Share

Tidak Dianggap

"Medina, kamu apa-apa sih seperti itu pada Aurel?" Setelah kepergian Aurel, Mas Surya baru meluapkan amarahnya padaku. Mungkin sudah ia pendam lama semenjak aku bersikap kurang ajar pada sahabatnya itu.

"Apanya yang gimana ya Mas? Aku biasa saja." Kujawab pertanyaan Mas Surya dengan begitu santainya. Padahal dalam hati penuh emosi karena lagi-lagi aku disalahkan.

"Ya itu tadi bersikap tidak sopan padanya. Berkata kasar padanya bahkan menyindirnya."

Aku segera menoleh ke arahnya. "Apa Mas? Memangnya sikapku yang bagaimana? Aku merasa biasa saja. Aurel mengadu apa sama Mas? Di bagian mana aku menyindirnya?" Pertanyaannya barusan kubalikkan padanya. Biar Mas Surya memperjelas sikapku yang bagaimana yang melukai sahabatnya itu. Apa dia tidak merasa kalau istrinya ini jauh lebih terluka akibat sikap mereka berdua.

"Kamu ini selalu merasa tak salah. Egois! Aurel itu tamu kita, hargailah dia. Jamu dia dengan baik karena tamu itu adalah raja. Bukannya bersikap seperti tadi. Memalukan! Kamu berubah, Na. Kamu bukan seperti Medina yang kukenal."

Hah?! Keningku mengkerut mendengar perkataan Mas Surya barusan. Bukannya menjawab dengan tepat pertanyaanku, eh malah merembet ke hal yang tidak perlu dijelaskan lagi apalagi ke hal personalku. Aku paham maksud perkataannya tapi sayangnya dia lupa kalau tamu juga harus tahu yang namanya adab. Harus mengerti kapan waktu bertamu agar tidak mengganggu privasi orang.

Syukurlah Malik sudah tidur hingga tak perlu mendengarkan perdebatan orangtuanya yang tak penting ini. Saat ini kami berada di dapur karena aku sedang mencuci piring bekas makan siang kami. Satu lagi, harusnya tamu tahu diri dan sadar untuk ikut bantu-bantu pada rumah yang barusan didatanginya agar pemilik rumah senang dikunjungi olehnya. Namun tidak juga datang tiap akhir pekan. Rumah kami bukan rumah sakit apalagi swalayan yang buka 24 jam. Ada waktunya juga harus ditutup dan tidak bisa dimasuki sembarang orang.

"Aku berubah, Mas? Berubah seperti apa? Salahku dimana? Tamu seperti apa yang harus dihargai? Apa seperti Aurel yang datang tak diundang dan pulang minta diantar?" ucapku dengan tajamnya. Bahkan aku menyindirnya telak. Mana ada tamu yang datang dan belagu seperti Aurel. Aku tahu dia sahabat suamiku, tapi harusnya sadar kalau Mas Surya itu bukan miliknya. Bukan lagi teman yang rumahnya bisa didatangi kapan saja dan menghancurkan waktu keluarga temannya. Bukan!

"Sudahlah. Selalu saja begini. Kamu selalu salah paham tentang hubunganku dengan Aurel. Padahal sudah sering kujelaskan kalau kami ini hanya teman, hanya sahabat sejak kecil. Jadi wajar begitu dekat. Hampir seperti saudara. Kenapa harus cemburu."

Cemburu? Aku dibilang cemburu?

Yang kutahu tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada. Kalau bukan dari sisi perempuannya yang mempunyai rasa, maka pasti laki-lakinya. Survey tidak pernah salah. Hampir 90 persen hal itu bisa dibuktikan. Ingin sekali mengatakan demikian, tapi aku tahu endingnya nanti seperti apa. Dia akan bilang tidak ada. Tidak mungkin, survei itu salah, tapi fakta mengatakan hal yang berbeda.

Aku yang sempat terhenti dari kegiatan mencuci piring, akhirnya memilih melanjutkan kembali aktivitas tersebut daripada meladeni Mas Surya. Sekarang lebih baik diam dulu daripada meluapkan emosiku dengan cara yang salah. Seperti yang dikatakannya barusan kalau aku berubah. Sikap memberontak bukanlah sikap yang pernah kutunjukkan padanya. Bahkan tidak pernah. Namun melihat keluhan dan permintaanku tak digubrisnya dan hanya dianggap tak penting dan dianggap pula tak beralasan maka inilah cara kedua yang kutempuh. Menjadi orang berbeda di matanya.

Melihatku tak merespon ucapannya, Mas Surya memilih pergi. Aku tak tahu kemana perginya karena dia tidak pamit. Seperti itulah Mas Surya kalau lagi marah. Dia akan mengabaikanku bahkan tak memberitahukan dimana keberadaannya saat pergi. Ponselnya akan Mati seolah tidak ingin dihubungi.

Kurebahkan diri ke atas tempat tidur. Lelah badan karena baru saja selesai membereskan dapur dan lelah hati saat jerih payah mengurus rumah seolah tak ada harganya di mata suami. Kukira Mas Surya adalah tipe lelaki yang cuek yang sulit mengucapkan terima kasih melihat istrinya kecapekan mengurus rumah sendirian, tapi ternyata tidak. Dia mampu dan bisa mengucapkan kata tersebut, tapi bukan ke aku. Melainkan Aurel. Entah hanya ke dia atau ke orang lain pun bisa asal bukan istrinya. Aku masih ingat betapa dengan gampangnya dia berterima kasih pada Aurel karena wanita itu menyajikan makanan jadi di meja makan kami. Makanan hasil beli, sedang aku tiap hari menyajikannya dari hasil memasak sendiri. Namun tidak pernah dua kata itu keluar dari mulutnya. Aku masih ingat bagaimana ia bisa berterima kasih saat rasa makanan yang wanita beli itu enak. Namun tidak padaku. Padahal ia selalu lahap menyantap masakanku. Ia juga bisa berterima kasih saat Aurel mengambilkan nasi buatnya dan itu di hadapanku. Sesak? Jangan ditanya. Rasanya dadaku terhimpit batu besar hingga susah bernapas.

***

"Medina? Apa kabar Sayang. Tumben ke sini nggak kasih kabar dulu?" Seorang wanita paruh baya menyambutku dengan penuh hangat. Kami berpelukan melepas rindu. Padahal masih satu kota. Hanya dipisah beberapa kilometer saja untuk bisa bersua. Ditambah kesibukannya membuatku sungkan untuk mengganggu. Dialah Bu Lila, ibu mertuaku.

"Baik, Ma." Aku menjawab singkat seraya mencium takzim tangannya.

"Hai, cucu kesayangan, apa kabarnya juga? Ih, Nenek tambah gemas deh lihat Malik. Makin gembul aja nih pipi." Bu Lila mencubit gemas kedua pipi Malik. Ia terlihat begitu senang bisa melihat cucunya karena kami memang jarang ke tempatnya.

"Ayo duduk sini, Nak. Mau minum apa? Biar Rini yang buatkan." Kembali dengan ramahnya ibu mertuaku ini memperlakukan menantunya.

"Terserah, Ma," ujarku dengan senyum terkembang sempurna. Lalu tanpa menunggu lama Bu Lila memanggil asisten rumah tangganya yang bernama Rini untuk membuatkanku minuman. Kami mengobrol santai dulu sebelum aku masuk ke obrolan yang serius.

"Jadi Medina kenapa Sayang? Kalian baik-baik saja kan?" Belum sempat ku utarakan maksud tujuan datang ke rumahnya, Ibu mertuaku ini sudah paham duluan. Ia tahu kalau aku tidak mungkin datang mengunjunginya secara mendadak seperti ini dan bukan di hari libur kalau bukan untuk hal yang penting. Apalagi biasanya aku ke sini bersama Mas Surya.

"Nggak, Ma. Kami baik-baik saja." Aku mencoba berkelit karena tidak ingin terlihat kentara kalau rumah tangga kami sedang tidak baik-baik saja.

"Lalu?" tanyanya lagi menyelidik.

"Apanya Ma? Medina tidak boleh ya ke rumah Mama?" ujarku sengaja membuatnya tidak nyaman.

Ibu Lila tersenyum simpul seraya menyesap minuman yang berada di depan mejanya.

"Tidak. Justru Mama senang kalian datang. Hanya heran saja kedatanganmu kemari cuma berdua Malik tanpa Surya, tidak berkabar lebih dulu terkesan mendadak, dan datang di hari kerja. Jujur saja Sayang, Mama rasa ada yang kamu tutupi dari Mama."

"Tidak apa, Ma. Medina cuma lagi kangen saja sama Mama. Entah kenapa ada rasa tak nyaman dan memaksa Medina untuk datang ke sini. Cuma itu Ma." Aku berkata jujur. Memang ada rindu untuk Ibu mertuaku tersebut karena kami jarang mengunjungi rumahnya.

"Syukurlah. Justru perasaan Mama yang tidak enak takut kalian di sana kenapa-napa. Tapi Mama sudah menghubungi Surya. Barusan pagi tadi sebelum kamu ke sini dan dia bilang kalau kalian Baik-baik saja. Eh, sekarang malah dikunjungi secara mendadak gini, Mama kan jadi khawatir."

"Nggak kok Ma, nggak ada apa-apa." Kujawab dengan mengulas senyum sambil memegang erat tangannya. Meyakinkannya kalau memang rumah tanggaku bersama anaknya baik-baik saja. Sebelum ke sini pun aku sudah mencari informasi dimana keberadaan ibu mertuaku ini.Apakah masih di rumah atau sudah pergi kerja. Aku tidak ingin pergi sia-sia karena salah tujuan. Selain itu Mas Surya juga tidak tahu kalau aku ke rumah ibunya sekarang ini. Jujur aku tidak minta izin padanya dan pergi secara diam-diam. Kalau jujur akan terlihat aneh baginya dan bakal ketahuan apa tujuanku mendatangi rumah orangtuanya secara mendadak seperti ini. Itu yang tidak kuinginkan.

Tujuanku cuma satu. Aurel. Aku ingin tahu apakah ibunya Mas Surya kenal dengan Aurel atau tidak. Aku ingin memastikan mereka memang sahabat atau pura-pura sahabat. Kalau benar sahabatan sejak kecil, Mama Lila pasti tahu Aurel.

"Ma, Medina boleh tanya sesuatu?" Setelah lama memendamnya, mencari momen yang pas setelah cukup lama berbincang, akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Iya, Nak. Apa?" balasnya lembut. Senyum dari wajahnya tak pernah pudar semenjak kedatanganku dan Malik ke rumahnya. Mama tampak senang sekali dikunjungi oleh kami. Biasanya tiap bulan pasti ada sekali atau dua kali di akhir pekan Mas Surya mengajak kami ke rumah ibunya. Namun sejak datangnya Aurel, sejak saat itu rumah mertuaku seolah terlupakan. Pernah kuminta pergi ke sana, tapi selalu dijawab lelah dan ingin di rumah saja.

"Ehm, Mama kenal Aurel?" Kening Mama Lila seketika mengerut.

"Aurel Aurora, Ma?" Kusebut nama lengkapnya agar Mama Lila bisa mengingat dengan jelas siapa nama yang kusebut barusan. Namun Wajah Mama tiba-tiba pias. Ada keterkejutan saat nama lengkap wanita itu kusebutkan. Apa artinya ….?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status