"Bangun, Pa, jangan tidur terus. Abyan kangen sama Papa."Sayup kudengar suara putraku disertai isakkan lirih. Ingin rasanya mata ini terbuka, tetapi entah mengapa sangat sulit untuk melakukannya. "Maafkan, Abyan yang sering menjauhi Papa. Abyan gak benci Papa, kok. Abyan justru sayang banget sama Papa."Lagi, kudengar suara Abyan yang terasa sangat dekat.Iya, Nak. Papa juga sayang sama Abyan. Papa ingin bangun dan memeluk Abyan sampai puas. Tuhan, kenapa sulit sekali untuk sekedar membuka mata. Aku sudah rindu ingin melihat wajah putraku yang selama berminggu-minggu tak kutemui. Tolong, beri aku kesempatan untuk melihatnya kembali. "Kok basah? Papa nangis?" katanya. Kurasakan tangan mungil mengusap pipiku dengan lembut. "Jangan nangis, Pa. Abyan selalu mendoakan Papa supaya cepat sembuh. Abyan janji gak akan menghindar lagi dari Papa. Kita main, kita sholat sama-sama lagi."Mendengar ucapannya yang terdengar sangat tulus, tekad untuk bangun begitu kuat. Aku berusaha kembali membuk
Selama acara berlangsung, aku lebih memilih mengasingkan diri dengan menjauh dari mereka yang tengah menikmati hidangan. Mama dan Papa terlihat sangat menikmati acara, pun dengan Abyan yang sangat antusias karena berkenalan dengan anak-anak yatim yang sengaja diundang oleh bundanya. Haifa tak hentinya menebar senyum kepada semua tamu yang hadir dalam acara ini. Di samping mantan istriku itu, berdiri Bu Wanti juga Akram yang tidak pernah beranjak sedikit pun dari sisi bundanya Abyan. Bahkan sesekali mereka berbincang akrab diselingi tawa bahagia yang sampai terdengar ke telinga ini. Aku merasa kerdil. Di tengah kebahagiaan mantan istriku yang berhasil mewujudkan impiannya, justru aku tengah terpuruk meratapi nasib buruk yang menimpa diri ini. Bercerai, dihajar serta dituduh menghamili Nesya, dan mendadak lumpuh karena kecelakaan. Mungkin ini memang balasan yang aku dapat karena telah menyiakan wanita sebaik Haifa. Jika memang semua kejadian ini bisa menghapus segala dosa yang telah a
"Ikut aku b*jingan! Kamu harus menikahi Nesya hari ini juga!"Aku terperangah. Sekuat tenaga kuhempaskan tangan Hans yang mencengkram bajuku hingga akhirnya terlepas. Pria itu mundur beberapa langkah karena tenaga yang kugunakan cukup besar. Tatapannya begitu nyalang, bak seorang singa yang ingin menerkam mangsanya."Jangan gila, Hans! Kenapa aku harus menikahi Nesya? Berapa kali aku bilang kalau bukan aku yang menghamilinya!" tukasku tak terima. "Tapi kamu yang sudah menghancurkan hidup adikku! Gara-gara kamu membuangnya begitu saja, hidup Nesya jadi berantakan. Karirnya hancur, ditambah sekarang dia depresi. Dia terus menyebut nama kamu dan ingin menikah dengan kamu. Kalau kamu tidak ingin dikatakan pengecut, tepati janjimu untuk menikahi adikku!""Maaf, aku tidak bisa, Hans. Nesya juga sudah membuatku kecewa. Aku pikir, dia wanita baik-baik yang bisa menjaga diri tapi ternyata, dia tidur dengan pria lain tanpa memiliki ikatan yang sah bahkan sampai hamil. Aku ... aku tidak bisa me
Satu bulan pasca meninggalnya Nesya, aku masih belum percaya dia akan pergi secepat ini. Kejadian tragis tepat di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami, ternyata telah menguak banyak sekali kejutan tentang keluarga mantan kekasihnya tersebut. Hans, pria yang aku kira kakak kandung Nesya ternyata hanyalah seorang anak angkat dari keluarga mereka. Pria itu telah lama menyimpan rasa kepada Nesya tetapi hanya bisa memendamnya karena status kakak adik yang mereka sandang. Sampai akhirnya kesempatan yang Hans nanti untuk mencurahkan rasa cintanya kepada sang adik tiba. Hans memanfaatkan kehancuran Nesya dengan meniduri wanita itu. Mereka terlibat hubungan tersembunyi hingga Nesya akhirnya diketahui keguguran dan depresi. Aku tidak pernah menyangka hidup Nesya akan berakhir di tangan kakak angkatnya sendiri. Ya, Hans yang telah memasukkan racun ke dalam minuman mantan kekasihku karena ia tidak terima Nesya masih terus mengharapkanku. Sungguh, sandiwara yang apik. Hans bertindak
Seharian ini, aku sama sekali tidak fokus pada pekerjaan. Perkataan Mama tentang acara lamaran nanti malam untuk Haifa, benar-benar membuat mood-ku menjadi buruk. Pada akhirnya, Mama mengundangku untuk datang ke sana menyaksikan acara tersebut. Namun, aku masih ragu untuk memenuhi undangan beliau. Aku belum siap untuk melihat kebahagiaan Haifa dengan pria lain. Egois memang. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Perasaan ini terlanjur tumbuh subur untuk mantan istriku itu. "Tunjukkan kalau kamu baik-baik saja dan ikut berbahagia untuknya."Kata-kata Mama tadi pagi terus terngiang di telinga ini. Ah, andai saja bisa semudah itu melakukannya, mungkin saja aku tidak akan sampai se-galau ini. Aku akan datang dengan wajah semringah dan mengucapkan selamat. Namun nyatanya, aku masih belum bisa se-ikhlas itu melepas Haifa untuk pria lain. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima menit. Aku harus menjemput Abyan di sekolahnya karena aku su
"Aku mengganggu kamu?"Aku bertanya ketika kami sudah duduk berhadapan. Haifa menggeleng sambil tersenyum. Aku menundukkan wajah karena kembali terpesona oleh senyuman manis itu. Duhai hati, tolong jangan buat aku lemah di hadapannya. "Sama sekali tidak menggangu kok, Mas. Kebetulan aku baru saja selesai makan siang. Mas sudah memesan makanan?" "Sudah." Aku mengangguk. "Sebenarnya, aku sengaja mengajakmu bertemu karena ingin menyerahkan ini."Aku mengambil paper bag yang kusimpan di kursi sebelah dan menyerahkannya kepada Haifa."Apa ini, Mas?" tanyanya sambil meneliti paper bag tersebut."Itu ... Kado pernikahan untuk kamu. Aku sengaja memberikannya sekarang karena kemungkinan besar, aku tidak bisa hadir di acara pernikahanmu nanti," terangku.Haifa sempat tertegun sebelum akhirnya menyimpan paper bag itu di atas pangkuannya."Kenapa Mas tidak bisa datang? Padahal aku berharap nanti Mas bisa hadir menjadi salah satu saksi."Aku menelan saliva. Tidak mungkin jika harus berkata juju
"Maaf, Mas. Saya gak sengaja."Untuk sesaat aku terpaku. Gadis di depanku gemetar ketakutan dengan kepala yang terus menunduk. Jilbab yang ia kenakan pun sudah tak beraturan hingga sebagian anak rambut mengintip keluar. Penampakan gadis ini benar-benar kacau. Rasa kesal yang tadi sempat singgah kini berubah menjadi rasa iba. Sepertinya, gadis ini sedang berada dalam kesulitan."Kamu kenapa ketakutan begitu? Dan ... kenapa malam-malam begini berkeliaran di luar?" tanyaku sambil terus memperhatikan gelagatnya."S-saya--""Itu dia! Hei, jangan lari!"Suara teriakan beberapa orang pria terdengar makin mendekat. Gadis di depanku tersentak dan gegas bersembunyi di belakang tubuhku. Aku makin merasa janggal. Sepertinya memang ada yang tidak beres pada gadis ini. "T-tolong saya, Mas. Mereka memaksa saya tapi saya tidak mau ikut," ucapnya tersendat. Belum sempat aku bicara, tiga orang pria tiba di depanku dengan seringai yang menakutkan. "Di sini kamu rupanya. Mau lari ke mana lagi, hah!" t
"Sani, apa yang kamu lakukan, Nak!" Pak Warman menegur anaknya yang masih tak sadar memelukku. Gadis berlesung pipi itu sontak melepas pelukannya. Ia terlihat gugup dan gelagapan, mungkin karena malu telah melakukan sesuatu yang tidak disadarinya. "M-maaf, Mas. Saya refleks karena terlalu senang.""Tidak apa. Saya maklum," ucapku sambil menahan geli. Gadis ini terlihat menggemaskan ketika pipinya merona karena malu."Nak Gani, maafkan atas kelancangan putri saya. Saya sangat berterima kasih karena Nak Gani sudah mau membantu kami. Saya janji akan mengganti uang Nak Gani meski dengan cara menyicil.""Tidak usah, Pak." Aku menolak dengan cepat. "Saya ikhlas berniat membantu, bukan memberi pinjaman. Bapak tidak perlu mengembalikan uang itu karena saya membantu Bapak dengan ikhlas," paparku. Mereka sedang mengalami kesusahan, mana mungkin aku tega menambah beban Bapak dan Anak itu."Saya jadi merasa tidak enak. Kalau memang begitu, izinkan saya membalas budi baik Nak Gani dengan cara ap