Share

Bab 3: Rumah Sakit

 Yudis menatap datar wanita yang terbaring lemah di atas brankar. Wajah yang biasa terlihat cerah itu kini tampak pucat.

“Tuan muda, sudah datang?" ucap Mbok Darmi.

Wanita itu baru saja keluar dari toilet. Lantas menghampiri majikannya sembari tersenyum lembut. “Tuan muda sudah makan?” tanyanya.

Yudis tersenyum samar, lantas mengangguk pelan.

“Syukurlah,” ucap wanita tua di depannya.

 Sudah menjadi kebiasaan pembantunya itu selalu mengingatkan makan dan istirahat.

Hal itu terkadang membuat Yudis berpikir konyol, kenapa ia tak dilahirkan dari rahim mbok Darmi saja.

“Syukurlah, kata dokter nyonya sudah baik-baik saja. Beliau hanya kurang istirahat.” Mbok Darmi memberitahu, tanpa ditanya oleh Yudis. Pembantunya itu sudah paham jika sang majikan tak akan pernah menanyakan keadaan sang . Jadi, ia berinisiatif sendiri untuk menceritakan kondisi Miranda.

Yudis bergeming masih dengan wajah datarnya yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa pun, seolah ia tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan wanita yang melahirkannya itu.

Melihat tak ada respons dari Yudis, mbok Darmi pun pamit keluar untuk membeli sesuatu. Padahal itu hanya alasannya saja, yang sebenarnya ia ingin memberi waktu berdua untuk majikannya.

Setelah hanya tinggal dirinya dengan sang ibu. Yudis bergerak mendekat pada Miranda. Sisi baiknya ingin meraih tangan yang terpasang selang infus itu dengan lembut, lantas menanyakan keadaannya.

Namun, egonya terlalu dominan untuk tidak peduli pada Miranda. Yudis tersenyum sinis, sungguh konyol, kenapa juga dirinya harus datang menemui wanita ini.

Dulu, sewaktu Yudis sakit, apakah wanita ini datang menjenguknya, memeluknya saat ia kesakitan menahan rasa sakit jarum infus yang ditancapkan di tangannya.

Tidak, wanita ini tidak muncul sama sekali, ia hanya peduli pada dirinya sendiri.

Hanya mbok Darmi yang memeluknya saat itu, memberinya semangat dengan kata-katanya yang menenangkan. Sementara wanita yang masih menutup mata ini, di mana dia.

Ia hanya peduli pada dirinya sendiri, lebih suka melarikan diri, karena rasa sakit hatinya dikhianati oleh bajingan tengik yang sudah membusuk di dalam tanah itu, sehingga membuatnya lupa jika ada sang anak yang membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya.

Mengingat kembali kekecewaannya pada Miranda, tangan Yudis mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memerah.

Miranda membuka mata, menatap sang putra yang berdiri menjulang di samping brankar. Hatinya menghangat, melihat putra kandungnya ternyata peduli pada dirinya.

"Yudis?” ucapnya dengan suara khas bangun tidur. Sebuah senyuman terukir di bibir pucatnya.

"Jangan terlalu percaya diri, aku ke sini hanya ingin melihat mbok Darmi yang kerepotan mengurusmu!” ujar Yudis ketus.

Miranda menghela napas, menetralkan rasa nyeri karena ucapan Yudis.

Wajahnya berubah sendu, ucapan Yudis sungguh menyayat hatinya. Mungkin ini yang dulu dirasakan oleh putranya ketika diabaikan.

 “Maaf,” gumamnya.

Miranda sadar dirinya memang dulu terlalu egois dan pengecut. Hanya karena tak ingin melihat mantan suaminya hidup bahagia dengan selingkuhannya, ia memutuskan untuk berkeliling dunia, menjadi seorang relawan dan meninggalkan putranya dengan pembantu.

Yudis tak menanggapi, permintaan maaf dari Miranda. Kekecewaannya terhadap sang ibu sungguh sudah membumbung tinggi di dalam benaknya.

Meminta maaf memang mudah, tapi memaafkan itu sulit. Yudis bukanlah manusia yang berjiwa besar dan dengan mudah bisa melupakan rasa kecewanya pada kedua orang tuannya begitu saja.

Yudis tahu sikapnya egois dan salah, terus mendendam pada wanita yang sudah melahirkannya itu. Namun, jiwanya tak sanggup menjadi seorang pemaaf.

“Tak adakah kesempatan untuk Mama memperbaiki semuanya?” tuntut Miranda, suaranya bergetar menahan tangis.

Sungguh wanita berusia setengah abad lebih itu ingin memperbaiki kesalahannya pada sang anak yang telah ia abaikan bertahun-tahun.

“Kesempatan itu sudah hilang sejak dua puluh tahun lalu,” jawab Yudis sarkas.

“Begitu bencinyakah kamu sama Mama, sehingga wanita tua ini tak bisa mendapatkan maaf darimu?” Miranda tak kuasa menahan isak. Air matanya mulai berderai.

Yudis bergeming, alih-alih bukannya menjawab, pria dengan potongan rambut pendek itu justru meninggalkan Miranda begitu saja, tanpa peduli dengan isakan wanita yang menatap punggungnya sampai menghilang di balik pintu itu yang begitu pilu.

***

Mbok Darmi berdiri dari duduknya saat melihat Yudis keluar dari ruang rawat Miranda. Lantas menghampiri tuannya itu.

“Loh, kok, sudah keluar?"

Yudis menoleh, menatap wanita tua itu. “Iya, saya sudah bosan di dalam.”

Mbok Darmi mendesah. Ia tahu Yudis hanya beralasan, yang sebenarnya pria tinggi di hadapannya itu tak ingin berlama-lama di dalam.

Entah sampai kapan tuan mudanya itu memaafkan ibu kandungnya.

"Ini kopi buat Tuan Muda. tadi si Mbok keluar cari camilan, liat kopi ingat mas Yudis." Mbok Darmi menyodorkan satu cup berisi cairan hitam ke hadapan Yudis.

Yudis tersenyum menerima kopi dari pembantu sekaligus pengasuhnya itu. "Terima kasih.”

“Berkendaranya hati-hati, jangan ngebut, jika mengantuk berhenti dulu sejenak.”

Yudis tersenyum mengangguk mengiyakan perkataan mbok Darmi. Lantas berpamitan untuk pulang.

Yudis melangkah menyusuri lorong rumah sakit yang sudah terlihat sepi, hanya ada satu dua orang yang lewat. Berbeda saat di siang hari, begitu ramai.

Tepat di belokan menuju lobi, tiba-tiba seseorang menabrak tubuh tegapnya, hingga kopi di tangannya tumpah dan mengotori kemeja putih yang ia kenakan.

Yudis meringis saat merasakan cairan hitam itu menjalar ke kulit bagian luar perutnya.

“Sial!” umpatnya dalam hati.

“Ja_” suaranya terhenti saat menatap siapa yang telah menabraknya.

Yudis cukup terkejut, gadis kasir di Cafe yang beberapa hari lalu ditemuinya. Cepat Yudis menawarkan bantuan dengan mengulurkan tangan ke hadapan gadis itu yang mendeprok di lantai.

Namun, ditolak, gadis berhijab itu berdiri sendiri.

 “Kalau jalan lihat-lihat, Nona.”

"Maaf, Tuan, saya tidak sengaja," ucap gadis itu.

 Kemudian terdiam saat netra hitamnya bertemu dengan manik cokelat milik Yudis.

Gadis itu tak kalah terkejut seperti dirinya tadi.

“Lihat kemeja saya kotor terkena tumpahan kopi.” Yudis menunjuk ke arah kemejanya. “Saya menginginkan ganti rugi,” lanjutnya.

"Baiklah, saya akan menggantinya, sebentar." Cepat gadis di depannya itu merogoh tas Selempang yang tersampir di pundak. Mencari sesuatu di sana dengan wajah tampak begitu serius.

"Maaf, Tuan, saya tidak membawa dompet, bagaimana kalau Anda tunggu di sini, saya akan segera kembali." Gadis itu hendak beranjak dari hadapan Yudis.

Namun, Yudis bergerak cepat menghalangi jalannya. Ia tak percaya bisa saja perempuan berhijab di hadapannya ini berbohong.

Seperti mengerti apa yang Yudis pikirkan. Gadis itu pun kembali merogoh tasnya dan mengeluarkan buku saku beserta penanya. Kemudian gadis yang belum ia ketahui namanya itu menuliskan sesuatu di sana.

“Anda bisa datang kapan saja ke Cafe tempat saya bekerja. Kebetulan di sana menyajikan berbagai aneka kopi.” Gadis itu menyodorkan secarik kertas ke hadapannya.

Yudistira meraihnya dari tangan perempuan tersebut dan menatap tulisan yang tertoreh di sana. Alamat Cafe lengkap dengan nomor telepon.

Lama Yudis tak mengatakan sesuatu, gadis itu pun berpamitan.

Namun, Yudis mencegahnya kembali. “Siapa namamu?”

Gadis itu terlihat mengerutkan dahi bingung.

 “Orang-orang di Cafe tidak akan percaya jika saya meminta kopi gratis di Cafe Anda,” jelas Yudis, tahu jika gadis itu tak mengerti maksudnya menanyakan nama.

“Laila, Laila Maharani,” jawab gadis itu tegas.

“Oke,” timpal Yudis. Dalam hatinya ia bersorak, karena telah mendapatkan nama gadis yang jadi pertaruhan dengan teman-temannya. Setelah ini pria dengan kemeja yang digulung sampai siku itu akan melakukan rencana selanjutnya.

“Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Gadis itu berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya.

Yudis tersenyum miring menatap punggung kecil gadis bernama Laila Maharani hingga hilang di balik tembok.

Lantas ia merogoh Handphone di dalam saku celana. Membuka grup W* dan mengetikkan sesuatu di sana.

“Laila Maharani.”

Setelah itu ia kembali melanjutkan langkahnya menuju parkiran.

***

Pagi hari Yudis terbangun oleh bunyi gawainya yang terus berdering sedari tadi. Mungkinkah, Jimmy?

Ah, tidak mungkin pria itu sudah diberitahu jika dirinya akan kembali ke kantor pukul satu siang. Karena semalam ia sampai rumah pukul dua pagi dan baru tertidur di jam tiga.

Saat melihat benda pipih itu, ia mengumpat, melihat foto beserta ucapan Rio yang mengejeknya.

“Baru dapat nama doang, payah Loe! Liat, nih, Gue sudah buka segel semalam.”

Di sana terlihat Rio tengah memeluk punggung wanita yang hanya tertutup selimut tengah tertidur lelap.

Ucapan temannya itu benar-benar menohok, membuat Yudis geram. Dasar bajingan!

“Pantas saja semalam menolak ajakan gue nongkrong di Cafe, ternyata loe lagi ....” Daniel menimpali dengan emoticon pria menepuk jidat.

“Tobat, Bro!” Adrian menasihati.

“Entar aja, kalau sudah puas, ha ha!” balas Rio.

Yudis malas untuk menimpali, pria yang masih mengenakan kemeja yang sama dengan semalam, menonaktifkan Handphonya.

Kepalanya terasa pusing, karena masih mengantuk.

Bukan kali ini saja Rio si buaya darat itu pamer pada dirinya dan kedua temannya yang lain.

Pria itu sering mengatakan dirinya Cemen, belum pernah mencicipi perempuan.

Yudis bisa mendapatkan gadis mana saja yang ia suka. Namun, pria dengan rahang kokoh itu memiliki prinsip untuk tidak melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan.

Baginya hal itu akan merusak nama baik perusahaannya. Tak ada yang bisa menjamin bila suatu saat  salah satu dari wanita yang mungkin ia tiduri hamil dan meminta pertanggung jawaban.

Yudis tak akan pernah mengikuti jejak sang ayah yang suka bermain dengan perempuan di luar sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status