Kuusap muka dengan cepat. Lalu memperhatikan wajah penuh amarah di depan mata.
Mas Surya?! Jadi ini bukan mimpi. Ini nyata. Namun kenapa dia marah-marah?"Apa Mas? Ngadu apa?" ujarku bertanya dengan polosnya. Setelah mengumpulkan tenaga dan mencoba mencerna, barulah paham maksud dari pertanyaan suamiku ini. Pasti ini tentang Aurel. Tapi kenapa Mas Surya tahu kalau aku mengadu pada ibunya? Apa ibunya yang cerita? Netranya melirik ke arah Malik yang tertidur pulas di sampingku. Syukurlah ia tidak terbangun oleh suara ayahnya. Padahal itu cukup keras dan mengejutkanku. "Kita bicara di luar." Mas Surya pergi lebih dulu. Aku beranjak turun dari tempat tidur dengan pelan takut pergerakanku membangunkan Malik. Kepalaku menoleh ke kiri dan ke kanan dan tak didapati Mas Surya di luar kamar. Aku memutuskan berjalan terus menuju dapur meyakini dia ada di sana. Benar. Lelaki yang sudah membersamaiku hampir tiga tahun ini ada di sana, dan sedang duduk seorang diri di depan meja makan dengan kedua tangan bertumpu diatasnya. Aku mengambil duduk di seberangnya. Gesekan kaki kursi dengan lantai akibat ulahku yang menggesernya membuat Mas Surya yang tertunduk mendongak ke arahku. Tatapannya masih tajam seolah kemarahan itu masih membara di hatinya. "Kamu ngadu apa sama Mama?" Kukira bakal dimaki dan dikata-katai kasar olehnya, ternyata tidak. Dia bertanya dengan lembut. Tampilan wajah sangarnya barusan tidak seperti yang kubayangkan. Dengan cepatnya bisa diredam. "Ngadu apa, Mas? Kamu kenapa malah nanya yang nggak jelas. Aku kaget, Mas." Aku memberikan jawaban yang aman. Seolah tidak tahu apa-apa dan bersikap sepolos mungkin seperti biasanya. "Mama tahu kalau Aurel sering ke rumah. Aku yakin itu darimu. Siapa lagi di rumah ini yang tahu kalau sahabatku itu sering berkunjung ke sini kalau bukan darimu, Na? Ngapain kamu ngadu ke Mama. Kecemburuanmu itu tidak jelas, Na. Kampungan, kekanak-kanakan!" Ingin sekali tertawa mendengar apa yang barusan diucapkannya tapi kutahan kuat karena bakal menghancurkan sandiwaraku saat ini. Kalau selama ini aku dianggapnya istri yang polos dan bodoh, kamu salah Mas. Semua orang awam akan berpikir sama sepertiku saat melihat pasangannya malah sibuk bersama wanita lain di rumahnya sendiri daripada aku, pasangan sahnya. Wajar kan aku bersikap begitu. "Tunggu dulu Mas, siapa yang di sini kekanak-kanakan? Aku, apa Mas Surya? Memangnya apa kata Mama dan kenapa Mas seperti kebakaran jenggot? Apa Mama memarahi Mas atau Mas memang merasa salah jadi marah seperti ini?" "Ya pokoknya kamu pasti ngadu yang tidak benar sama Mama. Nggak penting Mama ngomong apa, yang kutanyakan itu ngapain kamu pake acara ngadu segala? Kamu kalau nggak suka sama Aurel itu, bilang! Kita bisa bicarakan dengan baik. Nggak usah ngadu-ngadu nggak jelas kayak gini." Hah?! Keningku berkerut mendengarnya. Nada bicaranya mulai meninggi. Aku selalu saja salah di matanya sejak Aurel masuk dalam kehidupan kami. Lagian sejak kapan bisa dibicarakan dengan baik-baik? Yang ada semua akan berakhir dengan perdebatan sengit." Ya sudah kalau begitu kita telpon Mama biar jelas. Tanyakan padanya apa benar kalau aku mengadukan Aurel padanya." Kutantang Mas Surya dengan hati ketar-ketir. Takut kalau Mama tidak bisa diajak kerja sama dan malah mengiakan kalau aku mengadukan Aurel padanya. Entah apa yang dikatakan ibunya sampai Mas Surya semarah ini padaku. "Nggak perlu. Buat apa? Mas cuma mau mengingatkan jangan lagi mengadukan hal sepele seperti ini sama Mama. Kasihan beliau sudah tua. Nggak perlu tahu tentang permasalahan rumah tangga kita. Apapun yang terjadi kedepannya itu biarlah jadi urusan kita saja, tidak usah dibawa keluar apalagi ke orangtuaku. Mengerti?" Sekarang Mas Surya mencoba mengancamku. Padahal barusan ditantang balik tak berani. Mungkin lebih baik kuiyakan saja perkataannya daripada ia ceramah panjang lebar dan tak berkesudahan. Aku lagi malas berdebat karena malam semakin larut. Apalagi pembahasan mengenai Aurel ini sudah dari lama dan sering sekali diperdebatkan, dan yang kemarin itu bukan yang pertama kali dibahas. Hal tersebut sudah kulakukan berulang kali sejak aku sadar wanita tak tahu malu itu terus menerus datang ke rumah kami. Perdebatan kami tidak pernah ada titik temu. Yang ada malah aku dan akulah lagi yang salah. Selalu dianggap berlebihan menyikapi kedekatan mereka berdua dan parahnya lagi dituduh posesif oleh suami sendiri. Lelah. Rasanya tak ada tenaga membahas wanita yang pasti lagi tidur nyenyak di rumahnya. Berbanding terbalik denganku yang dipaksa bangun karenanya. Aku sudah capek seharian mengurus rumah sendiri, mengurus Malik, dan ditambah menyempatkan pergi ke rumah ibunya. Belum lagi capek hati memikirkan sikap suami yang tidak peka pada istri sendiri dan lebih mementingkan orang lain. "Aku capek, Mas. Kamu juga baru pulang kan? Mending bebersih badan dan lalu tidur. Atau kamu mau makan dulu? Biar kusiapkan," balasku selembut mungkin mengubah topik pembicaraan karena tak ingin membahas wanita itu lagi. Tidak kemarin dan malam ini, masih saja nama tersebut disebutnya. Belum lagi mereka berangkat ke kantor bareng dan satu tempat kerja. "Tidak. Aku sudah makan," jawabnya ketus. Masih terdengar sisa kekesalan di nada bicaranya. Setelah mengucapkan hal tersebut, Mas Surya melangkahkan kakinya keluar dari ruang dapur. Meninggalkanku sendiri di ruang sepi tersebut. Luruh, badanku terhempas sendiri ke badan kursi. Pertahananku roboh seketika.*** Paginya aku beraktivitas seperti biasa. Bangun lebih awal dan disambung dengan kegiatan membuatkan sarapan pagi. Khususnya untuk Mas Surya. Dari awal aku sudah diwanti-wanti ibu mertua kalau suamiku itu terbiasa makan pagi dan wajib dibuatkan sarapan. Mumpung Malik masih tertidur lelap, disitulah kesempatanku untuk mengerjakannya sendiri. Kami tinggal di rumah ini hanya bertiga dengan Malik. Tidak ada pembantu atau asisten rumah tangga. Semua kukerjakan sendiri. Itu karena aku merasa mampu menyelesaikannya dan juga untuk menyibukkan diri yang hanya ibu rumah tangga biasa. Dan Mas Surya setuju. Ia sependapat denganku dengan alasan tidak suka ada orang lain di rumah kami. Nyatanya sekarang ia yang membiarkan ada orang lain masuk ke rumah kami dengan berkedok sahabat. "Mas! Kamu mau pergi sekarang?" panggilku heran melihatnya berpakaian rapi dengan setelan baju kerja pergi ke arah depan. Bukan ke arah dapur.Tidak ada sahutan. Lelaki dengan badan tegap atletis itu mengabaikanku. Aku segera menyusulnya dengan langkah setengah berlari. "Mas!" panggilku lebih keras dengan menepuk pundaknya. Kuyakin dengan cara ini dia akan mendengar. Tidak pura-pura tuli lagi. Dagunya terangkat ke atas kode bertanya. "Tidak sarapan dulu?" tanyaku memastikan. Setidaknya beri jawaban biar aku tak perlu bersusah payah seperti ini. Biar makanan yang telah kumasak tak perlu kusajikan di atas meja makan. Mau dimakan ataupun tidak aku sudah tak begitu peduli. Suamiku ini sudah besar dan bukan anak kecil lagi, kuyakin ia bisa cari makan sendiri. Aku lelah setiap bertengkar dia akan mengabaikanku seperti ini. Apalagi semalam dia memilih tidur di kamar sebelah, kamar kosong yang diperuntukkan kalau ada tamu yang datang atau Mama yang datang menginap. "Aku tidak lapar," jawabnya datar sambil membenarkan letak dasinya. Aku mendekat mencoba ingin membantunya tapi …."Aku bisa sendiri," tolaknya sembari menepis kasar tanganku. Aku manggut-manggut tanda mengerti. Seperti itulah dia. Sikap ambekannya mudah kubaca. Lalu secepatnya aku pergi ke dapur. Berencana memasukkan sarapan paginya ke wadah bekal makan, biar nanti bisa dibawanya ke kantor. Bagaimanapun juga Mas Surya masih suamiku. Aku masih punya kewajiban melayaninya sebagai tanda bakti seorang istri. Meskipun terkadang sikapnya sangat kasar. "Mas!" panggilku nyaring mencoba menghentikannya pergi. Aku sudah selesai menyiapkan bekal sarapannya dan dengan tergesa-gesa membawakan bekal tersebut ke arahnya, berharap dibawanya ke kantor. "Apa?" tanyanya dengan wajah tak suka menutup pintu depan yang baru saja dibukanya. Mas Surya menoleh dengan terpaksa. "Ini bawalah!" ujarku seraya mengangsur bekal tersebut setelah sampai di depannya. "Siapa tahu Mas sudah merasa lapar dan ini bisa mengganjalnya," imbuhku lagi menjelaskan. Aku tidak tahu seperti apa pantry di kantornya. Atau kantin kantor dan apalah namanya. Apakah sesuai seleranya atau tidak, karena biasanya ia sarapan di rumah. Syukurlah bekal tersebut diambilnya dan lalu berbalik membuka pintu depan. Aku memperhatikannya pergi sampai masuk ke dalam mobil. Lalu kendaraan beroda empat tersebut berlalu pergi meninggalkanku yang masih berdiri di depan pintu dengan tersenyum getir. Suamiku itu lupa mengucapkan kata pamit atau meninggalkan kecupan mesra di kening. Baru saja pintu kututup rapat terdengar suara deru mobil berhenti di depan rumah. Keningku mengernyit seketika menebak siapa yang datang. Mas Surya. Apa itu dia? Tapi kenapa balik lagi? Apa ada yang ketinggalan? Aku membuka kembali pintu rumah dengan cepat dan memperhatikan apa yang ada di hadapanku. Sebuah mobil memang berhenti di depan rumah kami dan aku mengenal baik mobil tersebut dan siapa pemiliknya. Seorang wanita turun dari mobil tersebut dan aku bergegas menghampirinya dengan mengulas senyum lebar. "Mama," sapaku memanggilnya.Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi