Aurora menatap jam di dinding, jarum yang bergerak terasa lebih lambat dari biasanya. Damian belum juga pulang sejak tadi. Hanya pesan singkat yang ia terima sebelum pria itu menghilang: “Jangan menunggu.”
Tapi bagaimana mungkin ia tidak menunggu? Sejak pertemuan dengan kedua orang tuanya siang tadi, pikirannya berantakan. Dan sekarang… hening di rumah ini membuat dadanya sesak. Suara mesin mobil terdengar di kejauhan. Aurora refleks berdiri, melangkah ke arah pintu. Detik berikutnya, Damian muncul tinggi, tegap, kemeja hitamnya terlepas beberapa kancing, dasi menggantung longgar di leher. Rambutnya sedikit berantakan, dan yang membuat napas Aurora tercekat adalah aroma samar parfum wanita yang menempel di bajunya. Jantung Aurora seperti diremas. Ada rasa panas yang merambat ke dada, antara marah, sakit, dan anehnya cemburu. “Dari mana?” Suaranya terdengar pelan, tapi tajam. Damian melepas jas, meletakkannyaAurora terpaku di tempat, jantungnya menghantam tulang rusuk tanpa ampun. Kata-kata Damian masih bergaung di kepalanya.Malam ini… milik kita.Damian tidak bergerak, tapi aura yang memancar dari tubuhnya seperti gelombang yang menarik Aurora ke dalam pusarannya. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya temaram, menyorot mata elang itu, mata yang tidak lagi menyimpan dingin semata, tapi juga bara yang siap melahap apa pun di depannya.Aurora mundur setapak, punggungnya menempel ke dinding. Nafasnya tercekat ketika Damian mendekat perlahan, jas hitamnya bergeser mengikuti langkahnya yang mantap. Jemarinya terulur, menahan sisi wajah Aurora, memaksa tatapan mereka bertemu.“Kau masih ingin melarikan diri?” suaranya rendah, serak, seolah terbuat dari bara.Aurora menggigit bibir, tidak menjawab. Setiap kata yang ingin diucapkan terkunci oleh detak jantung yang memekakkan telinga.Damian menunduk sedikit, nafa
Aurora menatap jam di dinding, jarum yang bergerak terasa lebih lambat dari biasanya. Damian belum juga pulang sejak tadi. Hanya pesan singkat yang ia terima sebelum pria itu menghilang: “Jangan menunggu.” Tapi bagaimana mungkin ia tidak menunggu? Sejak pertemuan dengan kedua orang tuanya siang tadi, pikirannya berantakan. Dan sekarang… hening di rumah ini membuat dadanya sesak. Suara mesin mobil terdengar di kejauhan. Aurora refleks berdiri, melangkah ke arah pintu. Detik berikutnya, Damian muncul tinggi, tegap, kemeja hitamnya terlepas beberapa kancing, dasi menggantung longgar di leher. Rambutnya sedikit berantakan, dan yang membuat napas Aurora tercekat adalah aroma samar parfum wanita yang menempel di bajunya. Jantung Aurora seperti diremas. Ada rasa panas yang merambat ke dada, antara marah, sakit, dan anehnya cemburu. “Dari mana?” Suaranya terdengar pelan, tapi tajam. Damian melepas jas, meletakkannya
Damian merebut ponsel itu dengan gerakan cepat, seolah benda kecil itu adalah bom yang akan meledak di tangannya. Jemarinya yang kokoh mencengkeram begitu kuat hingga layar hampir retak. Aurora terperangah, napasnya memburu. “Damian… lepaskan” “Diam!” suaranya meledak, berat dan penuh amarah yang membakar udara. “Siapa yang berani mengirimi pesan ini?” Aurora mencoba meraih ponselnya, tapi Damian sudah berbalik, punggung lebarnya menutupi cahaya, membuat Aurora hanya bisa menatap bayangan gelap yang memancar dari sosok pria itu. Damian membaca isi pesan itu sekali lagi, rahangnya mengeras. “Kau pikir bisa menipu semua orang, Aurora? Neraka baru saja dimulai.” Matanya menyipit, nafasnya mendesis seperti binatang buas. “Apa ini maksudnya, Aurora?” Ia menoleh perlahan, sorot mata hitam itu menusuk, panas sepe
Mobil hitam meluncur mulus di jalanan kota, membawa Aurora dan Mama menuju rumah keluarga Valente. Belanjaan mewah memenuhi bagasi, tapi Aurora tidak merasa puas. Ada sesuatu yang lebih berat dari tas-tas itu beban di dadanya yang semakin menghimpit.Mama duduk di sampingnya, memandang Aurora dengan senyum tipis. “Terima kasih sudah ajak Mama hari ini, Sayang… sudah lama kita tidak seperti ini.”Aurora memaksakan senyum. “Aku juga senang, Ma…” Walaupun ini bukan sekadar shopping, batinnya menjerit.Begitu mobil berhenti di depan gerbang besar rumah Valente, Aurora turun sambil menggandeng Mama. Rumah itu masih megah seperti dulu, tapi entah kenapa terasa dingin. Saat mereka melangkah ke teras, pintu utama terbuka, menampilkan sosok yang membuat napas Aurora tercekat.“Papa…” suaranya nyaris berbisik.Pak Valente berdiri tegak, wajahnya menua, tapi sorot matanya tajam seperti dulu. Aurora menelan ludah ketika pria itu mendekat, lalu tanpa
Aurora menepikan mobil hitam mengilap di depan gerbang rumah mewah keluarganya. Jantungnya berdetak cepat saat melihat Mama berdiri di teras, mengenakan gaun pastel sederhana. Wajah Mama tampak lebih tirus, ada gurat lelah yang menusuk hati Aurora. “Mama…” Aurora turun cepat, memeluk ibunya erat. Kehangatan itu membuatnya ingin menangis. Aroma rumah, yang dulu selalu menenangkan, kini terasa asing. “Sayang… kau baik-baik saja?” suara Mama bergetar ketika mengelus rambutnya. Aurora menahan napas, berusaha tidak pecah. “Aku baik, Ma. Yuk, temani aku shopping. Seperti dulu…” Mama tersenyum tipis, seolah ada sesuatu yang tidak terucap. “Baiklah, Nak. Papa sedang di ruang kerja. Tidak bisa ikut.” Aurora menoleh sekilas ke dalam rumah, dadanya mengeras. “Bagaimana… bisnis Papa sekarang? Apa sudah lebih baik setelah…” ia menahan diri sejenak, lalu melanjutkan dengan hati-hati, “setelah sunti
Aurora terbangun dengan kepala berat, mata masih sembab. Cahaya matahari menembus tirai, memantul di lantai marmer dingin. Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang. Semalam… ia menangis sampai tertidur. Dan sekarang, ia bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pintu terbuka. Damian masuk dengan nampan sarapan. Kemeja hitamnya terbuka satu kancing, rambutnya sedikit basah baru saja mandi. Wajahnya tanpa senyum, tapi mata itu… tajam dan dalam, seperti jurang. “Pagi,” ucapnya pelan, namun suaranya serak, berat, membuat udara terasa lebih padat. Aurora mengangguk kecil. “Pagi.” Damian meletakkan nampan di meja, lalu menarik kursi untuk Aurora. Gerakannya sopan, tapi aura kuasanya tetap mendominasi ruangan. Aurora duduk ragu. Ada jus jeruk dan kopi. Damian menuang kopi untuk dirinya sendiri, lalu duduk di seberang. Diam. Hanya terdengar suara burung berkicau dari balkon luar. A