"Sebaiknya kita berpisah, Mas. Kamu kan, yang gak bisa ngasih keturunan."
Aku terdiam saat Riska --istriku-- mengatakan hal itu. Harga diri sebagai seorang laki-laki telah terlecehkan. Namun, memang itulah kenyataan yang harus diterima. Hasil tes dari rumah sakit menyatakan kalau aku mandul.
Pantas saja, sudah hampir dua tahun kami menikah dan belum diberikan momongan. Selama ini tuduhan selalu disematkan kepadanya, karena aku sendiri beberapa kali menolak untuk mengikuti tes.
Rasa iba ketika melihat dia terus dicaci- maki oleh keluarga membuat hati ini tak tega. Akhirnya kami sepakat untuk melakukan tes bersama. Hasilnya? Akulah penyebabnya.
Aku menangis memohon ampun di setiap sepertiga malam, atas dosa-dosa yang selama ini telah diperbuat. Mungkin inilah hukuman karena aku kerap berbuat zina. Entah sudah berapa banyak wanita yang telah singgah di malam-malamku.
Dulu di masa muda, karena kesulitan ekonomi saat kuliah, aku bekerja sebagai penjaja cinta kepada wanita-wanita kesepian yang ditinggal oleh suaminya. Juga wanita lajang yang enggan menikah namun tetap menginginkan kehangatan laki-laki.
Selama ini Riska tidak tahu. Dia hanya tahu kalau aku mempunyai bengkel karena sering membawa kendaraannya untuk di-service. Dari situlah kami dekat, kemudian saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah.
Bengkel itu dibangun dari uang hasil menjaja diri. Aku menabungnya sedikit demi sedikit selama beberapa tahun, sebagai persiapan jika nanti pekerjaan itu aku tinggalkan.
Jangan tanya bagaimana rupaku, kulit putih dengan wajah yang bersih tanpa noda. Perut kotak-kotak dan otot yang liat, membuat para kaum Hawa menjerit kesenangan setiap melihatnya. Untuk mendapatkan hasil maksimal, aku melatihnya secara rutin di sebuat pusat kebugaran di kota ini.
Aku tak sengaja mengetahui pekerjaan ini dari seorang teman. Lebih tepatnya dia kakak tingkatku, karena kami sama-sama aktif di sebuah organisasi pecinta alam. Dia yang telah memperkenalkan aku kepada wanita-wanita itu.
Kami bertatap muka langsung dengan pelanggan di sebuah tempat yang sudah disepakati. Berbincang sejenak sebagai basa-basi. Setelah deal, maka akan ditentukan tempat bertemu. Biasanya di sebuah hotel berbintang. Namun, tak jarang di sebuah losmen melati yang lapuk karena tak semua pelanggan memiliki banyak uang.
Aku bahkan pernah memberikan layanan gratis karena merasa kasihan kepada seorang wanita. Kupuaskan dia hingga larut malam di rumahnya yang sepi, tetapi tentu saja wajahnya cantik. Jika tidak, aku tak mau.
Jangan kalian tanya juga berapa jumlah boks alat pengaman yang kami harus siapkan. Benda itu seperti rokok yang wajib dibeli dalam jumlah banyak.
"Kenapa melamun, Mas? Dulu keluargamu menghina aku. Mengatakan kalau aku istri tak berguna. Ternyata selama ini kamu yang bermasalah."
Aku tersentak dan menatap wajah Riska dengan gamang. Tak menyangka dia akan berkata seperti ini. Wanitaku yang ayu dan lembut kini berubah menjadi seperti singa ketika marah.
"Apa kamu gak bisa nerima aku apa adanya?" tanyaku penuh harap.
Begitu dalam rasa sayangku kepada Riska, sehingga ketika memutuskan untuk menikah, aku berhenti dari pekerjaan laknat itu dan fokus mengurus bengkel.
"Aku sakit hati, Mas," isak tangisnya mulai terdengar. "selama ini aku diam karena menerima jika ini memang takdir. Ternyata kamulah penyebabnya."
Aku berusaha merengkuh tubuh itu ke dalam dekapan. Namun, dia menolak dengan halus. Riska bahkan berjalan keluar kamar dan meninggalkanku sendirian.
Kutarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Masih erat kugenggam kertas hasil pemeriksaan itu sebulan yang lalu. Hanya saja kami masih sama-sama merahasiakannya dari keluarga demi menjaga nama baik. Namun, sepertinya kali ini Riska sudah tidak tahan.
Apalah artinya hidup seorang laki-laki jika tidak bisa membuahi. Hina.
Aku berjalan keluar untuk mencari istriku dan mencoba untuk membicarakan permintaannya tadi. Berharap dia berubah pikiran karena wanita kadang terbawa emosi. Tak lama terdengar suara mobil dari garasi yang meninggalkan rumah. Aku mengintip lalu merasa kecewa.
Aku kembali ke kamar, merebahkan diri di ranjang dan menatap langit-langitnya yang kosong. Teringat ucapan adikku yang mungkin saja telah melukai hati Riska.
"Mas nikah aja lagi kalau dia gak bisa hamil. Masa keluarga kita gak punya penerus laki-laki. Anakku perempuan semua."
Dina, adikku satu-satunya yang paling aku sayang, justru menganjurkan sebuah pilihan yang sulit untuk diterima. Entah bagaimana dengan sikap ibuku. Beliau tak pernah membahasnya jika aku berkunjung.
"Jangan bilang begitu, Dek. Mas gak tega sama mbakmu. Dia baik dan mau menerima keluarga kita apa adanya. Dia dari keluarga kaya dan juga udah banyak bantu," jawabku bijak.
Riska memang banyak mengangkat nama keluargaku karena dia berasal dari keluarga berada.
"Kalau dia gak mau diceraikan ya mending solusinya begitu. Jadi adil."
Aku tersentak dari lamunan saat ponsel berbunyi. Dengan cepat kuraih benda pipih bewarna hitam itu lalu membuka pesan. Mataku terbelalak saat membaca isinya.
"Mas Rahman. Aku kangen. Kamu lama gak keliatan di kelab. Ke mana aja? Mau booking padahal."
Walaupun aku tidak menyimpan nomornya, namun aku tahu itu dari siapa melihat dari foto profile-nya.
Sinta. Pelanggan tetapku dulu. Istri salah satu pejabat pemerintahan yang cukup terkenal di kota ini. Orangnya royal dan suka memberikan tip. Kadang-kadang suka memberiku hadiah jika berpergian dari luar kota atau luar negeri.
Sinta merasa kesepian karena suaminya sibuk bekerja. Hal itu yang selalu dia ceritakan kepadaku setiap kami berduaan. Lalu, darimana dia mendapatkan nomor ponselku? Bukankah yang lama sudah aku buang.
Apa jangan-jangan, dia ....
Aku mengabaikan pesan dari Sinta, sedang tak berselera meladeninya. Juga beberapa pesan dari yang lain. Bengkel hari ini tutup karena aku malas bekerja akibat perkataan istriku tadi.Aku mengabari salah satu karyawan dengan menelepon dan meliburkan mereka hari ini. Semangatku hilang entah ke mana. Mungkin saja ia terbawa angin yang berembus. Atau hanyut bersama derasnya air yang mengalir di kaki pegunungan.Ponsel berbunyi lagi. Kali ini dentingnya tiada henti. Aku menimbang sejenak, lalu menjadi resah karena rasa penasaran yang memenuhi benak dan mulai membacanya.'Rahman kamu sombong banget sekarang. Mentang-mentang udah sukses. Lupa ya sama aku.'Lupa? Aku memang tak mau mengingat apa pun lagi mengenai pekerjaan itu.'Lama mencari akhirnya ketemu sekarang. Aku kangen kamu.' Tulisnya disertai dengan emoji menangis.'Kalau chat ini gak dibalas, nanti aku datengin ke rumah, loh.'Aku mengernyitkan dahi, kembali berta
Setelah kepergian Riska, aku menyalakan mesin mobil, lalu melajukannya menuju rumah Ibu yang terletak di ujung kota. Biasanya aku akan berkunjung jika suasana hati sedang tak nyaman, selain acara keluarga tentunya.Harusnya di masa tua, aku mempunyai banyak waktu untuk mengurus Ibu, bukannya sibuk bekerja. Namun, ada banyak perut yang aku hidupi di bengkel sekalipun usaha kecil-kecilan.Ibu menyambutku dengan senang. Hal itu terlihat ketika dia tergopoh-gopoh membukakan pintu saat aku mengucap salam."Tumben datang? Istrimu gak masak?" Begitulah pertanyaan yang akan Ibu ucapkan jika aku tiba-tiba datang."Riska ke butik pagi-pagi, Bu. Lagi banyak pesanan," jawabku santai sembari membuka sepatu dan duduk di sofa ruang tamu."Ayo cuci tangan. Kamu pasti lapar," ajak Ibu sembari menarik lenganku menuju ruang makan.Rumah peninggalan mendiang Bapak ini memang sederhana karena hanya memiliki dua kamar. Ruang tempat kami makan berdekat
Sepanjang perjalanan pulang kami terdiam. Aku melirik Riska berkali-kali, menatap wajah cantik yang selalu menggetarkan hati. Wanita baik hati yang mau menerimaku apa adanya, sekalipun dia berasal dari keluarga berada."Mas mau bicara apa di rumah?" tanya Sinta memecah keheningan.Aku menarik napas panjang, merasa lebih lega. Jika Riska sudah mau bicara, itu berarti amarahnya mulai mereda. Tinggal bagaimana aku membujuk agar dia memaafkan. Bukankah laki-laki selalu salah di mata wanita? Dan untuk itu, aku menerimanya, karena aku memang bersalah."Aku ... mau minta maaf. Banyak salah sama kamu," jawabku cepat.Tadi aku meminta Riska untuk menyerahkan butik kepada salah satu asisten, sehingga dia bisa pulang lebih awal.Riska menatapku, bersamaan dengan aku yang balas meliriknya. Mata kami bertautan sesaat, lalu aku kembali fokus menyetir."Oh, iya. Mas kenal Tante Sinta di mana? Kok, kayaknya akrab gitu."
Keesokan harinya.Kuparkir mobil bersebelahan dengan milik Riska di halaman butik. Kemarin aku menjemputnya, sehingga mobilnya ditinggal."Nanti gak usah jemput, Mas. Masa' mobil aku ditinggal di sini terus," katanya saat melepas seat belt.Selama ini kami memang jalan sendiri-sendiri kalau berangkat bekerja. Biasanya Riska akan pergi agak siang karena membereskan rumah terlebih dahulu. Kunci butik dipegang oleh salah salah satu karyawannya. Jadi, dia bebas datang kapan saja.Sementara itu, aku harus berangkat pagi-pagi karena kunci bengkel dipegang sendiri. Bukannya tidak percaya dengan karyawan, tapi lebih baik mengantisipasi di awal sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi."Masuk dulu, gak? Apa mau langsung aja?" Dia mencium punggung tanganku sebelum membuka pintu mobil."Gak usahlah. Udah telat," jawabku sembari melirik jam tangan.Pasti saat tiba di bengkel nanti, karyawan sudah menunggu di dep
Sesuai dengan permintaan Sinta, setelah bengkel tutup aku langsung menuju ke Kopi Tiam. Tempat itu berada di sebuah mall yang terletak di tengah kota.Sebuah pesan kukirim ke Riska untuk mengabari kalau aku akan pulang malam hari ini. Alasanku karena ada keperluan dengan seorang teman lama. Untunglah dia mengerti. Aku merasasedikit lega saat dia tak banyak bertanya dan hanya membalas 'iya'.Sesampainya di sana ternyata Sinta sudah menunggu. Seperti biasa, dengan penampilan yang glamour juga dandanan menor. Wanita itu memang sejak dulu tak banyak berubah, mengandalkan kecantikan fisik untuk menggoda lawan jenis."Mau pesan apa?" Sinta menyodorkan daftar menu.Aku langsung menolaknya karena memang tak ada niat untuk berbincang lama di sini. Aku hanya sekadar ingin tahu apa maunya. Itu saja."Minum dulu, Rahman. Jangan buru-buru gitu," ucapnya dengan penuh harap. Tangannya bahkan hendak menyentuh jemariku. Namun, sebelum itu terjadi, aku dengan
Riska meletakkan sebuah undangan mewah berwarna abu-abu dengan pita gold berhiaskan mutiara di meja, saat aku sedang mencatat beberapa keperluan bengkel yang akan dibeli."Apa ini?" tanyaku sembari meletakkan pulpen. Bau harum seketika menguar saat kubuka bungkusnya."Itu acara nikahannya keponakan Tante Sinta. Dia ngundang kita, Mas. Katanya, keluarga mereka pengen kenalan sama desainernya," jelas Riska saat duduk di sebelahku. Lengannya melingkar di pinggang dengan erat, sehingga membuatku ingin memanjakannya saat ini juga."Loh, bukannya waktu ukur baju mereka datang semua?" tanyaku lagi.Aku membuka dan membaca isinya, melihat nama kedua mempelai, lalu kaget saat mendapati siapa saja yang menjadi tamu kehormatan. Nama beberapa pejabat dan pengusaha penting di kota ini tercantum di sana.Acara akad nikahnya akan berlangsung di masjid raya, sedangkan resepsi di sebuah gedung besar. Keluarga Sinta pastilah kaya sehingga mengadakan pesta seme
Riska memandangku dengan tajam. Tangannya terlipat di dada dengan bibir ditekuk. Napasnya naik turun, tapi saat berbicara masih halus terdengar. Dia berusaha menahan diri. Padahal aku tahu itu ... marah."Jujur! Darimana Mas kenal dengan mereka?"Aku terdiam seperti biasa. Bukankah laki-laki harus begitu jika menghadapi wanita yang sedang marah? Agar tak terjadi luapan emosi yang semakin meledak."Aku minta penjelasan. Dari awal ketemu Tante Sinta di butik, aku udah curiga. Kenapa dia bisa kenal Mas? Bahkan tau kebiasaan mas," lanjutnya.Riska mencecarku dengan banyak pertanyaan dan aku masih menatapnya dengan hati gamang. Aku menjadi serba salah, jika berkata jujur maka semua akan terbongkar. Aku tak mau kehilangan dia, bahkan tak sanggup hidup lagi jika sampai itu terjadi."Jawab, Mas. Apa kamu punya masa lalu yang masih disimpan dan aku belum tahu?" cecarnya.Lagi, bibir ini bungkam. Sulit untuk mengatakan kebenaran. Masa laluku adalah ai
Semua mata menatap kami dengan heran, lalu bisik-bisik kembali terdengar. Aku merangkul Riska untuk saling menguatkan. Jemari kami bertautan dengan erat seolah tak ingin dipisahkan."Jadi ... selama ini yang gak subur itu Mas Rahman?" tanya Dina setengah tak percaya. Selama ini dialah yang ngotot memojokkan kakak iparnya karena sakit hati."Iya. Ini hasil tes rumah sakit."Aku mengeluarkan selembar kertas hasil pemeriksaan dari saku dan menyodorkannya. Dina meraihnya dengan cepat, lalu bergantian dengan Ibu dan keluarga yang lain.Aku kembali menatap Riska sembari tersenyum. Akhirnya rasa bersalah kepadanya kini lepas sudah. Aku tak ingin Riska disudutkan terus menerus oleh mereka."Sudah. Sudah. Jangan dibahas lagi."Tiba-tiba saja mamanya Riska mengambil kertas itu lalu menyimpannya di tas. Beliau mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan hal lain agar kami tak membahas itu lagi.Acara selesai. Satu per satu keluarga berpamitan pu