Share

Taubat Sang Pendosa
Taubat Sang Pendosa
Penulis: Queeny

Vonis

Penulis: Queeny
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-23 12:55:36

"Sebaiknya kita berpisah, Mas. Kamu kan, yang gak bisa ngasih keturunan."

Aku terdiam saat Riska --istriku-- mengatakan hal itu. Harga diri sebagai seorang laki-laki telah terlecehkan. Namun, memang itulah kenyataan yang harus diterima. Hasil tes dari rumah sakit menyatakan kalau aku mandul. 

Pantas saja, sudah hampir dua tahun kami menikah dan belum diberikan momongan. Selama ini tuduhan selalu disematkan kepadanya, karena aku sendiri beberapa kali menolak untuk mengikuti tes.

Rasa iba ketika melihat dia terus dicaci- maki oleh keluarga membuat hati ini tak tega. Akhirnya kami sepakat untuk melakukan tes bersama. Hasilnya? Akulah penyebabnya.

Aku menangis memohon ampun di setiap sepertiga malam, atas dosa-dosa yang selama ini telah diperbuat. Mungkin inilah hukuman karena aku kerap berbuat zina. Entah sudah berapa banyak wanita yang telah singgah di malam-malamku. 

Dulu di masa muda, karena kesulitan ekonomi saat kuliah, aku bekerja sebagai penjaja cinta kepada wanita-wanita kesepian yang ditinggal oleh suaminya. Juga wanita lajang yang enggan menikah namun tetap menginginkan kehangatan laki-laki.

Selama ini Riska tidak tahu. Dia hanya tahu kalau aku mempunyai bengkel karena sering membawa kendaraannya untuk di-service. Dari situlah kami dekat, kemudian saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah. 

Bengkel itu dibangun dari uang hasil menjaja diri. Aku menabungnya sedikit demi sedikit selama beberapa tahun, sebagai persiapan jika nanti pekerjaan itu aku tinggalkan.

Jangan tanya bagaimana rupaku, kulit putih dengan wajah yang bersih tanpa noda. Perut kotak-kotak dan otot yang liat, membuat para kaum Hawa menjerit kesenangan setiap melihatnya. Untuk mendapatkan hasil maksimal, aku melatihnya secara rutin di sebuat pusat kebugaran di kota ini. 

Aku tak sengaja mengetahui pekerjaan ini dari seorang teman. Lebih tepatnya dia kakak tingkatku, karena kami sama-sama aktif di sebuah organisasi pecinta alam. Dia yang telah memperkenalkan aku kepada wanita-wanita itu.

Kami bertatap muka langsung dengan pelanggan di sebuah tempat yang sudah disepakati. Berbincang sejenak sebagai basa-basi. Setelah deal, maka akan ditentukan tempat bertemu. Biasanya di sebuah hotel berbintang. Namun, tak jarang di sebuah losmen melati yang lapuk karena tak semua pelanggan memiliki banyak uang. 

Aku bahkan pernah memberikan layanan gratis karena merasa kasihan kepada seorang wanita. Kupuaskan dia hingga larut malam di rumahnya yang sepi, tetapi tentu saja wajahnya cantik. Jika tidak, aku tak mau. 

Jangan kalian tanya juga berapa jumlah boks alat pengaman yang kami harus siapkan. Benda itu seperti rokok yang wajib dibeli dalam jumlah banyak.

"Kenapa melamun, Mas? Dulu keluargamu menghina aku. Mengatakan kalau aku istri tak berguna. Ternyata selama ini kamu yang bermasalah."

Aku tersentak dan menatap wajah Riska dengan gamang. Tak menyangka dia akan berkata seperti ini. Wanitaku yang ayu dan lembut kini berubah menjadi seperti singa ketika marah. 

"Apa kamu gak bisa nerima aku apa adanya?" tanyaku penuh harap. 

Begitu dalam rasa sayangku kepada Riska, sehingga ketika memutuskan untuk menikah, aku berhenti dari pekerjaan laknat itu dan fokus mengurus bengkel.

"Aku sakit hati, Mas," isak tangisnya mulai terdengar. "selama ini aku diam karena menerima jika ini memang takdir. Ternyata kamulah penyebabnya."

Aku berusaha merengkuh tubuh itu ke dalam dekapan. Namun, dia menolak dengan halus. Riska bahkan berjalan keluar kamar dan meninggalkanku sendirian.

Kutarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Masih erat kugenggam kertas hasil pemeriksaan itu sebulan yang lalu. Hanya saja kami masih sama-sama merahasiakannya dari keluarga demi menjaga nama baik. Namun, sepertinya kali ini Riska sudah tidak tahan. 

Apalah artinya hidup seorang laki-laki jika tidak bisa membuahi. Hina.

Aku berjalan keluar untuk mencari istriku dan mencoba untuk membicarakan permintaannya tadi. Berharap dia berubah pikiran karena wanita kadang terbawa emosi. Tak lama terdengar suara mobil dari garasi yang meninggalkan rumah. Aku mengintip lalu merasa kecewa.

Aku kembali ke kamar, merebahkan diri di ranjang dan menatap langit-langitnya yang kosong. Teringat ucapan adikku yang mungkin saja telah melukai hati Riska.

"Mas nikah aja lagi kalau dia gak bisa hamil. Masa keluarga kita gak punya penerus laki-laki. Anakku perempuan semua."

Dina, adikku satu-satunya yang paling aku sayang, justru menganjurkan sebuah pilihan yang sulit untuk diterima. Entah bagaimana dengan sikap ibuku. Beliau tak pernah membahasnya jika aku berkunjung. 

"Jangan bilang begitu, Dek. Mas gak tega sama mbakmu. Dia baik dan mau menerima keluarga kita apa adanya. Dia dari keluarga kaya dan juga udah banyak bantu," jawabku bijak. 

Riska memang banyak mengangkat nama keluargaku karena dia berasal dari keluarga berada. 

"Kalau dia gak mau diceraikan ya mending solusinya begitu. Jadi adil." 

Aku tersentak dari lamunan saat ponsel berbunyi. Dengan cepat kuraih benda pipih bewarna hitam itu lalu membuka pesan. Mataku terbelalak saat membaca isinya. 

"Mas Rahman. Aku kangen. Kamu lama gak keliatan di kelab. Ke mana aja? Mau booking padahal."

Walaupun aku tidak menyimpan nomornya, namun aku tahu itu dari siapa melihat dari foto profile-nya. 

Sinta. Pelanggan tetapku dulu. Istri salah satu pejabat pemerintahan yang cukup terkenal di kota ini. Orangnya royal dan suka memberikan tip. Kadang-kadang suka memberiku hadiah jika berpergian dari luar kota atau luar negeri. 

Sinta merasa kesepian karena suaminya sibuk bekerja. Hal itu yang selalu dia ceritakan kepadaku setiap kami berduaan. Lalu, darimana dia mendapatkan nomor ponselku? Bukankah yang lama sudah aku buang. 

Apa jangan-jangan, dia ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Taubat Sang Pendosa   Ziarah

    Hari ini cuaca cerah. Aku menggandeng lengan Riska memasuki sebuah area pemakaman. Tadi kami sudah berziarah ke makan Ibu yang terletak didekat rumah. Kini dia memintaku untuk menemani berkunjung ke makam orang tuanya.Di depan pintu gerbang, kami membeli bunga untuk taburan. Ini bukan bulannya untuk berziarah, tetapi kami selalu menyempatkan diri untuk datang.Dua gundukan berwarna hijau itu tertera nama Mama dan Papa. Mereka dimakamkan bersebelahan. Itulah amanat Mama sebelum meninggalkan kami.Papa berpulang duluan karena komplikasi penyakit diabetes. Kabarnya, di masa muda beliau sering mengkonsumsi makanan cepat saji. Oleh karena itulah, Riska sangat menjaga pola makan kami karena khawatir itu akan terulang.Kepergian Damar dan Papa yang memiliki riwayat penyakit yang sama, membuat Riska sedikit trauma karena menyaksikan langsung bagaimana proses pengobatannya."Nanti kalau aku meninggal duluan, makamkan aku di sebelah Mama ya, Pa," pinta Risk

  • Taubat Sang Pendosa   Hari yang Dinanti

    Hari yang dinanti oleh kami telah tiba. Fajar tampak gagah dengan memakai beskap berwarna putih. Aku juga memakai pakaian yang sama hanya berbeda modelnya. Saat ini kami sedang berada di sebuah Masjid Raya. Tempat di mana Fajar akan mempersunting pujaan hatinya. Ada satu ruang yang sudah didesain sedemikian rupa untuk melangsungkan acara sakral ini. "Gimana penampilanku, Pa?" Fajar terlihat gugup sejak tadi. Sedari tadi dia mondar-mandir dan gelisah. Aku sudah menyuruhnya duduk tetapi dia menolak. Putraku berulang kali mengusap kedua telapak tangannya karena gugup. "Udah ganteng maksimal sama kayak Papa Damar," jawabku meyakinkan. "Beneran, Pa?" Aku mengangguk, mengerti sekali apa yang sedang dia rasakan. Dulu aku juga pernah mengalami hal seperti ini saat akan menikahi Riska. Dua kali malah. Namun, justeru yang kedua itu yang paling mendebarkan. Fajar membalikkan tubuh dan menatapku lekat, lalu mengambil foto yang terletak di

  • Taubat Sang Pendosa   Prestasi

    Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi melewati beberapa jalan agar segera sampai di tempat tujuan. Harusnya aku sudah berada di sana karena acara sudah dimulai."Papa udah sampai di mana?" tanya Riska saat aku menjawab panggilannya.Padahal ini masih di jalan raya dan aku terpaksa menepi karena sejak tadi ponsel bergetar tiada henti. Sudah satu jam Riska menunggu dan aku belum datang."Acara utama udah mau selesai. Fajar mau naik ke panggung sebentar lagi.""Iya, Ma. Ini juga lagi di jalan!" teriakku dia antara bunyi bising kendaraan lain yang berlalu-lalang.Aku mengabaikan omelan itu dan langsung memutuskan sambungan. Kuselipkan ponsel di saku, lalu kembali melaju. Hati ini berdebar sejak tadi karena aku akan menyesal jika sampai tidak menyaksikannya.Hari ini adalah hari kelulusan Fajar di Sekolah Menengah Pertama. Putraku yang akan maju memberikan sambutan mewakili teman-teman satu angkatan, karena dia menjadi siswa terbaik tahun i

  • Taubat Sang Pendosa   Nasihat

    Beberapa tahun kemudian."Fajar, dengarin papa kamu bicara!" bentak Riska.Fajar sudah melakukan suatu kesalahan dan menolak dinasihati. Sejak tadi kami menunggunya turun hingga Riska naik dan memanggilnya.Beberapa tahun ini banyak hal yang berubah dari keluarga kami. Fajar yang mulai sulit diatur kerena sudah memiliki keinginan sendiri. Anak berusia sebelas tahun itu lebih suka menyendiri di kamar.Riska juga sama, menjadi ibu yang semakin cerewet juga terlalu banyak mengatur. Kami sama-sama takut jika sampai Fajar terjerumus ke pergaulan bebas. Oleh karena itulah, penjagaan ekstra ketat dilakukan."Jawab Papa. Kamu kamu sentuh gadis itu?" tanyaku lagi.Kami sangat terkejut ketika mendapat laporan dari wali kelas bahwa Fajar telah mendekati salah satu gadis di sekolah."Dia cantik. Abang ... suka.""Ya Allah!"Kami saling berpandangan dan menggeleng berulang kali. Aku mengulum senyum saat melihat jawaban polos darinya,

  • Taubat Sang Pendosa   Kasih Sayang Seorang Papa

    Aku memeluk Fajar yang berlari sembari menangis. Hari ini aku yang bertugas menjemputnya di sekolah. Setiap hari Sabtu, bengkel sengaja aku tutup karena Riska sedang sibuk di toko barunya."Papaaa ....""Ada apa?" tanyaku lembut."Mereka jahat.""Memangnya kenapa?""Mereka bilang--"Aku menatap Fajar yang masih tersedu dengan lekat, mencoba memahami perasaannya. Anak berusia delapan tahun itu sudah mengerti jika ada menyakiti hatinya."Papa bukan papa aku yang sebenarnya."Aku tertegun, lalu menatap segerombolan anak-anak sebaya Fajar yang sedang menunjuk ke arah kami. Sepertinya tak ada rasa takut dalam diri mereka.Aku sengaja metototkan mata untuk menakut-nakuti. Akhirnya, mereka berlari menuju gerbang sekolah. Sudah sejak lama ini terjadi dan kami pernah menghadap wali kelas untuk ditindak.Sayangnya, praktik bully itu belum bisa dihentikan. Aku sudah pernah membahas ini dengan Riska. Namun, sekalipun sudah di

  • Taubat Sang Pendosa   Indah

    Aku membuka pintu kamar dengan gemetaran. Setelah akad nikah, kami mendapatkan hadiah dari Papa untuk bermalam di sebuah hotel bintang lima.Acara pernikahan kami memang dilangsungkan secara sederhana. Hanya menghadirkan keluarga besarku dan Riska. Tidak ada pesta, cukup dengan pemberitahuan kepada beberapa kerabat dan rekan kerja.Aku membawa Riska ke hotel ini dengan berboncengan motor, setelah kami membersihkan diri seusai akad nikah. Bagiku, setelah menjadi istri, dia harus siap menemani dari awal, persis seperti pernikahan kami yang pertama.Riska bersedia menerima, begitupun keluarganya. Hanya saja istriku terlihat sedih saat harus meninggalkan Fajar. Untunglah anak itu tidak rewel dan mau ditinggal dengan neneknya."Ayo masuk," ucapku sembari menarik lengannya.Lampu kamar otomatis menyala, begitu juga dengan pendingin ruangan. Begitu ditutup kembali, aku langsung menarik Riska ke dalam pelukan.Kuusap rambutnya dengan lembut se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status