Jangan lupa tinggalin komennya ya :D
Hazel berlutut di sisi Xavier, nafasnya memburu. Tanpa pikir panjang, ia merobek gaunnya, kain mahal itu sobek begitu saja di tangannya, berubah menjadi perban darurat yang ia lilitkan erat di dada Xavier. Darah mengucur hangat di sela-sela jarinya, dan wajah pria itu menegang menahan sakit.Xavier sempat menatap Hazel, terkejut oleh tindakannya yang cepat dan tanpa ragu. Namun sebelum sempat berucap sepatah kata pun, Hazel sudah menaruh lengannya di bawah tubuh pria itu, membantu menopangnya berdiri."Ayo, kita harus pergi dari sini," ucapnya tegas.Di jalan utama, sebuah mobil sedan berwarna silver berhenti mendadak. Pintu kemudi terbuka, dan Kevin melompat keluar. Wajahnya tenang, tapi matanya menyapu situasi dengan tajam."Kevin! Tolong bantu aku! Xavier serangan di dadanya. Dia kehilangan banyak darah!" seru Hazel, panik.Kevin menatap Xavier sekilas, kemudian tanpa kata, ia membantu memapahnya masuk ke dalam mobil. Hazel duduk di kursi belakang bersama Xavier, berpikir mereka ak
Langkah-langkah mereka menapaki jalan berbatu yang basah oleh embun malam, diapit gedung tua yang memantulkan bayangan panjang dan lampu jalan yang berkedip seolah ikut gelisah. Suara dentingan logam dari radiator mobil musuh yang nyaris meledak masih menggema di belakang mereka, menambah kesan bahwa waktu mereka hampir habis.Hazel membiarkan jemari Xavier yang dingin menggenggam tangannya, mencoba menemukan sedikit rasa aman di balik langkah tergesa pria itu. "Bagaimana mereka bisa tahu kau ada di pesta itu?" bisiknya, penuh tekanan. "Apa mereka tahu kau pemimpin Cosa Nera?"Xavier tak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, matanya menatap jauh ke depan. Barulah saat mereka berbelok melewati sebuah lorong sempit yang sunyi, ia berkata dengan suara rendah namun tajam, “Tidak banyak yang tahu. Tapi seseorang membocorkan identitasku. Ini bukan kebetulan, kemungkinan ada pengkhianat di sekitarku.”Hazel menelan ludah. “Jadi apa sekarang kita hanya akan... menunggu mereka datang lagi?”"M
Pesta masih berlangsung, cahaya lampu gantung berkilau di atas kepala, menari di permukaan gelas-gelas kristal dan gaun mewah para tamu. Hazel mencoba menikmati suasana, meski dirinya nyaris terasing di tengah percakapan yang penuh bahasa Italia,cepat, lincah, dan sepenuhnya asing di telinganya.Ia baru saja mengambil segelas mocktail dari pelayan saat seorang pria berambut pirang mendekat ke arah Xavier. Senyumnya ramah, tapi langkahnya mantap, seolah mereka sudah lama saling mengenal.“Sudah lama aku tak melihatmu datang ke Italia,” ucap pria itu dengan suara tenang tapi penuh makna.Xavier membalas dengan anggukan kecil. “Aku membangun bisnis di New York. Kebetulan kekasihku ingin liburan ke sini, jadi kupikir tak ada salahnya menemaninya,” katanya, dan lagi-lagi, tangannya melingkari pinggang Hazel dengan cara yang sangat… posesif.Hazel hampir tersedak. Liburan? Kalau bukan karena mereka sedang berpura-pura, mungkin sejak tadi ia sudah meneriakkan kebenaran. Ia datang ke Italia ju
Dua hari telah berlalu.Hazel berdiri di depan cermin besar di kamarnya, hanya mengenakan tanktop dan celana pendek. Bahu dan lengannya dipenuhi memar keunguan, seperti kanvas yang dilukis dengan brutal. Tangannya bergerak perlahan mengoleskan salep ke kulit yang terasa perih saat disentuh."Ini bukan latihan, ini pertarungan terselubung," gumamnya pelan, bibirnya meringis saat obat menyentuh bagian yang paling biru. "Mereka jelas-jelas menyerangku dengan tenaga penuh. Latihan macam apa ini?"Belum sempat ia menyelesaikan keluhannya, suara langkah mendekat, Xavier muncul begitu saja dari balik pintu, seperti biasa, tanpa ketukan, tanpa permisi.Tanpa berkata sepatah kata pun, pria itu mengambil salep dari tangan Hazel. Jemarinya bergerak tegas, namun tak sepenuhnya kasar, saat ia mulai mengoleskan obat ke bahu Hazel.Hazel menatap cermin. Refleksi mereka tampak kontras, dirinya yang penuh luka, dan pria itu, dingin dan tenang seperti biasa. "Lihat semua ini... dan tebak siapa penyebabn
Pertarungan masih terjadi antara Xavier dan pemimpin dari Sangue Reale, kemampuan wanita itu Hazel akui sangat kuat, tak heran kenapa dia menjadi seorang ketua geng. Tapi meskipun sudah bertarung mengerahkan kemampuannya, Xavier tetap mendominasi.Dan Xavier adalah orang yang tidak pandang bulu siapa lawannya, dulu saja Hazel sempat mendapat serangan dari pria itu, apalagi sekarang lawannya adalah musuh yang ingin Xavier habisi. Tentu saja, ini akan menjadi hal yang bagus bagi Xavier untuk membunuh pemimpin Sangue Reale dengan tangannya sendiri.Tubuh wanita itu terpental keras ke tanah, Xavier mendekat, menarik lengan atasnya, berniat untuk melepaskan topeng yang wanita itu pakai. "Aku ingin tau, siapa kau sebenarnya."Namun sebelum topeng itu terangkat, wanita itu mengeluarkan benda kecil dari balik pergelangan tangannya, sebuah alat kejut listrik.ZAAAPP!Teriakan tertahan keluar dari mulut Xavier saat arus listrik menyambar dadanya. Tubuhnya tersentak, dan cengkeramannya terlepas.
Kehidupan Hazel yang semula tenang berubah dalam sekejap menjadi kekacauan yang tak pernah ia bayangkan. Liburan impian ke Italia kini menjelma menjadi mimpi buruk yang hidup. Ia tak pernah menyangka bahwa langkah kakinya di negeri asing justru menuntunnya ke jantung dunia mafia. Semua berawal dari satu kesalahan, mengenal Xavier.Hazel tidak bisa membayangkan jika seandainya dulu Luna benar-benar menikahi pria yang dinginnya bisa membekukan nurani. Xavier bukan tipe pria yang bisa dipahami, ia penuh rahasia, licik, dan menyimpan rencana di balik setiap tatapan tenangnya.“Apa yang kau pikirkan?”Tubuh Hazel tersentak ketika suara gelas yang diletakkan di hadapannya membuyarkan lamunannya. Ia menoleh, mendapati Xavier sudah duduk di sebelahnya. Lelaki itu dengan santai meletakkan sebuah benda mengkilap di meja, sebutir berlian sebesar telur puyuh yang waktu itu ia ambil dari dasar air.Hazel tidak langsung menanggapinya. Ia hanya meneguk air yang disodorkan, mencoba menenangkan degup j