Rio menunggu dengan perasaan tidak menentu setelah beberapa hari yang lalu Mika mengirimkan pesan kepadanya jika ia memiliki tawaran pekerjaan. Walau pekerjaan yang ditawarkan Mika bukan pekerjaan yang bisa menjamin masa depan Rio hingga ia tua kelak, setidaknya pekerjaan ini bisa membuatnya tetap tinggal di kost dan makan dengan layak. Ia masih menunggu Mika hingga akhirnya matanya menangkap dua sosok wanita yang salah satunya adalah Mika memasuki cafe.
Untuk pertama kalinya Rio terpaku pada sosok wanita bertubuh sintal dengan ukuran buah dada yang menggairahkan. Buah dada yang besar, padat dan sepertinya kenyal walau pakaian yang dikenakannya tidak bisa dikatakan kurang bahan, tetapi dress selutut yang dikenakannya memahat tubuh sintalnya dengan sempurna. Bahkan ketika Mika dan perempuan itu sudah dekat dengannya, baru Rio sadari jika bumper belakang wanita itu indah sekali, bulat sempurna dan pasti nikmat tidak terkira saat miliknya terjepit didalam liang surgawi milik wanita itu.
“Mas, Mas Rio,” panggil Mika yang membuat Rio menapaki dunia nyatanya lagi.
“I…iya,” jawab Rio sambil terbata bata, namun matanya masih fokus menatap wanita disebelah Mika.
Retno yang menyadari arti tatapan Rio justru ingin tertawa terbahak-bahak, namun ia tahan karena ada Mika disebelahnya.
“Kenalin, ini Tanteku. Namanya Tante Retno. Dia yang butuh supir.”
Setelah mendengar kata-kata Mika, Rio dan Retno berjabat tangan.
“Rio.”
“Retno.”
Kata mereka berdua sambil berjabat tangan. Rio merasakan telapak tangan Retno yang halus, lembut dan hangat. Otaknya bahkan sudah travelling membayangkan tangan Retno sedang memainkan batang miliknya yang kini telah bangun dari tidur panjangnya dan ia merasakan kurang nyaman karena celana jeans yang dikenakannya menjadi sesak.
Setelah itu mereka bertiga duduk dan Rio harus membuat dirinya fokus pada percakapan yang membahas tentang pekerjannya.
“Gaji kamu pakai UMR Jakarta, karena memang kesibukan saya seperti orang-orang disana. Bisa berangkat pagi, pulang malam atau mungkin subuh.”
Gaji UMR Jakarta di Jogja? Sesuatu di luar ekspektasi Rio, tentu saja ia tersenyum mendengar gajinya yang lumayan besar itu. Namun ia harus berhenti tersenyum ketika mendengar kata-kata Retno kemudian.
“Tidak ada hari libur yang pasti. Kamu bisa mengambil libur ketika saya sedang ingin berada di rumah dan tidak pergi kemana-mana. Kamu harus siap kapan saja jika saya panggil. Bagaimana, apakah kamu siap dan mampu untuk semua itu?”
Bagaimana dengan hoby mendaki gunungnya? Apakah ia masih bisa mendaki jika Retno tidak memberikannya libur di hari yang terjadwal. Dengan mengumpulkan keberaniannya, ia mencoba bertanya kepad Retno.
“Tan, eh, maksud saya Mbak Retno.”
Mika yang mendengar Rio memanggil sang Tante dengan panggilan Mbak, tentu saja mengernyitkan kening dan ia buru-buru menginterupsi.
“Jangan panggil Tante Retno Mbak, Mas. Panggil Tante aja.”
Rio hanya bisa memamerkan senyum tiga jarinya di hadapan Retno dan Mika. Namun ia tidak berani mengiyakan atau menolak usul Mika, hingga akhirnya Retno yang memutuskan kegalauannya.
“Kamu panggil saya Tante saja, seperti Mika memanggil saya. Lagipula kamu temannya.”
Andai Rio boleh meminta kepada Tuhan, ia ingin memanggil Retno dengan panggilan sayang, honey atau apapun itu. Sungguh, dengan melihat Retno, sisi kejantanannya telah bangun kembali setelah hampir tiga tahun ini mati suri.
“Iya, Tante. Saya akan panggil Tante Retno.”
“Good. Sekarang saya boleh lihat KTP dan SIM A kamu?”
Mendengar permintaan Retno, Rio segera mengeluarkan KTP dan SIM miliknya dari dalam dompetnya. Entah kenapa Rio merasa gugup ketika melihat Retno melihat data pribadinya cukup lama.
“Ada masalah, Tante?” Tanya Rio ketika Retno cukup lama melihat KTP-nya.
“Iya, ada sedikit.”
Rasanya jantung Rio sudah mencelos hanya dengan mendengar kata-kata Retno barusan.
“Masalah apa sih, Tante Retno? Mas Rio kurang apa lagi?” Tanya Mika dengan geram.
“Statusnya masih mahasiswa, lantas bagaimana membagi jam kuliahnya dengan bekerja? Apalagi ini kerjaannya supir lho bukan part-time seperti di cafe-cafe gitu?”
Kini Rio merasakan kepalanya seakan diguyur dengan Es.
“Tante tenang saja, saya lebih memilih bekerja daripada kuliah saya."
“Kenapa?”
“Karena saya sudah pernah di wisuda dua kali dan jurusan administrasi bisnis sebenarnya bukan pilihan saya, tapi orangtua saya.”
“Wow, kamu yakin tidak akan bermasalah?”
“Yakin, kalopun saya melanjutkan kuliah saya, saya pastikan itu tidak akan mengganggu jam kerja saya sebagai supir Tante Retno.”
Entah pada kenyataannya akan seperti apa, yang penting kali ini Rio mendapatkan pekerjaan. Peduli setan jika ia harus menitip absen kepada temannya ketika jam kuliah berlangsung dan ia sedang mengantarkan Retno.
“Okay, kalo begitu sekarang kamu saya tes untuk mengemudikan mobil saya. Ini remote-nya,” kata Retno sambil mengulurkan remote mobil BMW miliknya.
Rio segera menerimanya dan kini mereka berjalan keluar dari cafe. Saat sampai di tempat parkir dan di depan mobil Retno, Rio mengangkat kedua alisnya karena ia kaget melihat mobil BMW keluaran terbaru berwarna putih ini. Kini bukan saja Retno yang membuatnya panas dingin karena penampilannya, tetapi mobil miliknya pun berhasil membuat Rio merasakan hal yang sama. Yang Rio takutkan adalah mobil itu tergores dan membuatnya tidak tampil sempurna serta paripurna. Tentu saja jika itu terjadi maka gajinya tidak akan cukup untuk membuatnya mulus lagi.
“Ayo, Rio,” ajak Retno pada Rio ketika Rio hanya diam saja.
“I…iya, Tan.”
“Kamu kenapa seperti orang ketakutan gitu?”
“Duh, Tan sejujurnya ini baru pertama kalinya saya mau nyupirin mobil mewah. Takut lecet.”
“Memang biasanya kamu nyupir mobil apa?”
“Mobil sejuta umat, Tan yang banyak di rentalin.”
Retno berusaha menahan tawanya karena melihat ekspresi wajah Mika kali ini ketika melihat dirinya ngobrol dengan Rio. Setelahnya Retno langsung berdeham.
“Sekarang saja kita masuk, yuk."
Kini Rio, Mika dan Retno masuk ke dalam mobil. Mika langsung mengambil posisi duduk di kursi penumpang depan yang membuat Retno harus mengalah dan duduk di kursi penumpang belakang.
“Ayo, Mas buruan jalan,” kata Mika ketika mereka semua sudah berada di dalam mobil.
“Okay,” jawab Rio singkat.
Selama hampir lima belas menit Rio mengemudikan mobil Retno, Mika tidak berhenti berceloteh layaknya anak bayi yang meminta perhatian. Andai saat ini Retno tidak ada di dekat Rio, rasanya ia ingin menyuruh Mika menutup mulutnya agar ia bisa fokus pada jalanan di depannya. Sebenenarnya bukan hanya Rio yang terganggu, namun Retno juga, bahkan ia harus memasang headset bluetooth di kedua telinganya. Ia sengaja menyetelnya dalam volume tinggi agar suara Mika tidak terdengar olehnya. Lagu-lagu lawas band Padi mengalun indah dan membuatnya menutup matanya.
Retno membuka matanya karena merasakan tepukan di pahanya, ternyata Mika yang sudah menepuk pahanya dan menginformasikan jika kini mereka telah tiba disalah satu salon milik Retno yang memiliki cukup banyak cabang di kota gudeg ini.
“Tan, kita sudah sampai nih, turun yuk?” Ajak Mika kepada Retno.
“Okay," jawab Retno kemudian ia mengikuti Mika turun dari mobil. Kini mau tidak mau Rio turun dari mobil Retno.
Dengan memberanikan diri, Rio mencoba bertanya kepada Retno.
“Maaf, Tante Retno ini gimana kelanjutannya?”
“Oh, cara kamu menyupir cukup aman dan nyaman walau sepertinya kamu belum terbiasa mengemudikan mobil matic ya?”
Rio hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Kalo begitu mulai besok kamu bisa datang ke rumah saya setiap pagi jam 7. Setelah sampai disana kamu cuci mobilnya, kamu hidupkan, jam 8 pagi kita sudah siap untuk pergi.”
Bagai baru saja mendapatkan rejeki durian runtuh, reflek ia langsung menyalami Retno dan mengatakan terimakasih. Retno hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Entah kenapa ia melihat Rio sebagai laki-laki yang polos dan tidak terlalu banyak gaya apalagi tingkah. Satu hal yang ia harapkan semoga saja hubungan mereka tetap akan berjalan secara profesional mengingat mencari supir lebih sulit daripada mencari gigolo.
***
"Sebenarnya beberapa waktu lalu Kaelie menawari aku untuk menjadi pacar dia selama empat bulan."Mata Retno langsung membelalak ketika mendengar penuturan Rio ini. Perempuan gila mana yang melakukan hal gila semacam ini? Baiklah, ia bisa mengerti jika yang Kaelie tawari adalah gigolo atau laki-laki yang benar-benar mau memainkan cerita setingan dengan dirinya di depan media, tapi ini Rio, laki-laki biasa yang tidak tahu dunia aneh-aneh semacam itu.Retno mencoba menutup bibirnya rapat- walau ia ingin protes. Toh, ia sudah berjanji kepada Rio untuk mendengarkan semuanya hingga selesai tanpa memotongnya."Imbalannya jika aku mau menerima semua tawaran itu adalah uang lima ratus juta."Satu detik ...
Retno duduk di atas ranjang tempat tidurnya sambil memikirkan perdebatannya dengan Mikha yang baru saja terjadi pagi ini. Rasanya ingin dirinya tidak percaya dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi, sayangnya tidak bisa. Saat ini yang ada mau tidak mau hanya pernyataan Mikha yang masih masuk di akal logikanya."Mikha, coba kamu ceritakan apa yang sebenarnya Tante tidak ketahui sampai saat ini?""Masa Tante Retno enggak tahu tentang semua ini?""Maka dari itu, Tante tanya sama kamu. Cuma kamu yang Tante harapkan untuk bisa jujur tentang semuanya tanpa ada yang ditutupi lagi.""Okay, aku akan kasih tahu semuanya."Kini Retno memilih diam dan menunggu k
Ceklek.....Retno kembali menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia cukup terkejut melihat Mikha yang masuk ke ruangan ini bersama sahabatnya. Cepat-cepat Retno mengakhiri sambungan video call-nya bersama Wulan."Pagi, Tante Retno," sapa Maureen ramah sambil berjalan mendekati Retno."Pagi, Reen. Kapan kalian sampai di Jogja?""Baru aja. Gimana keadaan Tante?""Alhamdulillah, sudah lebih baik."Walau ia menjawab pertanyaan Maureen, namun mata Retno sudah fokus mengikuti ke mana Mikha memilih duduk tanpa harus menyapanya. Akhirnya Retno mencoba bertanya kepada Maureen dengan gerakan bibir tanpa adan
"Sumpah, Mik... lo ngeselin banget jadi orang. Masih jam empat pagi dan lo minta kita balik ke Jogja. Siangan dikit kenapa? Kupon breakfast kita mubazir.""Kasian Tante Retno di rumah sakit sendirian, Reen.""Alhamdulillah, akhirnya sifat keras dan sulit lo ini berkurang juga. Gimanapun juga Tante Retno itu sudah seperti Mama buat lo daripada emak kandung lo sendiri.""Iya, Lo benar juga. Tante Retno sudah seperti pengganti Mama gue sejak gue bayi. Sekarang gue malah enggak tega andai Tante Retno tahu kenyataan yang sebenarnya.""Perihal apa?""Tuntutannya Eyang ke Mas Rio. Karena Tante Retno pacarannya udah kelewat batas, Eyang maunya Mas Rio segera m
Malam ini Rio terbangun ketika ia mendengar suara deringan handphone miliknya. Ketika ia akan mengambil handphone untuk melihat siapa yang menelepon dirinya, tetapi yang ada justru telepon itu sudah ditutup begitu saja. Kini Rio mengucek kedua matanya dan ia menguap. Ternyata yang baru saja meneleponnya adalah Kaelie.Rio melirik ke arah jam dinding yang ada di dekat sudut kamar kostnya. Matanya membelalak lebar ketika melihat ini sudah pukul dua belas malam. Cepat-cepat Rio bangun dan menuju ke kamar mandi. Ia basuh wajahnya agar tidak mengantuk. Setelah itu ia pipis terlebih dahulu daripada nanti ia harus mencari SPBU nanti. Belum tentu juga ia akan menemukan SPBU yang buka 24 jam jika tidak melewati tol.Selesai melakukan apa yang ingin dia lakukan, Rio segera keluar dari dalam kamar mandi. Ia buka handphone miliknya dan i
Siang ini Rio duduk di hadapan Kaelie. Ada rasa sedikit gugup dan bingung bagaimana ia harus alih profesi menjadi "mucikari" dadakan saat ini. Ia tidak pernah mengiklankan barang selain jasa fotonya, tapi kini ia harus mengiklankan sosok Nico kepada Kaelie. Berkali-kali di dalam hatinya, Rio mengatakan kata maaf di kepada Nico. Semua ini terpaksa ia lakukan demi masa depan hubungannya dengan Retno.Kaelie yang melihat Rio diam saja sejak tadi hanya bisa tersenyum. Ia tahu kenapa Rio seperti ini. Tapi toh ia mencoba memilih untuk menunggu, 'kan Rio yang mengajaknya untuk bertemu, bukan dirinya. Jadi ia sebaiknya mendengarkan apa yang akan Rio sampaikan kepadanya."Kae?" Panggil Rio setelah sebentar lagi akan terjadi lebaran gajah saking sudah lamanya mereka sama-sama diam. Mendengar panggilan ini, akhirnya Kaelie menghela napa