"Lepaskan aku!" teriak Gabby saat kedua pria berbadan kekar menyeretnya ke ruangan Raizel.
“Siapa gadis ini?” tanya Raizel dengan tatapan nanar. Dia melangkah ke arah Gabby sambil memasukkan kedua tangan di saku celana.“Maaf, Bos! Setelah kami datang ke rumah Riko dan Laura, mereka ditemukan gantung diri dan rumahnya habis terbakar. Yang tersisa hanya gadis ini,” ucap Alex, preman yang bekerja untuk Raizel.Pandangan Gabby menjelajah seisi ruangan yang berukuran 5x5 meter itu. Suasananya terasa begitu mencekam. Apalagi ruangan yang didominasi oleh warna hitam itu terdapat banyak koleksi senpi dan sajam yang menggantung di dinding. Yang lebih mencuri perhatian Gabby adalah sosok pria tampan bertubuh kekar yang disapa bos oleh kedua preman itu.“Sebenarnya aku ada di mana? Kalian siapa?” teriak Gabby, masih berusaha memberontak.“Gimana, Bos? Barangkali dia bisa kita jual,” lanjut Dion, yang turut memegangi Gabby.Raizel hanya melambaikan tangan, memberi kode agar Dion dan Alex keluar dari ruangannya.“Tinggalin aja! Biar gue yang urus,” ucap Raizel memberi perintah.“Baik, Bos!” seru Alex dan Dion secara bersamaan. Kemudian mereka pergi meninggalkan ruangan Raizel.“Kalian mau ke mana? Bawa aku pergi dari sini!” teriak Gabby dengan raut panik.Raizel segera mencengkram pipi Gabby hingga gadis itu mendongak.“Ssst! Tidak perlu takut. Aku tidak akan membunuhmu,” bisik Raizel.Pria itu menghirup rambut Gabby lalu mengusap pipinya yang tercoreng abu dari rumah yang terbakar.“Si-siapa kamu? Jangan macam-macam, ya!” seru Gabby dengan suara gemetar. Dia mulai takut akan gerak-gerik Raizel yang terlihat aneh.“Sepertinya aku akan membutuhkanmu,” ucap Raizel menyeringai.Pandangan Raizel menelisik lekuk tubuh Gabby yang terlihat kurus. Saat itu Gabby hanya memakai gaun putih polos selutut yang tampak kotor. Tanpa aba-aba, Raizel pun merobek gaun Gabby hingga terpampang pakaian dalamnya.“Aaah!”Gabby menjerit sekaligus terkejut. Dia tak pernah menunjukkan bagian dalam tubuhnya kepada lelaki mana pun.“Apa yang kamu lakukan?” pekik Gabby dengan mata terbelalak. Kedua tangannya sibuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.Raizel hanya tersenyum kecut menanggapi reaksi gadis di hadapannya. Kemudian dia mulai bertanya sambil memperhatikan Gabby dari ujung rambut hingga kaki.“Siapa namamu?” tanya Raizel.“Ga-Gabriella,” jawab Gabby sedikit gugup.Raizel mengangguk-angguk sambil berjalan mengelilingi Gabby.“Apa kau tahu kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Raizel kembali.Gabby hanya menggeleng. Sebenarnya dia belum mencerna situasi yang sedang terjadi.“Gabriella,” ucap Raizel pelan, “Kau adalah putri semata wayang Riko dan Laura, kan?”Gabby mendelik ke arah Raizel. Dia tak terima jika pria itu menyebut nama orang tuanya.“Kenapa? Apa hubungannya semua ini dengan mendiang orang tuaku?” tanya Gabby dengan sinis.“Orang tuamu berhutang ratusan juta padaku. Tapi mereka malah mengakhiri hidupnya,” jawab Raizel sambil terkekeh.“Terus? Kau mau bagaimana?” tanya Gabby, menantang.“Hutangnya harus tetap dibayar. Apa kau sanggup melunasinya hari ini juga?” tanya Raizel, menyeringai.Seketika Gabby bergeming. Dia tak memiliki uang sepeser pun saat ini. Jangankan untuk membayar hutang, memperbaiki rumah yang habis terbakar pun tak bisa. Dia hanya seorang pengangguran yang bergantung pada orang tua.“Bagaimana Gabriella?” tanya Raizel, menanti jawabannya.“Jika aku tidak punya uang, apa yang akan kau lakukan?” Gabby balik bertanya.Raizel pun menghela napas gusar sambil mengusap dagunya yang dihiasi cambang tipis.“Kalau begitu kau harus bekerja denganku!” jawab Raizel“Be-bekerja apa?” tanya Gabby terbata-bata.“Menjadi penari yang mempertontonkan tubuhmu ini,” jawab Raizel menyeringai. Kini tangannya mengusap lembut bagian tubuh Gabby yang tampak menonjol.Gadis itu pun menggelinjang lalu menepis tangan Raizel yang bergerak turun ke bagian pribadinya.“Kalau aku tak mau?” tanya Gabby gemetar. Sepasang netranya sudah berembun, menahan bulir air yang akan melesak keluar.****Sepasang mata terperangkap dalam lirikan jendela yang memancarkan sinar senja, tatkala Gabby duduk termenung di dalam kamarnya. Rasa resah menyusup ke dalam setiap hela napasnya, seperti angin sejuk yang merambat perlahan di tengah-tengah hati yang terluka. Bayangan sosok Raizel yang tidur bersama wanita lain terus bergelayut dalam benaknya, menciptakan gelombang tak berkesudahan dalam pikiran. Perasaan campur aduk antara kekecewaan, kebingungan, dan kerinduan terus menghantui dirinya. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin emosi yang sulit diurai. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Pertanyaan itu terus berputar-putar dalam kepalanya, sementara rasa tidak percaya dan luka yang mendalam terus membayanginya. "Sepertinya apa yang diucapkan Lascrea bukanlah suatu kebohongan," ucap Gabby, bermonolog. "Aku harus mencari tahu apa yang terjadi di antara mereka. Karena, bisa saja Raizel berbohong dan sebenarnya ada main dengan Lascrea." Tanpa sadar, Gabby menekuk wajahnya. Walau di hadap
Arnold yang tengah bersantai di depan televisi tiba-tiba dikejutkan oleh suara bel yang menandakan ada seorang tamu yang tengah berdiri di depan rumah, menunggu untuk dibukakan pintu. Pria itu sempat menoleh dan berpikir sejenak dengan sebelah alis yang terangkat. 'Siapa yang datang malem-malem gini?' Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Pantas saja terasa janggal jika ada yang berkunjung ke rumahnya. Namun Arnold tak membiarkan perasaan bingung itu menghalangi niatnya untuk menerima tamu. Dalam hitungan detik, pria itu bangkit dari sofanya dan beranjak untuk membuka pintu. Baginya, tak mungkin ajudan di depan gerbang membiarkan seseorang masuk begitu saja jika tidak mengenal atau berhubungan dekat dengan bosnya. Sudah pasti tamu ini adalah seseorang yang Arnold kenal sehingga dia bisa sampai di pintu utama. Arnold menghela napas gusar, sebenarnya enggan untuk menerima tamu. Namun, rasa penasaran rupanya mengalahkan semuanya. Dengan berat hati akhirnya Arnold bangkit dan melan
"Argh!" Raizel mengerang seraya menjambak rambutnya sendiri. 'Gimana ceritanya aku bisa ga sadar?' Melihat tingkah aneh Raizel, gairah Gabby mendadak sirna dan berganti dengan kepanikan. Dia pun bangkit dari meja untuk berusaha menenangkan Raizel. "Are you ok?" Raizel menoleh secara perlahan dan menatap sepasang netra gadis itu. Ada sebuah perasaan bersalah yang sedikit menghantui meskipun Gabby pernah melakukan kesalahan serupa. Tanpa aba-aba, Raizel pun memeluk Gabby dengan erat seraya berbisik lirih. "Maafin aku!" Gabby mengernyit heran. "Kenapa tiba-tiba minta maaf?" Berat rasanya untuk menceritakan kejadian yang dia alami saat itu. Namun menyimpan masalah itu sendiri rupanya jauh lebih berat. Walau bagaimanapun, Raizel butuh sosok Gabby untuk bersandar dan menumpakan semua keluh kesahnya. Tak kunjung mendengar jawaban, akhirnya Gabby melepas pelukan itu lalu menangkup wajah Raizel serta menatap kedua matanya. "Kamu nggak mau cerita?" tanya Gabby lembut, berusaha unt
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se