"Bunda!"Aku dan Haifa terperanjat. Kami sama-sama menjauhkan diri ketika suara Qinara terdengar begitu nyaring. Aku menghela napas kasar. Baru saja kami akan bermesraan, harus kembali ditunda karena teriakan putri kami. "Buka dulu pintunya. Aku mau pakai baju," bisik Haifa sambil terkekeh. "Gak jadi lagi?" Aku memasang raut sendu. "Ya ... habisnya gimana." Haifa menaikan sebelah alis. Ah, aku suka gayanya yang seperti itu. Ingin sekali aku menerkam dan memenjarakan tubuhnya, tetapi harus kutahan karena Qinara kembali berteriak memanggil bundanya. "Bunda!""Sebentar, Sayang!" Haifa menyahut. "Cepat buka pintunya, Mas. Kasian Qinara.""Iya, Sayang. Tapi nanti kalau Qinara sudah tidur, kita lanjut lagi, ya."Haifa mengangguk. Aku tersenyum lebar kemudian mencuri satu kecupan di pipinya yang merona. "Mas!""Hmm?""Pakai dulu bajunya!"Oh, ya Tuhan! Aku lupa sedang bertelanjang dada. Bergegas kukenakan lagi pakaian karena gedoran disertai teriakan dari luar makin mengencang. Membuk
Kabar tentang Bu Wanti sangat membuat kami terkejut. Tanpa membuang waktu, hari itu juga kami berangkat ke Bogor untuk melihat keadaannya. Menurut cerita salah satu tetangga di sana, Bu Wanti terpeleset di kamar mandi hingga jatuh. Mungkin karena kondisinya yang sedang tidak enak badan, Bu Wanti kurang berhati-hati hingga terjadilah insiden itu. Kondisinya yang kritis membuat Ibu dari Akram itu tidak bisa bertahan lebih lama. Beliau meninggal setelah sebelumnya memberi amanat yang membuat kami terkejut. Beliau ingin mendonorkan matanya untuk Abyan sebagai ungkapan rasa sayang terakhir untuk putraku itu. Beruntung Bu Wanti sempat bertemu Dengan cucunya yang baru lahir ke dunia. Sebelum kabar ini kami dengar, Bu Wanti sempat datang ke rumah orang tuaku untuk menengok Qinara. Di sinilah kami sekarang. Di rumah sakit, menunggui Abyan yang sedang menjalani operasi. Menurut Dokter, kualitas mata Bu Wanti masih terbilang sehat dan bisa didonorkan. Tindakan operasi pun segera dilaksanakan s
"Kamu yang sabar. Beri Haifa waktu untuk berpikir sebelum dia memutuskan mau menerima kamu atau tidak."Papa menepuk pundak ini kemudian duduk di sampingku. Pria yang baru saja menggendong cucu keduanya itu pasti memahami perasaanku saat ini. Sebenarnya tidak masalah jika Haifa meminta waktu untuk berpikir. Akan tetapi, entah mengapa diri ini begitu takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya. Aku tidak ingin lagi berpisah atau bahkan melihat Haifa bersanding dengan pria lain karena Haifa adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku sampai se-gila ini. "Ya, Pa. Aku paham dia masih ragu padaku. Aku akan berusaha sabar menunggu meski sebenarnya, aku takut dia akan menolakku karena ... ya, Papa pasti tahu alasannya."Papa mengangguk. "Ya, Papa tahu. Tidak mudah baginya menerima pria yang pernah menyakitinya," ujarnya membenarkan."Ngomong-ngomong, kondisi teman kamu bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan Papa membuatku hampir saja mengumpat. Aku melupakan Sani yang entah s
"Gani, kamu mau ikut Papa atau tetap di sini?"Pertanyaan Papa menyadarkan aku dari keterpakuan. Kabar Haifa yang akan melahirkan membuatku bertambah tidak tenang. Andai saja bisa, aku ingin mendampingi dan memberinya dukungan hingga prosesnya lancar. Namun, teringat Sani yang masih ditangani, aku pun dilanda bimbang. Aku tidak mungkin meninggalkan Sani sendirian tanpa ada yang menungguinya. Apalagi, aku merasa harus bertanggung jawab karena secara tidak langsung, aku-lah penyebab Sani seperti ini. "Gani, kok malah melamun?""Eh, i-iya, Pa. Sebenarnya aku ingin ikut ke sana tapi temanku tidak ada yang menjaga. Nanti kalau aku sudah memastikan dia baik-baik saja, aku pasti menyusul Papa," jawabku akhirnya memilih memastikan kondisi Sani terlebih dahulu."Baiklah, kalau begitu Papa ke sana dulu.""Iya, Pa."Setelah kepergian Papa, aku kembali duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Meski ragaku ada di sini, tetapi hati tetap memikirkan Haifa. Bagaimana perasaannya ketika melahirkan tanpa
"Jangan becanda, Mas. Gak lucu!"Perkataan Haifa masih saja terngiang di telinga ini. Katanya, aku becanda? Apa dia sama sekali tidak melihat keseriusan di wajahku saat mengatakannya? Tangan ini memukul stir kemudi beberapa kali. Jujur saja, hati ini rasanya sakit saat mendengar Haifa justru menganggap pengakuanku sebagai sebuah lelucon. Dulu, aku memang pria brengsek yang telah tega menyakitinya. Namun setelah semua yang terjadi, aku selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi pria yang pantas untuk menjadi imam dari wanita seperti dirinya."Kenapa kamu gak ngerti juga, Fa. Aku itu mencintai kamu, bukan wanita lain." Lagi, tangan ini mendarat cukup kencang di atas stir kemudi.Setelah cukup lama berdiam diri di parkiran, aku menghidupkan mesin mobil untuk kembali ke kantor. Meski diri ini yakin tidak akan bisa fokus pada pekerjaan, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk tetap konsisten pada apa yang sudah menjadi tanggung jawabku.Benar saja, jangankan fokus, melihat
"Tante Sani ini ... bukan calon istri Papa, kan?"Aku terperangah mendengar pertanyaan Abyan. Calon istri? Bagaimana mungkin putraku bisa menebak sampai sejauh itu? Aku melirik ke arah Haifa juga Mama dan Papa. Ketiga orang itu pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Akhirnya, aku hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala."Kok Abyan ngomongnya gitu? Tante Sani ini cuma teman Papa. Dia datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Papa membawanya ke sini biar Opa sama Oma, terus Abyan juga gak salah paham. Abyan ngerti kan?"Anak itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seulas senyum pun kembali mengembang di bibirnya. "Abyan kira, Papa gak pulang- pulang dan betah di sana karena ada Tante Sani. Biasanya kalau orang sampai lupa pulang itu karena ada sesuatu yang membuatnya betah dan ingin tinggal lebih lama. Iya kan, Oma?"Putraku ini memang anak yang cerdas. Pemikiran Abyan terbilang kritis untuk anak seusia dirinya. Meski dia baru bertemu dengan Sani sekarang,