Hari pertama dengan berbagai macam kegiatan yang Retno miliki membuat Rio cukup kaget juga. Ternyata benar kata Ayahnya jika tidak ada orang kaya yang duduk santai dan berleha-leha. Karena kini sampai pukul satu siang, ia telah selesai mengantarkan Retno ke butik, salon dan terkahir mereka akan menuju kesalah satu restoran bertema Castil di Jogja. Saat Rio membukakan pintu mobil untuk Retno dan Retno mengatakan terimakasih, berlalulah Retno dari hadapan Rio. Kini sebagai supir yang baik, ia akan menunggu Retno diparkiran.
Didalam restoran, Retno sedang berhadapan dengan Handi, sang mantan suami. Ia harus bertemu dengan Handi karena mereka berdua memiliki bisnis yang sudah sepakat untuk tetap dikelola bersama.
“Mas, Aku nggak bisa lama-lama. Intinya kamu mau bilang apa?”
“Bagaimana untuk rencana ekspansi bisnis kita kedaerah Gunung Kidul? Apakah jadi kita membuat resort dan restoran?”
“Kalo dananya cukup, silahkan. Aku nggak mau kalo kita harus berhutang pada bank. Ingat kejadian yang kemarin ribet juga, apalagi kita sudah bercerai.”
Handi hanya menganggukkan kepalanya. Ia mengingat ketika mereka bercerai dulu dan angsuran dibank untuk modal pembangunan restoran mereka belum lunas. Mau tidak mau Retno dan Handi harus tetap berhubungan karena mereka tidak mau menjual usaha mereka kepada pihak lain.
“Okay. Biarkan aku ambil dari tabunganku.”
Retno hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia menatap mantan suaminya yang sudah layak disebut sebagai sugar Daddy. Harta berlimpah, wajah cukup tampan diusia 40 tahunan, sayangnya sampai sekarang ia belum menikah juga.
“Ret, bagaimana kabarmu?”
“Aku baik-baik saja. Kamu bagaimana, Mas?”
“Nggak jauh berbeda. Aku masih ditagih menantu dan cucu sama ibu.”
Retno hanya menggelengkan kepalanya.
“Mas, apa kamu masih menyembunyikan fakta jika kamu memiliki varicocele*? walau sudah dioperasi."
*varicocele adalah varises yang terjadi di alat kelamin pria.
Handi hanya menganggukkan kepalanya yang membuat Retno menghela nafas sambil geleng-geleng kepala.
“Lebih baik kamu jujur biar calon istrimu kelak, agar ia tidak disalahkan karena tidak kunjung hamil.”
“Andai kamu dulu mau berusaha lebih lagi, Ret. Mungkin kita bisa mempertahankan pernikahan.”
Retno hanya tersenyum getir dihadapan Handi.
“Mas, kamu sudah pernah bilang sama aku kalo kamu nggak bisa terima aku yang sudah pernah jajan sana sini, Sedangkan kamu dulu gimana? Waktu dokter vonis kamu memiliki varicocele yang ada kamu jadi insecure, nggak mau jamah aku. Padahal kamu tau aku ini nggak bisa kalo harus berhenti berhubungan badan apalagi lebih dari seminggu.”
“Menikah nggak cuma soal sex saja.”
“Ya, itu ada benarnya, Mas. Tapi buat aku menikah dan cinta saja tidak cukup tanpa hadirnya sex yang membara dalam pernikahan. Pernahkan kamu berfikir, gimana tersiksanya aku dulu? Hampir dua tahun kamu nggak jamah aku, aku harus memakai jasa gigolo lebih sakitnya lagi selama itu juga ibu mertuaku selalu menagih cucu. Uang memang kita nggak kekurangan, Mas, tapi kamu nggak mau bayi tabung. Bukankah itu hal yang egois?”
“Maafkan aku, Retno.”
Retno melipat tangannya di depan dada dan memandang Handi dalam-dalam. Ia melihat sosok laki-laki yang berbakti kepada orang tuanya namun sayangnya ia tidak bisa mengambil sikap. Sesuatu yang bagi Retno sangat membuatnya tersiksa dulu karena Handi tidak pernah membelanya di depan orangtuanya ataupun keluarga besarnya saat Retno menjadi bulan bulanan mereka tentang penerus nama keluarga.
“Aku sudah memaafkan kamu, Mas. Kalo aku belum memaafkan kamu, aku nggak akan bisa bertemu dengan kamu berdua seperti ini.”
“Terimakasih, aku sadar kesalahanku dulu ketika menjadi suamimu dan kalo kita bisa bersama lagi kenapa tidak kita coba?"
“Bagai membaca novel yang sudah tau ujungnya akan seperti apa, Kenapa juga harus diulang kembali? Lagipula aku sudah cukup nyaman dengan status janda yang aku sandang sekarang, Mas. Aku permisi, Mas. Pekerjaanku masih banyak.”
Setelah mengatakan itu semua Retno bangkit berdiri dari kursi yang ia duduki dan segera berjalan keluar dari restoran. Ia menahan air matanya ketika berhadapan dengan Handi, namun kini saat ia mulai berjalan keluar dari restoran dan menuruni tangga di depan Restoran, air matanya menetes di pipi. Bagaimanapun juga pernah dianggap mandul, tidak subur dan wanita tidak sempurna, namun pada kenyataannya justru bukan ia yang memiliki masalah, tetapi Handi. Saat sudah mengetahui semuanya bukannya Handi jujur kepada keluarganya. Ia memilih diam dan membiarkan Retno tetap dipandang sebagai wanita yang tidak sempurna dimata keluarganya.
Rio yang melihat Retno berjalan ke arah mobilnya diparkir langsung biru buru membukakan pintu untuk Retno. Wajah Retno ketika memasuki kursi penumpang belakang terlihat sendu. Berbeda dengan Retno yang ia lihat sejak pertama kali bertemu bahkan tadi sebelum memasuki restoran. Rio bertanya tanya dalam hati apa yang terjadi pada sang majikan ketika ia berada di dalam restoran? Ingin bertanya namun ia sadar diri. Ia hanya supir, tugasnya hanya mengantsrkan Retno ketempat yang ia ingin tuju, bukan untuk sok akrab dan sok perhatian kenapa juga Retno menangis.
“Rio, antar saya ketempat dimana saya bisa melepas beban.”
“Maaf, Tante, tempatnya dimana?”
“Terserah kamu.”
Buset…
Rio tidak tahu harus mengajak Retno kemana. Tidak mungkin juga ia mengajak Retno yang berpenampilan anggun, feminim dan wanita sekali ini ke gunung dengan menggunakan high heels. Segera saja Rio melajukan mobil menuju ke arah bukit paralayang. Tempat yang menurutnya cukup tenang dan memiliki pemandangan bagus jika sore menjelang.
***
Siang ini Retno akhirnya mendarat di Bandara Radin Inten II bersama keluarga dan teman-teman suaminya. Sejak tadi Retno mencoba menulikan telinganya karena ia masih mendengar keluhan kakak iparnya tentang pilihan penerbangan kelas ekonomi yang harus mereka naiki siang ini dari Jogja ke Lampung."Kita mending sewa private jet aja, Ret kalo kaya gini. Kasian Mama sama Papa harus desak-desakan di kelas ekonomi kaya tadi. Aku enggak tega lihatnya.""Ini cuma penerbangan domestik. Lagipula rugi keluar uang banyak-banyak untuk sewa private jet, Mbak. Mama sama Papa juga happy aja naik kelas ekonomi. Mereka enggak ngeluh sama sekali.""Aku yang bayarin andai kamu mau bilang jauh-jauh hari tentang masalah ini."
Mikha membuka kedua matanya kali ini dan hal pertama yang ia rasakan adalah pusing hebat yang mendera kepalanya. Ia pegang kepalanya dan ia mencoba fokus pada apa yang ada di sekitarnya. Akhirnya Mikha bisa melihat jika sang Tante ada di sofa kamarnya dan sedang tertidur dengan pulas.Tidak mau mengganggu Retno, Mikha mencoba bangun dari atas ranjangnya. Seketika kepalanya menjadi pusing dan ia hampir saja nyungsep jika saja dirinya tidak berhasil memegang tembok. Kini pelan-pelan Mikha mulai berjalan menuju ke kamar mandi. Saat sampai di sana ia segera melakukan apa yang biasa ia lakukan setiap kali bangun tidur.Retno yang sayup-sayup mendengar suara air dihidupkan dari arah dalam kamar mandi segera membuka matanya. Pelan-pelan ia mencoba untuk menegakkan tubuhnya dan ia langsung bangun karena melihat ranjang Mi
"Yang, pokoknya selama aku pergi kamu jaga kesehatan baik-baik. Nanti kita video call kalo aku sudah sampai di kost lagi," ucap Rio sambil mengemudikan mobil istrinya untuk menuju ke bandara.Retno menguap dan setelah menguap, ia hanya menjawab pendek, "Iya, Ri.""Kamu tidur aja hari ini. Beberapa hari ini kamu sudah aku gempur habis-habisan."Retno menganggukkan kepalanya. Tanpa Rio memintanya saja ia sudah tahu bahwa dirinya akan tidur seharian. Nanti setelah bangun ia akan mandi dan menuju ke tempat spa. Badannya terasa remuk redam hingga butuh pijat.Beberapa saat Rio menunggu jawaban Retno namun tidak ada sama sekali. Ketika ia berhasil memarkirkan mobil di parkiran Yogyakarta Internasional Ai
Entah berapa lama Retno tertidur hingga ia akhirnya terbangun kala merasakan remasan pada salah satu gunung kembarnya dari arah belakang tubuhnya. Awalnya Retno berpikir itu hanya sebuah mimpi, namun kala ia membuka matanya, ternyata tangan Rio sudah ada di sana. Tangan Rio benar-benar bergerak dengan begitu lincahnya seakan sudah tahu tugasnya."Ri?" Panggil Retno pelan dengan suara khas orang bangun tidur."Hmm....""Jam berapa sekarang?""Jam dua pagi, Yang." Jawab Rio di dekat telinga Retno. "Yang, dedek udah bangun. Satu ronde, ya?"Retno menghela napas panjang. Andai saja hari ini Rio tidak akan pergi ke Jakarta, pasti ia akan menolaknya. Rasanya
Mengingat besok pagi-pagi buta ia harus mengantarkan Rio ke Yogyakarta Internasional Airport, maka malam ini setelah makan malam di rumahnya untuk pertama kali setelah mereka resmi menjadi suami istri, Retno memilih mengajak Rio untuk segera tidur. Ia benar-benar memiliki hutang jam istirahat yang banyak sejak beberapa hari yang lalu. Bahkan ia sudah memiliki agenda untuk tidur seharian setelah Rio kembali pulang ke Jakarta. Waktu cutinya yang masih tersisa sekitar sepuluh hari lagi tidak akan Retno sia-siakan begitu saja. Ia juga akan menggunakannya untuk mengunjungi salon & spa untuk memijat seluruh tubuhnya setelah tubuhnya di bolak balik oleh Rio selama beberapa hari ini."Yang, apa kamu tega sama aku? milih tidur daripada kita olahraga malam?" Tanya Rio untuk yang kesekian kalinya pada Retno."Besok aku harus n
Untuk pertama kalinya sejak Rio dan Retno menikah, akhirnya mereka merasakan tidur dengan nyenyak tanpa diselingi acara olahraga malam atau pagi. Mungkin karena sejak kemarin mereka menginap di rumah orangtua Retno. Setelah tadi pagi keluarga Reynaldi dan Chandra pulang, maka sore ini Retno juga mengajak Rio untuk pulang ke rumah mereka.Meksipun Hartono dan Yuni melarang mereka, namun Retno tetap bersikukuh untuk pulang. Mengingat besok pagi juga Rio sudah kembali ke Jakarta menggunakan penerbangan paling pagi. Kini setelah Retno berhasil pamit kepada orangtuanya, ia segera masuk ke mobil bersama Rio.Saat mobil sudah meninggalkan halaman rumah Hartono dan Yuni, barulah Retno membuka percakapan kembali dengan suaminya yang sejak berada di rumah orangtuanya lebih banyak diam. Terutama kala berkumpul bersama keluarganya.