbak ambilkan air untuk mengompres Airin.”
Wanita bernama Darsi itu keluar dari kamar Airin. Tal berselang lama dia kembali dengan air dingin dan sapu tangan yang kuminta. Aku membasahi sapu tangan dengan air dingin dan meletakannya di dahi Airin.
“Mbak ada parasetamol enggak?”
“Ada, Bu. Sebentar saya ambilkan.”
Ketika Mbak Darsi datang dengan parasetamol yang aku minta, aku langsung meminta Airin meminumnya.
Usai minum obat, gadis kecil itu terlelap. Melihat hal itu, aku hendak pulang. Saat akan berdiri, Airin meraih tanganku. “Bu Deema di sini saja, ya?” pintanya. “Sampai Papa pulang.”
Tak tega akhirnya aku menurut. “Tapi, ibu salat dulu sebentar, ya. Kamu sama Mbak Darsi dulu.”
Gadis kecil itu mengangguk menuruti perkataanku. Di arahkan Mbak Darsi, aku pun menuju musala kecil yang ada di bagian tengah rumah.
“Deema.” Ketika hendak meninggalkan musala usai salat ternyata Pak Farabi sedang menungguku. Pria itu berdiri bersandar tembok tepat di samping pintu musala.
Aku menghentikan langkah. “Ya, Pak.”
“Terima kasih sudah bersedia menjaga putriku,” ucapnya.
“Sudah menjadi kewajibanku untuk menjaganya. Aku juga ibu Airin.”
Mendengar hal itu Pak Farabi menoleh. Mungkin dia salah mengartikan perkataanku. Aku pun menambahinya. “Airin juga anak didik saya. Saya wajib menjaganya.
Pria itu tersenyum. Aku lantas berpamitan pada pria itu untuk kembali ke kamar Airin. Aku hendak melihatnya sebentar dan pamit karena papanya juga sudah pulang.
Ketika tiba di kamar bernuansa merah muda, ternyata Airin sudah tertidur lelap, ditemani boneka minion kesayangannya. Aku menyentuh dahi Airin. Sudah tak terlalu panas. Badan gadis itu juga dipenuhi keringat. Aku membuka selimut yang menutupinya.
“Airin sudah tidur sedari tadi.”
Aku dikagetkan dengan suara Pak Farabi. Ternyata pria itu sudah berdiri di belakangku. Sontak aku membalikkan badan. “Pak.”
Pak Farabi berjalan mendekat ranjang. Sontak aku mundur beberapa langkah. Pria itu duduk di tepi ranjang. Lembut dia membelai kepala putrinya.
“Oh iya, Pak. karena Airin sudah tertidur dan Bapak juga sudah pulang, saya hendak pamit mau pulang.” Aku beralasan Ayah akan khawatir kalau aku pulang terlambat. Pak Farabi pun mengiyakannya.
***
Setibanya di rumah, aku melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah. Pasti tamu ayah pikirku. Aku segera memarkirkan motor.
“Deema.” Panggil seseorang ketika aku hendak masuk ke dalam rumah.
Suara itu aku sangat mengenalinya. Mas Bhanu. Aku memandang ke sekeliling rumah khawatir Ayah melihat kehadirannya. Hal itu akan memancing emosi Ayah.
“Deema, aku ingin berbicara sebentar,” ucap Mas Bhanu yang sudah berdiri di belakangku.
“Pulanglah,” jawabku tanpa menolehnya
Pria itu berjalan dan berdiri tepat di hadapanku. “Aku hanya ingin bicara sebentar.”
Aku menggelengkan kepala. “Besok saja.”
“Apa kamu takut dengan ayahmu. Jangan khawatir Deema. Pria tua itu sedang tak ada di rumah.”
Aku memandang pria itu. Dia menjelaskan kalau dirinya sudah tiba sedari tadi. Pria itu juga sudah mengetuk pintu. Akan tetapi, tak ada jawaban. Aku baru ingat. Setiap Hari Rabu Ayah ada pengajian di rumah Pak Ustaz Fikri dan akan pulang setengah jam pagi.
“Katakanlah apa maumu?”
“Aku ingin kamu menggugatku.”
Bersambung ....
Hal itu membuatku malu, aku lantas menyenggol lengan pria itu karena malu. Sedangkan Ayah tersenyum melihat tingkah kami. “Ayah, Deema punya kabar bahagia,” ucapku. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan perihal kehamilanku pada Ayah. “Kabar apa, Deema?” Ayah yang duduk di teras bersama kami memandangku. Pria itu sepertinya sudah tidak sabar untuk mendengarnya. Sejenak aku memandang Pak Farabi yang duduk di sampingku untuk meminta izin padanya. Pria itu mengangguk. Gegas, aku mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tas dan menyerahkannya pada Ayah. “Buka, Yah. Kabar bahagianya ada di sana.” Aku menunjuk kotak beludru berwarna biru itu pada Ayah. Perlahan, Ayah membukanya. “Apa ini, Deema?” tanya Ayah memandangku. Pria itu lantas mengamati benda kecil yang berada di dalam kotak. “Deema hamil Ayah.” Mendengar itu, mata Ayah berkaca-kaca. “Benarkah itu, Deema?” Pria itu seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. “Iya, Ayah. Sebentar lagi, Ayah akan memiliki cuc
Aku begitu terharu ketika dokter menyatakan aku telah hamil delapan minggu. Memang aku terakhir datang bulan sebelum berangkat bulan madu. Sehari setelah mengetahui kabar kehamilan, aku dan Pak Farabi pulang ke kota kelahiran kami. Kepulangan kami tak ada satu keluarga pun yang tahu. Pun dengan berita kehamilanku. Aku dan Pak Farabi berencana ingin memberi kejutan pada semua keluarga. Pulang dari bandara kami sengaja tak menelepon sopir untuk menjemput. Melainkan mengendarai taksi daring. “Deema, Farabi, kenapa kalian sudah pulang?” tanya Bu Sekar. Beliau begitu terkejut melihat kepulanganku dan Pak Farabi malam itu.Berbeda dengan beliau, Airin justru sangat bahagia melihat kehadiran kami. Gadis kecil itu bahkan berlari untuk memelukku.Kami berdua hanya diam mendengar pertanyaan Bu Sekar.“Apa ada kabar bahagia untuk kami?” tanya Bu Sekar kembali.Pak Farabi yang sedari tadi pura-pura memasang wajah memelas, menjawab kalau aku tak mau disentuh olehnya.Sontak Bu Sekar marah pad
Hubunganku dengan Pak Farabi juga semakin baik, hanya saja aku belum melakukan ritual malam pertama dengan pria itu. Padahal sebelumnya kami berdua sama-sama pernah menikah. Aku heran juga pada pria itu, kenapa dia bisa begitu sabar menahan hawa nafsunya. “Farabi, kapan kamu punya anak dari Deema?” Minggu siang, Bu Sekar ke rumah bersama dengan Rana. Waktu itu Rana dan Airin asyik bermain di ruang keluarga. Aku menemani mereka berdua. Sedangkan Ibu dan Pak Farabi duduk di sofa. Seketika tatapan Pak Farabi beralih padaku. Pria itu seakan-akan memintaku untuk menjelaskan semua pada Ibu. Tak mau ambil pusing, aku mengalihkan pandangan pada gadis kecil yang sedang asyik main kereta es krim di sampingku. “Kalau perlu, kalian pergi ke dokter.” Wanita itu semakin memojokkan Pak Farabi. “Bu, bagaimana bisa Deema hamil, Farabi aja belum menyentuhnya.” Entah pria itu keceplosan atau memang sengaja. Suara Ibu seketika menggelegar, memenuhi ruang keluarga. Tak ingin mendengar obrolan orang
Menurutnya, semalam yang melihatku dan menahan agar tidak jatuh adalah Mbak Darsi. Wanita itu juga yang menjagaku hingga Pak Farabi pulang. Mengenai kepulangan Pak Farabi, Zafran yang menghubunginya.“Deema bagaimana keadaanmu saat ini? Sudah enakkan kah?” Aku tak menjawab pertanyaan pria itu. Melihatku hanya diam saja, Pak Farabi coba meraih tubuhku.“Eh! Bapak mau ngapain?”“Membawamu ke dokter.”“Aku sudah tidak apa-apa. Mungkin karena semalam aku lupa makan. Jadi masuk angin.”Melotot, Pak Farabi memandangku. Dia bertanya kenapa aku tak makan semalam. Alih-alih menjawab, aku justru mengalihkan perhatian dengan menanyakan kenapa dirinya pulang lebih cepat. Tak mungkin juga aku mengatakan Zafran adalah alasanku tak makan.“Mendengarmu sakit saja sudah mampu mengalihkan duniaku. Beruntung pekerjaan sudah selesai hanya Ayah yang tinggal di sana. Sedangkan aku memilih pulang. Mana sanggup aku jauh darimu!” Pria itu menoel hidungku.Aku begitu bersyukur bisa memiliki Pak Farabi. Walaup
“Ya, sudah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik Deema.” Sebelum pergi Pak Farabi mengecup keningku. Hal itu juga dilihat oleh Zafran yang sedang duduk di ruang tamu. Aku bisa melihat pria itu intens menatap ke arah kami. Pada posisi ini aku benar-benar merasa tidak enak hati.Pada acara makan malam bersama aku merasa canggung karena duduk satu meja dengan Zafran. Sedangkan Namira berada di kamar. Wanita itu makan di kamarnya karena kondisi yang tidak memungkinkan.Di sampingku duduk, ada Rana dan Airin. Telaten, aku menyuapi buah hati Namira dan Zafran itu. Ibu juga menawarkan diri untuk menyuapi gadis kecil itu, tapi aku melarangnya dengan dalih dia kelelahan.Kami makan hanya berlima, karena Pak Adilaga juga pergi bersama Pak Farabi Da urusan penting katanya. Menurut Pak Farabi mereka baru pulang besok pagi. Urusan apa aku sendiri tidak tahu.“Deema, kamu tidak makan?” Ibu memandangku yang masih menyuapi Rana.“Habis menyuapi Rana, Bu.”“Ya sudah.” Wanita itu kembali melanjutkan makan.
Napas terasa berat. Dada terasa sesak. Aku begitu tak menyangka dengan kejadian yang menimpaku tadi. Beruntung Pak Farabi sigap dan mendorong tubuh Mas Dhanu menjauh. Dibantu Bu Nirmala, suamiku itu mendorong tubuh pria itu. Sedang aku berlari keluar. Bu Nirmala gegas mengunci pintu kamar pria itu. Dari luar, aku masih bisa mendengar beberapa kali pria itu memanggil namaku. Merasa bersalah dengan apa yang terjadi, Bu Nirmala berkali-kali meminta maaf. “Deema. Tenanglah.” Pak Farabi menggenggam kedua pundakku. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Bukan hanya rasa takut yang menyelimuti diri, tapi juga rasa berdosa karena disentuh pria bukan mahramku. Kami bergegas pamit pada Bu Nirmala dan Bu Diah. Dengan derai air mata penyesalan, wanita itu melepas kepergianku. Mungkin, ini kali terakhir, aku menginjakkan kaki di rumah itu Di tengah perjalanan, karena tak tega melihat kondisiku, Pak Farabi menghentikan mobil. Memberi waktu agar aku lebih tenang. Namun, setengah jam