“Apa-apaan ini Mas?!” tanya Ardila marah setelah mengetahui suaminya memiliki istri yang lain.
“Maafkan Mas, Dila. Kamu sudah menjadi istri kedua Mas,” jelas Firman tanpa merasa bersalah. Ardila menatap Firman marah, ia merasa di tipu. Kenapa tidak ada yang memberitahunya bahwa calon suaminya telah memiliki istri. “Harusnya aku yang marah karena suamiku menikah lagi, tapi kok malah ke balik ya,” ucap Sinta dengan sewot. “Tapi karena wasiat orang tua kamu itu, aku jadi harus merelakan Mas Firman buat kamu, bersyukur dong!” lanjutnya lagi. “Kalau Mas Firman sudah menikah, aku juga nggak bakalan mau Mbak!” “Sudahlah, Dila. Hargai apa yang orang tua kamu mau, itu permintaan terakhirnya,” seru Firman dengan lembut. Tanpa menjawab, Ardila pergi meninggalkan kedua sejoli itu ke kamar yang sekarang ia tempati, karena saat ini ia sedang berada di rumah Ibu mertuanya. Ardila merasa kecewa kepada paman dan bibinya, baru saja ia ingin sedikit memberi kepercayaan, tetap malah membuat dirinya kecewa. Mereka memang tidak berubah dari dulu. “Haruskah aku bertahan bunda, ayah,” batin Ardila dengan lelehan air mata. Tanpa sadar Ardila terlelap, karena sudah lelah menangisi awal kehidupan pernikahannya. Pagi harinya Ardila terbangun karena mendengar gedoran di balik pintunya yang lumayan kencang. “Ada apa Mbak?” tanya Ardila setelah melihat Sinta saat membuka pintu. “Kamu ini kok malah leha-leha, layani suamimu dong! Bikinin sarapan, setelah itu beberes!” perintah Sinta ketus. “Mbak, kan juga istrinya. Kenapa nggak Mbak aja yang layani Mas Firman,” sahut Ardila dengan malas. “Kamu jangan ngelawan Dila, Sinta itu lagi hamil. Mana bisa masak dan beberes, orang hamil harus banyak istirahat,” sela Ningsih, Ibu mertua Ardila, dari belakang Sinta. “Malam tadi juga bukannya ngelayanin suami malah tidur sendiri, dosa kamu Dila!” lanjut Ibu mertua mengomel. “Gimana mau ngelayanin, Bu, orang yang lagi di tipu mana terpikir sampai ke situ,” sahut Ardila kesal. “Kenapa kamu ngerasa ketipu? Itu wasiat orang tua kamu, mau gimana pun kondisinya harus tetap di jalankan. Mau kamu jadi anak durhaka, heh!” ucap Ningsih marah karena di anggap menipu. “Terserah Ibu-lah, aku males debat.” Setelah berucap, Ardila menutup pintunya membiarkan kedua perempuan itu mengoceh hal yang tidak seharusnya di dengar. Baru saja membersikan diri dan merasa segar, ketukan di balik pintu membuat sedikit moodnya rusak. “Kenapa Mas?” tanya Ardila tanpa basa-basi setelah tahu Firman yang ada di balik pintu. “Kita sarapan bareng, kamu dari semalam juga belum makan, kan.” Ardila mengangguk pelan, ia mengikuti Firman ke meja makan yang ternyata sudah ada paman dan bibinya juga. “Halo keponakanku yang cantik,” sapa bibi Afifah dengan sumringah. “Hemm,” sahut Ardila berdehem. “Kamu yang sopan dong Dila,” tegur Ibu Ningsih. “Udah gak apa-apa Ningsih, mungkin Dila gak terbiasa tinggal di tempat yang sederhana begini,” sahut Afifah seolah sangat mengenal keponakannya. Ardila mendelik jengkel ke arah bibinya, bisa-bisanya berkata seperti itu. “Benar begitu Dila?” tanya Firman menatap ke arahnya. “Nggak kok Mas, aku bisa menyesuaikan diri.” “Kalau kamu merasa nggak enak tinggal di sini, kenapa nggak tinggal di rumah kamu yang mewah itu aja. Sekalian Ibu sama adiknya Firman, si Rosa juga ikut tinggal di sana,” timpal Ibu Ningsih dengan sekenanya. “Benar kata Ibu Mas, kalau kita berlima tinggal di sini pasti sempit banget,” ucap Rosa membenarkan. “Aku sih, ngikut aja sama Mas Firman,” ucap Sinta seraya bergelayut manja di lengan Firman. Ardila yang mendengarnya menghembuskan napas berat, entah kenapa ia merasa semua orang yang ada di sini tidak tulus kepadanya. “Sudah di putuskan, kita akan pindah ke rumah Ardila yang lebih besar untuk kita berlima,” ucap Firman sepihak. “Apa-apaan kamu Mas! Kamu sama sekali nggak nanya aku!” sentak Ardila kesal. “Apa yang istri punya, itu juga punya suami. Kamu nurut aja, jangan durhaka jadi istri!” sela Ningsih membela anaknya. “Benar itu Dila, kita sebagai istri hanya perlu nurut sama suami. Balasannya itu nanti surga,” timpal Afifah. “Nggak usah bahas surga Bibi, kalau Bibi di suruh praktekin juga nggak bakal mau,” sahut Ardila dengan masam. “APA?!”“Kamu ini Gal, ngagetin Ibu saja,” seru Afifah seraya mengelus dadanya dengan helaan napas lega. Galih menghiraukan perkataan ibunya, ia mengamati seisi kamar, “Benarkan ini kamar Ardila? Kalian ngapain masuk kamar Ardila?” tanya Galih menatap mereka bertiga dengan curiga. “Kamu jangan kebanyakan mikir, sini bantu Ibu,” ucap Afifah seraya menarik tangan Galih mendekat ke arah brangkas. “Bantu Ibu buka ini, dari tadi gagal terus,” lanjutnya membuat Galih terdiam. “Ibu mau ngapain?” “Ibu mau ngapain itu terserah, jangan buang waktu Ibu Gal, cepat bantu!” sentak Afifah kesal pada anaknya yang masih berdiam diri. Galih menggeleng pelan, “Kalian mau mencuri sesuatu ‘kan.” “Galih! Ibu bilang buka, ya, buka. Kamu ini sudah berani melawan ya! Nggak ingat apa Ibu yang biayain hidup kamu!” ketus Afifah mendelik marah. “Enggak gini caranya, Bu,” sahut Galih pelan. “Cepat buka atau Ibu nggak mau anggap kamu anak lagi!” Galih membeku, ia menatap sendu pada Afifah yang terlihat
Ardila merenggangkan tubuhnya, sedetik kemudian duduk dengan tiba-tiba. Ia teringat ketika tertidur di dalam mobil. “Apa Arman yang mengantarku sampai ke kamar?” batin Ardila bertanya-tanya. Tanpa ambil pusing, Ardila segera membersihkan diri dan keluar kamar. Pantas saja Ardila merasa sangat senyap, ternyata yang lain masih pada di kamar masing-masing, hanya dirinya yang bangun lebih awal. Ardila hanya memanggang roti dan membuat segelas susu. Ia malas memasak karena bahan sudah ada beberapa yang habis. “Enak banget ya, Tuan Putri, habis bangun langsung sarapan sendiri. Kenapa nggak masak?!” ketus Ningsih. Ardila melirik ibu mertuanya sekilas, “Bahan dapur sudah habis, nggak ada yang bisa di masak.” “Ibu yang akan beli bahan dapur, mana uangnya?” tanya Ningsih seraya menengadahkan tangan. “Kenapa minta ke aku, minta sama Firman, Bu. Selaku kepala keluarga,” sahut Ardila seadanya. Sebelum Ningsih menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat. “Kebetulan kamu dat
Rosa menatap Ryan dengan mata berbinar, tubuh atas Ryan yang bertelanjang dada membuat Rosa menahan napasnya. Jantungnya berdetak kencang. “K-kak Ryan mau apa?” tanya Rosa gugup sekaligus senang karena tubuhnya semakin di himpit Ryan ke dinding. “Memangnya apa lagi, nggak mau langsung ke atas ranjang?” tanya Ryan datar. Rosa membulatkan matanya, tanpa pikir panjang, Rosa langsung mendorong Ryan ke atas kasur. Setelah lulus, ia tidak ingin kuliah, ia akan menikah dengan Ryan karena mengandung darah dagingnya. “Kalau Kak Ryan membutuhkanku, aku siap bantu Kakak,” ucap Rosa sensual. Dengan gerakan cepat Rosa melepaskan pakaian atasnya, hanya menyisakan dalaman. Ketika ingin mencium Ryan, pintu di buka dengan keras. Ningsih berteriak nyaring membuat semua orang terbangun. “Ada apa, Bu?” tanya Firman ketika berada di dekat ibunya. “R-rosa …,” ucap Ningsih seraya menunjuk ke arah kamar tamu yang tempati Ryan. Firman masuk ke dalam dengan marah, ia menarik Ryan lalu meng
Arman mendongak ketika namanya di panggil, ia tersenyum menawan menatap Ardila. “Kamu tahu, ini ruangan yang nggak boleh sembarang orang masuki,” ucap Ardila menatap datar Arman. Arman hanya tersenyum tipis menanggapinya, kemudian kembali duduk di sofa. “Aku hanya ingin tahu jawabanmu tentang kemarin,” sahut Arman seadanya. Ardila mendengus kesal, “Nggak perlu aku jawab, karena nggak seharusnya pertanyaan itu keluar dari mulut pria yang sudah mempunyai seorang wanita.” “Seorang wanita?” tanya Arman mengernyit heran. Sedetik kemudian Arman mengingat di hari pertunangan Naya. “Tenang saja, dia bukan wanitaku,” jelas Arman tenang. “Aku nggak punya waktu, lebih baik kamu keluar,” usir Ardila malas meladeninya. Arman bangkit dari duduknya, berjalan perlahan ke arah Ardila. Ardila balas menatap Arman dengan datar. “Sungguh, dia bukan wanitaku. Orang yang aku cintai cuma kamu, perasaanku hari itu bersungguh-sungguh,” bisik Arman ketika tepat berada di depan Ardila dengan
“Tuhkan benar, tapi Tuan harus bersabar dulu. Karena Rosa masih sekolah,” ucap Ningsih dengan girang. “Rosa juga harus kuliah dulu, Bu,” sela Firman yang baru saja turun di ikuti Sinta.“Kuliah sambil nikah mah, nggak apa-apa.” “Sepertinya di sini ada kesalahpahaman, saya datang ke sini bukan mau melamar putri Ibu,” ucap Arman sebelum kesalahpahamannya semakin berlanjut.“Di sini nggak ada lagi wanita yang lajang selain adikku,” sahut Firman seraya mengernyit bingung.Arman tersenyum tipis, melirik ke arah Ardila yang hanya diam. “Saya ingin melamar Ardila.”“APA?!” teriak Ningsih dan Rosa berbarengan.“Kamu jangan bercanda,” ucap Firman menatap Arman tajam.“Bukan hanya suami yang boleh punya istri dua, istri juga boleh punya dua suami,” sahut Arman seadanya.“Jangan gila kamu, Arman,” ucap Ardila menggeleng pelan tidak percaya.Arman menatap Ardila dengan sorot serius, “Aku serius Dil, akan aku berikan berapapun mahar yang kamu mau.” “Jangan bercanda di sini, lebih baik kamu perg
Pandangan mereka terputus setelah beberapa menit saling menatap. Ardila pergi menjauh mencari keberadaan Naya, sedangkan Arman terus melihat ke arah Ardila hingga menghilang dari pandangannya. Wanita yang berada di sampingnya mendengus kesal, “Kenapa terus menatapnya, sih!” Arman tidak peduli dengan ocehan wanita itu, ia mencoba berbaur untuk menghilangkan Ardila dari pikirannya. “Naya beruntung ya, andai saja kamu juga peka,” kode wanita itu mengeratkan pegangannya pada lengan Arman. Arman yang merasa risih segera melepaskan lengannya dari tangan wanita itu, “Berhenti mengoceh Gisel.” Gisel mengerucutkan bibirnya sebal, “Kamu itu nggak peka sekali, aku’kan juga mau kita seperti Naya dan Yolan.” “Berhenti bermimpi,” sahut Arman datar, ia segera meninggalkan Gisel sendirian. Sedangkan di sisi lain, Ardila berhasil menemukan sahabatnya yang sudah berpenampilan sangat cantik. Matanya berbinar lalu berucap, “Cantik banget sahabatku.” “Dilaa! Makasih lho! Ya, ampun. Ak