Deringan ponsel di atas nakas mengusik tidur Laila. Dengan malas tangannya menyambar benda pipih itu. Di tengah malam seperti ini siapa yang menelepon, batinnya.
Tanpa melihat nama si penelepon di layar yang berkedip-kedip, Laila langsung menyentuh tombol hijau dan menempelkan Handphonenya ke telinga.
"Ila, Om kamu, Ila!" suara isak kesedihan terdengar dari seberang sana.
Refleks Laila terduduk. Matanya yang tadi masih terpejam, karena rasa kantuk yang berat, kini terbuka lebar dengan wajah bingung setelah mendengar suara si penelepon, Ismi istri dari pamannya.
"Tante, ada apa? apa yang terjadi dengan Om?" cecar Laila.
"Laila, Om kamu masuk rumah sakit!" kemudian sambungan terputus begitu saja.
“Halo! Tan_”
Tak pikir panjang, Laila beranjak dari tempat tidur menyambar kerudung dan sweternya yang tergantung di kapstok belakang pintu kamar.
Tangannya meraih kunci di atas nakas dan segera mengeluarkan motor matic kesayangannya.
Dengan kecepatan rata-rata Laila mengendarai kendaraan beroda empat itu dengan perasaan tak tenang. Beruntunglah jalanan di pukul tiga pagi hanya satu dua kendaraan yang lewat. Jadi, ia tak perlu menghadapi drama macet yang sering ia alami di pagi hari saat menuju supermarket, membeli bahan-bahan untuk menu di Cafe.
Laila tinggal terpisah dengan paman dan bibinya. Ia ingin belajar mandiri dan tidak mau terus bergantung pada keduanya. Hamid sempat tak setuju, karena khawatir jika Laila tinggal jauh dari jangkauannya. Namun, gadis itu mampu meyakinkan sang paman, dengan syarat dirinya harus rajin mengabari pria paru baya itu setiap akan pergi ke mana pun.
Hal itu sempat menjadi bumerang bagi Laila, ia merasa Hamid terlalu berlebihan. Akan tetapi gadis berkulit putih itu mengerti perlakuan sang paman semata-mata karena rasa sayang terhadapnya.
"Kamu harus beritahu Om, jika mau pergi ke mana pun!" pesan Hamid kala itu, saat setelah Laila mengutarakan keinginannya untuk tinggal mandiri.
Laila tersenyum mengangguk. "Om tenang saja Laila akan baik-baik saja. Lagi pula aku kan bukan anak kecil lagi yang mesti dikontrol terus."
Hamid mendesah, “tapi setidaknya kamu buat hati Om lega."
Laila memeluk tubuh berisi pria yang tak lagi muda itu erat. "Iya, Laila janji akan beri kabar selalu sama Om."
Sejak saat itu, pamannya tak pernah absen menelepon Laila setiap malam setelah Cafe tutup.
Meskipun Hamid bukan orang tua kandungnya, tetap saja bagi Laila pamannya itu lebih dari sekedar orang tua. Kasih sayang yang diberikan pada Laila lebih dari kata cukup.
Hamid membalas pelukan sang ponakan yang sudah ia anggap seperti anak kandung sendiri. Bagi pria paru baya itu Laila adalah amanah berharga dari mendiang sang kakak yang sangat ia sayangi. Pria bertubuh tambun itu sempat frustrasi saat kehilangan Aditama ayah kandung Laila untuk selamanya.
Namun, saat melihat wajah Laila membuatnya kembali bangkit, dan berjanji akan memberikan kehidupan yang baik dan layak untuk putri semata wayang kakak kesayangannya itu.
Dua puluh menit Laila sampai di rumah sakit terdekat. Tangan yang tertutup sweter tebal itu merogoh gawai di dalam tas selempang miliknya. Membuka chat dari Aldi sang sepupu. Tadi setelah sampai di parkiran Laila menyempatkan mengirim pesan pada remaja delapan belas tahun itu untuk memberitahu di lantai berapa Hamid dirawat.
Ruangan Mawar nomor 5 lantai empat. Ia kembali memasukkan benda pipih itu ke dalam tasnya, kemudian Laila berjalan cepat dan tergesa-gesa hingga tak memperhatikan jalan. Di lobi tepatnya di belokan tubuhnya menabrak seorang pria.
Bokong Laila mendarat bebas di lantai. Wajahnya terlihat meringis merasakan sakit di bagian belakang.
“Kalau jalan lihat-lihat, Nona!” tegur seseorang yang Laila tabrak.
"Maaf, Tuan, saya tidak sengaja," ucap gadis itu. Kemudian terdiam saat netra hitamnya bertemu dengan manik cokelat milik pria tersebut.
Laila mengingat-ingat siapa pria di depannya. Detik kemudian ia baru menyadari siapa pria tersebut.
Yudistira, batinnya.
“Lihat kemeja saya kotor terkena tumpahan kopi.” Pria itu menunjuk ke arah kemejanya. “Saya menginginkan ganti rugi,” lanjutnya.
"Baiklah, saya akan menggantinya, sebentar." Cepat Laila merogoh tas Selempang yang tersampir di pundak. Mencari dompetnya.
Namun, ia tak menemukan benda tempat menyimpan uang itu di. Ternyata Laila lupa memeriksa tasnya saat akan pergi tadi.
"Maaf, Tuan, saya tidak membawa dompet, bagaimana kalau Anda tunggu di sini, saya akan segera kembali." Gadis itu hendak beranjak menuju kamar pamannya dan meminjam uang pada tantenya untuk mengganti rugi kopi pria di hadapannya.
Namun, pria yang masih ia ingat bernama Yudistira itu mencegahnya dengan menghalangi jalannya.
Laila mengerutkan kening, lantas detik berikutnya ia paham apa maksud dari pria ini. Mungkin ia tak percaya. Bisa saja dirinya berbohong.
Laila mengambil note book kecil yang biasa ia gunakan untuk mencatat bahan-bahan menu Cafe yang akan dibeli di supermarket.
Laila menuliskan alamat Cafe Radya. Walaupun tahu pria itu pernah datang ke Cafe tempatnya bekerja tetap saja rasanya tidak sopan jika hanya menyampaikan lewat mulut.
“Anda bisa datang kapan saja ke Cafe tempat saya bekerja. Kebetulan di sana menyajikan berbagai aneka kopi,” ucapnya meraih kertas kecil yang di sobek dari note book kecil milik gadis itu.
Pria bernama Yudistira itu meraih kertas dari tangannya, lantas membacanya dengan saksama.
“Baiklah, kalau begitu saya permisi,” pamit Laila, karena menganggap pria di depannya ini sudah mengerti.
Namun, pria itu mencegahnya kembali. “Siapa namamu?”
Laila terlihat mengerutkan dahi bingung.
“Orang-orang di Cafe tidak akan percaya jika saya meminta kopi gratis di Cafe Anda.”
“Laila.”
“Oke,” timpal Yudis.
“Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Gadis itu berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya.
Menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah lebar. Hatinya tak akan bisa tenang jika belum mengetahui keadaan pamannya.
Akhirnya sampai di ruangan di mana pamanya di rawat. Tangannya membuka hendel pintu perlahan. Di dalam terlihat Hamid tengah terbaring dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya.
Ismi yang menyadari kedatangan Laila. Wanita berkerudung itu langsung menubruk tubuhnya.
Setalah puas menumpahkan tangisnya, Laila pun mengajak sang Tante ke luar ruangan untuk menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi pada Hamid.
“Kenapa Ila enggak diberi tahu?” protes Laila, suaranya naik satu oktaf.
Entah apa yang terjadi dengan Om dan tantenya itu menyembunyikan hal sebesar ini darinya. Memangnya, mereka selama ini menganggap dirinya apa. Batin Laila kecewa.
Selama ini Hamid dan Ismi ternyata sudah menggadaikan Cafe Radya sejak enam bulan lalu pada pihak Bank.
Pamannya itu membutuhkan uang untuk mengembalikan uang para investor yang telah menanam modal pada usaha yang akan ia rintis bersama sang sahabat. Namun, ternyata teman lamannya itu seorang penipu.
Uang sebesar satu miliar dibawa kabur, dan Hamid yang harus bertanggung jawab mengembalikan uang pada para investor. Jika tidak maka ia akan mendekam di penjara.
Pendapatan Cafe yang sehari-hari tak bisa mencukupi untuk mencicil bulanannya dan pada akhirnya menunggak sampai tiga bulan.
Setelah mendengar pihak Bank yang mengatakan akan menyegel Kafenya itu, penyakit jantung yang sudah setahun belakangan ini dideritanya kambuh mendadak.
“Maafkan Om dan Tante, La. Kami terpaksa tidak memberitahumu!” kembali wanita berhijab di depannya menangis dan menyesali semuanya.
Tak tega melihat sang Tante menangis, Laila meraih tangan putih itu. Mengusapnya lembut, untuk menyalurkan ketenangan di sana.
Laila menyesali dirinya yang sempat tersulut emosi.
“Sudahlah, Tan, semua sudah terjadi. Laila akan usahakan melunasi tagihan, agar bulan depan tidak disita pihak Bank.”
Entahlah, Laila akan cari ke mana uang sebanyak itu.
“La!” panggil Ismi usai mengelap jejak-jejak air matanya.
“Iya, Tan?”
“Besok lusa, ommu harus menjalani operasi.” Beritahu Ismi, lantas ia melanjutkan ucapannya itu yang membuat Laila tercengang.
Pundak Laila seolah dihantam batu besar. Belum ia mendapatkan solusi untuk menutupi hutang Bank, kini dirinya dikejutkan dengan biaya operasi sang paman yang lumayan besar.
Laila menghela napas, menetralkan emosinya agar tidak terbawa emosi, ia harus tenang menghadapi semua ini.
Mungkin ini jalan dari Allah yang ditunjukkan pada dirinya untuk membalas budi paman dan bibinya yang telah membesarkan dirinya dengan sepenuh hati.
“Baiklah, Tan. Tante tidak usah khawatir, Laila akan usahakan untuk operasi om dulu, baru melunasi tunggakan Bank.” Laila menenangkan, padahal dirinya tak yakin bisa mendapatkan uang dalam semalam untuk membayar biaya operasi yang tak murah itu.
Ismi mengangguk sembari menahan Isak yang kembali mendera. Wanita empat puluhan itu mulai merasa tenang ada Laila yang akan berusaha untuk membantu, saat dirinya berada di jalan buntu.
Yudis tersenyum menyeringai menatap kertas bertuliskan alamat Cafe Radya. Di otaknya terangkai berbagai rencana untuk mendekati gadis itu demi memenangkan taruhan. Perjuangannya akan segera dimulai, ia akan menjerat perempuan bernama Laila itu sampai bertekuk lutut di hadapannya. Suara ketukan pintu menyadarkan Yudis dari lamunannya. Sang asisten membuka benda persegi panjang itu setelah mendapat perintah masuk darinya. "Ada apa?" tanya Yudis sembari menyandarkan punggungnya di sandaran bangku kekuasaannya. "Ini informasi yang tuan minta." Sang asisten Jimmy meletakkan map di hadapannya. Yudis meraih map tersebut. Membukanya dan membaca lembar demi lembar jejeran huruf-huruf di atas kertas yang tersusun rapi. "Cafe itu sudah digadaikan pada pihak Bank, kemungkinan bulan depan akan di sita, karena pemiliknya belum membayar cicilannya selama tiga bulan." Jimmy menjelaskan secara terperinci. Asistennya tersebut bukan hanya
Yudis kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Hari ini ia menghadiri lima rapat sekaligus bersama para investor yang tertarik menanam saham di Prasetya Grup. Hingga menjelang malam lelaki itu belum juga bangkit dari duduknya di depan layar laptop yang berpendar menyorot wajah tegasnya. Hingga sang sekretaris masuk dan memberitahunya mengenai kepulangan Miranda besok. Jimmy memberitahu jika asisten rumah tangga dan sopir yang biasa mengantar jemput ibunya tak bisa mengurus kepulangan Miranda di rumah sakit, karena sang sopir izin mendadak harus pulang ke kampung halaman, sementara mbok Darmi sendiri sedang tak sehat. Yudis menutup laptopnya kasar, kenapa juga dirinya yang harus menjemput wanita itu. Sepertinya ibunya memang sengaja memanipulasi keadaan. Batinnya. Esok harinya sebelum berangkat ke kantor, Yudis ke rumah sakit terlebih dulu untuk mengurus kepulangan Miranda, sesuai informasi yang di sampaikan Jimmy kemarin. Saat tiba di l
Keluar dari rumah sakit, Laila tak langsung ke Cafe. Untuk menghilangkan penat ia pergi ke taman yang sering gadis itu kunjungi bersama kedua orang tuannya, saat dirinya berusia lima tahun. Laila mendaratkan bokongnya di kursi taman, menatap sekitar di mana banyak pasangan yang tengah bersenda gurau bersama buah hatinya. Ada juga yang tengah joging dengan berlari kecil memutari luasnya taman. Padahal bukan hari libur, tapi taman ini tak pernah sepi. Selain pemandangannya yang indah dan asri, juga ada beberapa permainan untuk anak-anak, seperti ayunan dan perosotan yang membuat betah si kecil. Laila tersenyum kala melihat seorang anak berlari kemudian ditangkap oleh sang ayah. Melihat hal itu ia jadi teringat pada almarhum kedua orang tuannya. Rasa rindu menyeruak begitu saja dalam batinnya. Laila mengangkat kepalanya ke atas kemudian menghembuskan napas, berusaha menghalau rasa sedih, karena rindunya kepada kedua orang tuannya. Setelah
Laila terkesiap saat melihat bukti lunas pembayaran Operasi sang paman dari wanita kemarin yang bertanggung jawab di bagian administrasi.“Si-siapa yang melunasinya?” tanya Laila masih tidak percaya dengan kenyataan di depannya. Tangannya yang memegang amplop cokelat berisi uang itu bergetar, lantaran tak percaya ada seseorang yang sudah baik membayarkan biaya operasi yang sangat besar itu.Kemudian wanita paru baya itu menjelaskan tentang seseorang yang telah melunasi semua biaya operasi sekaligus perawatan sang paman sampai sembuh.“Kenapa Anda tidak menanyakan hal ini kepada saya lebih dulu.” Laila masih tak mengerti.“Tapi orang ini bilang dia teman Anda, dan dia mengenal Anda,” jelas sang wanita dengan name tag Winda.“Teman?” gumam Laila bingung. Teman yang mana yang dimaksud wanita di depannya itu. Seingatnya tidak ada teman atau kerabat lainnya yang diberitahu perihal keadaan sang paman.Laila tipe orang yang tak ingin di kasihi.
Yudis tersenyum. “Saya hanya ingin membantu Anda Nona?”“Tapi saya tidak perlu bantuan Anda, saya bisa menyelesaikan masalah saya sendiri. Lagi pula apa urusan Anda?” Laila mulai tersulut emosi. Ia menduga jika Yudis melakukan semua ini karena menginginkan sesuatu darinya.“Maaf, jika saya sudah lancang. Tadi pagi saya tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Anda dengan pihak rumah sakit mengenai biaya operasi. Dan saat itu juga saya ingin membantu Anda,” jelas Yudis panjang lebar.Ia berharap Laila dapat menerima alasannya.“Kenapa tidak bertanya pada saya lebih dulu?”“Jika saya bertanya pada Anda, sudah pasti Anda akan menolak, jadi saya putuskan untuk melunasinya tanpa sepengetahuan Anda.”Laila menghela napas kasar, lantas berdiri dari duduknya. “Baiklah Tuan, karena semua sudah terlanjur, jadi saya akan mengembalikan uang itu secepatnya.”“Tidak perlu, Anda tidak perlu melunasinya, saya ikhlas,” cegah Yudis.“Tidak Tuan, s
Pukul empat sore Yudis menyudahi pekerjaannya. Jimmy memberitahukan jika sore ini tak ada jadwal meeting dengan para investor.Karena tak ada lagi yang mesti di kerjakan Yudis pun berniat mengunjungi Cafe Radya, sekalian mau mengembalikan bolpoin milik Laila yang ia temukan lima hari lalu.Sesampainya di depan Cafe usai menepikan mobil, Yudis mengamati dari luar, sepertinya Cafe sedang ramai pengunjung, karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Sudah pasti banyak orang yang mengunjungi Cafe untuk sekedar melepas penat usai bekerja dengan secangkir kopi Yudis membuka pintu lantas berpapasan dengan seorang pelayan Cafe yang belum ia ketahui namanya.“Tuan tampan!” seru gadis itu, terlihat begitu antusias. Bola matanya membulat seolah hendak melompat dari tempatnya. Kedua tangan gadis itu menggenggam erat bungkusan plastik hitam besar yang dapat Yudis tebak itu adalah sampah.Yudis tak merespons, ia justru menunjukkan muka datar. Lalu de
“Biar aku yang membayarnya,” ucap Yudis nyaris seperti perintah.Mendengar perkataannya, seketika Laila terkejut. “Jangan! Saya tidak ingin merepotkan Anda lagi.”“Aku tidak merasa direpotkan,” sanggah Yudis. “Biarkan aku membantumu sebagai seorang teman,” tambahnya.Laila menatap netra hitam milik Yudis, di sana ia menemukan keseriusan. Tapi, dirinya tak ingin terus berhutang budi pada pria di depannya itu.“Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, karena Anda sudah membantu. Tapi, untuk kali ini saya ingin menyelesaikannya sendiri,” lanjut Laila.“Panggil saja Yudis.” Yudis menimpali perkataan Laila yang menurutnya terlalu kaku. Ia berharap cepat akrab dengan gadis itu, sesuai harapannya untuk memenangkan taruhan.“Tapi ... sepertinya itu tidak sopan,” jawab Laila.“Tidak apa-apa, bukankah kita sudah berteman?” “Baiklah, sa-eh, aku panggil Mas Yudis saja ya?”Yudis mengangguk sembari tersenyum mengiyak
Bab 12 Pagi ini Yudis ingin memenuhi janjinya bersepeda bersama Laila. Ia sudah siap dengan pakaian olahraga, kaos hitam dan celana training lengkap dengan sepatu dan handuk di lehernya. Mbok Darmi yang melihat penampilan majikannya itu cukup kaget. Biasanya di hari libur seperti ini, kalau tidak bekerja lembur ya tidur. Namun, berbeda untuk kali ini. “Tuan, mau ke mana?” tanya Mbok Darmi. “Olah raga,” jawab Yudis. Mbok Darmi merasa aneh dengan majikannya itu, biasanya sang majikan hanya nge-gym atau berenang di rumah untuk olah raga. Sebaliknya jika tidak olah raga, maka sang majikan akan menghabiskan waktunya di ruang kerja dari pagi hingga menjelang malam. “Saya pergi, Mbok. Kemungkinan pulang siang,” ucap Yudis yang diangguki sopan oleh pembantunya itu. “Tuan Yudis mau di masakin apa buat makan siang?” tanya mbok Darmi ya