Irama langkah kaki Marco dan Cecil serentak menghentak trotoar melintasi sejumlah kemegahan kota Avesta. Sebagai seorang pria Marco sengaja memperlambat langkah kakinya agar mereka jalan beriringan. Marco merasa bahwa ia telah kehilangan sesuatu selama ini yang ia maksud adalah perasaan terhadap lawan jenis. Sesekali matanya melirik ke arah Cecil ia memperhatikan wajahnya yang mulus tanpa lecet. Tangan Marco yang perkasa itu merabah-rabah wajahnya sendiri lalu membandingkannya
“gawat.”
“Kenapa?” Cecil bertanya
“Wajahku berminyak.” Jawab Marco.
“Itu bukan masalah yang jadi masalah sekarang adalah ketersesatanmu di kota besar ini.”
“Hehe iya yah.” Marco tersadar.
Menyusuri jalan di kota Avesta sungguh menyenangkan sampai-sampai kita lupa merasakan lelah, hal inilah yang di rasakan Marco sekarang apalagi ini kali pertama ia datang ke kota Avesta walaupun dalam keadaan yang tidak di sengaja. Langkah kaki Cecil terhenti sedangkan Marco masih terus berjalan, dengan cepat tangan Cecil meraih kera baju Marco kemudian menariknya lalu memberitahunya bahwa kita sudah sampai.
Wajah Marco terus saja tersenyum sejak masuk pintu sampai duduk di kursi Cefe. Mulutnya terbuka sampai kelihatan giginya ia terus menyengir ke semua pengunjung Cafe, sebagian di antara mereka ada yang membalasnya dengan senyuman dan ada juga yang mengabaikannya karena takut. Cecil menutupi senyumnya dengan tangan sambil melihat tingkah norak Marco yang begitu konyol.
Salah satu pelayan menghampiri meja mereka kemudian meyambut mereka dengan senyuman.
“Boleh saya tulis pesanannya?” Pelayan cafe itu menanyakan pesanan kepada mereka berdua sambil memperlihatkan daftar menunya.
“APAAAA?” Marco terkejut.
“Kau ini kenapa?” Cecil menatap Marco dengan heran.
“Yang benar saja, masa harga minumannya setara dengan uang makanku selama dua hari?”
“Tenang saja aku yang traktir.” Cecil menenagkan Marco.
“Syukurlah.” Sambil menyandarkan punggungnya di kursi ia pun menarik nafas lega.
Pesanan mereka akhirnya di catat oleh si pelayan dan segera di buatkan.
“Kami akan segera membuatkannya, permisi.” Pelayan itu menutup pulpennya lalu pergi sambil tersenyum.
Rasa malu Cecil membuat wajahnya memerah ini merupakan pengalaman pertamanya ke suatu tempat berdua dengan seorang pria. Sedikit demi sedikit perasaan stres Marco menghilang setelah menikmati waktunya melihat-lihat sebagian kecil kota Avesta bersama seorang gadis cantik dan baik hati. Mulut Cecil terus tertutup bersama keringat dingin yang mengucur deras di area dahi dan pelipisnya ingin sekali iya bertanya tetapi rasa takutnya kepada seseorang yang ia ajak bicara membuatnya selalu saja diam kecuali sedang terkejut atau di beri pertanyaan. Beberapa menit legang akhirnya Marco angkat suara.
“Sejak tadi aku memperhatikan gayamu, sepertinya aku membuatmu takut yah?” Marco bertanya untuk memastikan.
“Tidakkk.” Cecil semakin tegang.
“Atau mungkin-" Perkataannya di potong.
“Bukan karena itu juga sebenarnya aku ini orangnya pemalu.” Cecil memaksakan dirinya untuk bicara.
“Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan tetapi aku selalu malu untuk memulainya.”
“Setiap pertanyaan yang keluar dari mulutmu pasti akan aku jawab tenang saja.”
“Mengapa kau bisa sampai disini?” Cecil dengan terbata-bata menanyakan sesuatu hal yang paling penting.
“Sebelum ini terjadi aku mengingat bahwa tubuhku sedang tertidur di atas truck sampah dan tiba-tiba saja ketika aku terbangun ragaku ini sudah ada di tempat yang keren ini” Marco menceritakan kronologi kisahnya mengapa ia bisa ada di kota Avesta.
“Ohh.” Cecil memahami cerita Marco.
“Hey sejak pertama kali kita bertemu aku sudah menanyakannya ini beberapa kali yaitu dimana aku sekarang? Aku mohon jawablah”
“Maaf.” Ekspresi wajahnya nampak sedih.
“Aku juga minta maaf kerena terlalu memaksamu untuk menolongku.” Marco menyesali perkataannya.
Kepalan tangan terkungkung kuat menahan amarah yang di rasakannya matanya menyala-nyala ketika melihat gadis yang ia sukai berduaan di dalam cafe bersama seorang pria asing. Tubuhnya bergerak sendiri berjalan menuju cafe setibanya di sana tangan yang sejak tadi gemetaran itu mendorong pintu cafe kemudian ia memasukinya dan langsung mendatangi wanita yang sejak tadi ia perhatikan.
“Wahhh wahh wahh Cecil kaukah itu?” Pria yang baru datang itu menyapa Cecil.
“Ra.. Ra.. Raf.. Rafael? Apa yang kau lakukan disini?” Cecil terkejut melihat Rafael.
“Siapa pria ini?”
“Di… di… diaa dia itu.” Cecil terbata-bata.
“Mengapa kau membohongiku Cecil.” Rafael tertuntuk lesu.
“Ini tidak seperti yang kau bayangkan Raff.” Cecil berusaha menjelaskan bahwa ini hanya salah paham.
“Aku sangat menyayangkan wanita baik dan polos sepertimu jatuh di tangan orang yang tidak tepat.”
“Tolong dengarkan aku dulu.” Cecil meminta Rafael untuk mendengarkannya sambil menangis.
Marco yang melihat air mata Cecil keluar dari matanya yang indah tidak tinggal diam.
“Aku tidak tahu hubungan kalian berdua itu seperti apa yang jelasnya sekarang kau akan berurusan denganku karena kau telah mengganggu kami dan membuat wanita selembut dia menangis.”
“Ini tidak ada hubungannya denganmu.” Rafael mengabaikan Marco.
Tangan Marco tiba-tiba menarik kera baju Rafael. Semua pengunjung Cafe mengarahkan pandangannya ke arah Marco dan Rafael dengan tergesa-gesa salah satu karyawan lelaki di Cafe tersebut mendekati mereka. Karyawan itu dengan segara melerai Marco dan Rafael yang tadinya akan menimbulkan masalah di tempat itu. Cecil yang merasa takut tiba-tiba menarik tangan Marco untuk pergi dari cafe itu meninggalkan Rafael sendiri disana.
“Hey hey ada apa ini? Kenapa kau menarik ku keluar?” Marco bertanya.
“Ayo” Cecil terus saja berjalan sambil menarik tangan Marco.
“Tunggu dulu.” Marco berusaha berhenti.
“Ayolah kita harus pergi dari sini.”
“Minumannya belum di bayar.” Marco mengingatkan.
“Ohiya aku lupa.” Cecil baru ingat kalau dia lupa membayar pesanannya tadi.
“Kamu tunggu disini yah, aku akan segera kembali.” Wanita itu membalikkan badan
Sungguh terkejutnya ia ketika mendapati Rafael berdiri tepat di hadapannya.
“Kamu mau kemana Cecil?” Rafael bertanya.
“Aku mohon jangan ganggu aku.”
“Sepertinya kau buta Cecil mengapa kau ingin pergi bersama pria yang berpenampilan seperti itu.”
Cecil terdiam.
“Kalau kau mengganggu dia lagi maka aku akan meremukkan tulang rusukmu.” Marco mengancam Rafael.
“Sebenarnya aku benci perkelahian tetapi sekarang aku harus melakukannya demi melindungi Cecil dari orang sepertimu.” Rafael menerima tantangan itu.
Rafael merupakan siswa tahun pertama seangkatan dengan Cecil. Ada banyak sekali wanita yang mengidolakannya di sekolah karena wajahnya yang tampan dan rupawan tidak hanya itu ia juga masuk SMA Royal Avesta dengan nilai yang nayaris sempurna kemampuan olahraganya pun juga sangat hebat seperti sepak bola, basket, dan karetenya. Karena kelebilahannya itu ia selalu berpikir bahwa semua orang pasti akan menyukainya apalagi di tengah kalangan wanita. Hatinya sekarang sedang sakit karena ungkapan cintanya di tolak oleh Cecil baru-baru ini ia menganggap bahwa apa yang dilakukan Cecil kepadanya adalah suatu bentuk penghinaan maka dari itu ia akan terus berusaha untuk meyakinkan Cecil bahwa dirinyalah lelaki yang terbaik di seantero kota Avesta.
Cecil berusaha membujuk Marco agar ia tidak berurusan dengan si Rafael. Kekhawatiran Cecil memuncak ketika Rafael tersenyum licik ke arah Marco sambil mengajaknya ke suatu tempat dimana mereka dapat menyelesaikan masalah secara jantan. Cecil mendesak Marco sambil menarik-narik lengannya hal itu dilakukan agar Marco meninggalkan Rafael yang sejak dari tadi mengayun-ayunkan jarinya sebagai isyarat agar Marco mengikutinya ke suatu tempat. Cecil tahu bahwa Marco tidak akan menang melawan Rafael karena ia adalah seorang ahli karate sabuk hitam. Mata Marco yang berapi-api menatap mata Cecil yang sejuk berkaca-kaca seketika emosinya luntur dan menuruti kemauan Cecil untuk pergi dari situ. Rafael yang tidak ingin mangsanya lepas begitu saja memancing emosi Marco dengan mengatakan.
“Ternyata kau tidak lebih dari seorang pengecut.”
Marco tetap sabar mendengar ucapan Rafael.
“Kau ini berasal dari kota kotor mana?” Rafel bertanya.
“Apa maksudmu?” Marco tidak mengerti apa yang di katakana Rafael.
“Sejak aku berada di dekatmu hidungku mencium aroma sampah darimu.”
“Hehe tentu saja” Marco tersenyum
“Hah?” Rafael terlihat bingung.
Kepala Marco kembali mengingat ketika ia tertidur di dalam truck sampah yang telah membawanya ke kota ini makanya ia menganggap perkataan Rafael barusan merupakan suatu hal yang wajar kerena seperti itulah kenyataannya.
“Aku berasal dari Distrik Neraka.” Marco menjawannya dengan mantap.
Sekujur tubuh Rafael bergetar mengetahui bahwa Marco berasal dari Distrik Neraka. Seisi kota Avesta tahu bahwa orang-orang di dalam Distrik Neraka merupakan kader-kader militer yang menakutkan mulai dari segi pendidikan keras mereka. Rasa takut Rafael mulai nampak dari wajahnya yang keringat dingin membasahi dahi putihnya itu tetapi harga dirinya di pertaruhkan sekarang. Giginya menggertak bersama sorot mata yang tajam, Marco kelihatannya biasa saja tidak ada tanda-tanda keraguan sedikitpun yang ia tampakkan. Telunjuk Rafael di arahkan ke Marco.
“Dasar manusia buangan.” Kata Rafael.
“Apa katamu?” Marco mulai terpancing.
“Distrik Neraka adalah tempat sampah terbesar di Negara ini." Rafael terus saja menghina Marco tanpa sadar.
Tangan Cecil yang menahan lengan Marco di tepis olehnya kemudian ia mendekati Rafael. Akhirnya mereka berhadapan secara langsung dan saling mengendus seperti anjing, Cecil yang merasa takut hanya bisa diam di tempat. Rafael menyarankan untuk berduel di tempat lain karena di tempat seperti ini dapat mengundang perhatian banyak orang mendengar alasan Rafael yang masuk akal akhirnya mereka menyepakati untuk berduel di tempat khusus yaitu di gedung bangunan yang terbengkalai.
“Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat.” Marco melirik ke arah Cecil.
Cecil yang melihat wajah yakin Marco membuatnya rela melepas pria yang baru saja ia kenal beberapa jam yang lalu terlibat masalah dengan seseorang yang ia kenal. Tidak ingin Marco kenapa-kenapa Cecil ikut menyaksikan mereka bertarung demi dirinya. Bukannya merasa senang karene di perebutkan seperti trofi kejuaraan Cecil malah merasa kesal kepada dirinya sendiri yang tidak mampu berkata-kata disaat genting seperti sekarang. Terbesit keinginan Cecil untuk melaporkan ini kepada Urban Legion yaitu pasukan yang menjaga keamanan kota tetapi hatinya menolak karena beberapa alasan. Ia takut apabila Marco mendapat masalah baru lagi di luar masalah ketersesatannya di kota Avesta dan pertarungannya dengan Rafael yang salah faham terhadap dirinya.
Tidak terasa akhirnya mereka sampai di tempat tujuan yaitu gedung yang terbengkalai di pinggir kota Avesta. Rafael yang merupakan siswa teladan kelas satu bukanlah anak yang nakal hal ini ia lakukan untuk membuktikan kepada Cecil bahwa dirinya tidak hanya bermodalkan fisik dan prestasi melainkan ia juga ingin mendapatkan pengakuan sebagai pria jantan yang siap melindunginya. Kekalahan bukanlah masalah baginya yang terpenting menurut Rafael adalah sisi keberaniannya keluar di depan mata Cecil.
Marco yang sudah tidak sabar menghantam wajah sombong milik Rafael memberikan aba-aba siap atau tidak Rafael sekarang. Kepala Rafael mengangguk menandakan iya akhirnya pertarungan mereka dimulai. Kuda-kuda rapi Rafael mencoba untuk bertahan kemudian gerakan cepat Marco memasang tubuhnya pas di hadapan Rafael sebagai umpan supaya Rafael terpancing untuk menyerangnya lebih dulu. Rencana Marco berhasil membuat Rafael menyerang dengan tehnik seiken yaitu salah satu gaya tinjuan khas karate.
BHUKK.
Dada Marco terkena serangan hingga terpental kebelakang. Belum sempat berdiri bahu Marco di hantam Shuto dengan keras membuat Marco merasa titik peredaran darah di persendian bahunya nyeri. Kaki Rafael ingin menghantam wajah Marco sebagai finishing
“Rasakan iniiiiiii.” Rafael menjerit
Tendangan cepat itu berhasil di hindari Marco secara kebetulan ia pun tak menyangka dapat menghindarinya. Kuda-kuda Rafael mulai berantakan dengan semangat Marco berdiri dan mengincar wajah Rafael untuk di hantam menggunakan kepalan kirinya dan.
PRAKK.
Yang kena bukan wajah melainkan pergelangan tangan Rafael yang begitu refleks membaca serangan Marco. Tanpa selang waktu tangan kanannya mengancam wajah Rafeal seketika wajahnya kedua tangannya refleks bergerak melindungi wajahnya tetapi tinjuan kanan Marco hanyalah tipuan dan menggunakan kakinya untuk menendang perut Rafael yang kosong maka dari itu Rafael pun jatuh kebelakang tidak ingin kehilangan momentum Marco langsung melompat turun menindih perut Rafael dan meninju dengan keras pipi kanan dan kiri Rafael secara bergantian sampai berdarah-darah. Cecil yang tidak tahan melihat salah satu diantara mereka ada yang tersiksa langsung berlari ke arah Marco dan Rafael.
“Sudahhh cukuppppp.” Cecil menyuruh mereka untuk berhenti.
Suara manis itu terdengar jelas di telinga Marco hingga membuatnya menoleh ke arah Cecil dan berhenti memukul-mukul wajah Rafael. Kesempatan itu di manfaatkan oleh Rafael dengan menghantam dada Marco dengan jurus seiryuto hingga terpelanting ke belakang.
“Jangan kau alihkan pandanganmu woiiiii.” Rafael mengingatkan.
Ketika Marco hendak terbaring ke belakang tiba-tiba Rafael menendang dada Marco dalam posisi terbaring dan akhirnya Marco terjatuh sambil memegangi dadanya yang terasa nyeri.
Pertarungan antara Marco dan Rafael akhirnya selesai ketika mereka tidak ada lagi yang sanggup untuk melanjutkannya. Wajah Rafael dibuat bonyok oleh Marco sedangkan dada Marco terasa sangat nyeri. Cecil datang lalu menampar wajah mereka satu persatu.
PLAKK! PLAKK!
“Kalian bodoh.” Cecil mengkhawatirkan mereka berdua.
Tidak ada yang menang maupun kalah mereka berdua sama-sama kuat dan berhasil membuktikan bahwa mereka bukanlah seorang pengecut. Mulut Rafael tiba-tiba bergerak mengeluarkan suara.
“Kau sangat kuat Mar-Mar-maaf aku lupa siapa namamu.” Rafael memuji kehebatan Marco.
“Namaku adalah Marco.”
“Terserah apapun itu yang jelasnya masalah kita sudah selesai.”
“Kau juga hebat, ini kali pertama aku menemukan lawan dengan gaya bertarung yang aneh.”
“Hah. Apa katamu? Inilah yang disebut seni bela diri karate.” Rafael membela diri.
“Tolong ajari aku lain kali yah.”
“Sekarang aku mengakuimu sebagai pria yang mampu melindungi Cecil, tetapi aku tidak akan menyerah segampang itu.” Rafael kini melunak.
Mereka berdua akhirnya damai. Marco berusaha bangun dalam keadaan terhuyung-huyung Cecil yang melihat itu berusaha membantunya dengan menopang sisi tubuh Marco yang lainnya. Di saat tubuh Marco mulai stabil ia pun berjalan menuju Rafael dalam keadaan tertatih lalu menawarkan tangannya untuk di raih oleh Rafael.
To be Continued…
Tiga pasang mata memandang langit kota Avesta disana mereka melihat matahari mulai tenggelam memudarkan jingganya. Cecil merasa sedih karena Marco belum mendapatkan solusi dari masalahnya. Rafael mengetahui bahwa ada sesuatu yang aneh diantara Marco dan Cecil, ia tahu pasti bahwa penduduk asli Distrik Neraka tidak di perbolehkan keluar dari tembok perbatasan apalagi sampai berkeliaran di kota Avesta. Marco mengusap wajahnya yang berminyak tidak tahu lagi harus berbuat apa. Pikirannya melayang-layang kesana kemari mengingat sahabatnya Leo yang mungkin sedang sibuk mencarinya sekarang, walaupun Distrik Neraka adalah tempat yang buruk dimata orang-orang awam tetapi baginya disanalah tempat kembali dari hiruk pikuk. Wajah cemas Marco menggugah simpati Rafael. Yang tadinya lawan berubah menjadi kawan ia menawarkan Cecil dan Marco untuk mendiskusikan masalah ini di rumahnya tetapi Cecil menolak tawaran itu karena hari sudah gelap dan Ibunya p
Ibarat angin berlalu Cecil berusaha melupakan Marco. Di dalam kamarnya ia berbaring sambil menatap langit-langit. Di balik lamunannya itu muncul ilusi optik yang menggambarkan wajah sangar Marco. Cecil yang melihat itu langsung mengedip-ngedipkan matanya dengan cepat untuk mengusir bayangan Marco yang tiada henti-hentinya. Tangan kanannya meraih sesuatu. Kemudian di tariknya benda itu hingga berhadapan langsung dengan wajahnya.TIK…TIK…TIK…Cecil mengetikkan sesuatu di ponselnya, terlihat nama salah satu kontaknya yaitu Rafael.“Bisakah kita bertemu sekarang.” Cecil mengajak Rafael melalui aplikasi chatnya. Posisi tubuh Cecil berubah yang semula berbaring sekarang berbalik jadi tengkurap. Posisi seperti ini sangat disukainya apalagi ketika ia sedang bermain ponsel atau membaca buku. Beberapa aplikasi ia kunjungi sambil menscrol-scrol berandanya.PING!  
Leo mendekati Marco lalu ia memegang pundak sahabatnya.“Jangan ada acara lari-larian lagi.”“Huft, baiklah.” Marco melunak. Kedua sudut di ujung bibir Leo melengkung, akhirnya beban pikiran yang selama ini ia bawa kamana-mana akan segera di tumpah ruahkan. Sehari saja tidak bersama Marco hidup yang ia jalani terasa hambar. Sederet pertanyaan serius pun mulai mengantri di kepalanya. Mulai dari “Dari mana saja kau kemarin lalu?” juga “Apa yang telah terjadi padamu?” dan masih banyak lagi. Leo sudah tidak sabar menanyakannya. Perlahan-lahan lututnya menekuk hingga ia duduk. Bola mata Leo menyudut kearah Marco. Mulutnya terbuka seakan-akan ingin segera bicara, disusul suara dari kerongkongan yang kemudian keluar menjadi sebuah kalimat.“Sekarang dunia ini sudah berubah yah?”“Iya, kau benar.” Jawab Marco sambil menatap apa s
Tanpa rem air mata Marco meluncur dari sudut matanya melewati pelipisnya. Beberapa saat legang mereka berdua tidak ada niatan untuk berdiri. Marco masih menikmati kesedihannya sedangkan Leo tersenyum bahagia, ia menganggap misinya telah selesai. Tempat itu tidaklah ramai hanya ada beberapa orang saja yang luntang-lantung di jalanan. “Mau sampai kapan kau menangis hah?” Leo menegur Marco. Tidak ada respon darinya yang ada hanyalah suara tangis yang semakin kencang. “Kalau saja Chucky melihat sekarang mungkin ia akan berubah pikiran untuk tunduk kepadamu hahaha.” Suasananya menjadi cair karena lelucon Leo. “Haha hiks… hiks… hiks…” Marco ikut tertawa walaupun tangisan sendunya masih berlangsung. Kedua tangan Leo menekan tanah ia berusaha bangkit setelah terjatuh akibat pertarungannya dengan Marco. Kedua kakinya bergerak susul-menyusul menuju tempat Marco terbaring, uluran tangan yang ia berikan kepada Marco
Mulut Marco terbuka lebar bersama tangan yang menutupinya agar serangga yang lewat di depan wajahnya tidak masuk, matanya berair setelah menguap. Pagi ini ia sangat mengantuk tetapi semangatnya untuk datang kesekolah tepat waktu jauh lebih tinggi. Tangan kirinya meraba gagang pintu kamar kos lalu di putar. Krekk Cahaya surya yang tadinya terhalang oleh pintu kamar kos Marco kini mulai memenuhi ruangan. Hari Marco disambut oleh mentari yang menyinari bumi setiap hari. Ia pun keluar dari kamar kosnya lalu mengunci pintu kemudian berjalan menuju kamar kos Leo. “Sekarang giliranku untuk membangunkanmu hehe.” Kata Marco sambil menggesesek-gesekan kedua telapak tangannya. Marco berniat untuk mendobrak pintu kamar kos Leo. Beberapa langkah kebelakang ia mengambil ancang-ancang sesampainya pada posisi yang pas ia pun mulai menghitung mundur “3…2…1…” Pintu kamar kos Leo terbuka
Hoammz… Mulut Marco terbuka lebar bersama tangan yang menutupinya agar serangga yang lewat di depan wajahnya tidak terhisap ke dalam, matanya berair setelah menguap. Pagi ini ia sangat mengantuk tetapi semangatnya untuk datang kesekolah tepat waktu jauh lebih tinggi. Tangan kirinya meraba gagang pintu kamar kos lalu di putar.Krekk Cahaya surya yang tadinya terhalang oleh pintu kamar kos Marco kini mulai memenuhi ruangan. Hari Marco disambut oleh mentari yang menyinari bumi setiap hari. Ia pun keluar dari kamar kosnya lalu mengunci pintu kemudian berjalan menuju kamar kos Leo.“Sekarang giliranku untuk membangunkanmu hehe.” Kata Marco sambil menggesesek-gesekan kedua telapak tangannya. Marco berniat untuk mendobrak pintu kamar kos Leo. Beberapa langkah kebelakang ia mengambil ancang-ancang sesampainya pada posisi yang pas ia pun mulai menghitung mundur“3&he
Ouchh Marco merintih sementara Dory tersenyum puas. Sepertinya pertarungan di antara mereka berat sebelah Marco yang sudah kewalahan ketika melawan tiga puluh orang anak buah Dory dan Rico membuatnya bertarung melawan Dory tidak dalam performa terbaik. Nampaknya tinjuan keras Dory membentur gusinya dengan keras terlihat ketika Marco meludah air liurnya keluar bersama darah. Satu serangan masuk belum cukup bagi Dory untuk memuaskan hasratnya. Dengan cepat Dory memulai serangan tapi sayang timingnya kurang pas sehingga Marco dapat menghindarinya. Mata Marco tidak berkedip sedetik pun ia fokus memperhatikan gaya bertarung Dory menurutnya gaya bertarung musuhnya kali ini lebih sembrono tetapi celah untuk menyerangnya sulit di temukan. Sebisa mungkin Marco menghindari serangan Dory walaupun tidak semuanya. Tangan yang di gunakan Marco menangkis sudah tidak kuat lagi sama rasanya ketika menangkis balok kayu kekuatan tangan Dory ia akui sangat. Mata Marco melotot
“Selanjutnya kita akan menyelamatkan Chucky.” Marco menghampiri Leo.“Iya.” Leo mengiyakannya.“Kalau begitu ayo.” Marco beranjak dari tempat itu.“Oii oii tunggu dulu.” Leo memanggil Marco yang lebih dulu pergi meninggalkannya.“Ada apa lagi hah?” Marco menoleh kebelakang.“Kau tahu mereka membawanya kemana?” Tanya Leo.“Hmm…ehhh.” Marco menggaruk-garuk kepalanya.“Kau tahu atau tidak?” Leo menekankan pertanyaannya.“Hehe” Marco menggeleng sambil cengengesan.Leo yang melihatnya menepuk dahi.“Sudah ku duga. Jadi rencanamu apa? Mencarinya asal-asalan?” Leo kembali bertanya.“Kau ini banyak tanya arghh.” Marco cemberut.“Hahaha.” Leo tertawa melihatnya. Mereka berdua duduk di samping lawan yang telah mereka kalahkan. Leo memu