Share

Bab 2

Author: Jessica HJ
Setelah rapat di kantor polisi, wajah para petugas menegang saat mendengar laporan otopsi.

“Korban mengalami penyiksaan ekstensif sebelum mati,” jelas ahli medis sambil mengeklik foto-foto mengerikan di layar. “Banyak tulang yang patah, tanda pelecehan sistematis.”

Karena kondisi tubuh aku yang begitu parah, membuat pengenalan wajah mustahil dilakukan.

Bangunan terlantar tempat aku ditemukan pun bukanlah lokasi pembunuhan utama, makanya penyelidikan menjadi semakin rumit.

Marcell berdiri di depan ruangan, rahangnya mengeras.

“Periksa seluruh area,” perintahnya kepada tim. “Cek semua kamera CCTV dalam radius lima mil. Pasti ada yang melihat sesuatu.”

“Tolong lakukan otopsi lanjutan,” kata Marcell kepada rekannya. “Cari temuan baru, dan percepat analisis DNA ke laboratorium. Aku ingin tahu siapa dia.”

Dengan instruksi itu, dia bergegas keluar bersama timnya.

Ironisnya, suamiku menunjukkan lebih banyak kepedulian pada mayat anonim ini dibandingkan pada diriku.

Aku teringat bulan lalu, saat memberinya kalung warisan ayahku, satu-satunya peninggalan keluarga yang aku miliki.

“Ini melindungi ayahku selama tiga puluh tahun,” kataku kepada Marcell sambil mengalungkannya di leher dia. “Sekarang, kalung ini akan melindungimu.”

Saat itu, dia benar-benar tersenyum. Salah satu senyuman aslinya yang jarang terlihat. Sejenak, aku merasa berhasil menembus tembok hatinya.

Namun keesokan harinya, Emilia datang ke rumah.

“Oh, benda tua itu?” sindirnya sambil menyentuh liontin. “Terlihat murahan sekali, Marcell. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik.”

Sebelum sempat aku menghentikannya, Emilia mencabut kalung itu dari leher Marcell dan melemparkannya ke tong sampah dapur.

Aku menamparnya dengan keras. Suara benturan telapak tangan di pipinya menggema di dapur kami.

Reaksi Marcell cepat dan kejam. Dia mencengkeram lengan aku, dan memutarnya ke belakang.

“Kamu berani menyentuh Emilia?” teriaknya dengan wajah memerah penuh amarah. “Kamu seharusnya bersyukur dia mau bicara denganmu, jalang tidak berguna!”

Dia menyeret aku ke ruang bawah tanah, melemparkan tubuhku turun dari tangga, lalu mengunci pintu.

Selama dua hari aku duduk dalam kegelapan. Tanpa makanan, tanpa air, hanya suara tawa Emilia yang terdengar dari atas.

Kini, saat dia memeriksa tubuhku dengan sentuhan lembut, aku dengar dia berkata, “Kematian yang tragis. Hati suaminya pasti hancur.”

Aku tersenyum pahit. Suamiku mungkin malah merayakan kematianku, atau sekadar berpura-pura berduka demi citra.

Tangan Marcell yang bersarung tangan memeriksa bekas luka panjang di punggungku, dua puluh tiga inci jaringan kasar dari bahu hingga pinggul.

Bekas luka itu kudapatkan saat menyelamatkan nyawanya dalam kecelakaan mobil dua tahun lalu.

Kami sedang mengemudi pulang dari pesta makan malam ketika sebuah truk menerobos lampu merah. Aku melihatnya sebelum Marcell.

Tanpa berpikir, aku melepas sabuk pengaman, mendorongnya keluar dari kursi pengemudi, dan menahan benturan itu sendiri.

Namun setelah aku sembuh, dia nyaris tak sanggup menatapku saat tidur denganku, menganggap bekas luka itu menjijikkan. “Kamu tidak bisa pakai baju?” serunya. “Aku tidak mau melihat benda itu.”

Bisakah dia mengenaliku sekarang, setelah melalui bekas luka yang dia begitu benci?

Aku menahan napas, mengamati wajahnya penuh dengan perhatian.

Namun yang keluar hanyalah gumam dingin, “Luka lama. Tidak ada hubungannya dengan pembunuhan.”

Suaranya klinis, datar, hanya detail lain di berkas kasus.

Tiba-tiba, asistennya berseru, “Detektif, ada kertas di perut korban!”

Mata Marcell terbelalak saat mengambilnya. “Terlalu rusak oleh asam lambung. Kirim ke forensik untuk dianalisis.”

Saat itu, ponselnya berdering, suara dering khusus Emilia.

Marcell melepas sarung tangannya dan bergegas ke lorong, suaranya langsung melembut.

“Emilia? Ada apa, sayang? Aku sedang bekerja.”

“Perawatan besok? Tentu saja aku akan datang.”

Suara manis Emilia terdengar dari telepon, “Aku tahu kamu sibuk dengan kasus ini. Tidak masalah kalau kamu tak bisa datang. Dan tolong jangan paksa Alya untuk donor ginjal. Aku mengerti kalau dia tidak mau membantu.”

“Aku tidak akan pernah pentingkan kasus daripada kamu,” jawab Marcell dengan lembut. “Dan jangan khawatir soal Alya. Kalau perlu, aku akan mengikat dia dan menyeretnya ke rumah sakit. Dia tidak punya hak memilih apakah akan menyelamatkan kamu atau tidak.”

“Kamu terlalu baik,” ucap Emilia penuh keprihatinan yang palsu. “Aku dengar dia mengaku hamil? Kasihan sekali, dia pasti sangat butuh perhatian.”

“Alya tidak hamil,” sahut Marcell dengan tajam. “Dia hanya mencari alasan untuk tidak membantu. Tapi aku tidak akan membiarkannya lolos.”

Emilia hembus nafas lembut. “Tapi hati-hati ya? Pembunuh itu masih di luar sana. Aku khawatir akan keselamatan semua orang.”

“Khawatirkanlah dirimu sendiri, sayang. Aku tak peduli apa yang terjadi pada Alya, selama dia tidak mati sebelum memberi kamu ginjal itu.”

Kekejaman santainya menusuk hati arwahku.

Mereka membicarakan nasib aku dengan angkuh, tak pernah tahu bahwa jasadku berada hanya beberapa meter dari mereka. Tak pernah menyadari bahwa ginjal yang begitu Emilia inginkan kini sudah terlalu rusak untuk menyelamatkannya.

Kematian aku adalah hasil rencana Emilia, namun kebutaan hati suami aku yang membuatnya menjadi mungkin terjadi.

Seandainya dia tahu kebenaran bahwa wanita yang dia cintai telah merencanakan pembunuhan istrinya sendiri, dan dia bahkan sedang memeriksa tubuh istri sendiri...

Tapi bahkan jika dia tahu, apakah dia akan peduli? Atau dia hanya akan marah karena Emilia tidak bisa mendapatkan ginjal aku lagi?
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tangisan Terakhir Seorang Istri   Bab 7

    Di lorong rumah sakit, perawat-perawat berbisik satu sama lain, suara mereka bergema di udara yang steril.“Kamu sudah dengar tentang mantan istri Detektif Marcell? Yang ditemukan di bangunan terbengkalai?”“Aku dengar dia dibunuh oleh pria yang berselingkuh dengannya. Coba bayangkan.”“Pak Marcell pasti hancur. Untung saja dia punya Emilia untuk menghiburnya.”“Dia wanita yang baik sekali, masih menjalani perawatan ginjal meski di tengah drama ini.”Emilia duduk di tempat tidur rumah sakit, menikmati simpati yang mengalir dari orang-orang. Senyumnya semakin merekah setiap kali menerima tatapan penuh kepedulian, setiap kali mendengar ucapan belas kasihan.Ia menyesuaikan jalur infusnya dengan hati-hati yang terlatih, memainkan peran pasien sempurna.Ia menikmati kemenangan, merayakan kematianku sambil berpura-pura berduka.Namun, beberapa petugas polisi muncul di ujung lorong. Langkah mereka bergema keras saat melangkah menuju kamar Emilia. Senyuman sempurna itu pun membeku di wajahnya

  • Tangisan Terakhir Seorang Istri   Bab 6

    Marcell melangkah sempoyongan memasuki ruang jenazah, hanya bertahan berdiri berkat cengkeraman erat rekannya satu-satunya.Wajahnya pucat, sewarna dengan dinginnya dinding di sekitarnya.Saat matanya jatuh pada tubuhku yang hancur, suara geraman rendah keluar dari tenggorokannya. Suara seorang pria yang seluruh dunianya baru saja runtuh.Aku menatapnya dengan heran. Mengapa dia terlihat begitu menderita?Bukankah kematianku selama ini menjadi keinginan tersembunyinya? Bagaimanapun, aku adalah penghalang antara dia dan Emilia yang dia cintai.Tangan Marcell meraba bekas luka panjang di punggung aku, luka yang aku dapat ketika mendorongnya keluar dari jalur mobil. Jari-jarinya bergetar hebat.“Alya…” Suaranya pecah, dan penuh dengan air mata. “Bagaimana bisa berakhir seperti ini?”“Saat kita baru menikah, kamu begitu lembut, begitu penuh cinta. Ingat bagaimana kamu selalu membuatkan sup saat perut aku sakit? Kamu bersumpah akan selalu menjagaku, dan aku… aku berjanji akan menghargaimu.”

  • Tangisan Terakhir Seorang Istri   Bab 5

    Wajah Marcell memucat saat ia berusaha mempertahankan ketenangannya. “Pasti hanya kebetulan. Alya mungkin sedang berada entah di mana, tertawa melihat kita seperti ini.”“Bu, apakah kamu bersekongkol dengan istri aku? Bermain-main dengan polisi adalah pelanggaran serius.”Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ia mengangkatnya dengan tangan gemetar. “Hasil lab?”Suara teknisi forensik terdengar mendesak. “Detektif, kami sudah mendapat hasil DNA korban.”Seorang detektif senior, matanya berkilau sembari menepuk bahu Marcell. “Kembali ke kantor. Kami akan tangani ini di sini.”Namun, Marcell seolah tak mendengar. Tangan bersarungnya menyentuh darah kering di lantai. “Berapa banyak rasa sakit yang dia alami?”Beberapa petugas muda mulai menangis pelan.Marcell berjalan terpincang-pincang kembali ke mobilnya, tampak kehilangan arah.Melihat kebingungan di wajahnya, hati aku di alam sana terasa runtuh.Sejak hari pernikahan hingga kematian aku, ia tidak pernah sekali pun memanggilku “sayang” atau

  • Tangisan Terakhir Seorang Istri   Bab 4

    Terakhir kali aku menghilang adalah saat berkemah bersama teman-teman Marcell.Emilia yang menyarankan kami pergi memetik buah liar bersama, hanya kami para perempuan. “Ayo kita saling mengenal lebih dekat,” katanya dengan senyum manisnya.Ketika kami sudah cukup jauh di dalam hutan, jauh dari orang lain, tiba-tiba dia mendorong aku ke arah sungai.Aku tidak bisa berenang. Dia tahu itu. Marcell pernah menyebutkannya saat makan malam, dan aku melihat kilatan aneh di matanya kala itu.Airnya dingin. Gelap. Aku berjuang keras, paru-paruku terasa terbakar.Entah bagaimana, aku berhasil merangkak ke tepi, tetapi pergelangan kakiku patah saat berusaha bertahan.Aku berjalan terpincang-pincang kembali ke tempat berkemah dengan basah kuyup dan tubuh yang menggigil, hanya untuk menemukan bahwa semua orang sudah pergi.Mereka sudah berkemas dan meninggalkan aku.Ketika akhirnya sampai di rumah berjam-jam kemudian, Marcell menunggu aku dengan tatapan marah.“Kamu di mana saja?!” bentaknya. “Emili

  • Tangisan Terakhir Seorang Istri   Bab 3

    Setelah dengan manis meyakinkan Emilia bahwa ia akan datang esok hari, Marcell menerima panggilan lain. Kali ini dari Sari, sahabat terbaikku.“Marcell, apa kamu berhasil menghubungi Alya? Dia punya janji pemeriksaan kandungan besok pagi.” Suara Sari terdengar penuh kekhawatiran dari telepon.Sari adalah satu-satunya orang yang selalu berada di sisiku setelah aku menikah dengan Marcell. Ia dulunya adalah teman Marcell, tetapi ia mampu melihat kebenaran di balik topeng yang dikenakan pria itu.Satu-satunya kehangatan yang pernah kurasakan dalam pernikahan ini datang dari persahabatan dengan Sari.Marcell terdiam sejenak sebelum menyindir, “Pemeriksaan? Pemeriksaan apa?”Nada Sari berubah tak percaya. “Pemeriksaan kehamilan. Sudah dijadwalkan sejak beberapa minggu lalu. Jangan bilang kamu lupa…”“Aku sudah mencoba menghubunginya berhari-hari,” lanjut Sari. “Dia tidak menjawab telepon, dan tidak membalas satu pun pesan. Aku makin khawatir.”Marcell kembali terdiam sejenak, lalu berkata si

  • Tangisan Terakhir Seorang Istri   Bab 2

    Setelah rapat di kantor polisi, wajah para petugas menegang saat mendengar laporan otopsi.“Korban mengalami penyiksaan ekstensif sebelum mati,” jelas ahli medis sambil mengeklik foto-foto mengerikan di layar. “Banyak tulang yang patah, tanda pelecehan sistematis.”Karena kondisi tubuh aku yang begitu parah, membuat pengenalan wajah mustahil dilakukan.Bangunan terlantar tempat aku ditemukan pun bukanlah lokasi pembunuhan utama, makanya penyelidikan menjadi semakin rumit.Marcell berdiri di depan ruangan, rahangnya mengeras.“Periksa seluruh area,” perintahnya kepada tim. “Cek semua kamera CCTV dalam radius lima mil. Pasti ada yang melihat sesuatu.”“Tolong lakukan otopsi lanjutan,” kata Marcell kepada rekannya. “Cari temuan baru, dan percepat analisis DNA ke laboratorium. Aku ingin tahu siapa dia.”Dengan instruksi itu, dia bergegas keluar bersama timnya.Ironisnya, suamiku menunjukkan lebih banyak kepedulian pada mayat anonim ini dibandingkan pada diriku.Aku teringat bulan lalu, saa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status