Share

Tamu yang Tak Diundang
Tamu yang Tak Diundang
Penulis: Syarlina

Wanita itu selalu Datang

"Hai." Seorang wanita cantik menyapaku ramah dengan melempar senyum manis saat pintu kubuka. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis yang dipaksa.

Wanita itu masih memandangku ramah dengan sesekali mencari celah ke arah belakangku seperti sedang mencari seseorang.

"Boleh masuk?" tanyanya kemudian karena aku masih berdiri di depannya. Belum mempersilakannya masuk. Sengaja.

Aku juga masih memegang erat sisi tepi daun pintu agar tidak terbuka lebar. Inginku pintu ini segera menutup dan mencegah wanita ini masuk ke dalam rumah.

"Bisakah tidak datang hari ini? Kami ada acara keluarga," ujarku tanpa basa-basi melontarkan pertanyaan itu padanya. Berharap wanita di depanku ini mengerti dan memutuskan pergi. Ini untuk pertama kalinya aku memberanikan diri menolak kedatangannya.

"Oh ya, hm … ada acara keluarga? Surya tidak bilang. Acara apa? Boleh ikut?" Mataku terbelalak kaget tak percaya mendengar wanita yang tidak kuinginkan kehadirannya ini bertanya demikian?

Ikut katanya? Mataku awas menengok ke arah belakangku, memastikan seseorang yang berada di dalam sana tidak mengetahui siapa yang bertamu saat ini.

"Ti–"

"Medina, ada siapa di depan? Aurel ya?" Belum sempat kujawab tidak, terdengar suara bariton Mas Surya dari dalam rumah. Aku berdecak kesal. Suamiku itu bisa menebak dengan tepat siapa yang barusan datang. Aku sangsi, jangan-jangan mereka berdua memang sudah janjian bertemu di rumah ini.

Langkah pasti terdengar semakin mendekati kami.

"Aurel," gumam Mas Surya dengan mengulas senyum semringah.

"Hai!" sapa Balik wanita tersebut seraya melambaikan tangannya ke arah suamiku, kesenangan.

Ayo masuk!" Terpaksa aku melipir ke samping Mas Surya saat ia mengambil alih dan berdiri di hadapan Aurel. Pintu dibukanya lebar, mempersilakan dengan senang hati wanita yang diakuinya cuma sahabat itu masuk ke dalam rumah kami.

"Malik ada, Ya? Aku kangen."

Pertanyaan yang basi dan memuakkan. Tentu saja ada karena aku ada di rumah. Sejak kapan anakku itu pergi tanpa ibunya?

Mas Surya menganggukkan kepala menjawab ada.

Tanpa sungkan wanita itu akhirnya masuk ke dalam rumah kami dan mengabaikanku yang masih berdiri di samping Mas Surya. Dia bahkan tak pernah izin lagi padaku seperti pertama bertamu. Masuk nyelonong saja karena sudah hapal seluk beluk rumah ini.

"Mas." Tanganku mencegat Mas Surya yang ingin pergi. Aku ingin bicara dengannya barang sebentar saja membahas Aurel.

Netra hitam Mas Surya bertanya menyelidik.

"Mas, kenapa Aurel datang lagi. Apa Mas sudah bilang padanya kalau–" Suara sudah kukecilkan karena tidak ingin terdengar wanita tersebut. Namun belum jelas kubertanya, Mas Surya sudah memotongnya.

"Ayolah Medina. Itu cuma Aurel. Dia hanya ingin bertamu. Apa salahnya." Lagi-lagi suamiku itu membela sahabatnya.

Iya, memang tidak salah bertamu, tapi tidak setiap weekend dimana itu adalah hari libur suamiku dan hari untuk bersama keluarganya. Bukankah mereka sudah satu kantor? Apa belum puas bertemu setiap hari di sana?

Ucapanku diabaikan, dan Mas Surya pergi mengekor langkah Aurel yang sudah masuk lebih dalam, meninggalkanku yang terdiam tak berdaya. Lagi-lagi aku kalah oleh sahabat suamiku itu.

"Surya, lihat! Bagus kan? Aku belikan ini buat Malik. Ini mainan edisi terbaru. Aku sengaja beli buat Malik. Keren ya?" Sorot matanya mengarahkanku dan Mas Surya ke arah mainan mahal berjenis mobil-mobilan dengan brand ternama.

Aku hanya tersenyum kecut menanggapi hadiahnya itu. Heran saja padanya yang membelikan mainan semahal itu, sedang anakku sekarang ini masih berumur dua tahun dimana dia belum mengerti bagaimana cara memainkan mainan mahal itu dengan hati-hati. Di mata kecilnya semua mainan itu sama.

"Rel, ini terlalu mahal. Malik belum bisa memainkannya, yang ada nanti rusak," ucap Mas Surya seperti tidak enakan gitu saat mainan itu sudah berada di tangan Malik. Anak kami itu tampak tersenyum senang mendapatkan mainan baru. Syukurlah suamiku berpikiran sama denganku. Aku yakin dia paham betul mainan apa yang sedang dibawakan Aurel saat ini. Mainan itu belum cocok untuk usianya.

"Tidak apa. Gampang, nanti kita beli lagi. Seusianya memang demennya rusak mainan," jawabnya terkekeh sendiri.

Aku tak suka mendengarnya. Dengan cepat mainan itu kuambil dari tangan Malik dan kumasukan kembali ke dalam paper bagnya. Lalu kuserahkan ke Aurel.

"Suamiku benar. Malik belum bisa memainkannya. Ambillah! Harusnya tak perlu membawakan mainan semahal itu untuk anakku, dia masih kecil. Yang barusan tidak cocok untuknya. Sebentar juga rusak."

"Medina," tegur Mas Surya, tapi kuabaikan. Aku tak peduli ia marah atas sikapku barusan pada Aurel. Mungkin sesekali wanita itu memang harus dikasari.

Syukur juga Malik tak marah karena mainan di tangannya itu kurebut paksa dan segera kuganti dengan mainan kesukaannya yang sering dimainkannya.

"Tidak apa, Ya. Medina benar. Aku minta maaf. Aku yang lupa mainan seperti apa yang seharusnya kubawakan untuk Malik. Harusnya bukan mainan semahal ini. Aku lupa kalau kemampuan ibunya hanya sebatas mainan seperti itu, eh maaf. Maksudnya anu …, ehm Medina maksudku." Aurel tak mampu melanjutkan ucapannya yang baru saja menyinggungku. Sorot matanya mengarah ke keranjang mainan Malik yang isinya memang mainan dengan harga biasa. Ada yang harganya lumayan tapi tidak semahal seperti yang dibelikan Aurel. Bukannya tak mampu beli, tapi aku lebih memilih mainan yang ada nilai edukasinya atau mainan yang diperuntukkan sesuai umurnya Malik. Bukan dilihat dari nilai materinya.

"Kamu salah Aurel. Mainan Malik itu–"

"Cukup Medina. Jangan diteruskan!" Mas Surya sekali lagi menyela ucapanku yang belum selesai.

"Rel, maafkan Medina. Mungkin maksud Medina tidak seperti itu. Dia tentu senang Malik dapat mainan yang tidak semua anak mampu beli. Terima kasih. Yang dimaksud Medina itu mainan ini belum bisa dimainkannya karena terbatasnya usia Malik. Dia hanya mampu melempar dan pasti mainan darimu ini bakal rusak."

Hah?

Mulutku terbuka lebar dengan mata yang hampir ingin copot mendengar Mas Surya menyalahkanku dan lebih membela Aurel. Baginya aku selalu salah dan Aurel lah yang benar.

"Medina, lebih baik siapkan makan siang. Ini sudah waktunya kita makan untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Tak perlu berdebat untuk hal yang seperti tadi."

Tanganku mengepal kuat pasti dengan buku tangan yang memutih menahan emosi akibat perkataan suamiku barusan. Kali ini kuanggukkan kepala menuruti permintaannya. Malik kuserahkan ke Mas Surya dan segera beranjak pergi dari ruang tengah. Seperti yang dikatakannya tak perlu berdebat dan kuakui benar karena aku tidak ingin berdebat di depan Malik. Aku tidak ingin mencontohkan hal yang tidak baik padanya. Kucoba mengalah, tapi bukan untuk kalah, melainkan untuk menang. Biar saja wanita itu kesenangan karena dibela suamiku. Namun nanti, ada saatnya kubalas lebih kejam dari yang kudapat sekarang.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Aidha
Lanjut lagi
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Mampir thoorr
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status