Aku mengabaikan pesan dari Sinta, sedang tak berselera meladeninya. Juga beberapa pesan dari yang lain. Bengkel hari ini tutup karena aku malas bekerja akibat perkataan istriku tadi.
Aku mengabari salah satu karyawan dengan menelepon dan meliburkan mereka hari ini. Semangatku hilang entah ke mana. Mungkin saja ia terbawa angin yang berembus. Atau hanyut bersama derasnya air yang mengalir di kaki pegunungan.
Ponsel berbunyi lagi. Kali ini dentingnya tiada henti. Aku menimbang sejenak, lalu menjadi resah karena rasa penasaran yang memenuhi benak dan mulai membacanya.
'Rahman kamu sombong banget sekarang. Mentang-mentang udah sukses. Lupa ya sama aku.'
Lupa? Aku memang tak mau mengingat apa pun lagi mengenai pekerjaan itu.
'Lama mencari akhirnya ketemu sekarang. Aku kangen kamu.' Tulisnya disertai dengan emoji menangis.
'Kalau chat ini gak dibalas, nanti aku datengin ke rumah, loh.'
Aku mengernyitkan dahi, kembali bertanya dalam hati. Dari mana Sinta tahu semua info mengenaiku? Apa ada seseorang yang berniat jahat ingin menghancurkan rumah tangga kami. Apa orang itu sengaja membocorkan rahasia kepada mantan pelangganku dulu?
'Aku serius.' Begitulah isi pesan terakhir dari Sinta.
'Ya.'
Hanya itulah balasan yang kuketikkan. Berharap dia tidak akan mengganggu lagi. Namun wanita, jika merasa belum puas akan jawaban laki-laki, mereka akan mencecar kembali.
'Aku mau ketemuan. Sebentar aja. Boleh, ya?'
Pesan dari Sinta muncul lagi. Aku mengabaikannya dan meletakkan ponsel di nakas. Kali ini, aku benar-benar tak mau menanggapi. Jika masih ngotot, maka akan kublokir nomornya.
Aku menyandarkan diri di sofa dan teringat akan tiga tahun lalu, saat kami bertemu. Sinta adalah pelanggan pertama yang menggunakan jasaku, juga membayar dua kali lipat karena merasa puas karena pelayanan yang aku berikan.
Ada banyak nama untuk pekerjaanku dulu. Terserah kalian saja mau menyebutnya apa. Awalnya ada rasa jijik saat menyetuh mereka. Namun, ketika melihat saldo di rekening yang tiba-tiba saja menggendut setelah menemani pelanggan, aku menjadi bersemangat lagi.
Aku mensugesti diri sendiri bahwa semua pelangganku adalah gadis yang cantik dan seksi, walaupun pada kenyataannya tidak begitu. Sehingga saat melakukannya, semua mengalir begitu saja.
Malam itu, kami membuat temu janji di sebuah kafe yang letaknya di tengah kota. Aku dan Fredy, kakak tingkatku, duduk santai menikmati segelas kopi dan camilan sembari menunggu pelanggan datang.
Ada dua orang yang pelanggan, masing-masing dari kami mendapatkan satu. Entah siapa akan berpasangan dengan siapa, itu tergantung kesepakatan nanti.
Tak lama datanglah seorang wanita berpenampilan modis, memakai dress ketat selutut berwarna merah menyala. Rambutnya hitam panjang dan harum. Itu tercium saat dia duduk di sebelahku.
Sudut mataku melirik sedikit. Dia lumayan cantik walaupun sudah berumur. Lekuk tubuhnya yang ramping sukses membuat jantungku berdebar kencang.
Aku pernah pernah menjalin cinta dengan seorang wanita, tetapi kandas di tengah jalan karena keuangan yang pas-pasan. Jangankan membelikan hadiah di hari Valentine, untuk biaya hidup sehari-hari dan membayar uang kosan saja berat.
Kugenggam erat tangan mungil itu saat berkenalan. Halusnya kulit itu membuatku semakin gugup. Fredy mengulum senyum saat melihatku yang jadi salah tingkah. Pantas saja dia senang menekuni pekerjaan ini, pelanggannya sungguh menggoda iman.
Pantas juga ketika mendaki gunung, dia yang membayarkan kebutuhan kami. Juga camilan anak-anak di camp. Ternyata uang yang mengalir di rekeningnya lancar setiap bulan.
Kami bincang sebentar. Ketika Sinta berpamitan ke toilet, Fredy menceritakan sedikit mengenai wanita itu.
Sinta merasa kesepian karena sering ditinggal berpergian. Sebagai seorang pejabat pemerintah, suami wanita itu mengurusi banyak hal di luar kota bahkan di luar negeri. Kadang-kadang dia ikut serta, tetapi lebih banyak tidaknya.
Tak hanya itu, Sinta juga mencurigai suaminya diam-diam telah menikah lagi. Karena itulah dia melampiaskan sakit hati dengan mengencani banyak laki-laki muda. Mahasiswa memang menjadi incarannya.
Sebenarnya Sinta tidak sendirian. Ada beberapa wanita yang bernasib sama. Mereka membentuk geng dan biasanya akan bergantian memakai jasa kami. Mereka juga akan saling bertukar info jika ada mahasiswa baru yang bisa dikencani.
Setelah makan malam dengan menu spesial, yang semua dibayarkan oleh Sinta, aku langsung ikut ke parkiran dan masuk ke sebuah mobil mewah. Dia memilihku. Sedangkan Fredy akan berkencan dengan pelanggan satunya, yang sejak tadi belum datang. Sehingga dia masih menunggu di kafe sewaktu kami pergi.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, tak tahu harus memulai pembicaraan. Lidah ini kelu, mata hanya bisa berfokus ke depan. Entah ke mana dia akan membawa, aku pasrah saja.
"Baru, ya?" katanya memecah keheningan.
"Iya, Tan-te," jawabku gugup sembari meliriknya sedikit. Ketika mata kami bertautan, aku segera membuang pandangan.
"Ih, jangan panggil Tante, dong. Aku kan, masih cantik gini," ucapnya tersenyum genit.
Sinta terlihat senang sekali karena bibirnya terus saja mengembangkan senyum sejak tadi.
"Terus panggil apa?" tanyaku.
"Panggil nama aja," ucapnya sembari mengedipkan mata.
Tanpa kusadari, tiba-tiba saja tangannya mulai menyentuh jemariku. Membuat tangan ini semakin gemetaran dengan detak jantung yang tak karuan.
Aku melirik lagi dan kali ini memilih untuk menatapnya lebih lama. Ada sedikit rasa iba di hati, juga banyak pertanyaan mengapa suaminya menikah lagi jika mempunyai istri secantik Sinta?
Ah, kaum laki-laki memang buaya. Mata kami tak bisa hanya melihat satu wanita dan tetap akan berkeliaran ke mana-mana. Apalagi suami Sinta berkelimpahan harta sehingga mudah baginya untuk mendua.
Astagfirullah, aku mengucap dalam hati. Dia adalah orang yang akan membayar dan memberikan aku uang. Tak pantas aku menghinanya seperti itu. Lalu mengapa aku mengingat Tuhan, jika perbuatan yang akan lakukan ini adalah sebuah dosa besar. Pantaskan aku disebut manusia munafik?
Kami tiba di sebuah hotel berbintang lima yang harga kamarnya per malam pastilah mahal. Sinta dengan santainya menggandeng lenganku saat memasuki tempat itu. Senyumnya merekah sejak awal membooking kamar hingga kami berada di dalamnya.
"Rahman. Kamu kok ganteng banget. Aku suka," bisiknya manja.
Tangan Sinta mulai menyentuh wajahku. Lalu semua terjadi begitu saja. Wanita itu tertidur lelap setelah semua selesai. Sementara itu aku termenung memikirkan semua, karena telah kehilangan harga diri untuk yang pertama kali dengan cara yang kotor.
Setelah kepergian Riska, aku menyalakan mesin mobil, lalu melajukannya menuju rumah Ibu yang terletak di ujung kota. Biasanya aku akan berkunjung jika suasana hati sedang tak nyaman, selain acara keluarga tentunya.Harusnya di masa tua, aku mempunyai banyak waktu untuk mengurus Ibu, bukannya sibuk bekerja. Namun, ada banyak perut yang aku hidupi di bengkel sekalipun usaha kecil-kecilan.Ibu menyambutku dengan senang. Hal itu terlihat ketika dia tergopoh-gopoh membukakan pintu saat aku mengucap salam."Tumben datang? Istrimu gak masak?" Begitulah pertanyaan yang akan Ibu ucapkan jika aku tiba-tiba datang."Riska ke butik pagi-pagi, Bu. Lagi banyak pesanan," jawabku santai sembari membuka sepatu dan duduk di sofa ruang tamu."Ayo cuci tangan. Kamu pasti lapar," ajak Ibu sembari menarik lenganku menuju ruang makan.Rumah peninggalan mendiang Bapak ini memang sederhana karena hanya memiliki dua kamar. Ruang tempat kami makan berdekat
Sepanjang perjalanan pulang kami terdiam. Aku melirik Riska berkali-kali, menatap wajah cantik yang selalu menggetarkan hati. Wanita baik hati yang mau menerimaku apa adanya, sekalipun dia berasal dari keluarga berada."Mas mau bicara apa di rumah?" tanya Sinta memecah keheningan.Aku menarik napas panjang, merasa lebih lega. Jika Riska sudah mau bicara, itu berarti amarahnya mulai mereda. Tinggal bagaimana aku membujuk agar dia memaafkan. Bukankah laki-laki selalu salah di mata wanita? Dan untuk itu, aku menerimanya, karena aku memang bersalah."Aku ... mau minta maaf. Banyak salah sama kamu," jawabku cepat.Tadi aku meminta Riska untuk menyerahkan butik kepada salah satu asisten, sehingga dia bisa pulang lebih awal.Riska menatapku, bersamaan dengan aku yang balas meliriknya. Mata kami bertautan sesaat, lalu aku kembali fokus menyetir."Oh, iya. Mas kenal Tante Sinta di mana? Kok, kayaknya akrab gitu."
Keesokan harinya.Kuparkir mobil bersebelahan dengan milik Riska di halaman butik. Kemarin aku menjemputnya, sehingga mobilnya ditinggal."Nanti gak usah jemput, Mas. Masa' mobil aku ditinggal di sini terus," katanya saat melepas seat belt.Selama ini kami memang jalan sendiri-sendiri kalau berangkat bekerja. Biasanya Riska akan pergi agak siang karena membereskan rumah terlebih dahulu. Kunci butik dipegang oleh salah salah satu karyawannya. Jadi, dia bebas datang kapan saja.Sementara itu, aku harus berangkat pagi-pagi karena kunci bengkel dipegang sendiri. Bukannya tidak percaya dengan karyawan, tapi lebih baik mengantisipasi di awal sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi."Masuk dulu, gak? Apa mau langsung aja?" Dia mencium punggung tanganku sebelum membuka pintu mobil."Gak usahlah. Udah telat," jawabku sembari melirik jam tangan.Pasti saat tiba di bengkel nanti, karyawan sudah menunggu di dep
Sesuai dengan permintaan Sinta, setelah bengkel tutup aku langsung menuju ke Kopi Tiam. Tempat itu berada di sebuah mall yang terletak di tengah kota.Sebuah pesan kukirim ke Riska untuk mengabari kalau aku akan pulang malam hari ini. Alasanku karena ada keperluan dengan seorang teman lama. Untunglah dia mengerti. Aku merasasedikit lega saat dia tak banyak bertanya dan hanya membalas 'iya'.Sesampainya di sana ternyata Sinta sudah menunggu. Seperti biasa, dengan penampilan yang glamour juga dandanan menor. Wanita itu memang sejak dulu tak banyak berubah, mengandalkan kecantikan fisik untuk menggoda lawan jenis."Mau pesan apa?" Sinta menyodorkan daftar menu.Aku langsung menolaknya karena memang tak ada niat untuk berbincang lama di sini. Aku hanya sekadar ingin tahu apa maunya. Itu saja."Minum dulu, Rahman. Jangan buru-buru gitu," ucapnya dengan penuh harap. Tangannya bahkan hendak menyentuh jemariku. Namun, sebelum itu terjadi, aku dengan
Riska meletakkan sebuah undangan mewah berwarna abu-abu dengan pita gold berhiaskan mutiara di meja, saat aku sedang mencatat beberapa keperluan bengkel yang akan dibeli."Apa ini?" tanyaku sembari meletakkan pulpen. Bau harum seketika menguar saat kubuka bungkusnya."Itu acara nikahannya keponakan Tante Sinta. Dia ngundang kita, Mas. Katanya, keluarga mereka pengen kenalan sama desainernya," jelas Riska saat duduk di sebelahku. Lengannya melingkar di pinggang dengan erat, sehingga membuatku ingin memanjakannya saat ini juga."Loh, bukannya waktu ukur baju mereka datang semua?" tanyaku lagi.Aku membuka dan membaca isinya, melihat nama kedua mempelai, lalu kaget saat mendapati siapa saja yang menjadi tamu kehormatan. Nama beberapa pejabat dan pengusaha penting di kota ini tercantum di sana.Acara akad nikahnya akan berlangsung di masjid raya, sedangkan resepsi di sebuah gedung besar. Keluarga Sinta pastilah kaya sehingga mengadakan pesta seme
Riska memandangku dengan tajam. Tangannya terlipat di dada dengan bibir ditekuk. Napasnya naik turun, tapi saat berbicara masih halus terdengar. Dia berusaha menahan diri. Padahal aku tahu itu ... marah."Jujur! Darimana Mas kenal dengan mereka?"Aku terdiam seperti biasa. Bukankah laki-laki harus begitu jika menghadapi wanita yang sedang marah? Agar tak terjadi luapan emosi yang semakin meledak."Aku minta penjelasan. Dari awal ketemu Tante Sinta di butik, aku udah curiga. Kenapa dia bisa kenal Mas? Bahkan tau kebiasaan mas," lanjutnya.Riska mencecarku dengan banyak pertanyaan dan aku masih menatapnya dengan hati gamang. Aku menjadi serba salah, jika berkata jujur maka semua akan terbongkar. Aku tak mau kehilangan dia, bahkan tak sanggup hidup lagi jika sampai itu terjadi."Jawab, Mas. Apa kamu punya masa lalu yang masih disimpan dan aku belum tahu?" cecarnya.Lagi, bibir ini bungkam. Sulit untuk mengatakan kebenaran. Masa laluku adalah ai
Semua mata menatap kami dengan heran, lalu bisik-bisik kembali terdengar. Aku merangkul Riska untuk saling menguatkan. Jemari kami bertautan dengan erat seolah tak ingin dipisahkan."Jadi ... selama ini yang gak subur itu Mas Rahman?" tanya Dina setengah tak percaya. Selama ini dialah yang ngotot memojokkan kakak iparnya karena sakit hati."Iya. Ini hasil tes rumah sakit."Aku mengeluarkan selembar kertas hasil pemeriksaan dari saku dan menyodorkannya. Dina meraihnya dengan cepat, lalu bergantian dengan Ibu dan keluarga yang lain.Aku kembali menatap Riska sembari tersenyum. Akhirnya rasa bersalah kepadanya kini lepas sudah. Aku tak ingin Riska disudutkan terus menerus oleh mereka."Sudah. Sudah. Jangan dibahas lagi."Tiba-tiba saja mamanya Riska mengambil kertas itu lalu menyimpannya di tas. Beliau mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan hal lain agar kami tak membahas itu lagi.Acara selesai. Satu per satu keluarga berpamitan pu
"Kebakaran! Kebakaran!"Suara teriakan warga sekitar menggema bersamaan dengan sirine mobil Damkar yang melintasi keramaian.Kulihat para petugas berseragam jingga itu bergegas turun sembari sibuk menarik selang yang akan menyemburkan air. Mereka berteriak, saling memberikan perintah agar api yang sedang berkobar dapat segera dipadamkan.Aku terpaku dengan tangan gemetaran di depan bengkel. Bangunan kokoh yang selama ini menjadi tempat mencari rezeki itu kini lenyap dalam sekejap.Untungnya tidak ada korban jiwa karena terjadi di malam hari saat bengkel sudah tutup. Diduga, korsleting listrik adalah penyebab utamanya."Sabar, Pak," ucap salah seorang karyawan sembari menepuk bahuku.Dialah yang memberitahu karena tinggal di dekat situ. Aku terbangun di tengah malam karena sebuah telepon yang mengabari kejadian ini. Kutinggalkan Riska yang kebingungan dan bergegas menuju ke sini."Semangat saya hilang bersama dengan hancurnya ban