Rio tersentak ketika mendengar suara orang berdeham dan seketika gairahnya pamit undur diri ketika ia membalikkan tubuhnya. Disana terlihat Mika yang sedang menatapnya dengan pandangan menyelidik.
“Shitt! Ketauan habis mupeng ke Tante Retno gue,” keluh Rio dalam hati.
Rio masih diam tanpa berkata apapun saat melihat Mika berjalan ke arahnya. Bahkan sampai Mika berdiri di depannya dan ujung kaki mereka saling bersentuhan. Mika hanya mendongak, menatap Rio dengan ribuan pertanyaan yang tidak bisa ia jabarkan. Pagi ini, satu kenyataan pahit telah menamparnya di depan mata, untuk pertama kalinya ia menyesal telah membantu Rio karena ternyata Rio menatap sang Tante dengan tatapan mendamba. Mika tau jika banyak dari teman laki-lakinya yang memuja Retno, namun ia tidak ambil pusing. Siapa sangka jika seorang Riosandi Gumilang, yang tergolong cuek pada wanita bahkan bisa memiliki respon yang sama dengan para teman laki-lakinya selama ini.
“Mas, kamu lihatin Tante Retno?” tanya Mika setelah beberapa saat mereka saling terdiam.
Rio berhenti bernafas sepersekian detik ketika mendengar kata-kata Mika. Ia harus memutar otaknya, jangan sampai Mika tau jika ia telah menatap sang Tante dengan tatapan penuh gairah, bahkan juniornya sampai bangun.
“Ya lihat, kan punya mata. Kenapa?”
“Yakin lihatinnya biasa aja?”
“Ya biasa kan, emang aku lihatnya gimana?”
“Ya sudah, kalo gitu,” setelah mengatakan itu Mika lebih memilih berlalu dari hadapan Rio. Ia tau Rio sedang berbohong kepadanya. Mau marah, namun ia bukan pacarnya, mau cemburu tapi Retno adalah Tantenya. Kali ini Mika benar-benar tidak bisa menyalahkan orang lain selain dirinya sendiri.
Diluar ruangan, Retno yang melihat kedatangan Rio dan Mika langsung meraih handuk kimono warna pink dan mengenakannya. Segera ia masuk kedalam rumah. Saat ia dekat dengan Rio, seketika Retno berhenti karena menghirup aroma parfum yang dikenakan Rio adalah salah satu aroma parfum laki-laki yang ia sukai. Salah satu laki-laki yang menggunakan parfum aroma tersebut adalah Ervin Aditya, berondong tampan separo bule yang kini telah pensiun. Padahal andai ia mau, Retno sanggup membayarnya berapapun Ervin memintanya.
“Tan, Tante Retno,” panggil Rio yang membuat Retno kembali menapaki realita di depan matanya.
“Ah, ya, kamu sudah datang?" Tanya Retno dengan sedikit gugup dan ia terlihat bingung mengatur ekspresi wajahnya.
“Sudah. Maaf Tante, kunci mobilnya dimana? Mau saya siapkan.”
“Ada dikamar saya. Kamu tunggu dulu sebentar ya?”
“Baik, Tante. Saya tunggu disini.”
Retno hanya menganggukkan kepalanya dan kini ia berjalan menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua rumahnya. Saat Retno melangkah menaiki tangga rumahnya, Rio menatap bokong milik majikannya yang bulat, besar, kencang dan menggairahkan itu.
Shitt!!
Celana yang digunakan Rio menjadi sesak hanya karena melihat sang majikan di hari pertama ia bekerja. Bagaimana ia bisa menjalani hari-hari selanjutnya tanpa blue balls atau minimal dengan rasa tidak sakit di batangnya karena ia sudah ereksi.
Sekitar satu menit setelah Retno meninggalkannya, Rio mendengar suara teriakan yang ia tau itu suara Retno dari lantai atas. Insting untuk menolongnya bangkit, segera ia menaiki tangga secepat yang ia mampu. Saat sampai di atas ia langsung menuju ke arah sumber suara. Rio langsung memasuki kamar dengan pintu besar putih itu, saat ia masuk, terlihat Retno sedang berdiri di atas ranjang sambil berteriak.
“Kecoak, kecoak. Rio, kamu minggir, ada kecoak!” teriak Retno.
Dari memandang Retno, Rio langsung menundukkan kepalanya dan melihat seekor binatang menyerupai alien cukup besar berwarna coklat glowing itu sedang berada di lantai dan mengeksplorasi lantai kamar Retno yang mewah, bersih dan mengkilap ini. Andai Rio boleh jujur, sebenarnya ia juga cukup “segan” alias tidak mau dekat-dekat dengan kecoak. Ia masih lebih berani berdekatan dengan ular atau hewan apapun yang ia temui di gunung. Bahkan tanpa Rio sadari ia sudah bergidik.
“Ada apa sih, Tante?” tanya Mika yang baru saja sampai dikamar Retno.
“Ada kecoak.”
Saat menundukkan kepalanya, Mika melihat kecoak itu akan terbang ke arahnya dan…
Happ….
Mika langsung meloncat ke arah Rio dan reflek Rio memegang kedua paha Mika dengan kedua tangannya.
“Mas Rio, takut. Usirin dong, Mas.”
Rio menghela nafasnya. “Gimana aku mau ngusir kalo kamu malah jadi monyet dan jadiin aku pohonnya?"
Seketika Mika langsung mengurai pelukan kedua tangannya di leher Rio, setelah itu ia memilih pergi karena menurutnya Rio tidak ada manis-manisnya. Ia hanya ingin Rio lebih manis kepadanya, toh selama ini ia sudah banyak berusaha menarik perhatian Rio.
Setelah Mika berlalu pergi, segera Rio brusaha mencari semprotan nyamuk.
“Tante punya semprotan nyamuk?”
“Ada di dekat meja rias, kamu ambil saja.”
Walau sedikit tidak nyaman namun Rio berjalan terus untuk menuju meja rias.
“Rio, buruan, kecoaknya makin dekat ke ranjang," kini Retno sudah mulai heboh lagi.
“Ya elah, siapa suruh kamar Lo Segede rumah tipe tiga enam, Tante,” keluh Rio dalam hati. Namun yang ia keluarkan dari bibirnya hanya kata, “iya, Tante, sabar.”
Dan saat Rio mulai berjalan mendekat, kini ia tersentak ketika Retno sudah berada di dalam gendongannya. Jika Mika berada di belakang, maka kini sang Tante sudah berada dalam gendongan Rio dengan tubuh bagian depan mereka saling bersentuhan. Tidak hanya bersentuhan, bahkan menempel dengan sangat erat karena Retno menguburkan kepalanya di pundak sebelah kiri Rio. Hilang sudah akal sehat Rio kali ini, karena botol kaleng semprotan nyamuk itu telah menggelinding menjauhi dirinya. Kini ia sedang merasakan halusnya paha bawah Retno yang terasa dingin karena ia baru saja berenang. Bahkan tanpa ia sadari tangannya sudah membelai dengan lembut kulit Retno. Retno yang memang memiliki libido cukup tinggi ditambah hiperseks tentu saja ia langsung paham arti geraman Rio yang tertahan. Ia berusaha menyingkirkan perasaan gilanya kali ini, namun sayangnya, ia justru telah menjilat kulit halus di bawah telinga Rio.
“Oh, this is good,” gumam Rio pelan.
“You like it?” Tanya Retno pelan ditelinga Rio.
Rio hanya menganggukkan kepalanya dan Retno tersenyum penuh kemenangan.
“Sayangnya, kamu sekarang harus siapkan mobil. Kita akan berangkat sebentar lagi. Sekarang turunkan saya dan kamu semprot dulu kecoak itu."
Bagai kerbau dicolok hidungnya, Rio menuruti semua keinginan Retno tanpa membantah sedikitpun.
***
Setelah merasa cukup menikmati pemandangan gunung Prau yang indah ini, akhirnya Rio dan teman-temannya memutuskan untuk membongkar tenda dan segera turun ke bawah. Saat turun, Rio berada di paling belakang dengan Retno yang ada di depannya.Jika semalam yang terlihat di sisi kanan kiri Retno adalah gelapnya malam, maka kini semua terlihat jelas. Pemandangan siang hari yang cerah dengan teriknya sinar matahari adalah teman perjalananya kali ini. Di depannya ada Prima yang sedang mendengarkan lagu dari handphonenya. Retno baru menyadari satu hal, jika ia lebih cepat lelah ketika naik semalam daripada pagi ini. Karena kali ini mereka baru beristirahat ketika telah sampai di pos tiga."Jangan lama-lama dong, soalnya anak-anak gue sudah nunggu di basecamp," kata Nada sambil mulai membuka botol minumnya.Retno melihat Nada sambil tersenyum. Retno tau dan mempercayai jika Tuhan itu adil, namun kenapa dirinya tidak bisa memiliki kehidupan seperti Nada. Kehidupan rumah tangga yang adem tentrem
Retno duduk di depan tenda sambil melihat pemandangan gunung Sumbing dan Sindoro yang ada di hadapannya. Kedua gunung yang tampak indah dan mirip dengan salah satu gambar di logo air mineral. Seumur hidupnya ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di gunung. Riuh suara dari para pendaki menghiasi pagi buta ini. Bahkan saat ia menoleh ke sisi sebelah samping tampak Manda yang sedang men-setting kamera DSLR miliknya."Lo ngapain sih, Man?" Tanya Prima sambil mulai duduk di sebelahnya."Lagi setting kamera. Pingin jualan hasil foto. Siapa tau aja jadi cuan.""Jual diri lebih cepat laku, Man," kata Prima santai setelah itu ia menyeruput coklat panasnya.Plak.....Manda menepuk bahu Prima yang membuat minuman di tangan Prima tumpah sedikit."Segawon tenan, wedangku tumpah iki*." (*Beneran anjing, minumanku tumpah ini)"Lambemu koyo ora tau di sekolahin*." (*Bibirmu seperti tidak pernah disekolahkan.)Mendengar perdebatan Manda dan Prima, Retno hanya bisa tersenyum kecil. Sungguh be
"Kita istirahat di sini dulu, 5 menit," kata Juna ketika mereka sampai di pos dua yang disebut canggal walangan. Retno mengikuti semua yang memilih duduk dan menyelonjorkan kakinya."Gimana, Tante, capek nggak?" Tanya Rio ketika ia mulai duduk di sebelah Retno sambil menyelonjorkan kakinyaRetno menoleh dan tersenyum. Baru pertama kalinya Retno melihat laki-laki yang seharusnya jauh dari tipenya tapi justru sanggup membuatnya merasa nyaman. Kali ini Rio terlihat berkeringat, kucel karena debu yang menempel pada wajahnya."Cukup menyenangkan juga. Btw, Tante doang ini yang nggak bawa cerrier?""Nggak pa-pa, semua logistik Tante sama aku sudah ada di tas ini. Mau minum nggak, Tan?" Tanya Rio sambil membuka cerrier 80 liternya."Boleh," jawab Retno singkat.Rio lalu mengeluarkan botol air minum berukuran satu setengah liter."Ini, Tan," kata Rio sambil mengulurkan botol air itu."Thanks," kata Retno sambil menerima botol air tersebut."Duh, duh, duh, mupeng gue lihat Rio manis banget sa
Retno tidak pernah menyangka jika malam hari di kawasan Dieng ini bahkan mungkin lebih dingin daripada suhu AC 16 derajat. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana bisa para warga di sini tidak masuk angin setiap hari? Dirinya saja sampai menggigil tadi. Retno berfikir bahwa Rio akan memeluknya, namun yang ada justru Rio malah meminta maaf kepadanya, ingin marah, tapi apa yang dikatakan Rio tadi ada benarnya.“Tante, maafin aku ya, aku nggak bisa meluk Tante di sini, walau Tante kedinginan. Jadi aku kasih sleeping bag sama Tante pakai jaket dobel ya? Pakai aja ini punya aku,” Retno sedikit kaget karena tidak biasanya Rio menggunakan bahasa, “aku” biasanya ia lebih formal dengan menggunakan kata ”saya".Bagaimana Retno bisa marah kalo Rio sudah meminta maaf terlebih dahulu? Tentu saja tidak bisa. Baru beberapa saat Retno memejamkan mata, alarm milik teman mendaki Rio sudah bernyanyi dengan riangnya. Mau tidak mau Retno ikut bangun dan bersiap siap. Sebelum memulai pendakian mereka sempat
Retno menatap penampilannya di cermin dan ia tersenyum bahagia. Sesuatu yang sederhana namun baginya begitu manis. Ia belum pernah di perlakukan seperti ini, apalagi dengan seorang berondong. Selama ini ia membeli berondong untuk memuaskan napsunya, namun baru Rio-lah satu-satunya berondong yang bisa mengisi jiwanya yang kosong dan tidak pernah terjamah sejak ia bercerai dari Handi.Setelah merasa cukup untuk mematut diri di depan cermin, Retno kembali keluar dan di sana terlihat Rio yang sudah menunggu dengan motornya. Segera saja Retno menghampiri Rio."Ri," panggil Retno yang membuat Rio menoleh.Kali ini Rio terpesona melihat janda satu ini yang telah memberinya surga kenikmatan dunia untuknya. Bagaimana rasanya memuja dan dipuja dengan begitu liar namun tak terlupakan. Retno terlihat muda dengan jaket gunung, celana gunung, bahkan sepatu gunungnya. Jika dulu ia merasa Retno terlihat seksi saat mengenakan bikini, namun itu semua telah terganti. Retno berubah menjadi luar biasa sek
Rio menatap Retno yang tengah berbaring disampingnya. Ia tersenyum melihat Retno yang sedang tertidur setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu. Rio tau apa yang ia lakukan dengan Retno sudah menyalahi aturan, namun ia tidak bisa menghentikan hasratnya. Apalagi ketika ia mendengar setiap desahan, lenguhan, hingga teriakan Retno saat mereka menyatukan seluruh partikel-partikel kecil di tubuh mereka berdua. Rasanya ia ingin mencobanya lagi dan lagi. Rio tidak tau harus bagaimana menyingkirkan perasaan ini dari dalam hatinya. Bila ia memang serius dengan Retno maka ia harus berjuang hingga ia pantas bersanding dengannya.Rio memajukan kepalanya dan ia cium kening Retno sekilas.Cup....."Makasih, Tante. Tante luar biasa, aku janji bakal lakuin apa aja asal Tante bahagia."Tanpa sepengetahuan Rio, Retno masih bisa mendengar apa yang Rio ucapkan. Entah kenapa hati Retno merasa bahwa apa yang dikatakan Rio begitu tulus. Pelan-pelan Retno membuka matanya dan pemandangan pertama yang