Berbeda dengan para mafia yang cenderung begerak di dunia gelap, Marco Valley adalah seorang CEO muda dengan aura kepemimpinan yang kuat
Pria itu tak tertarik dengan perkelahian ataupun aksi ilegal dalam bentuk apapun
Kekuasaannya bukan didapat dari senjata api atau ancaman kekerasan, melainkan dari strategi bisnis yang cermat dan visi yang tajam. Ia memimpin perusahaan teknologi terkemuka, ValleyTech, dengan tangan besi yang terbalut sutra. Keputusan-keputusannya tegas, namun selalu didasari oleh perhitungan yang matang dan analisis yang mendalam.
Marco bukanlah tipe orang yang gemar pamer kekayaan. Kemewahan yang ia miliki tersembunyi di balik kesederhanaan penampilannya. Jas mahalnya selalu rapi, namun tak pernah mencolok.
Arloji mewah di pergelangan tangannya hanya terlihat sekilas, namun cukup untuk menunjukkan statusnya. Ia lebih suka menghabiskan waktu di kantornya, bergelut dengan angka-angka dan strategi bisnis, daripada menghadiri pesta-pesta me
Villa Walton, ruang makan utama – malam hari.Meja makan panjang dari kayu ek berkualitas tinggi dikelilingi oleh 7 orang. Lampu gantung kristal menggantung megah di atas kepala, menebarkan cahaya keemasan ke seluruh penjuru ruangan. Aroma daging panggang, sup krim jamur, dan roti bawang menyatu dengan tawa ringan dan percakapan yang bersahut-sahutan.Di ujung meja, Hiriety duduk di samping Marco. Di sisi lain, Selena duduk di antara Matthias dan Lova. Perut Selana yang sudah membulat jelas terlihat dari gaun longgarnya. Kedua ibu muda ini menjadi pusat perhatian malam itu, sekaligus simbol dua keluarga besar yang kini bersatu.Caid mengangkat gelas anggurnya. “mari bersulang” ucapnya, suaranya berat namun jernih, “untuk masa depan Walton… dan Valley.”Gelas diangkat, sementara Hiriety dan Selena mengangkat gelas berisi jus anggur.“Untuk masa depan yang kuharap” sambung Gregory sambil melirik ke ara
Villa Walton yang berada di Vigentino kini kembali ramai setelah pernikahan Marco dan Hiriety. Kali ini keramaian itu disebabkan oleh kedua keluarga yang berkumpul untuk menjenguk Hiriety yang memberikan kabar gembira jika dirinya hamil.Cahaya matahari sore menyelinap lewat jendela besar ruang tamu villa, memantul lembut pada permukaan kayu dan gelas-gelas teh yang belum disentuh. Di tengah ruang, Hiriety duduk di sofa panjang dengan selimut tipis di kakinya, dikelilingi oleh wajah-wajah yang akrab—dan ribut, seperti biasa.“Jangan terlalu stres, itu bisa mempengaruhi emosimu” Nasihat Lova sambil mengusap kepala putrinya yang bersandar pada pundaknyaHiriety terkekeh “Rasanya seperti mengulang masa lalu. Bagaimana jika aku kehilangan anak ini lagi ma?”Lova terdiam sesaat, namun tangannya tidak berhenti mengelus lembut rambut Hiriety. Wajahnya yang biasanya tegar kini tampak melembut, dipenuhi kenangan lama yang juga menyaki
Suara tembakan menggema di udara, memecah keheningan senja yang menyelimuti villa Walton—tempat sakral tempat mereka pernah mengikat janji dalam kebisuan yang penuh makna. Angin semilir membawa aroma pinus dan tanah basah, tapi juga menyapu suara detak jantung Marco yang tak karuan.Satu peluru menghantam papan target, nyaris sempurna di tengah.Marco berdiri di sisi belakang lapangan tembak, tubuhnya tegak namun pasrah, dengan rompi pelindung yang entah benar-benar melindungi atau sekadar menjadi simbol keputusasaan seorang suami yang terlalu mencintai istrinya.Hiriety berdiri sekitar sepuluh meter darinya. Perutnya belum menonjol banyak, tapi ada kelembutan baru di wajahnya—kelembutan yang justru membuatnya tampak lebih berbahaya. Ia mengangkat pistol ringan, matanya menyipit.“Jangan bergerak” katanya dengan nada ceria, seperti sedang meminta Marco berpose untuk lukisan, bukan menantang ajal.“Sudah pasti” ja
“A-apa ini, mia cara?” tanya Marco terbata. Suaranya nyaris hilang oleh suara detak jantungnya sendiri yang melonjak, menghantam tulang rusuk.Hiriety berdiri tegak di depan meja makan dengan hoodie lusuh milik Marco dan rambut yang dikuncir asal. Di tangannya, sebuah test pack dengan dua garis biru tegas tergenggam. Ia tak menyodorkannya dengan gaya dramatis, tak pula meneteskan air mata—wajahnya datar. Tenang. Seolah ia baru saja menyerahkan remote TV.“Positif,” ucapnya pelan, nyaris tanpa intonasi. “Aku hamil.”Marco terpaku. Bola matanya menatap dua garis itu, lalu berpindah ke wajah Hiriety. Matanya bergetar. Bibirnya terkatup kaku.Beberapa detik ia hanya berdiri di sana, seperti seluruh neuron dalam otaknya berhenti bekerja kecuali satu: yang berbisik lirih, anak... kami?Lalu sesuatu dalam dirinya retak.“Dio mio...” desis Marco. Ia mendekat perlahan, seperti takut gerakannya aka
Pukul 03.27 dini hari waktu MilanLangit masih pekat dan udara dingin menyelimuti kota yang tidur. Di sebuah jalanan tenang di distrik Brera, sebuah mobil hitam meluncur perlahan, tanpa suara berlebihan. Di dalamnya, Marco duduk dengan wajah dingin dan mata sayu yang tak pernah lepas dari layar ponselnya yang memutar ulang video Hiriety—yang ia pantau melalui cctv yang masih terpasang diapartemen tanpa sepengetahuan istrinya itu.Sopirnya, Vincenzo, melirik lewat kaca spion tapi tak berani berkata apa-apa. Ia tahu, jika tuannya sudah seperti itu, hanya ada satu tujuan: kembali ke sumber apinya.Tak lama, mobil itu berhenti di depan gedung apartemen mereka. Marco keluar, hanya membawa koper kecil dan satu jas yang disampirkan di lengannya. Ia tak meminta dibukakan pintu—ia tahu kode akses, bahkan tahu bagaimana caranya membuka pintu depan tanpa membangunkan sistem alarm.Langkahnya menyelinap naik. Di lorong apartemen yang gelap, ia berjalan de
Sebulan berlalu dengan cepat semenjak mereka kembali dari Cartagena. Hari-hari yang berlalu di Milan terasa monoton.Hiriety yang santai di apartemen, berbelanja atau bahkan mengganggu Marco saat bekerja.Namun, seminggu ini Marco harus berada di Washington untuk mengurus perusahaan secara langsung. Suaminya itu tak lagi bisa melakukan work from home karena urusan tender dan kartel Otoniel.Hiriety menatap ponselnya yang sunyi dari notifikasi. Sudah hampir 18 jam Marco tidak menghubunginya. Padahal sebelumnya, mereka nyaris tidak pernah absen menelepon meski hanya untuk mendengar satu sama lain bernapas.Ia berdiri dari sofa, berjalan ke dapur dan membuka lemari es hanya untuk menatap kosong isi di dalamnya. Lalu menutupnya kembali. Hiriety benci hari-hari seperti ini—sunyi, seolah Marco telah membawa denyut nadi dunianya bersamanya ke Amerika.Dan yang paling ia benci... adalah rasa khawatir yang ia sembunyikan dalam marah.Di mana ka