“Turun!” Salah satu mereka memintaku turun.
Aku pun menurut karena takut. Aku seorang diri, mereka berdua. Apalagi badan mereka juga terlalu besar. Tidak ada cukup tenaga untuk melawan dua pria tersebut.Aku memandang dua pria itu dari atas ke bawah. Pria pertama berbadan besar, mengenakan jaket kulit berwarna hitam dan celana jeans.Pria satunya berbadan tinggi, kurus dengan tangan penuh tato.Mereka berjalan mendekat, seketika aku mundur beberapa langkah. Aku begitu takut bila mereka berbuat yang tidak-tidak padaku.Aku menatap ke sekeliling. Berharap ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Namun, tak ada siapa-siapa. Suasana malam itu benar-benar sepi, tak ada seorang pun yang melintas.Suasana semakin mencekam. Ditambah angin yang berembus kencang.“Mau ke mana kamu!” Pria berbadan besar itu berjalan mendekat dengan senyum yang menyeringai.Jantungku pun berdetak kencang. Keringat juga bercucuHening .... Hanya suara angin yang berembus yang menemani kebersamaan kami. Entah apa yang hendak pria itu katakan. Sudah beberapa saat berlalu, pria itu belum mengatakan apa yang hendak disampaikannya. “Pak, saya harus pulang,” kataku pada akhirnya. Hari juga semakin sore. Aku harus bergegas pulang. Ada Ayah di rumah yang menanti kedatanganku. Tak ingin lagi diri ini membuatnya cemas. Aku pun bangun. “Deema, tunggu.” Pria itu memegang tanganku. Sontak aku menolehnya. Dia pun melepas tangannya dariku. “Maaf.” Aku pun berjalan menuju motor. Tak di sangka Pak Farabi mengikuti. Pria itu memegang helm yang hendak aku pakai. Dia meminta waktu sebentar. Pria itu menarik napas lalu berkata, “Deema. Ada debar aneh saat berada di dekatmu. Ada luka saat melihat air mata jatuh di pipimu. Ada rasa benci ketika melihat orang lain menyakitimu. Ada rasa ingin selalu menjaga dan berada di sampingmu.&rdq
Aku menghela napas lega, ketika dokter menyatakan Afseen dan bayinya dalam keadaan baik-baik saja. Jika tidak, seumur hidup aku pasti akan dihinggapi perasaan berdosa. Wanita yang terbaring di tempat tidur itu tampak tak suka. Aku tahu, pasti dia semakin membenciku dengan apa yang terjadi padanya tadi. “Maafkan aku, Afseen. Aku tak bermaksud ....” Belum selesai berbicara wanita itu menyela. “Diam kamu! Aku tahu kamu tidak ingin melihat aku dan Mas Bhanu hidup bahagia kan?” “Tadi kalau kamu tidak memulainya, pasti aku tidak akan mendorongmu.” “Halah! Itu hanya alasanmu saja.” Mimik wajah wanita itu berubah, bersamaan dengan suara pintu terbuka. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang datang. “Afseen. Bagaimana keadaanmu.” Pria itu mendekati istrinya. Aku bisa melihat mulut Afseen komat-kamit. Pasti wanita itu menceritakan semua pada Mas Bhanu. “Deema.” Ma
Angkutan berwarna merah itu perlahan melaju di jalanan. Terkadang sang sopir melajukan cepat, menyalip kendaraan yang ada di depannya. Aku yang duduk di deretan bangku nomor tiga dari kemudi menatap ke luar jendela. Memandang tiap kendaraan yang berlalu lalang dan jejeran toko di sepanjang jalan. Aku menghela napas berat. Rasanya dadaku begitu sesak. Kepalaku juga berdenyut hebat ketika kembali teringat kejadian tadi di swalayan. Wanita dan gadis kecil yang kutemui ternyata dia Namira yang telah merebut separuh jiwaku dulu. Sakit. Itu yang kurasakan saat itu. Kali ini luka itu kembali menganga ketika aku melihat kebersamaan mereka sebagai keluarga bahagia dan sempurna. Apalagi kebahagiaan mereka semakin sempurna dengan kehadiran Rana. Di hadapan mereka aku tetap tegar. Walaupun sebenarnya terluka. Aku juga sempat berbasa-basi menanyakan kabar pada wanita yang kini sudah bisa kembali berdiri tegak. “Permisi, Mbak.” Ke
Aku begitu prihatin dengan kondisi Ayah. Beliau tak menceritakan apa pun padaku. Entah apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tidak seperti sebelumnya, Ayah jadi berubah diam. Beliau juga tak lagi ke sawah akhir-akhir ini. Tak tahan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Aku memutuskan mendekatinya dan coba bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Pagi itu, Ayah sedang duduk sendiri di ruang keluarga. Televisi di hadapannya menyala. Namun, pandangan pria itu entah ke mana. Dengan secangkir teh hangat aku menghampiri Ayah dan duduk di samping beliau. Aku meletakan telapak tangan di atas punggung tangannya. Sontak pria itu menoleh padaku. Beliau tersenyum. Senyum yang dipaksakan menurutku. Aku bisa melihat ada duka yang disembunyikannya. “Ayah, apa yang sebenarnya terjadi?” Pria yang sudah membesarkanku dengan penuh cinta itu mengatakan kalau dirinya baik-baik saja. Ayah mengambil teh yang kubuatkan tadi. Menyeruputnya secara perlahan. Ak
Tak di sangka, Pak Farabi juga menghadiri acara lamaran Liza. Entah ada hubungan apa pria itu dengan keluarga Liza. “Deema, ikut aku!" Pria itu mengulurkan tangan. Entah dia mau membawaku ke mana. Aku tak membalas uluran tangannya. Pak Farabi bangun dan berjalan terlebih dahulu. Aku mengikutinya dari belakang. Pria itu lalu meminta untuk masuk ke mobilnya. “Kita mau ke mana, Pak?” Aku memandang pria yang duduk di sampingku. Sejenak pria itu memandangku. “Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Panggil saja Farabi. Dengan sebutan lain juga boleh.” “Ya, Pak.” Pria itu memandangku. “Ya, Farabi.” Aku pun kembali bertanya, hendak ke mana pria itu akan membawaku. Namun, Pak Farabi tak menjawab. Di justru tetap fokus menatap jalanan. Sebenarnya aku merasa tidak enak hanya duduk berdua dengannya dalam satu mobil. Demi Ayah aku melakukannya. Pria itu berjanji akan mau memba
POV FarabiAku tak heran melihat kebersamaan Zafran dengan Deema. Adikku itu pasti ingin menanyakan apakah wanita itu benar hendak menikah denganku.Malam tadi, aku ke rumah orang tuaku untuk memenuhi permintaan Deema. Datang menemui ayahnya untuk melamar. Karena itu aku memberitahukan niatanku pada kedua orang tuaku.Setuju. Tentu saja. Berita bahagia itu sudah lama mereka nantikan. Bahkan mereka sempat menawarkan menjodohkanku dengan putri teman mereka. Rasa cinta yang begitu dalam pada Almarhumah istriku adalah alasan aku menolaknya.Tentang Deema, bukan soal Airin aku melamarnya. Sikap dan kebaikan wanita itu yang membuatku luluh. Ditambah rasa sakit yang selama ini dirasakan wanita itu membuatku ingin menjaganya. Pun ketika aku mengetahui kalau adikku Zafran adalah orang yang pernah membuatnya menderita.Waktu itu tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan antara Namira dan Zafran. Mengetahui pria hendak menjadikan Deema sebagai istri kedua, ha
Aku menghentikan laju mobil ketika melihat toko buah di tepi jalan. Aku berhenti untuk membeli buah tangan. Rasanya tidak enak kalau berkunjung hanya dengan tangan kosong. Setelah membeli buah dalam bentuk parsel, aku kembali melajukan mobil. Akhirnya, aku tiba di rumah Deema. Aku mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Dari dalam terdengar Deema membalas salamku. Tak berselang lama wanita itu membuka pintu dan mempersilakanku masuk.“Silakan duduk, Pak.”Wanita itu masih saja memanggilku dengan sebutan itu. Padahal beberapa kali aku memintanya memanggilku dengan sebutan nama saja.Setelah aku duduk, gadis itu meninggalkanku. Hendak memanggil ayahnya katanya.Sepeninggal Deema, aku memandang setiap sudut rumah. Rumah orang tua wanita itu terlihat sudah tua. Namun, masih tampak kokoh.“Nak Farabi, maaf menunggu lama.”Melihat kehadiran ayahnya Deema, segera aku bangun lalu menyalaminya.Tanpa basa-basi, aku
POV Farabi part 2Lamaran“Zafran!”Aku memandang Zafran yang berdiri dengan dada naik turun. Aku tak percaya kalai adikku sendiri berbuat seperti itu padaku hanya karena seorang wanita. Aku mendekatinya, meminta Zafran untuk tenang dan membicarakan masalah kami dengan kepala dingin. Namun, apa yang kudapat, ketika hendak memegang bahunya, pria itu justru menghalauku menyentuhnya.“Jangan sok baik kamu Farabi!” Mata adikku itu merah. Memperlihatkan amarahnya yang tak terkendali.Aku tahu dia sangat kecewa dengan keputusanku menikahi Deema. Aku juga tahu, melihat Deema berada di sampingku kelak, dia akan lebih sakit.“Kalau kamu ingin aku tenang, urungkan niatanmu untuk menikahi Deema. Aku mencintainya. Aku tak bisa melihatnya berada di sampingmu.” Pria itu mengacak rambutnya kasar.“Bagaimana dengan Deema? Apa dia bisa melihatmu bersama Namira? Setelah apa yang kamu lakukan pada wanita itu kamu