Rio menatap lemari kayu yang ada di dalam kamar kostnya.
“Baju mana ya yang pantas buat hari pertama gue masuk kerja?”
Tokk….
Tokk….
Tokk…
“Yon, Yono, Riyono. Bukain dong pintu kamar Lo."
Sebuah suara yang mengetuk pintu kamarnya membuat Rio menghentikan aktivitas memilih pakaian. Segera ia menutup pintu lemari dan berjalan membukakan pintunya.
“Hallo Mas Riyono, Sayang,” sapa Prima teman mendakinya yang tanpa diundang sudah berada di depan kamar kostnya malam ini.
“Kenapa Lo datang kemari?”
“Biasa, ngambek sama emak,” kata Prima sambil nyelonong masuk ke dalam tanpa dipersilahkan.
Rio hanya melihat saja prima masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan dirinya di kasur.
“Bro, kasur Lo sudah tipis banget ini, gantilah.”
“Duit dari mana?”
“Minta sama emak bapak Lo di kampung,” jawab Prima santai.
“Lo kira emak bapak gue duitnya banyak?”
“Ya elah, duitnya nggak banyak, tapi kebun karetnya berhektar-hektar, masa depan Lo cerah. Secerah matahari pagi.”
“Bangke!” Komentar Rio pada Prima yang membuat Prima tertawa cekikikan.
Beberapa saat Rio meninggalkan Prima untuk mandi dan saat ia keluar dari kamar mandi kamarnya, terlihat prima sedang bermain PS 4 miliknya. Mengingat dirinya sedang membutuhkan uang, Rio mencoba menawarkan salah satu harta paling berharga miliknya kepada Prima.
“Prim, daripada Lo kesini cuma buat main PS doang. Mending gue gadaikan aja PS gue sama Lo.”
“Mau digadai berapa?”
“Tujuh ratus ribu doang.”
“Yakin cukup buat Lo hidup dan makan?” Tanya Prima karena ia tau jika Rio sedang membutuhkan uang untuk kehidupannya sehari-hari.
“Iya, soalnya besok gue sudah mulai kerja sama Tante Retno.”
Prima langsung menghentikan permainan PS-nya dan kini ia menatap Rio dalam-dalam.
“Kenapa Lo lihatin gue begitu?”
“Lo nggak jadi gigolo alias jual diri, kan sama Tante-Tante?”
Seketika Rio terdiam, mematung dan setelahnya ia sudah mengumpat dengan fasihnya.
“Asu! bajingan! setan! Ora sudi aku dadi gigolo. Mending aku jadi kuli atau lainnya.”
“Padahal jadi gigolo kui enak lho, tinggal genjotin dia sampai bisa pipis enak, terus tinggal Lo crott crott doang.”
“Bangke!"
Setelah mengatakan itu Rio keluar dari kamarnya dan segera ia menuju ke angkringan depan kostnya. Seperti biasa ia akan menambah timbunan hutangnya pada pak Sarwo sang penjual angkringan. Mau tidak mau sampai ia menerima gaji dari Retno, Rio harus berhutang pada pak Sarwo seperti kebiasaannya sejak Pandemi menyerang dunia.
***
Pagi ini Rio harus berjibaku dengan kemacetan kota Jogja karena ia bangun sudah kesiangan. Ini semua gara-gara Prima yang tidur di kostnya sampai mengorok, belum lagi tetangga sebelah kostnya yang ia yakini sedang dinas malam bersama pacarnya. Dan dua kejadian itu sukses membuatnya tidak bisa tidur semalam suntuk, ia baru bisa memejamkan matanya pukul empat pagi. Ketika ia sedang merasakan alam mimpi membuainya, alarm di jam kecil kamarnya dan di handphonenya telah meraung raung untuk segera di matikan, sayangnya ia tidak bisa melakukan itu karena ini hari pertamanya bekerja dan apesnya lagi, ia lupa jika kini setiap pagi Jogja tidak kalah macet dengan Jakarta atau Surabaya. Apalagi jika musim libur panjang.
Beberapa kali Rio mengumpat sambil mengemudikan motor matic 125cc miliknya.
“Asu! Bajingan! Wedus!” Umpat Rio berkali kali karena ia masih terngiang-ngiang suara desahan pacar tetangga sebelah kamar kostnya semalam.
Sudah resiko yang harus ia terima dan maklumi karena memilih kost-kostan Las Vegas atau LV sebagai tempat tinggalnya. Walau para tetangga kostnya tidak secara resmi tinggal seatap dengan pacarnya tapi mereka sering tinggal sekamar bisa seminggu 4 sampai 5 kali. Bahkan ada yang bersama sama terus dan baru pulang ke kost mereka masing-masing saat keluarga mereka datang ke kota ini atau libur semester. Sudah rahasia umum jika kost-kostan di kota besar sekarang semua bebas, sayangnya Rio tidak menganut itu semua bukan karena ia alim, tapi karena ia tidak memiliki pasangan dan saldo di ATM debetnya yang pas-pasan. Lagipula di jaman seperti sekarang mana ada wanita yang mau hanya memakan batang serta dua buah telur hidup miliknya? Tentu saja tidak ada, perempuan jaman sekarang kebanyakan mengedepankan logika daripada perasaan. Rio tidak akan menyalahkan perempuan itu, karena menurutnya mendahulukan logika daripada perasaan itu lebih baik daripada hanya menjadi budak sex semata.
Setelah hampir setengah jam Rio berjibaku dengan para warga yang juga menjadi pejuang hidup seperti dirinya, akhirnya ia tiba di depan pintu gerbang rumah Retno yang tinggi menjulang serta besar. Bahkan pertama kali Rio melihat rumah Retno ia sampai menggelengkan kepalanya. Tidak ia sangka jika Tante temannya ini adalah wanita kaya raya. Rio mencoba untuk memencet bel dan tidak lama setelahnya seorang wanita berusia awal 20 tahunan membukakan pintu gerbang tersebut.
“Permisi, betul ini rumah Tante Retno?”
“Tante?” Ulang perempuan itu.
“Iya.”
Karena perempuan itu tau jika sang majikan hoby mengoleksi dan merasakan rasa seorang berondong, akhirnya ia mengambil kesimpulan yang biasanya sudah menjadi kebiasaannya untuk langsung mempersilahkan laki-laki agar masuk ke rumah. Walau sedikit heran, Rio akhirnya masuk sambil menuntun motornya.
“Masuk saja langsung, Mas. Saya pergi dulu buat belanja pulang nanti siang,” kata perempuan itu dan segera ia keluar dari rumah Retno serta menutup pintu pagar. Sang pekerja rumah tangga itu tidak mau menganggu aktivitas sang majikan yang sedang ingin digempur.
Rio akhirnya mulai memasuki rumah yang besar, mewah dan bergaya modern minimalis tersebut. Rumah dengan tiga lantai ini cukup besar bagi Rio. Saat ia berjalan sampai ruang tengah yang memiliki kaca lebar sehingga memperlihatkan pemandangan area kolam renang, ia hanya bisa meneguk ludahnya karena ia melihat Retno memakai baju renang two piece. Apa yang kemarin ia bayangkan tentang Retno semua sirna, karena Retno yang ia lihat kini terlihat lebih menantang, menggoda dan benar benar menggairahkan. Andai Retno mengajaknya untuk menyatukan semua partikel-partikel kecil dalam tubuh mereka berdua bersama, dimana pun tempatnya itu, Rio tidak akan menolak. Untuk Retno ia akan mencoba menjadi seorang pejantan tangguh hingga Retno kewer-kewer karena tidak sanggup menghadapi ledakan gairahnya yang sudah lama berhibernasi ini.
***
Setelah merasa cukup menikmati pemandangan gunung Prau yang indah ini, akhirnya Rio dan teman-temannya memutuskan untuk membongkar tenda dan segera turun ke bawah. Saat turun, Rio berada di paling belakang dengan Retno yang ada di depannya.Jika semalam yang terlihat di sisi kanan kiri Retno adalah gelapnya malam, maka kini semua terlihat jelas. Pemandangan siang hari yang cerah dengan teriknya sinar matahari adalah teman perjalananya kali ini. Di depannya ada Prima yang sedang mendengarkan lagu dari handphonenya. Retno baru menyadari satu hal, jika ia lebih cepat lelah ketika naik semalam daripada pagi ini. Karena kali ini mereka baru beristirahat ketika telah sampai di pos tiga."Jangan lama-lama dong, soalnya anak-anak gue sudah nunggu di basecamp," kata Nada sambil mulai membuka botol minumnya.Retno melihat Nada sambil tersenyum. Retno tau dan mempercayai jika Tuhan itu adil, namun kenapa dirinya tidak bisa memiliki kehidupan seperti Nada. Kehidupan rumah tangga yang adem tentrem
Retno duduk di depan tenda sambil melihat pemandangan gunung Sumbing dan Sindoro yang ada di hadapannya. Kedua gunung yang tampak indah dan mirip dengan salah satu gambar di logo air mineral. Seumur hidupnya ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di gunung. Riuh suara dari para pendaki menghiasi pagi buta ini. Bahkan saat ia menoleh ke sisi sebelah samping tampak Manda yang sedang men-setting kamera DSLR miliknya."Lo ngapain sih, Man?" Tanya Prima sambil mulai duduk di sebelahnya."Lagi setting kamera. Pingin jualan hasil foto. Siapa tau aja jadi cuan.""Jual diri lebih cepat laku, Man," kata Prima santai setelah itu ia menyeruput coklat panasnya.Plak.....Manda menepuk bahu Prima yang membuat minuman di tangan Prima tumpah sedikit."Segawon tenan, wedangku tumpah iki*." (*Beneran anjing, minumanku tumpah ini)"Lambemu koyo ora tau di sekolahin*." (*Bibirmu seperti tidak pernah disekolahkan.)Mendengar perdebatan Manda dan Prima, Retno hanya bisa tersenyum kecil. Sungguh be
"Kita istirahat di sini dulu, 5 menit," kata Juna ketika mereka sampai di pos dua yang disebut canggal walangan. Retno mengikuti semua yang memilih duduk dan menyelonjorkan kakinya."Gimana, Tante, capek nggak?" Tanya Rio ketika ia mulai duduk di sebelah Retno sambil menyelonjorkan kakinyaRetno menoleh dan tersenyum. Baru pertama kalinya Retno melihat laki-laki yang seharusnya jauh dari tipenya tapi justru sanggup membuatnya merasa nyaman. Kali ini Rio terlihat berkeringat, kucel karena debu yang menempel pada wajahnya."Cukup menyenangkan juga. Btw, Tante doang ini yang nggak bawa cerrier?""Nggak pa-pa, semua logistik Tante sama aku sudah ada di tas ini. Mau minum nggak, Tan?" Tanya Rio sambil membuka cerrier 80 liternya."Boleh," jawab Retno singkat.Rio lalu mengeluarkan botol air minum berukuran satu setengah liter."Ini, Tan," kata Rio sambil mengulurkan botol air itu."Thanks," kata Retno sambil menerima botol air tersebut."Duh, duh, duh, mupeng gue lihat Rio manis banget sa
Retno tidak pernah menyangka jika malam hari di kawasan Dieng ini bahkan mungkin lebih dingin daripada suhu AC 16 derajat. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana bisa para warga di sini tidak masuk angin setiap hari? Dirinya saja sampai menggigil tadi. Retno berfikir bahwa Rio akan memeluknya, namun yang ada justru Rio malah meminta maaf kepadanya, ingin marah, tapi apa yang dikatakan Rio tadi ada benarnya.“Tante, maafin aku ya, aku nggak bisa meluk Tante di sini, walau Tante kedinginan. Jadi aku kasih sleeping bag sama Tante pakai jaket dobel ya? Pakai aja ini punya aku,” Retno sedikit kaget karena tidak biasanya Rio menggunakan bahasa, “aku” biasanya ia lebih formal dengan menggunakan kata ”saya".Bagaimana Retno bisa marah kalo Rio sudah meminta maaf terlebih dahulu? Tentu saja tidak bisa. Baru beberapa saat Retno memejamkan mata, alarm milik teman mendaki Rio sudah bernyanyi dengan riangnya. Mau tidak mau Retno ikut bangun dan bersiap siap. Sebelum memulai pendakian mereka sempat
Retno menatap penampilannya di cermin dan ia tersenyum bahagia. Sesuatu yang sederhana namun baginya begitu manis. Ia belum pernah di perlakukan seperti ini, apalagi dengan seorang berondong. Selama ini ia membeli berondong untuk memuaskan napsunya, namun baru Rio-lah satu-satunya berondong yang bisa mengisi jiwanya yang kosong dan tidak pernah terjamah sejak ia bercerai dari Handi.Setelah merasa cukup untuk mematut diri di depan cermin, Retno kembali keluar dan di sana terlihat Rio yang sudah menunggu dengan motornya. Segera saja Retno menghampiri Rio."Ri," panggil Retno yang membuat Rio menoleh.Kali ini Rio terpesona melihat janda satu ini yang telah memberinya surga kenikmatan dunia untuknya. Bagaimana rasanya memuja dan dipuja dengan begitu liar namun tak terlupakan. Retno terlihat muda dengan jaket gunung, celana gunung, bahkan sepatu gunungnya. Jika dulu ia merasa Retno terlihat seksi saat mengenakan bikini, namun itu semua telah terganti. Retno berubah menjadi luar biasa sek
Rio menatap Retno yang tengah berbaring disampingnya. Ia tersenyum melihat Retno yang sedang tertidur setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu. Rio tau apa yang ia lakukan dengan Retno sudah menyalahi aturan, namun ia tidak bisa menghentikan hasratnya. Apalagi ketika ia mendengar setiap desahan, lenguhan, hingga teriakan Retno saat mereka menyatukan seluruh partikel-partikel kecil di tubuh mereka berdua. Rasanya ia ingin mencobanya lagi dan lagi. Rio tidak tau harus bagaimana menyingkirkan perasaan ini dari dalam hatinya. Bila ia memang serius dengan Retno maka ia harus berjuang hingga ia pantas bersanding dengannya.Rio memajukan kepalanya dan ia cium kening Retno sekilas.Cup....."Makasih, Tante. Tante luar biasa, aku janji bakal lakuin apa aja asal Tante bahagia."Tanpa sepengetahuan Rio, Retno masih bisa mendengar apa yang Rio ucapkan. Entah kenapa hati Retno merasa bahwa apa yang dikatakan Rio begitu tulus. Pelan-pelan Retno membuka matanya dan pemandangan pertama yang