Share

Tidak Dianggap

Author: Syarlina
last update Last Updated: 2022-09-15 06:56:06

"Medina, kamu apa-apa sih seperti itu pada Aurel?" Setelah kepergian Aurel, Mas Surya baru meluapkan amarahnya padaku. Mungkin sudah ia pendam lama semenjak aku bersikap kurang ajar pada sahabatnya itu.

"Apanya yang gimana ya Mas? Aku biasa saja." Kujawab pertanyaan Mas Surya dengan begitu santainya. Padahal dalam hati penuh emosi karena lagi-lagi aku disalahkan.

"Ya itu tadi bersikap tidak sopan padanya. Berkata kasar padanya bahkan menyindirnya."

Aku segera menoleh ke arahnya. "Apa Mas? Memangnya sikapku yang bagaimana? Aku merasa biasa saja. Aurel mengadu apa sama Mas? Di bagian mana aku menyindirnya?" Pertanyaannya barusan kubalikkan padanya. Biar Mas Surya memperjelas sikapku yang bagaimana yang melukai sahabatnya itu. Apa dia tidak merasa kalau istrinya ini jauh lebih terluka akibat sikap mereka berdua.

"Kamu ini selalu merasa tak salah. Egois! Aurel itu tamu kita, hargailah dia. Jamu dia dengan baik karena tamu itu adalah raja. Bukannya bersikap seperti tadi. Memalukan! Kamu berubah, Na. Kamu bukan seperti Medina yang kukenal."

Hah?! Keningku mengkerut mendengar perkataan Mas Surya barusan. Bukannya menjawab dengan tepat pertanyaanku, eh malah merembet ke hal yang tidak perlu dijelaskan lagi apalagi ke hal personalku. Aku paham maksud perkataannya tapi sayangnya dia lupa kalau tamu juga harus tahu yang namanya adab. Harus mengerti kapan waktu bertamu agar tidak mengganggu privasi orang.

Syukurlah Malik sudah tidur hingga tak perlu mendengarkan perdebatan orangtuanya yang tak penting ini. Saat ini kami berada di dapur karena aku sedang mencuci piring bekas makan siang kami. Satu lagi, harusnya tamu tahu diri dan sadar untuk ikut bantu-bantu pada rumah yang barusan didatanginya agar pemilik rumah senang dikunjungi olehnya. Namun tidak juga datang tiap akhir pekan. Rumah kami bukan rumah sakit apalagi swalayan yang buka 24 jam. Ada waktunya juga harus ditutup dan tidak bisa dimasuki sembarang orang.

"Aku berubah, Mas? Berubah seperti apa? Salahku dimana? Tamu seperti apa yang harus dihargai? Apa seperti Aurel yang datang tak diundang dan pulang minta diantar?" ucapku dengan tajamnya. Bahkan aku menyindirnya telak. Mana ada tamu yang datang dan belagu seperti Aurel. Aku tahu dia sahabat suamiku, tapi harusnya sadar kalau Mas Surya itu bukan miliknya. Bukan lagi teman yang rumahnya bisa didatangi kapan saja dan menghancurkan waktu keluarga temannya. Bukan!

"Sudahlah. Selalu saja begini. Kamu selalu salah paham tentang hubunganku dengan Aurel. Padahal sudah sering kujelaskan kalau kami ini hanya teman, hanya sahabat sejak kecil. Jadi wajar begitu dekat. Hampir seperti saudara. Kenapa harus cemburu."

Cemburu? Aku dibilang cemburu?

Yang kutahu tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada. Kalau bukan dari sisi perempuannya yang mempunyai rasa, maka pasti laki-lakinya. Survey tidak pernah salah. Hampir 90 persen hal itu bisa dibuktikan. Ingin sekali mengatakan demikian, tapi aku tahu endingnya nanti seperti apa. Dia akan bilang tidak ada. Tidak mungkin, survei itu salah, tapi fakta mengatakan hal yang berbeda.

Aku yang sempat terhenti dari kegiatan mencuci piring, akhirnya memilih melanjutkan kembali aktivitas tersebut daripada meladeni Mas Surya. Sekarang lebih baik diam dulu daripada meluapkan emosiku dengan cara yang salah. Seperti yang dikatakannya barusan kalau aku berubah. Sikap memberontak bukanlah sikap yang pernah kutunjukkan padanya. Bahkan tidak pernah. Namun melihat keluhan dan permintaanku tak digubrisnya dan hanya dianggap tak penting dan dianggap pula tak beralasan maka inilah cara kedua yang kutempuh. Menjadi orang berbeda di matanya.

Melihatku tak merespon ucapannya, Mas Surya memilih pergi. Aku tak tahu kemana perginya karena dia tidak pamit. Seperti itulah Mas Surya kalau lagi marah. Dia akan mengabaikanku bahkan tak memberitahukan dimana keberadaannya saat pergi. Ponselnya akan Mati seolah tidak ingin dihubungi.

Kurebahkan diri ke atas tempat tidur. Lelah badan karena baru saja selesai membereskan dapur dan lelah hati saat jerih payah mengurus rumah seolah tak ada harganya di mata suami. Kukira Mas Surya adalah tipe lelaki yang cuek yang sulit mengucapkan terima kasih melihat istrinya kecapekan mengurus rumah sendirian, tapi ternyata tidak. Dia mampu dan bisa mengucapkan kata tersebut, tapi bukan ke aku. Melainkan Aurel. Entah hanya ke dia atau ke orang lain pun bisa asal bukan istrinya. Aku masih ingat betapa dengan gampangnya dia berterima kasih pada Aurel karena wanita itu menyajikan makanan jadi di meja makan kami. Makanan hasil beli, sedang aku tiap hari menyajikannya dari hasil memasak sendiri. Namun tidak pernah dua kata itu keluar dari mulutnya. Aku masih ingat bagaimana ia bisa berterima kasih saat rasa makanan yang wanita beli itu enak. Namun tidak padaku. Padahal ia selalu lahap menyantap masakanku. Ia juga bisa berterima kasih saat Aurel mengambilkan nasi buatnya dan itu di hadapanku. Sesak? Jangan ditanya. Rasanya dadaku terhimpit batu besar hingga susah bernapas.

***

"Medina? Apa kabar Sayang. Tumben ke sini nggak kasih kabar dulu?" Seorang wanita paruh baya menyambutku dengan penuh hangat. Kami berpelukan melepas rindu. Padahal masih satu kota. Hanya dipisah beberapa kilometer saja untuk bisa bersua. Ditambah kesibukannya membuatku sungkan untuk mengganggu. Dialah Bu Lila, ibu mertuaku.

"Baik, Ma." Aku menjawab singkat seraya mencium takzim tangannya.

"Hai, cucu kesayangan, apa kabarnya juga? Ih, Nenek tambah gemas deh lihat Malik. Makin gembul aja nih pipi." Bu Lila mencubit gemas kedua pipi Malik. Ia terlihat begitu senang bisa melihat cucunya karena kami memang jarang ke tempatnya.

"Ayo duduk sini, Nak. Mau minum apa? Biar Rini yang buatkan." Kembali dengan ramahnya ibu mertuaku ini memperlakukan menantunya.

"Terserah, Ma," ujarku dengan senyum terkembang sempurna. Lalu tanpa menunggu lama Bu Lila memanggil asisten rumah tangganya yang bernama Rini untuk membuatkanku minuman. Kami mengobrol santai dulu sebelum aku masuk ke obrolan yang serius.

"Jadi Medina kenapa Sayang? Kalian baik-baik saja kan?" Belum sempat ku utarakan maksud tujuan datang ke rumahnya, Ibu mertuaku ini sudah paham duluan. Ia tahu kalau aku tidak mungkin datang mengunjunginya secara mendadak seperti ini dan bukan di hari libur kalau bukan untuk hal yang penting. Apalagi biasanya aku ke sini bersama Mas Surya.

"Nggak, Ma. Kami baik-baik saja." Aku mencoba berkelit karena tidak ingin terlihat kentara kalau rumah tangga kami sedang tidak baik-baik saja.

"Lalu?" tanyanya lagi menyelidik.

"Apanya Ma? Medina tidak boleh ya ke rumah Mama?" ujarku sengaja membuatnya tidak nyaman.

Ibu Lila tersenyum simpul seraya menyesap minuman yang berada di depan mejanya.

"Tidak. Justru Mama senang kalian datang. Hanya heran saja kedatanganmu kemari cuma berdua Malik tanpa Surya, tidak berkabar lebih dulu terkesan mendadak, dan datang di hari kerja. Jujur saja Sayang, Mama rasa ada yang kamu tutupi dari Mama."

"Tidak apa, Ma. Medina cuma lagi kangen saja sama Mama. Entah kenapa ada rasa tak nyaman dan memaksa Medina untuk datang ke sini. Cuma itu Ma." Aku berkata jujur. Memang ada rindu untuk Ibu mertuaku tersebut karena kami jarang mengunjungi rumahnya.

"Syukurlah. Justru perasaan Mama yang tidak enak takut kalian di sana kenapa-napa. Tapi Mama sudah menghubungi Surya. Barusan pagi tadi sebelum kamu ke sini dan dia bilang kalau kalian Baik-baik saja. Eh, sekarang malah dikunjungi secara mendadak gini, Mama kan jadi khawatir."

"Nggak kok Ma, nggak ada apa-apa." Kujawab dengan mengulas senyum sambil memegang erat tangannya. Meyakinkannya kalau memang rumah tanggaku bersama anaknya baik-baik saja. Sebelum ke sini pun aku sudah mencari informasi dimana keberadaan ibu mertuaku ini.Apakah masih di rumah atau sudah pergi kerja. Aku tidak ingin pergi sia-sia karena salah tujuan. Selain itu Mas Surya juga tidak tahu kalau aku ke rumah ibunya sekarang ini. Jujur aku tidak minta izin padanya dan pergi secara diam-diam. Kalau jujur akan terlihat aneh baginya dan bakal ketahuan apa tujuanku mendatangi rumah orangtuanya secara mendadak seperti ini. Itu yang tidak kuinginkan.

Tujuanku cuma satu. Aurel. Aku ingin tahu apakah ibunya Mas Surya kenal dengan Aurel atau tidak. Aku ingin memastikan mereka memang sahabat atau pura-pura sahabat. Kalau benar sahabatan sejak kecil, Mama Lila pasti tahu Aurel.

"Ma, Medina boleh tanya sesuatu?" Setelah lama memendamnya, mencari momen yang pas setelah cukup lama berbincang, akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Iya, Nak. Apa?" balasnya lembut. Senyum dari wajahnya tak pernah pudar semenjak kedatanganku dan Malik ke rumahnya. Mama tampak senang sekali dikunjungi oleh kami. Biasanya tiap bulan pasti ada sekali atau dua kali di akhir pekan Mas Surya mengajak kami ke rumah ibunya. Namun sejak datangnya Aurel, sejak saat itu rumah mertuaku seolah terlupakan. Pernah kuminta pergi ke sana, tapi selalu dijawab lelah dan ingin di rumah saja.

"Ehm, Mama kenal Aurel?" Kening Mama Lila seketika mengerut.

"Aurel Aurora, Ma?" Kusebut nama lengkapnya agar Mama Lila bisa mengingat dengan jelas siapa nama yang kusebut barusan. Namun Wajah Mama tiba-tiba pias. Ada keterkejutan saat nama lengkap wanita itu kusebutkan. Apa artinya ….?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tamu yang Tak Diundang   Akhir Kisahku

    Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be

  • Tamu yang Tak Diundang   Usai Pesta Pernikahan

    "Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala

  • Tamu yang Tak Diundang   Ini Nyata Atau Mimpi?

    Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela

  • Tamu yang Tak Diundang   Mencari Solusi

    Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa

  • Tamu yang Tak Diundang   Akhirnya Sah

    Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k

  • Tamu yang Tak Diundang   Harusnya Tak Datang

    Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi

  • Tamu yang Tak Diundang   Terpaksa Datang

    "Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne

  • Tamu yang Tak Diundang   Terpaksa Datang

    "Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne

  • Tamu yang Tak Diundang   Permata yang Tak Tampak

    Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status