Yudis menatap datar wanita yang terbaring lemah di atas brankar. Wajah yang biasa terlihat cerah itu kini tampak pucat.
“Tuan muda, sudah datang?" ucap Mbok Darmi.
Wanita itu baru saja keluar dari toilet. Lantas menghampiri majikannya sembari tersenyum lembut. “Tuan muda sudah makan?” tanyanya.
Yudis tersenyum samar, lantas mengangguk pelan.
“Syukurlah,” ucap wanita tua di depannya.
Sudah menjadi kebiasaan pembantunya itu selalu mengingatkan makan dan istirahat.
Hal itu terkadang membuat Yudis berpikir konyol, kenapa ia tak dilahirkan dari rahim mbok Darmi saja.
“Syukurlah, kata dokter nyonya sudah baik-baik saja. Beliau hanya kurang istirahat.” Mbok Darmi memberitahu, tanpa ditanya oleh Yudis. Pembantunya itu sudah paham jika sang majikan tak akan pernah menanyakan keadaan sang . Jadi, ia berinisiatif sendiri untuk menceritakan kondisi Miranda.
Yudis bergeming masih dengan wajah datarnya yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa pun, seolah ia tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan wanita yang melahirkannya itu.
Melihat tak ada respons dari Yudis, mbok Darmi pun pamit keluar untuk membeli sesuatu. Padahal itu hanya alasannya saja, yang sebenarnya ia ingin memberi waktu berdua untuk majikannya.
Setelah hanya tinggal dirinya dengan sang ibu. Yudis bergerak mendekat pada Miranda. Sisi baiknya ingin meraih tangan yang terpasang selang infus itu dengan lembut, lantas menanyakan keadaannya.
Namun, egonya terlalu dominan untuk tidak peduli pada Miranda. Yudis tersenyum sinis, sungguh konyol, kenapa juga dirinya harus datang menemui wanita ini.
Dulu, sewaktu Yudis sakit, apakah wanita ini datang menjenguknya, memeluknya saat ia kesakitan menahan rasa sakit jarum infus yang ditancapkan di tangannya.
Tidak, wanita ini tidak muncul sama sekali, ia hanya peduli pada dirinya sendiri.
Hanya mbok Darmi yang memeluknya saat itu, memberinya semangat dengan kata-katanya yang menenangkan. Sementara wanita yang masih menutup mata ini, di mana dia.
Ia hanya peduli pada dirinya sendiri, lebih suka melarikan diri, karena rasa sakit hatinya dikhianati oleh bajingan tengik yang sudah membusuk di dalam tanah itu, sehingga membuatnya lupa jika ada sang anak yang membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya.
Mengingat kembali kekecewaannya pada Miranda, tangan Yudis mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memerah.
Miranda membuka mata, menatap sang putra yang berdiri menjulang di samping brankar. Hatinya menghangat, melihat putra kandungnya ternyata peduli pada dirinya.
"Yudis?” ucapnya dengan suara khas bangun tidur. Sebuah senyuman terukir di bibir pucatnya.
"Jangan terlalu percaya diri, aku ke sini hanya ingin melihat mbok Darmi yang kerepotan mengurusmu!” ujar Yudis ketus.
Miranda menghela napas, menetralkan rasa nyeri karena ucapan Yudis.
Wajahnya berubah sendu, ucapan Yudis sungguh menyayat hatinya. Mungkin ini yang dulu dirasakan oleh putranya ketika diabaikan.
“Maaf,” gumamnya.
Miranda sadar dirinya memang dulu terlalu egois dan pengecut. Hanya karena tak ingin melihat mantan suaminya hidup bahagia dengan selingkuhannya, ia memutuskan untuk berkeliling dunia, menjadi seorang relawan dan meninggalkan putranya dengan pembantu.
Yudis tak menanggapi, permintaan maaf dari Miranda. Kekecewaannya terhadap sang ibu sungguh sudah membumbung tinggi di dalam benaknya.
Meminta maaf memang mudah, tapi memaafkan itu sulit. Yudis bukanlah manusia yang berjiwa besar dan dengan mudah bisa melupakan rasa kecewanya pada kedua orang tuannya begitu saja.
Yudis tahu sikapnya egois dan salah, terus mendendam pada wanita yang sudah melahirkannya itu. Namun, jiwanya tak sanggup menjadi seorang pemaaf.
“Tak adakah kesempatan untuk Mama memperbaiki semuanya?” tuntut Miranda, suaranya bergetar menahan tangis.
Sungguh wanita berusia setengah abad lebih itu ingin memperbaiki kesalahannya pada sang anak yang telah ia abaikan bertahun-tahun.
“Kesempatan itu sudah hilang sejak dua puluh tahun lalu,” jawab Yudis sarkas.
“Begitu bencinyakah kamu sama Mama, sehingga wanita tua ini tak bisa mendapatkan maaf darimu?” Miranda tak kuasa menahan isak. Air matanya mulai berderai.
Yudis bergeming, alih-alih bukannya menjawab, pria dengan potongan rambut pendek itu justru meninggalkan Miranda begitu saja, tanpa peduli dengan isakan wanita yang menatap punggungnya sampai menghilang di balik pintu itu yang begitu pilu.
***
Mbok Darmi berdiri dari duduknya saat melihat Yudis keluar dari ruang rawat Miranda. Lantas menghampiri tuannya itu.
“Loh, kok, sudah keluar?"
Yudis menoleh, menatap wanita tua itu. “Iya, saya sudah bosan di dalam.”
Mbok Darmi mendesah. Ia tahu Yudis hanya beralasan, yang sebenarnya pria tinggi di hadapannya itu tak ingin berlama-lama di dalam.
Entah sampai kapan tuan mudanya itu memaafkan ibu kandungnya.
"Ini kopi buat Tuan Muda. tadi si Mbok keluar cari camilan, liat kopi ingat mas Yudis." Mbok Darmi menyodorkan satu cup berisi cairan hitam ke hadapan Yudis.
Yudis tersenyum menerima kopi dari pembantu sekaligus pengasuhnya itu. "Terima kasih.”
“Berkendaranya hati-hati, jangan ngebut, jika mengantuk berhenti dulu sejenak.”
Yudis tersenyum mengangguk mengiyakan perkataan mbok Darmi. Lantas berpamitan untuk pulang.
Yudis melangkah menyusuri lorong rumah sakit yang sudah terlihat sepi, hanya ada satu dua orang yang lewat. Berbeda saat di siang hari, begitu ramai.
Tepat di belokan menuju lobi, tiba-tiba seseorang menabrak tubuh tegapnya, hingga kopi di tangannya tumpah dan mengotori kemeja putih yang ia kenakan.
Yudis meringis saat merasakan cairan hitam itu menjalar ke kulit bagian luar perutnya.
“Sial!” umpatnya dalam hati.
“Ja_” suaranya terhenti saat menatap siapa yang telah menabraknya.
Yudis cukup terkejut, gadis kasir di Cafe yang beberapa hari lalu ditemuinya. Cepat Yudis menawarkan bantuan dengan mengulurkan tangan ke hadapan gadis itu yang mendeprok di lantai.
Namun, ditolak, gadis berhijab itu berdiri sendiri.
“Kalau jalan lihat-lihat, Nona.”
"Maaf, Tuan, saya tidak sengaja," ucap gadis itu.
Kemudian terdiam saat netra hitamnya bertemu dengan manik cokelat milik Yudis.
Gadis itu tak kalah terkejut seperti dirinya tadi.
“Lihat kemeja saya kotor terkena tumpahan kopi.” Yudis menunjuk ke arah kemejanya. “Saya menginginkan ganti rugi,” lanjutnya.
"Baiklah, saya akan menggantinya, sebentar." Cepat gadis di depannya itu merogoh tas Selempang yang tersampir di pundak. Mencari sesuatu di sana dengan wajah tampak begitu serius.
"Maaf, Tuan, saya tidak membawa dompet, bagaimana kalau Anda tunggu di sini, saya akan segera kembali." Gadis itu hendak beranjak dari hadapan Yudis.
Namun, Yudis bergerak cepat menghalangi jalannya. Ia tak percaya bisa saja perempuan berhijab di hadapannya ini berbohong.
Seperti mengerti apa yang Yudis pikirkan. Gadis itu pun kembali merogoh tasnya dan mengeluarkan buku saku beserta penanya. Kemudian gadis yang belum ia ketahui namanya itu menuliskan sesuatu di sana.
“Anda bisa datang kapan saja ke Cafe tempat saya bekerja. Kebetulan di sana menyajikan berbagai aneka kopi.” Gadis itu menyodorkan secarik kertas ke hadapannya.
Yudistira meraihnya dari tangan perempuan tersebut dan menatap tulisan yang tertoreh di sana. Alamat Cafe lengkap dengan nomor telepon.
Lama Yudis tak mengatakan sesuatu, gadis itu pun berpamitan.
Namun, Yudis mencegahnya kembali. “Siapa namamu?”
Gadis itu terlihat mengerutkan dahi bingung.
“Orang-orang di Cafe tidak akan percaya jika saya meminta kopi gratis di Cafe Anda,” jelas Yudis, tahu jika gadis itu tak mengerti maksudnya menanyakan nama.
“Laila, Laila Maharani,” jawab gadis itu tegas.
“Oke,” timpal Yudis. Dalam hatinya ia bersorak, karena telah mendapatkan nama gadis yang jadi pertaruhan dengan teman-temannya. Setelah ini pria dengan kemeja yang digulung sampai siku itu akan melakukan rencana selanjutnya.
“Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Gadis itu berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya.
Yudis tersenyum miring menatap punggung kecil gadis bernama Laila Maharani hingga hilang di balik tembok.
Lantas ia merogoh Handphone di dalam saku celana. Membuka grup W* dan mengetikkan sesuatu di sana.
“Laila Maharani.”
Setelah itu ia kembali melanjutkan langkahnya menuju parkiran.
***
Pagi hari Yudis terbangun oleh bunyi gawainya yang terus berdering sedari tadi. Mungkinkah, Jimmy?
Ah, tidak mungkin pria itu sudah diberitahu jika dirinya akan kembali ke kantor pukul satu siang. Karena semalam ia sampai rumah pukul dua pagi dan baru tertidur di jam tiga.
Saat melihat benda pipih itu, ia mengumpat, melihat foto beserta ucapan Rio yang mengejeknya.
“Baru dapat nama doang, payah Loe! Liat, nih, Gue sudah buka segel semalam.”
Di sana terlihat Rio tengah memeluk punggung wanita yang hanya tertutup selimut tengah tertidur lelap.
Ucapan temannya itu benar-benar menohok, membuat Yudis geram. Dasar bajingan!
“Pantas saja semalam menolak ajakan gue nongkrong di Cafe, ternyata loe lagi ....” Daniel menimpali dengan emoticon pria menepuk jidat.
“Tobat, Bro!” Adrian menasihati.
“Entar aja, kalau sudah puas, ha ha!” balas Rio.
Yudis malas untuk menimpali, pria yang masih mengenakan kemeja yang sama dengan semalam, menonaktifkan Handphonya.
Kepalanya terasa pusing, karena masih mengantuk.
Bukan kali ini saja Rio si buaya darat itu pamer pada dirinya dan kedua temannya yang lain.
Pria itu sering mengatakan dirinya Cemen, belum pernah mencicipi perempuan.
Yudis bisa mendapatkan gadis mana saja yang ia suka. Namun, pria dengan rahang kokoh itu memiliki prinsip untuk tidak melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan.
Baginya hal itu akan merusak nama baik perusahaannya. Tak ada yang bisa menjamin bila suatu saat salah satu dari wanita yang mungkin ia tiduri hamil dan meminta pertanggung jawaban.
Yudis tak akan pernah mengikuti jejak sang ayah yang suka bermain dengan perempuan di luar sana.
Deringan ponsel di atas nakas mengusik tidur Laila. Dengan malas tangannya menyambar benda pipih itu. Di tengah malam seperti ini siapa yang menelepon, batinnya.Tanpa melihat nama si penelepon di layar yang berkedip-kedip, Laila langsung menyentuh tombol hijau dan menempelkan Handphonenya ke telinga."Ila, Om kamu, Ila!" suara isak kesedihan terdengar dari seberang sana.Refleks Laila terduduk. Matanya yang tadi masih terpejam, karena rasa kantuk yang berat, kini terbuka lebar dengan wajah bingung setelah mendengar suara si penelepon, Ismi istri dari pamannya."Tante, ada apa? apa yang terjadi dengan Om?" cecar Laila."Laila, Om kamu masuk rumah sakit!" kemudian sambungan terputus begitu saja.“Halo! Tan_”Tak pikir panjang, Laila beranjak dari tempat tidur menyambar kerudung dan sweternya yang tergantung di kapstok belakang pintu kamar.Tangannya meraih kunci di atas na
Yudis tersenyum menyeringai menatap kertas bertuliskan alamat Cafe Radya. Di otaknya terangkai berbagai rencana untuk mendekati gadis itu demi memenangkan taruhan. Perjuangannya akan segera dimulai, ia akan menjerat perempuan bernama Laila itu sampai bertekuk lutut di hadapannya. Suara ketukan pintu menyadarkan Yudis dari lamunannya. Sang asisten membuka benda persegi panjang itu setelah mendapat perintah masuk darinya. "Ada apa?" tanya Yudis sembari menyandarkan punggungnya di sandaran bangku kekuasaannya. "Ini informasi yang tuan minta." Sang asisten Jimmy meletakkan map di hadapannya. Yudis meraih map tersebut. Membukanya dan membaca lembar demi lembar jejeran huruf-huruf di atas kertas yang tersusun rapi. "Cafe itu sudah digadaikan pada pihak Bank, kemungkinan bulan depan akan di sita, karena pemiliknya belum membayar cicilannya selama tiga bulan." Jimmy menjelaskan secara terperinci. Asistennya tersebut bukan hanya
Yudis kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Hari ini ia menghadiri lima rapat sekaligus bersama para investor yang tertarik menanam saham di Prasetya Grup. Hingga menjelang malam lelaki itu belum juga bangkit dari duduknya di depan layar laptop yang berpendar menyorot wajah tegasnya. Hingga sang sekretaris masuk dan memberitahunya mengenai kepulangan Miranda besok. Jimmy memberitahu jika asisten rumah tangga dan sopir yang biasa mengantar jemput ibunya tak bisa mengurus kepulangan Miranda di rumah sakit, karena sang sopir izin mendadak harus pulang ke kampung halaman, sementara mbok Darmi sendiri sedang tak sehat. Yudis menutup laptopnya kasar, kenapa juga dirinya yang harus menjemput wanita itu. Sepertinya ibunya memang sengaja memanipulasi keadaan. Batinnya. Esok harinya sebelum berangkat ke kantor, Yudis ke rumah sakit terlebih dulu untuk mengurus kepulangan Miranda, sesuai informasi yang di sampaikan Jimmy kemarin. Saat tiba di l
Keluar dari rumah sakit, Laila tak langsung ke Cafe. Untuk menghilangkan penat ia pergi ke taman yang sering gadis itu kunjungi bersama kedua orang tuannya, saat dirinya berusia lima tahun. Laila mendaratkan bokongnya di kursi taman, menatap sekitar di mana banyak pasangan yang tengah bersenda gurau bersama buah hatinya. Ada juga yang tengah joging dengan berlari kecil memutari luasnya taman. Padahal bukan hari libur, tapi taman ini tak pernah sepi. Selain pemandangannya yang indah dan asri, juga ada beberapa permainan untuk anak-anak, seperti ayunan dan perosotan yang membuat betah si kecil. Laila tersenyum kala melihat seorang anak berlari kemudian ditangkap oleh sang ayah. Melihat hal itu ia jadi teringat pada almarhum kedua orang tuannya. Rasa rindu menyeruak begitu saja dalam batinnya. Laila mengangkat kepalanya ke atas kemudian menghembuskan napas, berusaha menghalau rasa sedih, karena rindunya kepada kedua orang tuannya. Setelah
Laila terkesiap saat melihat bukti lunas pembayaran Operasi sang paman dari wanita kemarin yang bertanggung jawab di bagian administrasi.“Si-siapa yang melunasinya?” tanya Laila masih tidak percaya dengan kenyataan di depannya. Tangannya yang memegang amplop cokelat berisi uang itu bergetar, lantaran tak percaya ada seseorang yang sudah baik membayarkan biaya operasi yang sangat besar itu.Kemudian wanita paru baya itu menjelaskan tentang seseorang yang telah melunasi semua biaya operasi sekaligus perawatan sang paman sampai sembuh.“Kenapa Anda tidak menanyakan hal ini kepada saya lebih dulu.” Laila masih tak mengerti.“Tapi orang ini bilang dia teman Anda, dan dia mengenal Anda,” jelas sang wanita dengan name tag Winda.“Teman?” gumam Laila bingung. Teman yang mana yang dimaksud wanita di depannya itu. Seingatnya tidak ada teman atau kerabat lainnya yang diberitahu perihal keadaan sang paman.Laila tipe orang yang tak ingin di kasihi.
Yudis tersenyum. “Saya hanya ingin membantu Anda Nona?”“Tapi saya tidak perlu bantuan Anda, saya bisa menyelesaikan masalah saya sendiri. Lagi pula apa urusan Anda?” Laila mulai tersulut emosi. Ia menduga jika Yudis melakukan semua ini karena menginginkan sesuatu darinya.“Maaf, jika saya sudah lancang. Tadi pagi saya tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Anda dengan pihak rumah sakit mengenai biaya operasi. Dan saat itu juga saya ingin membantu Anda,” jelas Yudis panjang lebar.Ia berharap Laila dapat menerima alasannya.“Kenapa tidak bertanya pada saya lebih dulu?”“Jika saya bertanya pada Anda, sudah pasti Anda akan menolak, jadi saya putuskan untuk melunasinya tanpa sepengetahuan Anda.”Laila menghela napas kasar, lantas berdiri dari duduknya. “Baiklah Tuan, karena semua sudah terlanjur, jadi saya akan mengembalikan uang itu secepatnya.”“Tidak perlu, Anda tidak perlu melunasinya, saya ikhlas,” cegah Yudis.“Tidak Tuan, s
Pukul empat sore Yudis menyudahi pekerjaannya. Jimmy memberitahukan jika sore ini tak ada jadwal meeting dengan para investor.Karena tak ada lagi yang mesti di kerjakan Yudis pun berniat mengunjungi Cafe Radya, sekalian mau mengembalikan bolpoin milik Laila yang ia temukan lima hari lalu.Sesampainya di depan Cafe usai menepikan mobil, Yudis mengamati dari luar, sepertinya Cafe sedang ramai pengunjung, karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Sudah pasti banyak orang yang mengunjungi Cafe untuk sekedar melepas penat usai bekerja dengan secangkir kopi Yudis membuka pintu lantas berpapasan dengan seorang pelayan Cafe yang belum ia ketahui namanya.“Tuan tampan!” seru gadis itu, terlihat begitu antusias. Bola matanya membulat seolah hendak melompat dari tempatnya. Kedua tangan gadis itu menggenggam erat bungkusan plastik hitam besar yang dapat Yudis tebak itu adalah sampah.Yudis tak merespons, ia justru menunjukkan muka datar. Lalu de
“Biar aku yang membayarnya,” ucap Yudis nyaris seperti perintah.Mendengar perkataannya, seketika Laila terkejut. “Jangan! Saya tidak ingin merepotkan Anda lagi.”“Aku tidak merasa direpotkan,” sanggah Yudis. “Biarkan aku membantumu sebagai seorang teman,” tambahnya.Laila menatap netra hitam milik Yudis, di sana ia menemukan keseriusan. Tapi, dirinya tak ingin terus berhutang budi pada pria di depannya itu.“Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, karena Anda sudah membantu. Tapi, untuk kali ini saya ingin menyelesaikannya sendiri,” lanjut Laila.“Panggil saja Yudis.” Yudis menimpali perkataan Laila yang menurutnya terlalu kaku. Ia berharap cepat akrab dengan gadis itu, sesuai harapannya untuk memenangkan taruhan.“Tapi ... sepertinya itu tidak sopan,” jawab Laila.“Tidak apa-apa, bukankah kita sudah berteman?” “Baiklah, sa-eh, aku panggil Mas Yudis saja ya?”Yudis mengangguk sembari tersenyum mengiyak